Tuesday, January 19, 2010
Hadis Psikologi
Sumber utama Psikologi Islam adalah al Qur’an, kemudian hadis dan tradisi keilmuan Islam. Psikologi Barat yang sudah kaya dengan berbagai penilitian berfungsi sebagai alat bantu dalam memahami teks al Qur’an. Lebih dari 300 kali kata nafs yang artinya jiwa dalam berbagai bentuk disebut dalam al Qur’an (dan hadis), tetapi ilmu seperti Psikologi tidak lahir dari peradaban Islam. Psikologi lahir dari kultur sekuler, dimana ketika itu ilmuwan bermusuhan dengan agama (Gereja), oleh karena itu Psikologi (dan juga ilmu yang lain) tidak mengenal Tuhan, dosa, akhirat dan sebangsanya, bahkan tidak mengenal baik buruk. Sementara itu ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justeru di motivasi oleh al Qur’an hadis, dan dikawal oleh para ulama, oleh karena itu jiwa dibahas oleh para ulama dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu ilmu yang lahir dari kajian jiwa adalah ilmu akhlak dan ilmu tasauf. Ilmu Akhlak berbicara tentang nilai baik buruk dan bagaimana membentuk perilaku yang baik, sedangkan ilmu tasauf berbicara tentang bagaimana jiwa manusia bisa merasa dekat dengan Tuhan.
Ada sebuah hadis yang cukup popular, sesunguhnya ia merupakan hadis psikologi, tetapi jarang sekali yang memahaminya. Hadis itu berbunyhi, “addunya sijnul mu’minin wa jannatul kafirin”, artinya dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan sorga bagi orang kafir. Dalam pemahaman non psikologi, hadis ini menilai dunia sebagai hal yang negatip bagi orang mukmin, dan sebagai hal yang positip bagi orang kafir. Hadis ini dulu pada zaman penjajahan Belanda bahkan digunakan oleh Vanderplass untuk mempengaruhi ulama agar mereka tidak usah memikirkan urusan dunia, karena dunia adalah domain orang klafir, termasuk tidak usah memikirkan kehidupan bernegara.
Sesungguhnya hadis ini adalah hadis psikologi. Dunia sebagai penjara bagi orang mukmin maknanya, seorang mukmin ketika hidup di dunia hendaknya psikologinya seperti orang yang berada dalam penjara. Penghuni penjara tidak ada yang berfikir untuk berlama-lama di dalamnya. Ia selalu memikirkan apa yang akan dikerjakan nanti setelah keluar dari penjara. Kerinduan penghuni penjara adalah terbebas dari penjara untuk selanjutnya menikmati kebebasan diluar penjara. Nah begitulah psikologi seorang mukmin semasa hidupnya. Ia tidak berfikir untuk menumpuk kekayaan duniawi. Yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana melakukan sesuatu yang bermakna agar kelak nanti setelah meninggal memperoleh kebahagiaan surgawi. Ia mau berlapar-lapar puasa demi untuk nanti. Ia mau bersusah payah bekerja atau menolong orang demi ridla Tuhan yang akan dinikmati nanti di akhirat. Bagi orang mukmin, kematian disongsong dengan riang gembira seperti riang gembiranya orang yang keluar dari penjara.
Adapun orang kafir, ia memandang dunia sudah final, dunia adalah surge, oleh karena itu yang dilakukan adalah sepuas-puasnya menikmati kehidupan dunia. Semua yang membawa kesenangan dan kenikmatan dalam hidup ia kejar dan ia hirup. Baginya akhirat itu tidak ada, oleh karena itu ketika sadar mau mati ia bingung dan takut seperti takut menghadapi kegelapan. Ia tidak tahu apa yang ada disana, dibalik kematian, dan ia tidak siap menghadapi kegelapan. Ia takut kehilangan kesenangan hidup di dunia, dan ia takut menghadapi ketidakpastian.
Ada sebuah hadis yang cukup popular, sesunguhnya ia merupakan hadis psikologi, tetapi jarang sekali yang memahaminya. Hadis itu berbunyhi, “addunya sijnul mu’minin wa jannatul kafirin”, artinya dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan sorga bagi orang kafir. Dalam pemahaman non psikologi, hadis ini menilai dunia sebagai hal yang negatip bagi orang mukmin, dan sebagai hal yang positip bagi orang kafir. Hadis ini dulu pada zaman penjajahan Belanda bahkan digunakan oleh Vanderplass untuk mempengaruhi ulama agar mereka tidak usah memikirkan urusan dunia, karena dunia adalah domain orang klafir, termasuk tidak usah memikirkan kehidupan bernegara.
Sesungguhnya hadis ini adalah hadis psikologi. Dunia sebagai penjara bagi orang mukmin maknanya, seorang mukmin ketika hidup di dunia hendaknya psikologinya seperti orang yang berada dalam penjara. Penghuni penjara tidak ada yang berfikir untuk berlama-lama di dalamnya. Ia selalu memikirkan apa yang akan dikerjakan nanti setelah keluar dari penjara. Kerinduan penghuni penjara adalah terbebas dari penjara untuk selanjutnya menikmati kebebasan diluar penjara. Nah begitulah psikologi seorang mukmin semasa hidupnya. Ia tidak berfikir untuk menumpuk kekayaan duniawi. Yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana melakukan sesuatu yang bermakna agar kelak nanti setelah meninggal memperoleh kebahagiaan surgawi. Ia mau berlapar-lapar puasa demi untuk nanti. Ia mau bersusah payah bekerja atau menolong orang demi ridla Tuhan yang akan dinikmati nanti di akhirat. Bagi orang mukmin, kematian disongsong dengan riang gembira seperti riang gembiranya orang yang keluar dari penjara.
Adapun orang kafir, ia memandang dunia sudah final, dunia adalah surge, oleh karena itu yang dilakukan adalah sepuas-puasnya menikmati kehidupan dunia. Semua yang membawa kesenangan dan kenikmatan dalam hidup ia kejar dan ia hirup. Baginya akhirat itu tidak ada, oleh karena itu ketika sadar mau mati ia bingung dan takut seperti takut menghadapi kegelapan. Ia tidak tahu apa yang ada disana, dibalik kematian, dan ia tidak siap menghadapi kegelapan. Ia takut kehilangan kesenangan hidup di dunia, dan ia takut menghadapi ketidakpastian.
Post a Comment
Home