Thursday, July 19, 2007
Urgensi memperbaharui paradigma dakwah
Fenomena krisis sosial memberitahukan kepada kita bahwa gegap gempita tabligh ternyata tidak efektip dalam membentuk masyarakat Islam. Secara simbolis syiar-syiar Islam memang tampak, tetapi esensi dari nilai Islam justeru tidak tertanam. Pada tataran masyarakat kelas menengah dan elit juga nampak paradox antara fenomena tarawih, salat Jumat dan ibadah haji serta umrah yang dijalankan oleh lapisan menengah keatas dengan praktek KKN yang membudaya pada mereka. Oleh karena itu masyarakat dakwah harus bisa merumuskan kembali paradigma dakwah yang baru, yang sesuai dengan era reformasi dan era globalisasi. Di sinilah peran IAIN , terutama Fakultas Dakwah dan juga lembaga-lembaga dakwah ditunggu.
Pengertian dakwah.
Selama ini dakwah lebih dipersepsikan sebagai ajakan, seruan dan tabligh. Pemahaman makna dakwah mengandung implikasi ukuran keberhasilah, dan ini jarang dikaji, sehingga sampai hari ini kita tidak dapat meneliti seberapa besar efektifitas dakwah.Saya lebih cenderung untuk mendefinisikan bahwa dakwah adalah upaya mempengaruhi mad’u agar mereka bertingkahlaku seperti yang dikehendaki oleh da’i. Dengan definisi ini maka da’I membuat target perilaku yang dapat diukur pada masyarakat mad’u. Karena pekerjaan mempengaruhi merupakan aktifitas mental yang mencakup sensasi, persepsi, memori dan berfikir, maka seorang da’I harus memiliki wawasan psikologi, dalam hal ini pesikologi dakwah. Psikologi dakwah diperlukan bukan hanya untuk menguraikan perilaku terukur mad’u, tetapi juga untuk memprediksi dan mengendalikan tingkah laku masyarakat. Dengan wawasan psikologi dakwah maka da’I bisa berhitung seberapa berhasil menjadikan dakwahnya sebagai stimulus yang direspond oleh masyarakat mad’u. Dengan wawasan psikologi dakwah, da’I ketika memprogram dakwah sudah dapat menentukan metode, media yang dipandang pas bagi mad’u.
Tentang Da’I
Selama ini banyak orang yang menyatakan tidak dapat berdakwah karena tidak bisa berpidato. Kesalahan konsep diri ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang dakwah. Da’I bisa perorangan, kelompok, lembaga bahkan negara. Demikian juga mad’u bisa seorang, sekelompok orang, masyarakat luas, lembaga dan bahkan bangsa. Kelompok masyarakat bermasalah membutuhkan da’I yang bisa mendekatinya secara indifiduil dengan pendekatan conseling agama (irsyad an nafsiy). Masyarakat birokrasi memerlukan da’I yang menguasai psikologi perburuhan dan psikologi administrasi, dan mereka tidak mesti harus bertatap muka, tetapi dakwahnya cukup diwujudkan dalam sistem manajemen dan administrasi. Demikianlah, semua segmen mad’u membutuhkan da’I dari segmen tertentu pula.
Pengertian dakwah.
Selama ini dakwah lebih dipersepsikan sebagai ajakan, seruan dan tabligh. Pemahaman makna dakwah mengandung implikasi ukuran keberhasilah, dan ini jarang dikaji, sehingga sampai hari ini kita tidak dapat meneliti seberapa besar efektifitas dakwah.Saya lebih cenderung untuk mendefinisikan bahwa dakwah adalah upaya mempengaruhi mad’u agar mereka bertingkahlaku seperti yang dikehendaki oleh da’i. Dengan definisi ini maka da’I membuat target perilaku yang dapat diukur pada masyarakat mad’u. Karena pekerjaan mempengaruhi merupakan aktifitas mental yang mencakup sensasi, persepsi, memori dan berfikir, maka seorang da’I harus memiliki wawasan psikologi, dalam hal ini pesikologi dakwah. Psikologi dakwah diperlukan bukan hanya untuk menguraikan perilaku terukur mad’u, tetapi juga untuk memprediksi dan mengendalikan tingkah laku masyarakat. Dengan wawasan psikologi dakwah maka da’I bisa berhitung seberapa berhasil menjadikan dakwahnya sebagai stimulus yang direspond oleh masyarakat mad’u. Dengan wawasan psikologi dakwah, da’I ketika memprogram dakwah sudah dapat menentukan metode, media yang dipandang pas bagi mad’u.
Tentang Da’I
Selama ini banyak orang yang menyatakan tidak dapat berdakwah karena tidak bisa berpidato. Kesalahan konsep diri ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang dakwah. Da’I bisa perorangan, kelompok, lembaga bahkan negara. Demikian juga mad’u bisa seorang, sekelompok orang, masyarakat luas, lembaga dan bahkan bangsa. Kelompok masyarakat bermasalah membutuhkan da’I yang bisa mendekatinya secara indifiduil dengan pendekatan conseling agama (irsyad an nafsiy). Masyarakat birokrasi memerlukan da’I yang menguasai psikologi perburuhan dan psikologi administrasi, dan mereka tidak mesti harus bertatap muka, tetapi dakwahnya cukup diwujudkan dalam sistem manajemen dan administrasi. Demikianlah, semua segmen mad’u membutuhkan da’I dari segmen tertentu pula.
saya setuju dengan pendapat Pak Mubarok, jika dakwah membutuhkan pendekatan personal. Sebab pada prinsipnya, banyak mad'u yang tidak tersentuh oleh para dai yang d menggunakan metode ceramah. jadi, perlu adanya suatu wadah atau lembaga yang bisa menyediakan tenaga-tenaga konselor Islam. Kebetulan saya sendiri dari Jurusan Penyuluhan ISlam, fakultas Dakwah IAIN.
Great post. I am going through some of these issues as well.
.
Feel free to visit my web-site; CityVille Cheats Collection
Post a Comment
Home