Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, August 10, 2008

MISTERI KEADILAN TUHAN
at 9:06 PM 
Bahwa Tuhan Maha Adil, secara akademik tak seorangpun yang menolak, tetapi bahwa banyak individu-individu yang secara diam-diam mempertanyakan keadilan Tuhan juga tak bisa dibantah. Pembicaraan tentang keadilan Tuhan bukanlah hal baru. Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik buruk. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada kemiskinan, ada penyakit, atau pertanyaan mengapa si A yang baik dan pintar nasibnya buruk sedang si B yang jahat dan bodoh selalu sukses usahanya ?

Sesungguhnyalah bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas menjadi sangat musykil jika jawabannya dimaksud untuk memuaskan semua nalar, tetapi jika ingin mencari hikmah dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, maka boleh jadi suatu peristiwa yang semula dinilai negatip, lama-kelamaan akan berubah menjadi positip setelah kita bisa mendudukkan peristiwa itu dalam konteks yang lebih panjang. Suatu golongan meratap-ratap ketika ketuanya yang terpilih menjadi presiden dijatuhkan oleh lawan di tengah masa jabatannya. Segala macam usaha, bahkan doa-doa andalan istighasah pun sudah dipanjatkan untuk mempertahankan kedudukan sang presiden. Kecewa, sedih, marah dan dendam bercampur aduk dalam hati kelompok itu mengiringi jatuhnya sang presiden. Tetapi setelah setahun berlalu, setelah berbagai peristiwa terjadi, nampak bahwa dibalik hal yang mengecewakan itu terdapat hikmah yang luar biasa besarnya.

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang di-namakan kebaikan atau keburukan dalam perspektip diatas sebenarnya tidak ada, atau paling tidak adanya itu hanya dalam nalar manusia yang memandang secara parsial, karena segala hal yang datang dari Tuhan itu pastilah kebaikan., karena sebagaimana disebutkan al Qur’an, Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (Q/32:7). Keburukan itu ada hanya karena keterbatasan pandangan manusia saja. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia yang terbatas itulah yang mengiranya buruk. Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justeru hal itu me-rupakan unsur keindahan. Tahi lalat jika dilihat secara mikro, yakni tahi lalat itu sendiri maka pasti ia nampak buruk, tetapi jika dilihat dalam kerangka wajah pemiliknya, maka tahi lalat itu justeru bisa menjadi faktor utama kecantikan wajah pemiliknya. Sama halnya ketika kita melihat orang yang kakinya di-potong, terasa ada kekejaman di dalamnya, tetapi jika kita tahu bahwa yang mengampputasi itu dokter sebagai upaya penyelamatan hidup orang itu, maka kita bisa berkata, untung ada dokter yang sempat mengamputasinya, dan di dalamnya ada nuansa terima kasih kepada yang memotong kaki. Oleh karena itu kita tidak boleh memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, atau, sekurang-kurangnya ketika kita belum bisa memahami hal itu, kita harus meyakini bahwa dibalik itu ada hikmah tersembunyi.

Perhatikan bagaimana al Qur’an membimbing kita melihat masalah, seperti yang tersebut dalam surat al Baqarah ayat 216; …..Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui (Q/2:216).
Renungkan pula bagaimana proses yang mengantar manusia (dan makhluk lain) pada kebahagiaan, ternyata di sana ada pihak yang harus menjadi korban. Pesta perkawinan yang sangat membahagiakan ternyata harus didukung oleh pengorbanan banyak hewan yang harus disembelih. Kemerdekaan suatu bangsa juga harus didukung oleh pengorbanan sebagian dari warganya, yakni dengan gugurnya para pahlawan di medan perang. Disadari atau tidak, sebenarnya setiap pribadi harus bersedia berkorban demi kebahagiaan bersama, dan untuk itu harus ada diantara mereka yang bersedia menjadi korban demi kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengor-banan itu merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.

Korban (yang mengalami “keburukan”) harus ada demi mewujudnya kebaikan dan keindahan. Suatu bahaya yang mencekam ternyata melahirkan keindahan berupa munculnya orang-orang pemberani yang berhasil mengusir bahaya itu. Pengalaman menderita sakit parah ternyata bisa mendatangkan rasa keindahan, yakni ketika merasakan betapa nikmatnya kesehatan. Kesabaran dipuji orang, tetapi apa artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapa yang harus mengalami semuanya itu jika bukan makhluk?. Jika penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka hal itu sudah setimpal dengan ulahnya, sedangkan jika seseorang tidak bersalah tetapi menjadi korban, maka pengorbanan manusia akan dibalas oleh Allah dengan ketinggian derajat di akhirat (Q/2:155-157) .

Menurut al Qur’an, Allah memberikan potensi kepada manusia untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya. Dalam surat at Taghabun disebutkan : ….”Tidak satupun petaka yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q/64:11).

Dapat disimpulkan bahwa untuk memahami tujuan keberadaan dirinya, manusia harus bekerjasama memikul bencana. Tanpa memahami kerjasama itu maka manusia tidak akan mampu memahami makna kehadirannya sebagai manusia.

Tuhan Maha Sempurna, sementara nalar manusia tidak sempurna. Keadilan Tuhan adakalanya dapat difahami oleh nalar manusia dan seringkali tidak. Kita pernah diributkan oleh lirik lagu yang mengatakan bahwa takdir itu kejam, padahal takdir Tuhan pastilah adil. Persoalan keadilan Tuhan dalam sunnatullah memang bukan problem nalar, tetapi problem rasa, sebagai akibat dari keinginana manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk dirinya, keluarganya atau kelompoknya saja hingga melupakan yang lain. Jika problemnya demikian maka yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Disinilah agama dan keyakinan berperan besar. Wallohu a‘lam bissawab.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger