Tuesday, June 17, 2008
Kepemimpinan Tao
at 8:59 PM
Jika dalam uraian-uraian terdahulu banyak dikemukakan contoh dan referensi-referensi dari Barat dan Islam, mungkin menarik juga untuk melihat pembanding dari Cina, sebuah bangsa, negeri dan budaya yang amat tua.Lao Tzu dalam karyanya Tao Te Ching, telah mempersembahkan karya sastra dan moral keagamaan klasik yang dikenal amat indah , yang telah menjadi sumber kebijakan selama lebih dari 2500 tahun. Tao Te Ching atau buku Tao ini menga¬jarkan Kepe¬mimpinan Tao, antara lain sebagai berikut: Pemimpin bijak hendaknya seperti air, member¬sihkan dan menyegarkan semua makhluk tanpa pandang bulu. Air dengan bebas tanpa rasa takut menembus ke dalam permukaan suatu benda. Air bersifat cair dan responsif. Air mengikuti hukum secara bebas.
Kepemimpinan yang benar menurut Lao Tzu, adalah pelayan, bukan mementingkan diri sendiri. Pemimpin dapat lebih tumbuh dan berakhir lebih lama dengan menempatkan kesejahteraan semua di atas kesejahteraan sendiri (bandingkan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw). Pemimpin juga harus me¬megang teguh tiga hal yaitu, mengasihi semua mahluk, sederhana dan hemat, rasa persamaan dan sopan. Dan pada akhirnya, pemimpin bijak men¬contoh perilaku spiritual dan hidup dalam harmoni bersama nilai-nilai spiritual.
Sementara itu panglima perang Cina, Sun Tzu, pada 500 tahun sebelum Masehi telah menggariskan, visi dan seni berperang ditentukan oleh lima faktor yaitu hukum moral, langit (waktu dan cuaca), bumi (alam, jarak dan ukuran), pimpinan serta metode dan disiplin. Mengenai pimpinan Sun Tzu menyatakan; pimpinan harus menegakkan kearifan, kejujuran, kebaikan, keberanian dan ketelitian. Sebaliknya pimpinan harus menghindari lima kesalahan fatal yaitu gegabah, takut, terburu nafsu, gila hormat dan kekhawatiran yang berlebihan.
Salah satu yang saya sukai dari pemikiran Bapak Mubarok adalah beliau kuasai "medan psikologis" objek dakwahnya, baik secara keislaman maupun keilmuan. Pak Mubarok menekankan aspek lintas kultural sebagai salah satu sarana untuk masuk ke dunia kognitif objek dakwahnya.
Dalam hal ini, Lao Tze (Tao) adalah hasil budaya Cina, khususnya cipta, rasa, dan karsa filsafat kepemimpinan Cina (Tionghoa). Titik temu filsafat Tao itu dengan Islam justru pada aspek pemimpin sebagai pelayan, bukan pemimpin sebagai bos yang dihormati, padahal kenyataannya segelintir pemimpin yang gila hormat itu tidak pantas mendapatkannya karena pemikiran dan akhlaknya tidak memenuhi kriteria tersebut.
Tiba-tiba saya terlintas sebuah ucapan (kalau tidak salah, jika salah mohon diluruskan) Ibnu Taimiyah, "Seorang pemimpin nonmuslim tapi adil lebih saya sukai dibanding pemimpin muslim yang dzalim." Inilah kriteria lain yang juga digambarkan oleh filsafat air Tao tersebut.
Di sisi lain, sahabat Nabi saw, Sayidina Umar ra. juga berkata,"Orang yang paling saya sukai adalah orang yang menyampaikan (menegur) kesalahan saya." Ciri pemimpin yang terbuka pada kritik sebagai bagian dari kesederhanaan dan sikap yang terbuka merupakan titik temu antara Islam dan Tao.
Seandainya orang awam memahami bahwa nilai keislaman pada agama dan budaya lain merupakan sarana yang efektif dalam syiar Islam dan keilmuan, tentu akan bijak memandang hal itu sebagai metode pembelajaran yang efektif. Lebih jauh lagi, tentu Bunda Theresa yang meninggal di pangkuan orang miskin membuat kita sebagai umat Islam merenung sejenak melalui pertanyaan kritis, apakah Bunda Theresa lebih Islami dibanding kita jika ditinjau dari akhlaknya?
Moga Allah membuka pintu pemahaman dan kebijaksanaan kepada saya dan pengunjung blog ini. Amin ya Fattah.
Wass.
Bahril H.
Post a Comment