Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, July 19, 2007

Filsafat Dakwah
at 9:34 PM 
Berfikir falasafi artinya berfikir secara mendasar dan sistemik. Harus diakui bahwa pada umumnya masyarakat dakwah di Indonesia belum berfikri falsafi dalam berdakwah, oleh karena pembahasan dakwah di semua lapisan lembaga dakwah pada umumnya masih bersifat permukaan. Da’I pada umumnya dalam menganalisis permasalahan dakwah di masyarakat masih belum berfikir secara falsafi. Diantara hal yang harus dikaji secara mendasar dalam kerangka dakwah yang komunikatip dan efektip adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Manusia sebagai mad’u, psikologinya dan kodratnya.

2. Tujuan dakwah, mikro dan makronya.

3. Hakikat dakwah : sekedar (1) tabligh, atau (2) pembudayaan nilai-nilai
Islam, atau bahkan (3).penegakan sistem Islam dalam kehidupan manusia.

4. Hakikat Islamisasi Sistem kehidupan, apakah sekedar dengan (1) tabligh, atau harus dengan (2) amar makruf nahi mungkar, atau bahkan dengan (3) jihad.
Vijf. Pilar-pilar dakwah, apakah cukup dengan (1) dakwah fardiyyah/indifidual, (2) da`wah ijtima`iyyah, atau bahkan perlu mendirikan (3) daulah Islamiyah/negara Islam.
Zes. Pilihan-pilihan metodologis/mazhab dakwah, apakah hanya dengan (1) tabgligh (dakwahnya muballigh), atau perlu (2) model akulturasi budaya seperti yang dilakukan Wali Songo, atau menggunakan (3) dakwah gerakan, seperti yang dilakukan oleh Ikhwanul muslimin atau Syi’ah Iran.

Komunikasi dakwah Psiko Sufistik.
Manusia adakalanya memiliki kecenderungan rasionalistis, dan di kala yang lain cenderung kepada mistis. Pada suatu masa pendekatan rationalistis merupakan pilihan yang tepat dan efektip, tetapi di kala yang lain pendekatan itu justeru terasa kering. Pada zaman krisis manusia memiliki bakat kecenderungan yang bersifat mistis, oleh karena itu sejarah telah membuktikan bahwa tasauf senantiasa muncul ke permukaan di kala ummat Islam dilanda krisis. Kelahiran tasauf di dalam Islam itu sendiri juga berhubungan dengan periode krisis, krisis politik, krisis identitas, dan krisis psikologis sosial. Oleh karena itu pendekatan dakwah dewasa ini tidak cukup sekedar memenuhi kriteria komunikasi. Dakwah harus menyentuh kesadaran rasa, bukan sekedar kesadaran mental. Pembacaan salawat secara massal lebih efektip menumbuhkan rasa keberagamaan dibanding ceramah yang jelas dan logis. Tadarrus Yasin bersama-sama lebih menyentuh dibanding pembacaan al Qur’an dengan qiraah sab’ah di atas mimbar.

Dakwah dengan pendekatan psiko sufistik hanya efektip manakala kondisi masyarakat yang menjadi mad’u sedang mengalami krisis. Psikologi manusia yang bertasauf adalah kesiapan jiwanya sangat besar untuk menerima bimbingan apappun dari guru atau da’i. Seorang guru sufi tak perlu berdebat dengan muridnya, karena muridnya sudah dalam keadaan siap untuk dituangi pencerahan. Meski demikian, pendekatan sufistik pada umnumnya lebih pada untuk mencari jalan keselamatan, dibanding untuk membangun masa depan. Artinya berdakwah tidak cukup dengan hanya melalui pendekatan psiko sufistik, tetapi harus ada da’I lain yang menggunakan pendekatan rasionalism, terlebih lebih jika zamannya sedang normal. Persoalannya, batas antara zaman normal dan krisis itu juga tidak matematis.

Penutup.
Karena ajaran Islam yang komprehensip maka da’i tidak bisa tidak harus menguasai wawasan kahidupan secara komprehensip juga, politik, ekonomi, sosial dan budaya, terlebih-lebih dalam kontek pluralitas bangsa Indonesia yang sedang berada dalam peralihan orde. Dalam perspektip ini maka wacana gagasan universal juga harus disosialisasikan kepada d’a’I .
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger