Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, June 06, 2011

Konseling Agama Pada Masyarakat Islam (2)
at 10:54 PM 
Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik dan Hisbah dalam Tinjauan Konseling Modern

Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Bimbingan dan Konseling Agama dapat dimasukan dalam rumpun dakwah, yakni dakwah kepada orang-orang yang bermasalah. Dalam tradisi Islam klasik, pemberian konseling yang dijumpai juga berada dalam satu nafas dengan kegiatan dakwah.

Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktivitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dank lien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab ‘alaih.

Pengertian hisbah

Hisbah menurut pengertian syara’ artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma’ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh akrena itu muhtasib melakukannyta semata-mata karena Allah, yakni membantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah:
Artinya: hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104).
Artinya: Tidak ada kebajikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) member sedekah, atau berbuat ma’ru, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barang siapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q/:114)

Bentuk amar ma’ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma’ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar, yakni semua yang dilarang syara’, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.

Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsif suka sama suka, bersifat sugesti dan intropeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat berbuat ma’ruf dan bahayanya perbuatan munkar, kuat motivasi positifnya dn padam motivasi negatipnya.
Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut. Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran.
Artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengijinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang rebut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu. Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perempuannya atau bibinya dizinahi. Nabi kemudian meletakan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. ( H.R. Ahmad dari Abu Umamah).

Menurut perawi hadist tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina. Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam menghadapi pemuda itu nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang implikasi zina bagi orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psikologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus.

Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang pertama berdasarkan pendapatnya pada firman Allah :
Artinya: orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, yang satu dengan lainnya adalah kekasih dan orang kepercayaannya, mereka selalu beramar makruf dan nahi munkar. (Al taubah, 71)
Artinya: Demi masa, Sesungguhnya manusia senantiasa merugi, kecuali orang yang beriman, beramal saleh dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran (Q/103: 1-3)

Yang berpendapat hukumnya fardlu kifayah mendasarkan pendapatnya pada ayat al Qur’an:
Artinya: hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang bekerja mengajak kebaikan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran 104).

Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga itu jabatan muhtasib menjadi jabtan yang terhormat di mata masyarakat.

Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang / amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah.
bentuk-bentuk ihtisab/hisab ketika itu menurut Kamal Ibrahim Mursi antara lain :
a) Pemberian nasehat (mau’idzah hasanah)
Secara umum, yakni dilakukan secara perorangan atau kelompok, di mesjid, di rumah atau di tempat kerja. Tahap ini sifatnya merupakan langkah prefentip.
b) Bimbingan ringan secara individuil
Bentuk hibah ini diberikan kepada orang-orang yang nyata-nyata membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Objek bimbingannya bisa menyangkut masalah keagamaan, kerumah tanggaan, kepribadian, pekerjaan dsb.
Dalam menjalankan hisbah dalam bentuk ini, muhtasab ‘alaihi (klien) bedua saja. Bentuk hisbah ini dilakukan untuk mendorong motivasi klien pada kebaikan, dan mendorongnya alergi terhadap kemunkaran, dan menyadarkannya untuk menerima kenyataan secara ikhlas.
c) Bimbingan berat secara individuil
Metode ini dilakukan terhadap orang yang sudah terang-terangan menjalankan perbuatan tercela/ keji, dan terang-terangan pula tidak mau mengerjakan perbuatan baik, orang yang sudah akrab dengan kejahatan dan alergi terhadap kebaikan. Orang pada tingkat seperti ini biasanya sidah tidak mempan terhadap nasehat-nasehat yang lemah lembut.

Kepada orang semacam ini, muhtasib dalam percakapannya sengaja mengunakan kata-kata yang kereas seraya mengingatkan resiko yang akan diterimanya di dunia maupun di akhirat. Jika tidak mau mengubah perilakunya. Muhtasib dengan memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang mempunyai kepedulian, secara sengaja mengetuk keras-keras pintu hati klien –semacam schok terapi- pintu hatinya bisa terkuak, karena ketukan halus tidak akan pernah didengar atau bahkan ditertawakan.
d) Bimbingan missal
Metode ini digunakan dalam kasus pertikaian, yakni bimbingan untuk mendamaikan perselisihan yang sudah terlanjur terbuka, antara buruh dan majikan, peminjam dan yang dipinjami, penjual dan pembeli, perselisihan anak dan ayah, suami dan isteri dsb. Karena persoalannya sudah terbuaka maka hisbah yang diberikan juga dilakukan secara terbuka, misalnya dalam forum perdamaian.

Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh Negara nantinya memunculkan istilah wilayat al hisbah dalam Fiqh Siyasah/ sistem politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah.

Hisbah dalam Tinjauan Konseling Modern
Era globalisasi dunia telah menjadikan planet bumi ini menjadi kecil, jarak menjadi sangat pendek. Peristiwa yang terjadi di suatu pojok dunia dapat diketahui secara serempak oleh manusia-manusia di belahan bumi lainya. Batas budaya, batas peradaban menjadi kabur karena informasi, peristiwa dan perilaku manusia di dunia bisa dilihat secara serempak melalui layar kaca (TV) di rumah-rumah penduduk bumi tanpa memperdulikan norma-norma yang diaut oleh suatu komunitas budaya. Anak-anak, kyai dan pendeta bisa menyaksikan adegan telanjang di TV, atau melalui internet. Gadis kampong yang sedang bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota juga ditawari produk-produk kecantikan yang aduhai di iklan TV majikannya. Pakaian, plesiran, kenyamanan, kenikmatan, gaya hidup dan juga kemaksiatan ditawarkan kepada semua orang yang sudah siap atau yang belum, yang bisa membeli atau yang hanya tergiur, yang siap budaya maupun yang terbelakang, padahal realita menunjukan bahwa strata manusia di muka bumi ini tidaklah sama, sebagian kecil sudah hidup dengan gaya ultra modern, kaum JetSet dan sebangsanya, sebagian baru mencapai taraf modern, sebagian besar masih berada dalam kondisi radisionil, dan masih ada komunitas manusia yang hidup pada zaman batu seperti di Irian Barat atau sangat terbelakang seperti di sebagian Afrika.

Pada zaman globalisasi dunia ini, masyarakat terbelakang dan tradisionil dipaksa untuk menyaksikan perilaku bangsa lain yang sudah maju atau sudah sangat maju dengan segala norma-normanya yang sangat longgar dan liberal. Komunikasi gegap gempita ini akhirnya memakan korban, yakni orang-orang yang belum siap untuk hidup pada era lain yang lebih “maju”. Fenomena dari korban-korban ini dapat dibaca di surat kabar atau televisi yaitu terjadinya proses dehumanisasi dan lunturnya nila-nilai kemanusiaan, melorotnya martabat manusia, melonggarnya nila-nilai etika, merebaknya perilaku menyimpang, meluasnya tindakan kejahatan dan banyaknya pengidap gangguan mental.

Para ahli dan para professional sudah berteriak-teriak mengingatkan bahaya dari fenomena tersebut, tetapi “roda kemajuan” nampaknya tak bisa dihentikan. Pembangunan ekonomi dan fisik semakin menjulang tinggi, tetapi harkat manusia semakin melorot kebawah, sampai-samapi GBHN Indonesia harus secara tegas mengingatkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia.

Di kota-kota besar di dunia dimana banyak penduduknya yang menderita stress, frustasi, depressi, “gila”, ketergantungan obat terlarang dan gangguan kejiwaan lainnya, muncul upaya-upaya untuk membangun meringankan beban mereka atau membuka usaha jasa bagi yang membutuhkan dengan membuka lembaga-lembaga konsultasi kejiwaan. Pada masyarakat dengan gaya hidup Barat, konsep konsultasi kejiwaan atau konseling juga tak terhindar dari paradigm konseling Barat, sehingga konsep kebahagiaan, ketentraman yang dimaksud terhenti kepada ketenteraman dan kebahagiaan hidup di dunia, tanpa menghubungkan dengan nilai-nilai ukhrawi. Konsep konseling Barat, seperti yang telah diuraikan di muka, dalam perspektif Islam hanyalah menawarkan kebahagiaan sementara, yakni kebahagiaan di dunia,

Hisbah, jika ditinjau dengan sudut kekinian, maka ia merupakan pemberian konseling secara dini yang sifatnya aktif atau agressif, yang mengutamakan pencegahan dari pada mengobati, sejalan dengan jargon bahwa menjaga kesehatan itu nilainya lebih baik dari pada mengobati penyakit (yang terlanjur diderita karena tidak dijaga kesehatannya). Jika klinik konselor pada umumnya hanya siap menerima klien yang dating, maka hibah lebih agressif, yakni semacam gerakan menjemput bola agar potensi-potensi gangguan kejiwaan tidak sempat berkembang.
Hisbah bukan hanya membantu klien menemukan kebahagiaan sementara, tetapi lebih dari itu mengenalkannya dengan konsef kebahagiaan universal, kebahagiaan dunia akhirat.
Ditinjau dari sudut kegiatan dakwah, jika dewasa ini para da’i dan muballigh diibaratkan menawarkan dagangannya kepada public, maka muhtasib (konselor) lebih memfokuskan perhatiannya kepada kelompok sasaran tertentu, yakni orang-orang yang berpeluang menderita gangguan kejiwaan, atau orang-orang yang sudah terkena masalah kejiwaan. Rekruitmen muhtasib dengan kualifikasi keahlian yang memadai, serta pengelolaan membantu masyarakat Islam dalam mengarungi kehidupan dalam era globalisasi ini. Salah satu kelebihan hisbah adalah filosofi yang mendasarinya, yaitu semangat beribadah.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger