Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, November 07, 2010

Ajakan Din Syamsudin
at 9:17 PM 
Jumat beberapa minggu lalu saya termasuk yang diundang oleh Din Syamsudin dalam pertemuan tokoh nasional di kantor PP Muhammadiyah. Disitu hadir antara lain Rizal Ramli, Wiranto, Yusuf Kalla, Mahfud MD, Fadjrul Rahman, Sutrisno Bachir, Fuad Bawazir dan lain-lain, juga hadir Marzuki Ali, meski sebentar. Wartawan yang hadir jauh lebih banyak .

Seperti yang tertulis di banner dan juga diantar oleh Din Syamsuddin inti pertemuan tokoh itu adalah untuk merumuskan problem bangsa ini apa dan bagaimana solusinya. Inginnya, forum itu bisa membuat diagnose nasional dan solusi nasional. Keinginan itu didorong oleh penilaian mereka bahwa lembaga Negara seperti DPR-MPR sudah tidak bisa diharap, bahkan Pemerintah, kata Din, sudah tidak ada fungsinya, wujuduhu ka`adamihi, mengutip istilah bahasa Arab.

Dari apa yang dikatakan oleh para tokoh, sesungguhnya tidak ada hal yang baru, kritikan mereka sudah menjadi kalimat rutin; Rizal Ramli kembali menyebut demokrasi kriminal, Fadjrul Rahman mengulangi kritik tajam yang sudah disampaikan sejak lima tahun yang lalu, Sutrisno Bachir sebagai alumni PAN bercanda-canda, Pak Wiranto ada sedikit interospeksi karena menyadari bangsa ini lagi sakit, Pak JK yang karena mantan wakil Presiden dan mantan Capres pernyataanya relatip berbobot. Nah Mahfudz MD bicara pendek tetapi menyegarkan. Secara umum, kritik mereka lebih tertuju kepada Presiden SBY dibanding kesadaran sebagai tokoh yang bersama-sama melewati era sulit.

Pertemuan itu tidak sempat melahirkan suatu rumusan diagnose, apalagi solusi, tetapi semangatnya adalah menampung aspirasi ketidak puasan, sehingga akan dilanjutklan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya hingga demo setahun KIB II. Sepertinya Din Syamsudin ingin menjadi saluran alternatip dari “asumsi” kebuntuan dan kegawatan.

Sesungguhnya sejak reformasi 1997 dan kejatuhan Suharto, orang berusaha merumuskan diagnose bangsa sekaligus menawarkan terapinya. Amin Rais, Ketua Muhammadiyah misalnya menyimpulkan bahwa krisis bangsa ini bersumber dari hilangnya sifat amanah dari bangsa, oleh karena itu solusi yang ditawarkan adalah mendirikan PARTAI AMANAT NASIONAL. Hidayat Nurwahid lebih memandang ketidak adilan yang menjadi penyebab krisis nasional, oleh karena itu solusi yang ditawarkan adalah berdirinya PARTAI KEADILAN.

SBY melihat akar masalahnya pada demokrasi yang tidak relevan, karena berdemokrasi tetapi orangnya tidak demokrat, maka solusi yang ditawarkan adalah berdirinya Partai DEMOKRAT. Gus Dur nggak pusing sebabnya apa, yang penting bangsa ini harus bangkit, maka solusi yang diajukan adalah berdirinya PARTAI KEBANGKITAN BANGSA.

Nah, rumusan2 dan tawaran solusi yang berbeda itu diajukan bersama ke pentas politik. Diatas segalanya reformasi yang digulirkan mas Amin Rais dulu tidak konsepsional, lebih bersifat improvisasi dan didorong oleh kemarahan kepada Suharto, kepada ABRI, kepada Golkar dan kepada Orde Baru. Dalam kurun waktu 10 tahun lebih reformasi, , Amin Rais pernah jadi Ketua MPR, Gus Dur pernah jadi Presiden, Megawati menikmati sisa masa jabatan Gus Dur, dan SBY terpilih jadi presiden, tetapi reformasi gagal mengantar bangsa pada tatanan negara yang mapan. Amandemen demi amandemen justeru memojokan bangsa pada sistem yang tumpang tindih, tidak jelas siapa yang menumpang dan siapa yang ditindih.

Pilihan rakyat langsung kepada SBY pada pilpres 2004 tidak begitu bermakna dalam memperkokoh sistem presidensial, karena sistem Presidential Setengah hati membuat siapapun Presidennya tidak bisa power full. Begitupun terpilihnya kembali SBY dalam pilpres 2009 dengan satu putaran, satu hal yang semestinya luar biasa, (Presiden Incumbent terpilih satu putaran) tidak juga memperkuat sistem presidensial.

Ada empat model sistem presidensial , Pertama; presidensialisme efektip, dengan personal presiden hard, dan koalisi yang solid. Kedua; Presidensialisme akomodatip, dengan personal presiden soft tapi koalisi solid. Ketiga : presidensialisme konfrontatip, dengan koalisi cair tetapi personal presiden sangat hard. Keempat model presidensialisme reduktip, atau presidentsial setengah hati, yakni personal presiden soft, struktur konstitusi tumpang tindih, jumlah partai terlalu banyak, ideologinya ngambang, tapi control parlemen sangat kuat, dan koalisinya sangat cair. Model keempat inilah yang sedang berlangsung di negeri kita.

Dalam rentang sepuluh tahun reformasi, muncul diagnosa baru dan tawaran solusi baru. Wiranto menyimpulkan bahwa akar masalah krisis bangsa adalah matinya nurani bangsa, oleh karena itu Pak Wiranto menawarkan solusi dengan mendirikan Partai HATI NURANI RAKYAT atau HANURA’. Din Syamsudin yang Ketua Umum Muhammadiyah memandang bangsa ini butuh pencerahan. Din jangan-jangan malah terobsesi oleh namanya sendiri, Syamsuddin. Dalam bahasa Arab Syamsuddin artinya adalah matahari agama. Jika nama ini dibumikan dalam politik maka berarti bangsa ini membutuhkan pencerahan dari matahari. Oleh karena itu solusi yang ditawarkan adalah melahirkan PARTAI MATAHARI BANGSA, sebagai adik tiri PAN.

Begitulah hiruk pikuk resep politik nasional, campuran berbagai resep itu tidak membuat bangsa ini sehat, tetapi malah menjadi tambah puyeng, seperti kata pak Wiranto ekpresi pemimpin kita seperti orang sakit kepala. Bayangkan, baru satu tahun usia kabinet SBY Budiono, produk pilihan rakyat langsung satu putaran, sudah dicanangkan gerakan penggulingan SBY. Rizal Ramli juga mengancam; jika SBY tidak mau berubah, rakyat yang mau merubah. Hampir di setiap pilkada, yang kalah tak pernah menerima kekalahan, dan responnya menuduh kecurangan, mengajukan ke MK, semua yang kalah bilang “demokrasi kriminal” atau yang searti.. . Dalam forum –forum diskusi di semua tingkatan, banyak sekali diungkapkan kata seharusnya dan
semestinya, dalam resep yang ditawarkan, tetapi hampir semuanya berpijak pada “yang diinginkan” bukan yang dibutuhkan.

Rupanya, para pendiri negeri ini lebih arif dibandin g pemimpin generasi sekarang. Meski mereka berhasil mengusir penjajah hingga bangsa ini merdeka, mereka tidak menyombongkan perjuangannya yang pasti berat. Mereka lebih suka mengatakan bahwa hanya atas berkat rahmat Allah disertai keinginan luhur , bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Kini bangsa kita sedang defisit keinginan luhur.

Para pemimpin top saling berebut untuk menduduki kursi no. 1, dan dalam menuju kesana mereka saling tembak menembak. Sudah kalahpun tidak juga mangakui kekalahannya sehingga selama lima tahun mereka menyanyikan lagu rutin, penggulingan presiden. Selagi para pemimpin defisit keinginan luhur, maka keberkahan akan pergi dari negeri ini, meski kita memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Sosialisasi keinginan luhur ditengah masyarakat yang sakit itu ibarat menebar benih di musim kemarau, tak mudah tumbuh. Tetapi jika kita tidak mau melakukan sekarang, maka nanti ketika musim hujan, yang tumbuh hanya alang-alang. Kita harus yakin bahwa tiada gelap yang selamanya. Solusi sekarang adalah tebarkan terus keinginan luhur kepada warga bangsa, nanti akan datang berkat dan rahmat Allah. Jika berkat dan rahmat Allah telah tiba, maka yang sulit menjadi mudah, yang beku menjadi cair. Insya Alloh.

@) Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA, Guru Besar Psikologi Islam UIN,Anggauta Dewan Pembina Partai Demokrat)
posted by : Mubarok institute

Blogger Pinokio said.. :

Artikel dan blognya bagus juga, komentar juga ya ke blog saya www.infonotesharian.blogspot.com

10:28 PM  
Blogger Mubarok institute said.. :

terima kasih...

8:08 PM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger