Monday, July 07, 2008
Pemimpin : Pilar Budaya Masyarakat Bermartabat
Oleh : Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA
Saya pernah mengantar seorang guru spiritual dari Siprus,yaitu Syeh Nazim `Adil al Qubrusy menemui Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan-bulan terakhir masa kepresidenannya. Banyak sekali joke yang disampaikan oleh Gus Dur, panggilan akrab Presiden- di depan tokoh spiritual itu. Sesekali Syekh Nazim memang terkekeh mendengar joke itu, tetapi nampak sekali sorot mata keprihatinan beliau dalam bercanda dengan Presiden Gus Dur itu.
Ketika keluar dari istana, rombongan kami berpapasan dengan demo mahasiswa dalam jumlah yang cukup besar. Dalam demo itu mahasiswa menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menuntut Gus Dur munduuuur untuk cukup menjadi gubernuuuur di Jawa Timuuuur. Yaahh mahasiswa melagukan kalimat itu dengan penuh cemooh. Seperti kita ketahui Jawa Timur memang basis dukungan fanatic kepada Presiden Gus Dur hingga Gus Fawaaid dari Pesantren Asembagus Situbondo ke Jakarta memimpin sendiri demo dukungan untuk Presiden Gus Dur. Syekh Nazim bertanya apa arti lagu-lagu yang diteriakkan oleh demontran mahasiswa. Tapi yang sangat beliau perhatikan adalah ketika demonstran mengerek patung kertas Presiden Gus Dur dan kemudian membakarnya. Secara spontan Syekh Nazim berkata dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Bangsa yang menurunkan pemimpinnya secara tidak terhormat dijamin pemimpin yang menggantikannya tidak akan lebih baik dibanding pemimpin yang diganti. Ketika itu kami mendengarkan tetapi sekedar mendengar tanpa sempat merenungkan kedalaman maknanya..
Belakangan ketika carut marut negeri tak kunjung berakhir barulah kata-kata guru spiritrual itu seperti terngiang-ngiang di telinga. Benar juga, kita semua sudah tahu kualitas pengganti Presiden Gus Dur. Bukan hanya itu, yang sangat memprihatinkan adalah pelecehan kepada pemimpin di semua tingkatan terus berlangsung hingga hari ini,bukan hanya dilakukan oleh demonstran mahasiswa, tetapi juga oleh orang-orang yang sesungguhnya sudah masuk dalam deretan pemimpin nasional. Mereka tidak sadar bahwa seorang pemimpin politik yang melecehkan pemimpin negara, pada gilirannya nanti sang pemimpin politik menjadi pemimpin negara juga akan dilecehkan oleh lawan-lawan politiknya. Mahasiswa yang suka melecehkan pemimpin pun nanti ketika menjadi ketua BEM akan dilecehkan oleh sesama mahasiswa.
Melakukan pelecehan kepada pemimpin negara yang sedang menjabat, bukanlah perbuatan orang terhormat apalagi jika pemimpin negara itu produk dari sistem konstitusi yang sah, Kehormatan seorang pemimpin melekat pada dirinya, baik ketika ia sedang menjabat (karena terpilih),maupun ketika menjadi oposisi (karena tidak terpilih). Memang tidak semua pemimpin yang kita hormati adalah orang terhormat. Sebaliknya seorang pemimpin yang terhormat, ia tetap terhormat meskipun tidak dihormati.
Jika kita tengok sejarah pemimpin puncak negeri kita, hati menjadi masygul ketika melihat nasib semua Presiden kita setelah tidak menjabat. Ketika bencana tsunami melanda Aceh, Amerika yang sering dituduh sebagai masyarakat sekuler mengirim dua mantan Presidennya,Clinton dan Carter ke Aceh sebagai wakil resmi dari negara dan bangsa Amerika. Sungguh satu apresiasi yang sangat bermartabat dari bangsa Amerika kepada pemimpinnya, meski sudah tidak menjabat. Bangsa Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang beragama ternyata tidak bisa mengapresiasi pempimpin bangsanya secara bermartabat.
Lihat saja,Bung Karno diturunkan secara emosional oleh MPR, Pak Harto yang ketika naik dielu-elukan juga disikapi secara emosional oleh MPR yang mengangkatnya, hingga jatuh. Baik Bung Karno maupun Suharto,keduanya setelah tidak menjabat sebagai presiden tidak lagi menerima penghormatan. Mereka berdua ”dikurung” secara politik dan sosial hingga akhir hayatnya. Pak Habibi pun diturunkan secara emosional oleh MPR, dan setelah tidak menjabat,beliau membutuhkan beberapa tahun untuk ”bersembunyi” di Jerman. Hanya Presiden Gus Dur yang meski juga diturunkan secara emosional oleh MPR yang mengankatnya, ia tetap tidak berubah,baik ketika menjadi Presiden maupun setelah menjadi mantan, karena beliau selalu mensikapi dengan kalimat cuek; Gitu aja kok repot.
Ketika SBY terpilih menjadi presiden ke VI menggantikan bu Megawati, nampak sekali SBY ingin mengakhiri kebiasaan tidak menghormati mantan Presiden. Beliau menunggu ucapan selamat dari Bu Mega agar bangsa ini tercerahkan oleh sikap legowo pemimpin yang kalah dalam pemilihan, tapi Bu Mega tidak hadir, bahkan hingga hari ini beliau tak pernah berkenan menghadiri upacara 17 Agustus di istana. Pak Hamzah Haz, mantan wakil presidennya Bu Mega yang diingatkan oleh wartawan untuk mengucapkan selamat kepada Presiden terpilihpun lebih memilih solidaritas kepada bu Mega daripada memulai dengan sikap elegan. Pak Hamzah Haz malah menjawab, kan tidak ada aturannya yang kalah harus mengucapkan selamat kepada yang menang.
Ketika TV setiap hari menayangkan berita pelecehan kepada pemimpin,baik di daerah maupun di pusat,bahkan mahasiswa yang dalam demonya selalu mengusung issue kepentingan rakyat kecil juga melakukan tindak anarkis dan melecehkan pemimpin termasuk membakar foto Presiden dan Wakil Presiden (SBY-JK) pilihan rakyat langsung dan masih menjabat. Bagaimana jadinya nanti setelah tidak menjabat ? Keprihatinan ini kembali mengingatkan saya kepada Syekh Nazim, guru spiritual dari Siprus.
Malam hari setelah kunjungan ke Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau beristtirahat setelah mengikuti zikir khataman Khawajagan jamaah Tarikat Naqsyabandi Haqqani di Jl. Brawijaya, di depan kami-kami yang duduk disekelilingnya,beliau berkata; Pilar budaya masyarakat bermartabat itu ada tiga, menghormati orang tua, menghormati guru dan menghormati pemimpin. Jika yang satu dilecehkan, maka ketiganya akan terlecehkan. Ternyata kata-kata Syeh Nazim benar. Kini ketika semua pemimpin dilecehkan, gurupun sudah tidak bisa dipercaya untuk mengawasi Ujian Nasional murid-muridnya sehingga harus dikawal polisi. Betapa sedihnya kita semua, ketika nanti tiba giliran orang tuapun sudah tidak didengar nasehatnya oleh anak-anaknya, apalagi oleh cucunya.
Sungguh sangat menarik apa yang sedang berlangsung sekarang di Amerika, Hillary Clinton dan Barack Obama bersaing dengan amat sangat sengit, terkadang tak terhindar keluarnya kata-kata yang saling merendahkan. Tetapi begitu sampai finish bahwa Barack Obamalah yang menang sebagai kandidat,langsung Hillary berteriak mendukung Obama, menyatu untuk tujuan bersama yang lebih besar. Nah.... pemimpin2 kita....?, selama lima tahun masa kepresidenan , yang kalah tak pernah memberi dukungan kepada presiden terpilih demi untuk tujuan yang lebih besar yaitu tujuan nasional. Sepanjang lima tahun para pemimpin yang kalah tetap konsisten melecehkan yang menang, seperti persaingan abadi, dan tak mengingat tujuan bersama hidup berbangsa dan bernegara. Sungguh.... perlu segera ada gagasan terobosan untuk mengembalikan martabat bangsa ini dengan menempatkan orang tua, guru dan pemimpin pada tempat yang dijamin terhormat dan dihormati dalam sistem hidup berbangsa dan bernegara. (Penulis, Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA, Guru Besar Psikologi Islam, Wakil Ketua umum DPP Partai Demokrat).
Saya pernah mengantar seorang guru spiritual dari Siprus,yaitu Syeh Nazim `Adil al Qubrusy menemui Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan-bulan terakhir masa kepresidenannya. Banyak sekali joke yang disampaikan oleh Gus Dur, panggilan akrab Presiden- di depan tokoh spiritual itu. Sesekali Syekh Nazim memang terkekeh mendengar joke itu, tetapi nampak sekali sorot mata keprihatinan beliau dalam bercanda dengan Presiden Gus Dur itu.
Ketika keluar dari istana, rombongan kami berpapasan dengan demo mahasiswa dalam jumlah yang cukup besar. Dalam demo itu mahasiswa menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menuntut Gus Dur munduuuur untuk cukup menjadi gubernuuuur di Jawa Timuuuur. Yaahh mahasiswa melagukan kalimat itu dengan penuh cemooh. Seperti kita ketahui Jawa Timur memang basis dukungan fanatic kepada Presiden Gus Dur hingga Gus Fawaaid dari Pesantren Asembagus Situbondo ke Jakarta memimpin sendiri demo dukungan untuk Presiden Gus Dur. Syekh Nazim bertanya apa arti lagu-lagu yang diteriakkan oleh demontran mahasiswa. Tapi yang sangat beliau perhatikan adalah ketika demonstran mengerek patung kertas Presiden Gus Dur dan kemudian membakarnya. Secara spontan Syekh Nazim berkata dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Bangsa yang menurunkan pemimpinnya secara tidak terhormat dijamin pemimpin yang menggantikannya tidak akan lebih baik dibanding pemimpin yang diganti. Ketika itu kami mendengarkan tetapi sekedar mendengar tanpa sempat merenungkan kedalaman maknanya..
Belakangan ketika carut marut negeri tak kunjung berakhir barulah kata-kata guru spiritrual itu seperti terngiang-ngiang di telinga. Benar juga, kita semua sudah tahu kualitas pengganti Presiden Gus Dur. Bukan hanya itu, yang sangat memprihatinkan adalah pelecehan kepada pemimpin di semua tingkatan terus berlangsung hingga hari ini,bukan hanya dilakukan oleh demonstran mahasiswa, tetapi juga oleh orang-orang yang sesungguhnya sudah masuk dalam deretan pemimpin nasional. Mereka tidak sadar bahwa seorang pemimpin politik yang melecehkan pemimpin negara, pada gilirannya nanti sang pemimpin politik menjadi pemimpin negara juga akan dilecehkan oleh lawan-lawan politiknya. Mahasiswa yang suka melecehkan pemimpin pun nanti ketika menjadi ketua BEM akan dilecehkan oleh sesama mahasiswa.
Melakukan pelecehan kepada pemimpin negara yang sedang menjabat, bukanlah perbuatan orang terhormat apalagi jika pemimpin negara itu produk dari sistem konstitusi yang sah, Kehormatan seorang pemimpin melekat pada dirinya, baik ketika ia sedang menjabat (karena terpilih),maupun ketika menjadi oposisi (karena tidak terpilih). Memang tidak semua pemimpin yang kita hormati adalah orang terhormat. Sebaliknya seorang pemimpin yang terhormat, ia tetap terhormat meskipun tidak dihormati.
Jika kita tengok sejarah pemimpin puncak negeri kita, hati menjadi masygul ketika melihat nasib semua Presiden kita setelah tidak menjabat. Ketika bencana tsunami melanda Aceh, Amerika yang sering dituduh sebagai masyarakat sekuler mengirim dua mantan Presidennya,Clinton dan Carter ke Aceh sebagai wakil resmi dari negara dan bangsa Amerika. Sungguh satu apresiasi yang sangat bermartabat dari bangsa Amerika kepada pemimpinnya, meski sudah tidak menjabat. Bangsa Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang beragama ternyata tidak bisa mengapresiasi pempimpin bangsanya secara bermartabat.
Lihat saja,Bung Karno diturunkan secara emosional oleh MPR, Pak Harto yang ketika naik dielu-elukan juga disikapi secara emosional oleh MPR yang mengangkatnya, hingga jatuh. Baik Bung Karno maupun Suharto,keduanya setelah tidak menjabat sebagai presiden tidak lagi menerima penghormatan. Mereka berdua ”dikurung” secara politik dan sosial hingga akhir hayatnya. Pak Habibi pun diturunkan secara emosional oleh MPR, dan setelah tidak menjabat,beliau membutuhkan beberapa tahun untuk ”bersembunyi” di Jerman. Hanya Presiden Gus Dur yang meski juga diturunkan secara emosional oleh MPR yang mengankatnya, ia tetap tidak berubah,baik ketika menjadi Presiden maupun setelah menjadi mantan, karena beliau selalu mensikapi dengan kalimat cuek; Gitu aja kok repot.
Ketika SBY terpilih menjadi presiden ke VI menggantikan bu Megawati, nampak sekali SBY ingin mengakhiri kebiasaan tidak menghormati mantan Presiden. Beliau menunggu ucapan selamat dari Bu Mega agar bangsa ini tercerahkan oleh sikap legowo pemimpin yang kalah dalam pemilihan, tapi Bu Mega tidak hadir, bahkan hingga hari ini beliau tak pernah berkenan menghadiri upacara 17 Agustus di istana. Pak Hamzah Haz, mantan wakil presidennya Bu Mega yang diingatkan oleh wartawan untuk mengucapkan selamat kepada Presiden terpilihpun lebih memilih solidaritas kepada bu Mega daripada memulai dengan sikap elegan. Pak Hamzah Haz malah menjawab, kan tidak ada aturannya yang kalah harus mengucapkan selamat kepada yang menang.
Ketika TV setiap hari menayangkan berita pelecehan kepada pemimpin,baik di daerah maupun di pusat,bahkan mahasiswa yang dalam demonya selalu mengusung issue kepentingan rakyat kecil juga melakukan tindak anarkis dan melecehkan pemimpin termasuk membakar foto Presiden dan Wakil Presiden (SBY-JK) pilihan rakyat langsung dan masih menjabat. Bagaimana jadinya nanti setelah tidak menjabat ? Keprihatinan ini kembali mengingatkan saya kepada Syekh Nazim, guru spiritual dari Siprus.
Malam hari setelah kunjungan ke Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau beristtirahat setelah mengikuti zikir khataman Khawajagan jamaah Tarikat Naqsyabandi Haqqani di Jl. Brawijaya, di depan kami-kami yang duduk disekelilingnya,beliau berkata; Pilar budaya masyarakat bermartabat itu ada tiga, menghormati orang tua, menghormati guru dan menghormati pemimpin. Jika yang satu dilecehkan, maka ketiganya akan terlecehkan. Ternyata kata-kata Syeh Nazim benar. Kini ketika semua pemimpin dilecehkan, gurupun sudah tidak bisa dipercaya untuk mengawasi Ujian Nasional murid-muridnya sehingga harus dikawal polisi. Betapa sedihnya kita semua, ketika nanti tiba giliran orang tuapun sudah tidak didengar nasehatnya oleh anak-anaknya, apalagi oleh cucunya.
Sungguh sangat menarik apa yang sedang berlangsung sekarang di Amerika, Hillary Clinton dan Barack Obama bersaing dengan amat sangat sengit, terkadang tak terhindar keluarnya kata-kata yang saling merendahkan. Tetapi begitu sampai finish bahwa Barack Obamalah yang menang sebagai kandidat,langsung Hillary berteriak mendukung Obama, menyatu untuk tujuan bersama yang lebih besar. Nah.... pemimpin2 kita....?, selama lima tahun masa kepresidenan , yang kalah tak pernah memberi dukungan kepada presiden terpilih demi untuk tujuan yang lebih besar yaitu tujuan nasional. Sepanjang lima tahun para pemimpin yang kalah tetap konsisten melecehkan yang menang, seperti persaingan abadi, dan tak mengingat tujuan bersama hidup berbangsa dan bernegara. Sungguh.... perlu segera ada gagasan terobosan untuk mengembalikan martabat bangsa ini dengan menempatkan orang tua, guru dan pemimpin pada tempat yang dijamin terhormat dan dihormati dalam sistem hidup berbangsa dan bernegara. (Penulis, Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA, Guru Besar Psikologi Islam, Wakil Ketua umum DPP Partai Demokrat).
ah professor, gitu aja di urusin,yang di komentari ga santun memang gak baik dan yang di puji baik (Barak) bagi saya tidak lebih baik dari prof sendiri, kalau saja prof tidak terpesona kepadanya.
ah professor, gitu aja di urusin,yang di komentari ga santun memang gak baik dan yang di puji baik (Barak) bagi saya tidak lebih baik dari prof sendiri, kalau saja prof tidak terpesona kepadanya.
ah professor, gitu aja di urusin,yang di komentari ga santun memang gak baik dan yang di puji baik (Barak) bagi saya tidak lebih baik dari prof sendiri, kalau saja prof tidak terpesona kepadanya.
asl,prof.
apa tulisan bapak tentang pemimpin ini dikeluarkan karena anda memang wakil ketua partai pengusung presiden SBY?
nampaknya budaya politik
( khususnya tentang kepemimpinan kita )memang seperti itu deh, sejak nenek moyang dulu.coba tengok suksesi sejarah raja raja di jawa. Saran saya prof, anda itu kan profesor psycologi islam, kenapa gak mencoba menggali nilai - nilai/ akhlaq islam yang berhubungan dengan kepemimpinan.terus anda coba terapkan dan ajarkan pada mahasiswa2, kader2 dan siapa aja yang berminat pada memperbaiki akhlaq dan moral bangsa kita ini.
matur nuwun, prof.
Post a Comment
Home