Wednesday, July 16, 2008
Solidaritas Sosial Kita Dipertanyakan
Kontroversi nampaknya terjadi dimana-mana. Di dunia, citra Indonesia sangat buruk. Korup¬si, anarki, pelanggaran HAM, kemiskinan, salah urus, fundamentalisme, terorisme dan banyak lagi stempel buruk, banyak dialamatkan kepada bangsa Indonesia. Benarkah semua berita itu? atau ha¬nya rekayasa media Barat yang memang mempunyai agenda tersendiri ?
Terlepas dari benar tidaknya citra itu, memang banyak dijumpai kontroversi pada masyarakat kita. Disebutkan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan krisis hebat, dan sudah berada di ambang kebang¬krutan, tetapi jemaah haji Indonesia ternyata mencapai angka duaratus ribu, atau terbesar di dunia, dan banyak diantara mereka yang pergi haji untuk yang kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya... Meningkatnya jumlah jemaah haji semestinya merupakan indikator peningkatan ekonomi rakyat, karena hanya yang memiliki istitha‘ah-lah yang bisa pergi haji. Di Makah dan Madinah, kesan Indonesia sedang berada dalam krisis berat justeru tidak nampak, karena jemaah haji Indonesia termasuk pembelanja berat. Para pedagang di dua kota suci itu sangat senang kepada jemaah haji Indonesia karena kegemaran belanjanya itu.
Kontroversi juga nampak di dalam negeri. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mobil mewah yang berharga diatas satu milyard rupiah berseliweran. Mobil built up yang berharga di atas duaratus juta tidak lagi dianggap mewah. Resto¬ran mewah di pusat hiburan dengan menu diatas Rp. 400.000,-/per porsi (setara dengan 80 bungkus nasi padang) juga dipenuhi de¬ngan pengunjung. Pada hari libur, hotel dan villa di Puncak misalnya, juga penuh terisi, bukan oleh turis asing, tetapi oleh turis domestik. Pesta pernikahan di kota besar lebih lagi tidak men¬cerminkan krisis eko¬nomi. Makanan lezat, pakaian mewah dan jumlah tamu undangan yang mencapai ribuan mengindikasikan kemakmuran.
Di sisi lain, angka pengangguran sangat tinggi, pengemis, pengamen, pedagang asongan kecil, pak ogah dan “polisi” cepe “menghiasi” pemandangan di setiap keramaian. Gagal panen dan gagal memasar¬kan produksi pertanian juga sudah tidak lagi menjadi berita, tetapi kenaikan harga-harga, termasuk harga BBM, tarip listrik dan telpon secara sistematis terus berlanjut, menyebabkan menurunnya secara drastis daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat luas ini membawa imbas pada terhambatnya pendi¬dikan generasi muda karena ketidakmampuan orang tua membayar biaya pendidikan yang bermutu. Keadaan ini diperparah dengan bencana alam yang datang secara beruntun, tanah longsor dan banjir, ditambah problem daerah konflik Aceh, Ambon, Kalimantan, Maluku Utara dan Poso yang belum selesai kemudian menempatkan banyak masyarakat dalam posisi economic need. Boro-boro mikir masa depan anak, makan hari ini dan tempat berteduhpun masih menjadi problem.
Hujan dan banjir meluas dan berkepanjangan sedikit banyak menumbuhkan gerakan solidaritas sosial dari pelbagai pihak. Tetapi lagi-lagi, aksi solidaritas sosial kita belum menyentuh pemecahan masalah. Pasca musibah, problem masyarakat kecil sangat mendasar, baik menyangkut dasar-dasar ekonomi mereka maupun pendidikan bagi anak-anak dan generasi mudanya, sementara nilai aksi solidaritas sosial masyarakat yang hanya bersifat konsumtif tak ubahnya sekedar terapi Reumason, sebentar memberi rasa kehangatan, tetapi sebenarnya belum menyentuh permasalahan. Proposionalkah orang menjalankan ibadah haji ke tiga, ke empat, ke lima dan seterusnya? Sementara di tanah air, ratusan ribu saudara-saudara¬nya membutuhkan bantuan strategis. Proposional ¬kah orang makan di restoran yang sekali makan saja biayanya setara dengan kebutuhan 80 perut orang miskin, dan ketika bencana terjadi ia hanya sekedar mengirimkan sekian truk Indomie ke daerah bencana? Proposionalkah orang yang menikmati “keberkahan” negeri ini secara melimpah ruah, tetapi ia tak ber¬fikir nasib masa depan orang lain yang jauh berada di bawah garis kemiskinan ? Tidakkah sudah waktunya memikirkan bagaimana sistem sosial kita agar kesen¬jangan sosial tidak terlalu lebar ? Moralitas al Qur’an berbunyi; bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak bagi orang yang meminta dan yang tidak sempat meminta, wafi amwalihim haqqun lissa ili wal mahrum (Q/51:19), bahwa orang miskin memiliki saham pada harta si kaya. Menjadi tugas para negarawan yang juga khalifah Allah untuk mengetrapkan nilai moralitas ini dalam sistem sosial.
Dari segi agama, adalah juga sangat ironis, sese¬orang berderma dengan uang sisa dan pakaian bekas, tetapi ia berdoa untuk dimasukkan ke sorga. Ia membayar dengan sesuatu yang tak bernilai, tetapi mohon kepada Tuhan sesuatu yang tak ternilai. Siapakah kita sebenarnya ?
Terlepas dari benar tidaknya citra itu, memang banyak dijumpai kontroversi pada masyarakat kita. Disebutkan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan krisis hebat, dan sudah berada di ambang kebang¬krutan, tetapi jemaah haji Indonesia ternyata mencapai angka duaratus ribu, atau terbesar di dunia, dan banyak diantara mereka yang pergi haji untuk yang kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya... Meningkatnya jumlah jemaah haji semestinya merupakan indikator peningkatan ekonomi rakyat, karena hanya yang memiliki istitha‘ah-lah yang bisa pergi haji. Di Makah dan Madinah, kesan Indonesia sedang berada dalam krisis berat justeru tidak nampak, karena jemaah haji Indonesia termasuk pembelanja berat. Para pedagang di dua kota suci itu sangat senang kepada jemaah haji Indonesia karena kegemaran belanjanya itu.
Kontroversi juga nampak di dalam negeri. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mobil mewah yang berharga diatas satu milyard rupiah berseliweran. Mobil built up yang berharga di atas duaratus juta tidak lagi dianggap mewah. Resto¬ran mewah di pusat hiburan dengan menu diatas Rp. 400.000,-/per porsi (setara dengan 80 bungkus nasi padang) juga dipenuhi de¬ngan pengunjung. Pada hari libur, hotel dan villa di Puncak misalnya, juga penuh terisi, bukan oleh turis asing, tetapi oleh turis domestik. Pesta pernikahan di kota besar lebih lagi tidak men¬cerminkan krisis eko¬nomi. Makanan lezat, pakaian mewah dan jumlah tamu undangan yang mencapai ribuan mengindikasikan kemakmuran.
Di sisi lain, angka pengangguran sangat tinggi, pengemis, pengamen, pedagang asongan kecil, pak ogah dan “polisi” cepe “menghiasi” pemandangan di setiap keramaian. Gagal panen dan gagal memasar¬kan produksi pertanian juga sudah tidak lagi menjadi berita, tetapi kenaikan harga-harga, termasuk harga BBM, tarip listrik dan telpon secara sistematis terus berlanjut, menyebabkan menurunnya secara drastis daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat luas ini membawa imbas pada terhambatnya pendi¬dikan generasi muda karena ketidakmampuan orang tua membayar biaya pendidikan yang bermutu. Keadaan ini diperparah dengan bencana alam yang datang secara beruntun, tanah longsor dan banjir, ditambah problem daerah konflik Aceh, Ambon, Kalimantan, Maluku Utara dan Poso yang belum selesai kemudian menempatkan banyak masyarakat dalam posisi economic need. Boro-boro mikir masa depan anak, makan hari ini dan tempat berteduhpun masih menjadi problem.
Hujan dan banjir meluas dan berkepanjangan sedikit banyak menumbuhkan gerakan solidaritas sosial dari pelbagai pihak. Tetapi lagi-lagi, aksi solidaritas sosial kita belum menyentuh pemecahan masalah. Pasca musibah, problem masyarakat kecil sangat mendasar, baik menyangkut dasar-dasar ekonomi mereka maupun pendidikan bagi anak-anak dan generasi mudanya, sementara nilai aksi solidaritas sosial masyarakat yang hanya bersifat konsumtif tak ubahnya sekedar terapi Reumason, sebentar memberi rasa kehangatan, tetapi sebenarnya belum menyentuh permasalahan. Proposionalkah orang menjalankan ibadah haji ke tiga, ke empat, ke lima dan seterusnya? Sementara di tanah air, ratusan ribu saudara-saudara¬nya membutuhkan bantuan strategis. Proposional ¬kah orang makan di restoran yang sekali makan saja biayanya setara dengan kebutuhan 80 perut orang miskin, dan ketika bencana terjadi ia hanya sekedar mengirimkan sekian truk Indomie ke daerah bencana? Proposionalkah orang yang menikmati “keberkahan” negeri ini secara melimpah ruah, tetapi ia tak ber¬fikir nasib masa depan orang lain yang jauh berada di bawah garis kemiskinan ? Tidakkah sudah waktunya memikirkan bagaimana sistem sosial kita agar kesen¬jangan sosial tidak terlalu lebar ? Moralitas al Qur’an berbunyi; bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak bagi orang yang meminta dan yang tidak sempat meminta, wafi amwalihim haqqun lissa ili wal mahrum (Q/51:19), bahwa orang miskin memiliki saham pada harta si kaya. Menjadi tugas para negarawan yang juga khalifah Allah untuk mengetrapkan nilai moralitas ini dalam sistem sosial.
Dari segi agama, adalah juga sangat ironis, sese¬orang berderma dengan uang sisa dan pakaian bekas, tetapi ia berdoa untuk dimasukkan ke sorga. Ia membayar dengan sesuatu yang tak bernilai, tetapi mohon kepada Tuhan sesuatu yang tak ternilai. Siapakah kita sebenarnya ?
assalamu'alaikum,zaman skrg zaman serba tdk pasti,manusia indonesia bisa di hitung dng jari yg msh mempunyai jiwa solidaritas sosial terhadap sesama,krn smua itu di contoh dari yg di atas mau mementingkan diri sndri (pemimpin/pejabat negara,para ulama dan tokoh masyarakat),coba kt lihat tindak tanduk mrk2 tsb,apa bisa kita ambil jd teladan,pjbat ngara kita,mrk pd sibuk ngembalikan modal wkt mau jd pjbat,tokoh masyarakat kt,mrk pd sibuk cari nama dan harta,para alim ulama kt,mrk juga sibuk terjun ke dunia politik untuk mencalon kan diri jd pjabat,dan org2 kaya indonesia?,mrk juga sibuk menmbah kekayaan nya diatas pendritaan saudara2 nya yg miskin dan papa,trus siapa ya akan jd panutan masyarakat indonesia ini?,ini lah hasil dari perbuatan2 laknat yg tlah dilakukan para pejabat negara dan tokoh2 di negara ini,laknat Allah swt menimpa seluruh rakyat indonesia tanpa kcuali,na'udzubillah,wassalam,firman chaniago di ciputat tangerang.
Prof.,Assalamualaikum,
Keegoisan sering mengiringi kekayaan harta.
Entah mengapa, hati bisa membatu manakala insan manusia
diberkati harta berkelimpahan. Tetapi yg aneh, hati batu itu
bisa masih ingin mencuri perhatian malah mencari muka kepada Tuhannya
Ada pendapat yg mengatakan, hak mereka untuk menunaikan ibadah haji beberapa kali. Mungkin sebab nikmatnya bertamu ke Baitullah.
Tapi seperti yang sebagian kita meyakini, karena ajaran agama kita,
di dalam harta seorang kaya, tidaklah bersih dari hak orang miskin.
Sayangnya, mengapa ajaran sederhana nan bijak ini tidak tertanam di benak mereka-mereka yg beruntung ?
Yg tahu agamanya mengajarkan demikian ? Yg ada jadinya malah penerimaan dari keimanan yg lain seperti di sebuah milis, bisa menanggapi dengan:
[“Pantas bisa terjadi penjarahan waktu Mei 1998.
Rupanya ini ayat yg dijadikan dasarnya ?
Orang miskin tidak punya hak apapun dari orang kaya.
Kita perlu belajar baik2 untuk bisa membedakan hak dan privilege
(busyet kaga kepikiran apa ini terjemahannya)”] .
Saya mengira, keegoisan timbul dari hilangnya rasa persaudaraan
antar manusia sebangsa, bukan hanya seummat golongan agama.
Yg tumbuh subur adalah saling curiga dan memusuhi.
Identitas yg lemah, individualistis dalam memahami agama (agama
diperalat untuk kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok),
tak adanya pelajaran budi-pekerti (bedakan dengan ajaran dogma)
di sekolah2, tidak adanya pelatihan menghaluskan akal-budi, seperti yg
sederhana saja, tambahkan jam-nya bila sudah ada: pelajaran menggambar, menyanyi, membuat karangan, kesusasteraan, pelajaran berpentas atau bermain drama, pendeknya yg mengasah sisi seni dan kehalusan budi ,etika, penanaman dan pengajaran rasa sosial, yang selama ini nihil dari keteladanan. Sedangkan manusia dewasa disini banyak yg buta akan hal itu.
Yg ada sekarang orang berlainan iman saling menghujat. Primitif, ‘kan ? Maka dari mana mau mengharapkan begitu saja naluri kemanusiaan subur dan langgeng untuk sesamanya, bila tidak pernah diajarkan ?
Tidak ada rekayasa media Barat dalam hal ini. Jangan kita mudah curiga.Kita yg harus malu dan mengakui borok karakter manusia kita.
Wassalam.
indrana pringgodigdo.
Post a Comment
Home