Thursday, July 31, 2008
Daulah Islamiyyah & Daulah al-Muslimin
Problem cita-cita kebangsaan sebenarnya merupakan tuntutan yang melekat dalam perjalanan sejarah, termasuk sejarah kebangsaan Indonesia. Tiap-tiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri-sendiri dengan karakteristiknya yang berbeda-beda. Oleh karena itu betapapun ada badan dunia seperti PBB atau badan regional seperti Asean, Uni Eropa, atau badan “ideologis” seperti Organisasi Konperensi Islam (OKI), tetap saja setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya. Idealisme daulah Islamiyyah misalnya, selalu terkalahkan oleh kepentingan nasional tiap-tiap negeri Islam dengan berbagai problemanya. Di Indonesia misalnya, ada aspirasi yang ingin tegas-tegas menyebut negara Islam dengan alasan mayoritas penduduknya muslim, tetapi aspirasi lain yang juga datang dari kelompok besar muslim,yakni NU menyatakan bahwa Republik Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk maksimal dari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Jika kita menengok realita dunia Islam dewasa ini, maka negeri-negeri dimana kaum muslimin tinggal, seluruhnya adalah negeri nasional, ada yang berbentuk Republik, kerajaan, atau kerajaan konstitusional. Hanya Iran yang secara tegas menyebut Republik Islam Iran. Arab Saudi bahkan lebih kental lagi menyebut identitas keluarga dalam nama Kerajaan Saudi Arabia, kerajaan¬nya keluarga Ibn Saud.
Al Qur’an dan hadis memang tidak menentukan secara definitif bentuk negara seperti apa bagi kaum muslimin. Yang disebut adalah peran kekhalifahan yang harus juga dipikul oleh negara. Dengan kata lain, Al Qur’an memberi kebebasan kepada ummat Islam untuk berekpressi dalam politik, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, sepanjang berada dalam koridor yang bisa diterima oleh nilai-nilai Islam. Dari itu maka sangat menarik pola perubahan ekpressi politik kaum muslimin sepanjang sejarahnya.
Ketika Rasul wafat, kaum muslimin mengalami kebingungan dahsyat dalam mencari bentuk Pemerintahan. Setelah mengalami perdebatan yang nyaris terjadi konflik etnik, ditemukan solusinya, yaitu Abu Bakar Siddik secara aklamasi dipilih sebagai pengganti Rasul, khalifatur Rasul dan Amirul mu’minin (Panglimanya orang mukmin). Berikutnya, Umar bin Khottob menerima suksesi sebagai pengganti dari pengganti Rasul,disebut Khalifatu khalifatir Rasul melalui dekrit atau wasiat dari Abu Bakar. Berikutnya, Usman bin Affan menerima suksesi sebagai khalifah ke III melalui permusyawaratan perwakilan, yakni oleh enam orang tokoh besar yang ditunjuk oleh Umar bin Khottob sebelum wafatnya. Berikutnya, Ali bin Abi Thalib menduduki kursi khalifah ke IV melalui ba’iat penduduk yang kurang kompak, karena situasi konflik sedang melanda masyarakat muslim ketika itu.
Setelah periode empat khalifah yang disebut Khulafa Rasyidin, ekpressi politik kaum muslimin berubah polanya, yakni kuatnya pengaruh budaya melebihi komitmennya kepada ajaran Islam. Sejak itu maka bentuk Pemerintahan kaum muslimin berubah menjadi dinasti, meski Sang Raja tetap diberi gelar sebagai Amirul mukminin, dimulai dari dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus dengan pengaruh budaya Rumawi, berusia hampir satu abad, kemudian dinasti Abbasiah yang berpusat di Baghdad dengan pengaruh budaya Persia, berusia hampir lima abad, tetapi yang efektip sekitar satu abad. Selama dua abad pertama, meski dalam bentuk dinasti, tetapi pemerintahan itu efektif berjalan, memayungi seluruh dunia Islam yang wilayahnya sangat luas. Terlepas dari kekurangannya, periode itu dikenal sebagai berlang¬sungnya daulah Islamiyyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya, muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektip berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa daulah Islamiyyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektip memimpin daulah Islamiyyah. Runtuhnya Turki Usmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri Islam nasional atau daulatul muslimin. Dalam daulah Islamiyyah, kaum muslimin hanya mengenal identitas keislaman, sedangkan dalam daulatul muslimin, kaum muslimin disamping mengenalkan identitas keislaman, juga identitas kebangsaan. Kini pada era modern, negeri-negeri Islam memiliki berbagai model dalam menampilkan identitas keislamannya dalam negara kebangsaannya. Saudi Arabia berbentuk dinasti kerajaan yang menempatkan diri sebagai pelayan dua tempat suci kaum muslimin, Khadimul haramain.
Malaysia berbentuk kerajaan konstitusional yang menempatkan Islam sebagai agama negara, Pakistan, satu-satunya bangsa yang lahir karena identitas Islam (padahal mereka bangsa India) pernah membentuk Republik Islam Pakistan, tetapi identitas ke Islamannya kurang konsepsional, berbeda dengan Republik Islam Iran yang tegas dibangun berdasar konsep imamah wilayat al faqih dari faham Syi’ah Itsna ‘asyariah. Sudan dan Nigeria sedang dalam proses memunculkan jati diri ke Islaman dan kebangsaanya, dan negeri-negeri lain ada yang bahkan lebih nampak corak sekulernya.
Republik Indonesia merupakan wujud daulatul muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum muslimin Indonesia. Secara konsepsional, UUD 45 merupakan kompromi antara aspirasi Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum muslimin menjalankan syari’ah Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis yang notabene juga banyak memeluk Islam yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. Kompromi itu tertuang dalam bunyi dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dari itu maka, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan UU apa lagi yang dibutuhkan. Sebenarnyalah bahwa bentuk negara Pancasila sebagai daulatul muslimin cukup akomodatip untuk menampung identitas ke Islaman, sepanjang para aspirannya mampu mengegolkannya secara konstitusional. Sementara gerakan politis yang mengumandangkan semangat Piagam Jakarta mungkin justeru kontraproduktip karena memundurkan bangsa pada suasana pra kompromi. Wallohu a‘lam.
Jika kita menengok realita dunia Islam dewasa ini, maka negeri-negeri dimana kaum muslimin tinggal, seluruhnya adalah negeri nasional, ada yang berbentuk Republik, kerajaan, atau kerajaan konstitusional. Hanya Iran yang secara tegas menyebut Republik Islam Iran. Arab Saudi bahkan lebih kental lagi menyebut identitas keluarga dalam nama Kerajaan Saudi Arabia, kerajaan¬nya keluarga Ibn Saud.
Al Qur’an dan hadis memang tidak menentukan secara definitif bentuk negara seperti apa bagi kaum muslimin. Yang disebut adalah peran kekhalifahan yang harus juga dipikul oleh negara. Dengan kata lain, Al Qur’an memberi kebebasan kepada ummat Islam untuk berekpressi dalam politik, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, sepanjang berada dalam koridor yang bisa diterima oleh nilai-nilai Islam. Dari itu maka sangat menarik pola perubahan ekpressi politik kaum muslimin sepanjang sejarahnya.
Ketika Rasul wafat, kaum muslimin mengalami kebingungan dahsyat dalam mencari bentuk Pemerintahan. Setelah mengalami perdebatan yang nyaris terjadi konflik etnik, ditemukan solusinya, yaitu Abu Bakar Siddik secara aklamasi dipilih sebagai pengganti Rasul, khalifatur Rasul dan Amirul mu’minin (Panglimanya orang mukmin). Berikutnya, Umar bin Khottob menerima suksesi sebagai pengganti dari pengganti Rasul,disebut Khalifatu khalifatir Rasul melalui dekrit atau wasiat dari Abu Bakar. Berikutnya, Usman bin Affan menerima suksesi sebagai khalifah ke III melalui permusyawaratan perwakilan, yakni oleh enam orang tokoh besar yang ditunjuk oleh Umar bin Khottob sebelum wafatnya. Berikutnya, Ali bin Abi Thalib menduduki kursi khalifah ke IV melalui ba’iat penduduk yang kurang kompak, karena situasi konflik sedang melanda masyarakat muslim ketika itu.
Setelah periode empat khalifah yang disebut Khulafa Rasyidin, ekpressi politik kaum muslimin berubah polanya, yakni kuatnya pengaruh budaya melebihi komitmennya kepada ajaran Islam. Sejak itu maka bentuk Pemerintahan kaum muslimin berubah menjadi dinasti, meski Sang Raja tetap diberi gelar sebagai Amirul mukminin, dimulai dari dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus dengan pengaruh budaya Rumawi, berusia hampir satu abad, kemudian dinasti Abbasiah yang berpusat di Baghdad dengan pengaruh budaya Persia, berusia hampir lima abad, tetapi yang efektip sekitar satu abad. Selama dua abad pertama, meski dalam bentuk dinasti, tetapi pemerintahan itu efektif berjalan, memayungi seluruh dunia Islam yang wilayahnya sangat luas. Terlepas dari kekurangannya, periode itu dikenal sebagai berlang¬sungnya daulah Islamiyyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya, muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektip berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa daulah Islamiyyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektip memimpin daulah Islamiyyah. Runtuhnya Turki Usmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri Islam nasional atau daulatul muslimin. Dalam daulah Islamiyyah, kaum muslimin hanya mengenal identitas keislaman, sedangkan dalam daulatul muslimin, kaum muslimin disamping mengenalkan identitas keislaman, juga identitas kebangsaan. Kini pada era modern, negeri-negeri Islam memiliki berbagai model dalam menampilkan identitas keislamannya dalam negara kebangsaannya. Saudi Arabia berbentuk dinasti kerajaan yang menempatkan diri sebagai pelayan dua tempat suci kaum muslimin, Khadimul haramain.
Malaysia berbentuk kerajaan konstitusional yang menempatkan Islam sebagai agama negara, Pakistan, satu-satunya bangsa yang lahir karena identitas Islam (padahal mereka bangsa India) pernah membentuk Republik Islam Pakistan, tetapi identitas ke Islamannya kurang konsepsional, berbeda dengan Republik Islam Iran yang tegas dibangun berdasar konsep imamah wilayat al faqih dari faham Syi’ah Itsna ‘asyariah. Sudan dan Nigeria sedang dalam proses memunculkan jati diri ke Islaman dan kebangsaanya, dan negeri-negeri lain ada yang bahkan lebih nampak corak sekulernya.
Republik Indonesia merupakan wujud daulatul muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum muslimin Indonesia. Secara konsepsional, UUD 45 merupakan kompromi antara aspirasi Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum muslimin menjalankan syari’ah Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis yang notabene juga banyak memeluk Islam yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. Kompromi itu tertuang dalam bunyi dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dari itu maka, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan UU apa lagi yang dibutuhkan. Sebenarnyalah bahwa bentuk negara Pancasila sebagai daulatul muslimin cukup akomodatip untuk menampung identitas ke Islaman, sepanjang para aspirannya mampu mengegolkannya secara konstitusional. Sementara gerakan politis yang mengumandangkan semangat Piagam Jakarta mungkin justeru kontraproduktip karena memundurkan bangsa pada suasana pra kompromi. Wallohu a‘lam.
Assalamualikum
Prof rahimakallah, koment ana ada pada link berikut:
http://alghaits.wordpress.com/2008/08/06/bentuk-daulah-dalam-kacamata-ahlu-sunnah/
Jazakallah khair
Wassalam
Post a Comment
Home