Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, March 20, 2007

Penyembuh Sufi (1)
at 10:00 PM 
Pendahuluan
Berbicara tentang penyembuhan, pasti berhubungan dengan konsep sehat. Dalam bahasa agama (Islam) disamping kata sehat (shihhat) juga digunakan kata `afiat, yang dalam bahasa Indonesia kemudian disambung menjadi sehat wal-afiat. Jika kata shihhat (sehat) berhubungan dengan fungsi, maka kata ‘afiat berhubungan dengan maksud penciptaan. Mata yang sehat adalah mata yang bisa digunakan untuk melihat/membaca tanpa memerlukan alat bantu (fungsional), sedangkan mata yang afiat sesuai dengan maksud penciptaannya adalah mata yang mudah digunakan untuk melihat sesuatu yang halal tetapi tidak mau digunakan untuk melihat sesuatu yang diharamkan (nilai). Telinga yang sehat adalah yang fungsi pendengarannya berjalan, sedang telinga yang afiat adalah yang selalu terbuka terhadap kata-kata kebenaran tetapi tuli terhadap bisikan yang menyesatkan. Demikianlah makna sehat dan afiat bagi hidung, tangan, kaki hingga kepada organ yang paling vital. Jika bidang kesehatan merupakan urusan dunia kedokteran, maka bidang keafiatan merupakan urusan dunia nilai, dunia spiritual, dunia tasawuf.

Kesehatan Jiwa
Jiwa bisa dilihat sebagai organ psikologis dimana azas dan hukumnya bisa dipelajari seperti yang dilakukan oleh Ilmu Jiwa. Dari sini pula kemudian dikenal ada orang sakit jiwa dan ada yang hanya terkena gangguan kejiwaan. Penanganan orang sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa, sedangkan penanganan gangguan kejiwaan cukup dibawa ke psikiater atau konselor kejiwaan.

Dalam bahasa agama, jiwa (nafs) bukan hanya organ psikologis, tetapi juga organ spiritual (aspek ruhaniah). Dalam hal ini nafs juga bisa dibedah anatomi spiritualnya, dan di sana terdapat bagian-bagian; qalb (hati), `aql (akal), bashirah (hati nurani), ruh (nyawa), syahwat dan hawa (keinginan). Kualitas kejiwaan dalam perspektif ini disebut al-Qur’an secara bertingkat; nafs zakîyah (jiwa yang suci fitri), nafs lawwâmah (jiwa yang sedang mencari jati diri), nafs ‘ammârah (jiwa yang tidak sehat) dan nafs muthma’innah (jiwa yang tenang).

Untuk mencapai tingkat ketenangan jiwa, bisa dilakukan sendiri dengan muhâsabah dan mujâhadah (kalkulasi diri dan melatih diri), dan bagi yang tidak mampu ia bisa dibantu oleh pembimbing spiritual (mursyid), dan dalam sistemnya disebut melalui tarekat (tharîqat). Sesuai dengan konfigurasi para Nabi yang tergambar pula pada konfigurasi para sahabat Nabi Muhammad, maka peta jalan menuju jiwa yang tenang juga sangat konfiguratif, sehingga dikenal banyak tarekat, banyak mursyid, banyak metode, tetapi pada tangga terujungnya dapat bertemu pada medan spiritual yang sangat luas, yaitu rida, ma’rifat dan cinta, dan dari situ satu langkah lagi seorang sufi dapat bersatu dengan Dia Yang Esa.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger