Saturday, March 20, 2010
Memahami Jiwa
Al Qur'an maupun Hadis banyak sekali menyebut manusia, menyangkut status, hak dan kewajiban, sifat serta kecenderungannya. Dalam al Qur'an manusia disebut dengan nama (1) insan, ins, nas atau unas, (2) basyar, dan (3) bani Adam atau zurriyat Adam. Menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia lain sebagai satu keseluruhan sehingga Nabipun seperti yang tersebut dalam (Q/18:110) disebut sebagai basyar seperti manusia yang lain, hanya saja kepada Nabi diberi wahyu yang membuatnya berbeda dengan basyar yang lain .Sedangkan nama insan yang berasal dari kata uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata nasiya yang artinya lupa, atau dari kata anasa yanusu yang artinya berguncang menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya.Manusia dalam pengertian sebagai insan inilah yang memiliki problem-problem kejiwaan, karena kapasitas dan kualitas jiwa tiap orang berbeda-beda. Perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lainnya bisa merupakan perbedaan fisik, bisa juga perbedaan mental dan kecerdasan.
Dalam konteks terapan (konseling misalnya), pembahasan yang relevan tentang manusia adalah sebagai insan, yakni pada sisi dalam (jiwa) yang ada pada setiap manusia yang mempengaruhi perilakunya, yang mempengaruhi cara berfikir dan cara merasanya.
Ada dua status yang disandang manusia seperti yang disebut dalam al Qur'an, menggambarkan kebesaran sekaligus kelemahan manusia, yaitu status sebagai khalifah Allah (Q/2:30, Q/38:29) dan sebagai hamba Nya atau 'abd Allah (Q/2:221, Q/16:77). Dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, manusia adalah kecil dan lemah, karena ia hanya sebagai hamba Nya atau 'abd Allah, sedangkan dalam hubungannya dengan sesama ciptaan Allah di muka bumi ini, manusia memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, yaitu sebagai KhalifahNya, sebagai wakilNya dimana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Tuhan menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi ini, dan sebagai imbalannya, seluruh isi bumi ini diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk manusia.
Jadi manusia menurut al Qur'an adalah besar pada satu dimensi, dan kecil menurut dimensi yang lain. Dari dua dimensi yang kontras inilah maka manusia dalam merespond suatu masalah terkadang berjiwa besar, sportip, bertanggung jawab, siap memberi dan berani, tetapi di kala yang lain ia berjiwa kecil, penakut, curang, tidak bertangung jawab dan putus asa. Manusia memang unik, ia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu, baik yang positip maupun yang negatip, dan diantara tarik menarik positip-negatip itulah sebenarnya hakikat kemanusiaan manusia diuji kualitasnya.
Fungsi jiwa adalah untuk berfikir, merasa dan berkehendak. Bagaimana kualitas ataupun corak kejiwaan seseorang dapat dilihat dari cara berfikir dan cara merasanya. Dalam al Qur'an, aktifitas berfikir dan merasa dihubungkan dengan apa yang disebut dengan nafs (jiwa), qalb (hati), bashirah (hati nurani) dan 'aql (akal), syahwat dan hawa.. Jiwa manusia bekerjanya bersistem, dapat disebut sebagai sistem nafsani, dengan akal,hati,nurani,syahwat dan hawa sebagai sub sistemnya.
Dalam konteks terapan (konseling misalnya), pembahasan yang relevan tentang manusia adalah sebagai insan, yakni pada sisi dalam (jiwa) yang ada pada setiap manusia yang mempengaruhi perilakunya, yang mempengaruhi cara berfikir dan cara merasanya.
Ada dua status yang disandang manusia seperti yang disebut dalam al Qur'an, menggambarkan kebesaran sekaligus kelemahan manusia, yaitu status sebagai khalifah Allah (Q/2:30, Q/38:29) dan sebagai hamba Nya atau 'abd Allah (Q/2:221, Q/16:77). Dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, manusia adalah kecil dan lemah, karena ia hanya sebagai hamba Nya atau 'abd Allah, sedangkan dalam hubungannya dengan sesama ciptaan Allah di muka bumi ini, manusia memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, yaitu sebagai KhalifahNya, sebagai wakilNya dimana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Tuhan menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi ini, dan sebagai imbalannya, seluruh isi bumi ini diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk manusia.
Jadi manusia menurut al Qur'an adalah besar pada satu dimensi, dan kecil menurut dimensi yang lain. Dari dua dimensi yang kontras inilah maka manusia dalam merespond suatu masalah terkadang berjiwa besar, sportip, bertanggung jawab, siap memberi dan berani, tetapi di kala yang lain ia berjiwa kecil, penakut, curang, tidak bertangung jawab dan putus asa. Manusia memang unik, ia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu, baik yang positip maupun yang negatip, dan diantara tarik menarik positip-negatip itulah sebenarnya hakikat kemanusiaan manusia diuji kualitasnya.
Fungsi jiwa adalah untuk berfikir, merasa dan berkehendak. Bagaimana kualitas ataupun corak kejiwaan seseorang dapat dilihat dari cara berfikir dan cara merasanya. Dalam al Qur'an, aktifitas berfikir dan merasa dihubungkan dengan apa yang disebut dengan nafs (jiwa), qalb (hati), bashirah (hati nurani) dan 'aql (akal), syahwat dan hawa.. Jiwa manusia bekerjanya bersistem, dapat disebut sebagai sistem nafsani, dengan akal,hati,nurani,syahwat dan hawa sebagai sub sistemnya.
cara berfikirnya jiwa dan akal bedanya gimana pak?
slametan: itu tanya ke tuhan yg bikin jiwa, tp sy pikir jiwa mengendalikan akal/rasa/tindakan/ingin
Tulisan yg cukup nyaman dibaca, isinya menarik so banyak hikmah & ilmu baru yg bisa dipetik.
Post a Comment
Home