Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, July 08, 2007

Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan (2)
at 9:30 PM 
Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami isteri harus pandai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.

8. Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/isteri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.

Artinya: "Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya)." (Hadis)
artinya: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya. (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari Ibn Umar)

9. Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan isteri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/isteri harus bisa berhubungan secara proporsional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.

10. Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati. Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara re-butan/perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridla.
artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain diantaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu). (Surat al Baqarah, 188)

11. Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami isteri biasanya menjadi sangat intens. Keharmonisan hubungan antara suami isteri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami dan isteri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesu-litan yang dihadapi justeru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapinya secara benar dan sabar. Isteri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga sebaliknya.

artinya: Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecualijika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergauilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (an Nisa 19)

artinya: Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga. (Hadis)

12. Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain:

a. Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya, tanpa mengukur tanggung jawabnya.

b. Isteri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami untuk tetap konsentrasi di rumah.

c. Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong ingin menjadi dewa penolong.

d. Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan isteri.

e. Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh isteri/keluarganya sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnyya mencari kewibawaan di luar rumah.

f. Isteri tak berdaya menghadapi kehendak suami, atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.

Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian, adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.

Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu:
(1) oleh "raja", yang dengan kekuasannya ia dapat mengatur isteri-isterinya,
(2) oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa meminij keluarga besarnya,
(3) orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak perduli dengan problem.

13. Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami dan isteri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga isteri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain untuk menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, sebaliknya isteri justeru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh isteri.

a. Ta'lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada isteri dari kelalaian suami.

b. Jika suami/isteri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada, maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: Kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.

artinya: Talak yang dapat dirujuk itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (Q/2:229)

c. Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan.
artinya : Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.

d. Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam).

artinya: Jika kamu khawatir akan terjadi persengeketaan di antara keduanya (suami isteri), maka kirimkanlah seorang pendamai (hakam) dari keluarga suami dan dari keluarga siteri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada kedua suami isteri itu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (an Nisa, 35)

e. Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj'i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa 'iddah. Masa 'iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang berantakan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger