Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, September 21, 2010

Dari Orde Lama Hingga Orde Reformasi
at 8:05 PM 
Kesalahan yang Selalu Berulang

Pelajaran dari kegagalan Majlis Konstituante, kegagalan G.30 S PKI, kejatuhan orde Baru dan kegamangan reformasi adalah bahwa sebenarnya bangsa ini menginginkan konsistensi pada semangat proklamasi 45. Bung Karno membungkam demokrasi liberal dengan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada semangat 45.

Sayang, karena terlalu lama duduk dalam kursi kepresidenan, Bung Karno terlena sehingga menerima jabatan Presiden Seumur Hidup (feodal), dan mengubah semangat 45 menjadi Demokrasi Terpimpin dan Nasakom. Puncak dari penyimpangan itu adalah tragedi Gerakan 30 September PKI yang sekaligus memaksa Presiden Pertama RI turun dari kursi kepresidenan. Perilaku yang menyimpang dari fitrah proklamasi 45 biasa disebut sebagai orde lama.
Suharto tampil dalam panggung sejarah menyelamatkan negara dan bangsa, dengan semangat kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Karena orde Suharto mengkoreksi Orde lama, maka periode Presiden Suharto disebut Orde Baru.

Kehadiran Pak Harto sungguh dielu-elukan rakyat, tetapi sayang, beliau juga terlena hingga duduk di kursi kepresiden selama tujuh periode, dan kesalahan orde lama terulang, yaitu semangat Panca Sila dan UUD 45 dikalahkan oleh kekuasaan (feodal). Demokrasi yang diberi label Pancasila (Demokrasi Pancasila) mengubah demokrasi menjadi rekayasa demokrasi. Masa jabatan yang terlalu lama akhirnya diakhiri secara paksa oleh gerakan reformasi, Presiden Suharto meletakan jabatan ketika usia kabinet terakhir yang dibentuknya belum berusia seratus hari.

Krisis Jati Diri

Era reformasi ditandai dengan semangat perubahan, mengubah paradigma orde baru dengan paradigma lebih baru yaitu reformasi, bukan revolusi. Dalam praktek semangat reformasi overload, sehingga perubahan yang mestinya dilakukan secara hati-hati dan sistematis berubah menjadi semangat menggusur semua hal yang berbau Suharto. Dalam era reformasi hampir tidak ditemui seorangpun politikus besar yang berkapasitas negarawan, karena pada masa kepemimpinan Presiden Suharto yang berlangsung selama 30 tahun, setiap kali muncul tokoh yang berbakat negarawan, pasti tidak diberi kesempatan muncul ke panggung politik karena dipandang sebagai ancaman kemapanan. Tanpa panduan seorang negarawan yang berpandangan jauh, kebebasan selama era reformasi berubah menjadi anarki, anarki sosial, anarki politik dan anarki konstitusi.

Amandemen demi amandemen tidak berhasil memperbaiki tatanan kenegaraan, UU dan Tap MPR yang dikeluarkan oleh legislatif tidak memadai untuk menjadi panduan nasional, arah bangsa menjadi tidak jelas, kepemimpinan nasional cepat sekali berganti-ganti , hutang negara meningkat luar biasa, separatisme dan konflik horizontal terjadi dimana-mana, dan ketika negara lain sudah berhasil keluar dari krisis, Indonesia semakin terpuruk dalam berbagai krisis. Perilaku anarkis yang meluas di hampir semua lapisan masyarakat mengindikasikan bahwa bangsa ini sedang mengidap krisis jati diri.

Kembali ke Fitrah Jatidiri Proklamasi 45

Sebagaimana terjadi pada tahun 1959 dimana Bung Karno mengembalikan bangsa ini dalam panduan Panca Sila UUD 45 melalui Dekrit 5 Juli, dan pada tahun 1967 Pak Harto mengumandangkan semangat kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen, semangat ingin kembali ke fitrah proklamasi 45 kembali muncul di tengah hiruk-pikuk reformasi sekarang ini. Otokritik yang harus kita lakukan ialah bahwa setiap kali pihak yang sedang berkuasa digugat melakukan suatu penyimpangan, tak lama setelah yang menggugat menduduki kursi kekuasaan, ia sudah melakukan hal yang sama dengan pendahulunya. Semua Presiden kita diturunkan sebagai pecundang oleh MPR. Lembaga tertinggi negara ini dalam kurun waktu tiga dasawarsa secara berturut-turut telah mengeluarkan TAP yang secara emosionil menjatuhkan Presiden Pertama, menjatuhkan Presiden Kedua, secara emosional menolak LPJ Presiden ke tiga, secara emosional mengangkat Presiden ke empat dan hanya berselang tahun secara emosional memecat Presiden yang baru diangkatnya.

Akibatnya kini bangsa ini gamang menghadapi masa depan. Legislatif yang terlalu berkuasa (feodal) tak kalah mengerikannya dibanding dengan kefeodalan eksekutif.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi yang diberi tugas mengkoreksi produk-produk legislatif dapat dipandang sebagai kesadaran untuk kembali kepada fitrah proklamasi 45, yakni memikirkan secara jernih masa depan bangsa tanpa dibebani kepentingan golongan dan individu, seperti yang dilakukan oleh oleh faunding fathers negara kita pada tahun 1945.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger