Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, September 15, 2010

(1) Mencari jati diri kebangsaan
at 10:03 PM 
Meski harus dibayar mahal, era reformasi telah memberi peluang kepada bangsa untuk merenung ulang jati dirinya. Dulu kita pernah berbangga sebagai bangsa yang ramah , toleran dan santun. Ternyata dalam era reformasi, sebagian dari kita telah menunjukkan perilaku yang sebaliknya, kebrutalan dan sadisme justeru kita lakukan kepada sesama warga bangsa, hanya karena berbeda etnik, golongan dan terkadang hanya karena berbeda kampung.

Budaya luhur bangsa yang sering kita banggakan juga tidak mampu menahan praktek korupsi. Meski kita menyebut negara kita sebagai negara hukum, tetapi selama era reformasi anarki marak dimana-mana, dari jalanan hingga Senayan. Pemilu yang amat demokratis pada tahun 1999 ternyata belum mampu mengantar bangsa ini pada perilaku bermartabat, sebaliknya kecemasan justru menghantui kita dalam membangun demokrasi.
Jepang dapat bangkit menjadi negara yang kuat setelah luluh lantak dihantam bom atom Amerika. Vietnam sudah mulai merangkak bangkit, padahal negara dan bangsa Vietnam telah hancur-hancuran dalam perangnya melawan pendudukan Amerika. Mengapa Indonesia belum juga memiliki arah yang jelas mau kemana setelah dihantam badai krisis, sebaliknya setiap upaya pencarian solusi justeru melahirkan krisis baru?

Setelah dua presiden pertama dan kedua terlalu lama duduk hingga lupa berdiri, lima tahun pertama era reformasi sungguh sangat dramatis, karena hanya dalam waktu singkat telah berlangsung tiga kali berganti presiden. Kini mulai nampak jelas akar dari krisis multi dimensi itu, yaitu krisis kepemimpinan dan krisis jati diri. Sebagai bangsa yang bersifat paternalis, kita kehilangan pemimpin panutan, akibatnya keragaman yang dibanggakan sebagai Bhinneka Tunggal Ika buyar menjadi potensi konflik, kebhinnekaan menyeruak mendesak ketunggalan bangsa. Setiap kelompok menonjolkan aspirasi kelompoknya, kedaerahan, agama, juga kepentingan, sementara kepentingan bangsa sebagai kesatuan terlupakan.

Belajar dari sejarah masa lalu, juga sejarah bangsa asing, kita harus temukan kembali jati diri kita sebagai bangsa. Koflik konstituante tahun 1959, berujung pada semangat nasionalisme, yakni dekrit 5 Juli dimana dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Krisis 1965 (G.30.S) menyadarkan kembali untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Krisis 1997 mengantar pada semangat amandemen UUD 45, tetapi kembali mengalami kebingungan karena terasa kebablasan, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan harapan untuk agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam semangat pembukaan UUD 45.

Dari pengalaman pergumulan pemikiran selama lebih dari setengah abad yang tak jarang disertai konflik politik, dapat diyakini bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah nasionalis religius, bukan masyarakat sekuler, bukan juga masyarakat theokratis. Aspirasi yang mengarah pada faham “asli” secara sempit, atau yang berusaha mengimport faham sekuler dari Barat, atau faham yang bersifat theokratis (agama) ternyata tidak pernah mendapat dukungan masyarakat luas. Pemisahan kelompok abangan, priyayi dan santri juga sangat tidak relefan. Di MPR bahkan susah membedakan mana anggauta fraksi partai agama dan mana anggauta fraksi partai nasionalis, karena semuanya menyampaikan salam yang sama (Assalamu`alaikum), dan pada jam-jam salat lima waktu, lebih tidak mudah lagi menandai dari fraksi mana. Di dalam jati diri nasionalis religius, semua aspirasi warga bangsa, agama, adat dan budaya memperoleh lahan yang subur untuk beraktualisasi diri saling menghargai dan saling mengisi dalam rangka kejayaan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Tulisan ini merupakan refleksi dari pergumulan ideologis seorang warga bangsa yang lahir dari kultur santri Jawa, tetapi beruntung mengalami lintas pergaulan luas menembus batas, dari lingkungan rasional hingga spiritual, dari lingkungan tradisional hingga metropolis, dari lingkungan pragmatis hingga lingkungan idealis garis keras. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dalam upaya membangun kembali bangsa Indonesia.Amin.
posted by : Mubarok institute

Anonymous Anonymous said.. :

sungguh jelas penjelasan nya,
mungkin saya komment sedikit :
yang saya pelajari bahwa indonesia yang zaman nenek moyang kita dulu bernama nusantara..
nah nusantara di bentuk oleh satu kekuatan imperial yang menjajah kerajaan -kerajaan kecil yang berdiri dan berdaulat di tanah daerah keturunan nya sendiri...
seterus nya penjajahan imperialisme berganti,dan timbul lah nasionalisme2 untuk memerdeka kan nusantara,..
apa benar para nasionalisme sudah mewakili daerah2 .....
nah,nusantara merdeka....
timbul lagi kekuasaan yang otoriter
yang memaksa bhineka tunggal eka..
tiap daerah merasa masih di kekang kebebasan nya...
berlanjut dengan reformasi...
nah disini lah baru kelihatan bahwa memang tiap2 daerah yang punya kekuasaan pada zaman nenek moyang nya dahulu melepas kan keinginan kebebasan nya...
maka terjadilah chaos ...
sensitifitas antar daerah.suku bangsa,dan agama.....
maka bisa saya katakan ,pendirian indonsia tidak di dasari oleh kemauan yang mewakili keinginan daerah2 kerajaan2 kecil dulu nya...
saya beranggapan chaos2 antar suku an agama akan terus ada...
inti nya sistem pemerintahan harus di tinjau ulang....
bhineka tunggal ika ,,sudah tidak relevan lagi...
beda sama vietnam atau jepang...
mereka dari zaman kuno dulu memang sudah satu kesatuan imperial kekuasaan............

5:35 AM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger