Wednesday, August 20, 2008
Menegakkan Kembali Moralitas Bangsa
Pada persimpangan jalan perkembangan bangsa dan negara dewasa ini, diperlukan adanya peneguhan kembali komitmen nasional, melalui wacana komunikasi yang efektif dari para pemimpin bangsa. Komitmen nasional itu ialah pembentukan negara kebangsan modern berbentuk republik, yaitu faham kenegaraan yang didirikan demi maslahat umum, kesejahteraan seluruh warga tanpa kecuali, bukan kejayaan pribadi para penguasa dan pejabat seperti dalam sistem kerajaan.
Pembentukan negara kebangsaan ini digagas oleh para pendiri bangsa ini sejak lebih setengah abad yang lalu. Tetapi, sesuai dengan kearifan umum yang telah kita ketahui bersama, tidak ada barang gratis di muka bumi ini, sebagai¬mana juga tidak ada perolehan tanpa jerih payah dan pengorbanan. Gagasan cemerlang negara kebangsaan ini tidak otomatis mewujud meski telah dicanangkan dalam Proklamasi 45, karena usaha mewujudkannya terbukti amatlah sulit, karena terbentur kepada tiadanya prasarana sosial dan budaya yang diperlukan. Rentetan panjang trial and error dalam sejarah Republik ini tidak bisa dihindari.
Error atau kekhilafan yang tak disengaja dalam sejarah kebangsaan seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998 akan menjadi pelajaran pahit dan ber¬hikmah jika dijadikan pelajaran untuk tidak diulang. Akan tetapi jika suatu kekhilafan gagal menjadi pelajaran, dan sebaliknya justeru dibiarkan terus ber¬lanjut, atau apalagi yang disengaja karena “mengun¬tungkan”, bukan saja merupakan kekhilafan tak berhikmah, bahkan dapat berkembang menjadi kekhilafan yang membawa fitnah dan bencana. Kekhilafan yang disengaja berubah menjadi kejahatan sejarah.
Kepada sementara kalangan yang berfikir dapat memperoleh sesuatu tanpa ongkos, dapat cepat kaya tanpa modal usaha, harus diingatkana bahwa perbuatan itu merupakan suatu sosok egoisme yang telanjang, suatu sikap hidup anti sosial, yang akan memaksa orang lain menjadi korban dan me¬nimbulkan kerugian masyarakat luas. Fikiran tentang perolehan tanpa jerih payah sudah pasti akan menjerumuskan kita pada fikiran tak bermoral, yakni fikiran “jalan pintas”, fikiran tentang “bagai¬mana enaknya” untuk diri sendiri, bukan “bagaimana baiknya” untuk kesejahtera¬an orang banyak secara adil dan merata. Kejayaan suatu bangsa itu ditentukan oleh mora¬litasnya. Jika suatu bangsa runtuh moralnya, maka bangsa itu akan mengalami keruntuhan (innama uma¬mu al akhlaqu ma baqiyat, fa in dzahabat akhlaquhum dzahabu). Ini adalah sunnatullah yang tak bisa ditawar, berlaku terhadap segala bangsa tanpa memandang agamanya. Sebagai bangsa yang beragama, apalagi dalam teks-teks sumpah jabatan disebut juga kalimat bertakwa, maka moral bangsa harus ditegakkan oleh kita sendiri, karena makna takwa juga mencakup aksi moral yang integral, satunya kata dengan perbuatan, konsistensi perbuatan dengan komitmen.
Jangan berfikir bahwa kemajuan Barat itu tanpa komitmen moral. Thomas Jeferson pernah berkata; “Tinggalkan uang, tinggalkan keterkenalan, tinggalkan ilmu pengetahuan, dan tinggalkan bumi itu sendiri beserta segenap muatannya; …..itu lebih baik daripada kita me¬lakukan tindakan tak bermoral.” Jangan sempat terlintas dalam fikiran bahwa kita boleh sesekali melakukan sesuatu yang tidak terhormat, betapapun kecilnya hal itu di mata kita.
Kapan saja kita melakukan sesuatu, meski tak ada yang melihat, tetapi cobalah mem¬bayangkan, bagaimana seandainya seluruh mata di dunia menga¬rahkan pandangannya kepada kita, memperhatikan apa yang kita kerjakan. Jika kita melakukan ke¬curangan dalam kehidupan umum kenegaraan, coba bayangkan kerugian yang harus ditanggung oleh orang banyak, coba bayangkan seandai¬nya seluruh mata rakyat mengarahkan pandangannya kepada kita. Coba renungkan penilaian lembaga international yang telah menempatkan negeri kita pada rating negara-negara paling rendah, paling buruk, paling messy, paling tidak menarik dan seterusnya. Masih sanggupkah kita menegakkan kepala sebagai bangsa yang besar dan mayoritas terbesar ?
Di atas segalanya, sebagai bangsa yang beragama, yang negaranya berdasar Ketuhanan Yang maha Esa, kita mengenal term kafir dan fasiq. Kecurangan adalah suatu bentuk kefasikan. Orang fasiq adalah orang yang tingkahlakunya tidak mempedulikan nilai etika dan moral, karena telah terkalahkan oleh keserakahan dan hawa nafsu.
Pembentukan negara kebangsaan ini digagas oleh para pendiri bangsa ini sejak lebih setengah abad yang lalu. Tetapi, sesuai dengan kearifan umum yang telah kita ketahui bersama, tidak ada barang gratis di muka bumi ini, sebagai¬mana juga tidak ada perolehan tanpa jerih payah dan pengorbanan. Gagasan cemerlang negara kebangsaan ini tidak otomatis mewujud meski telah dicanangkan dalam Proklamasi 45, karena usaha mewujudkannya terbukti amatlah sulit, karena terbentur kepada tiadanya prasarana sosial dan budaya yang diperlukan. Rentetan panjang trial and error dalam sejarah Republik ini tidak bisa dihindari.
Error atau kekhilafan yang tak disengaja dalam sejarah kebangsaan seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998 akan menjadi pelajaran pahit dan ber¬hikmah jika dijadikan pelajaran untuk tidak diulang. Akan tetapi jika suatu kekhilafan gagal menjadi pelajaran, dan sebaliknya justeru dibiarkan terus ber¬lanjut, atau apalagi yang disengaja karena “mengun¬tungkan”, bukan saja merupakan kekhilafan tak berhikmah, bahkan dapat berkembang menjadi kekhilafan yang membawa fitnah dan bencana. Kekhilafan yang disengaja berubah menjadi kejahatan sejarah.
Kepada sementara kalangan yang berfikir dapat memperoleh sesuatu tanpa ongkos, dapat cepat kaya tanpa modal usaha, harus diingatkana bahwa perbuatan itu merupakan suatu sosok egoisme yang telanjang, suatu sikap hidup anti sosial, yang akan memaksa orang lain menjadi korban dan me¬nimbulkan kerugian masyarakat luas. Fikiran tentang perolehan tanpa jerih payah sudah pasti akan menjerumuskan kita pada fikiran tak bermoral, yakni fikiran “jalan pintas”, fikiran tentang “bagai¬mana enaknya” untuk diri sendiri, bukan “bagaimana baiknya” untuk kesejahtera¬an orang banyak secara adil dan merata. Kejayaan suatu bangsa itu ditentukan oleh mora¬litasnya. Jika suatu bangsa runtuh moralnya, maka bangsa itu akan mengalami keruntuhan (innama uma¬mu al akhlaqu ma baqiyat, fa in dzahabat akhlaquhum dzahabu). Ini adalah sunnatullah yang tak bisa ditawar, berlaku terhadap segala bangsa tanpa memandang agamanya. Sebagai bangsa yang beragama, apalagi dalam teks-teks sumpah jabatan disebut juga kalimat bertakwa, maka moral bangsa harus ditegakkan oleh kita sendiri, karena makna takwa juga mencakup aksi moral yang integral, satunya kata dengan perbuatan, konsistensi perbuatan dengan komitmen.
Jangan berfikir bahwa kemajuan Barat itu tanpa komitmen moral. Thomas Jeferson pernah berkata; “Tinggalkan uang, tinggalkan keterkenalan, tinggalkan ilmu pengetahuan, dan tinggalkan bumi itu sendiri beserta segenap muatannya; …..itu lebih baik daripada kita me¬lakukan tindakan tak bermoral.” Jangan sempat terlintas dalam fikiran bahwa kita boleh sesekali melakukan sesuatu yang tidak terhormat, betapapun kecilnya hal itu di mata kita.
Kapan saja kita melakukan sesuatu, meski tak ada yang melihat, tetapi cobalah mem¬bayangkan, bagaimana seandainya seluruh mata di dunia menga¬rahkan pandangannya kepada kita, memperhatikan apa yang kita kerjakan. Jika kita melakukan ke¬curangan dalam kehidupan umum kenegaraan, coba bayangkan kerugian yang harus ditanggung oleh orang banyak, coba bayangkan seandai¬nya seluruh mata rakyat mengarahkan pandangannya kepada kita. Coba renungkan penilaian lembaga international yang telah menempatkan negeri kita pada rating negara-negara paling rendah, paling buruk, paling messy, paling tidak menarik dan seterusnya. Masih sanggupkah kita menegakkan kepala sebagai bangsa yang besar dan mayoritas terbesar ?
Di atas segalanya, sebagai bangsa yang beragama, yang negaranya berdasar Ketuhanan Yang maha Esa, kita mengenal term kafir dan fasiq. Kecurangan adalah suatu bentuk kefasikan. Orang fasiq adalah orang yang tingkahlakunya tidak mempedulikan nilai etika dan moral, karena telah terkalahkan oleh keserakahan dan hawa nafsu.
Post a Comment
Home