Monday, October 20, 2008
Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik
Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktifitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dan klien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab 'alaih.
Pengertian hisbah
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menum¬buhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah:
artinya : Hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan men¬cegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104)
artinya: Tidak ada kebajikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia ) memberi sedekah, atau yang berbuat maíruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q/4:114)
Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.
Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien ter¬dorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya.
Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.
Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran.
artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengizinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang ribut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka Nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah aku tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu.
Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiar¬kannya, kata pemuda itu. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga, ya Rasul, Demi Alah aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perem¬puanya atau bibinya dizinahi. Nabi kemudian meletakkan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. (H.R. Ahmad dari Abu Umamah)
Menurut parawi hadis tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina.
Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam mengha¬dapi pemuda itu Nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang im¬plikasi zina bagai orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memu¬tuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psi¬kologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus.
Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Yang pertama men¬dasarkan pendapatnya pada firman Allah:
artinya: Orang-orang mukmin, laki dan perempuan, yang satu dengan lainnya adalah kekasih dan orang kepercayaannya, mereka selalu beramar makruf dan nahi munkar. (Al Taubah, 71)
artinya: Demi masa. Sesunguhnya manusia senantiasa merugi, kecuali orang yang beriman, bermalal saleh dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. (Q/103: 1-3)
Yang berpendapat hukumnya fardlu kifayah menda¬sarkan pendapatnya pada ayat al Qur'an:
artinya: Hendaknya ada diantara kalian sekelompok orang yang bekerja mengajak kebaikan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, merekalah orangorang yang beruntung. (Ali Imran 104).
Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga ketika itu jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang/amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pe¬merintah.
Bentuk-bentuk ihtisab/hisbah ketika itu menurut Ka¬mal Ibrahim Mursi antara lain :
(a) Pemberian nasehat (mau'idzah hasanah) secara umum, yakni dilakukan secara perorangan atau kelompok, di masjid, di rumah atau di tempat kerja. Tahap ini sifatnya merupakan langkah prefentip.
(b) Bimbingan ringan secara individuil
Bentuk hisbah ini diberikan kepada orang-orang yang nyata nyata membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Obyek bimbingannya bisa menyangkut masalah ke¬agamaan, kerumah tangaan, kepribadian, pekerjaan dsb. Dalam menjalankan hisbah dalam bentuk ini, muhtasib (konselor) berusaha menjumpai muhtasab 'alaihi (klien) berdua saja. Bentuk hisbah ini dilakukan untuk mendorong motivasi klien pada kebaikan, dan mendo¬rongnya alergi terhadap kemunkaran,dan menyadarkannya untuk menerima kenyataan secara ikhlas.
(c) Bimbingan berat secara individuil
Metode ini dilakukan terhadap orang yang sudah terang terangan menjalankan perbuatan tercela/keji, dan terang-terangan pula tidak mau mengerjakan perbuatan baik, orang yang sudah akrab dengan kejahatan dan allergi terhadap kebaikan. Orang pada tingkat seperti ini biasanya sudah tidak mempan terhadap nasehat-nasehat yang lemah lembut.
Kepada orang semacam ini, muhtasib dalam perca¬kapanya sengaja menggunakan kata-kata yang keras seraya mengingatkan resiko yang akan diterimanya di dunia maupun di akhirat, jika tidak mau mengubah perilakunya. Muhtasib dengan memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang mempunyai kepedulian, secara sengaja mengetuk keras-keras pintu hati klien —semacam schok terapi— agar pintu hatinya bisa terkuak, karena ketukan halus tidak akan pernah didengar atau bahkan ditertawakan.
(d) Bimbingan massal
Metode ini digunakan dalam kasus pertikaian, yakni bimbingan untuk mendamaikan perselisihan yang sudah terlanjur terbuka, antara buruh dan majikan, peminjam dan yang dipinjami, penjual dan pembeli, perselisihan anak dan ayah, suami dan isteri dsb. Karena persoalannya sudah terbuka maka hisbah yang diberi¬kan juga dilakukan secara terbuka, misalnya dalam forum perdamaian. 22)
Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh negara nantinya me¬munculkan istilah wilayat al, Hisbah dalam Fiqh al Siyasah/sistim politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah.
Pengertian hisbah
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menum¬buhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah:
artinya : Hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan men¬cegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104)
artinya: Tidak ada kebajikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia ) memberi sedekah, atau yang berbuat maíruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q/4:114)
Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.
Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien ter¬dorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya.
Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.
Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran.
artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengizinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang ribut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka Nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah aku tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu.
Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiar¬kannya, kata pemuda itu. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga, ya Rasul, Demi Alah aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perem¬puanya atau bibinya dizinahi. Nabi kemudian meletakkan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. (H.R. Ahmad dari Abu Umamah)
Menurut parawi hadis tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina.
Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam mengha¬dapi pemuda itu Nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang im¬plikasi zina bagai orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memu¬tuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psi¬kologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus.
Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Yang pertama men¬dasarkan pendapatnya pada firman Allah:
artinya: Orang-orang mukmin, laki dan perempuan, yang satu dengan lainnya adalah kekasih dan orang kepercayaannya, mereka selalu beramar makruf dan nahi munkar. (Al Taubah, 71)
artinya: Demi masa. Sesunguhnya manusia senantiasa merugi, kecuali orang yang beriman, bermalal saleh dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. (Q/103: 1-3)
Yang berpendapat hukumnya fardlu kifayah menda¬sarkan pendapatnya pada ayat al Qur'an:
artinya: Hendaknya ada diantara kalian sekelompok orang yang bekerja mengajak kebaikan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, merekalah orangorang yang beruntung. (Ali Imran 104).
Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga ketika itu jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang/amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pe¬merintah.
Bentuk-bentuk ihtisab/hisbah ketika itu menurut Ka¬mal Ibrahim Mursi antara lain :
(a) Pemberian nasehat (mau'idzah hasanah) secara umum, yakni dilakukan secara perorangan atau kelompok, di masjid, di rumah atau di tempat kerja. Tahap ini sifatnya merupakan langkah prefentip.
(b) Bimbingan ringan secara individuil
Bentuk hisbah ini diberikan kepada orang-orang yang nyata nyata membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Obyek bimbingannya bisa menyangkut masalah ke¬agamaan, kerumah tangaan, kepribadian, pekerjaan dsb. Dalam menjalankan hisbah dalam bentuk ini, muhtasib (konselor) berusaha menjumpai muhtasab 'alaihi (klien) berdua saja. Bentuk hisbah ini dilakukan untuk mendorong motivasi klien pada kebaikan, dan mendo¬rongnya alergi terhadap kemunkaran,dan menyadarkannya untuk menerima kenyataan secara ikhlas.
(c) Bimbingan berat secara individuil
Metode ini dilakukan terhadap orang yang sudah terang terangan menjalankan perbuatan tercela/keji, dan terang-terangan pula tidak mau mengerjakan perbuatan baik, orang yang sudah akrab dengan kejahatan dan allergi terhadap kebaikan. Orang pada tingkat seperti ini biasanya sudah tidak mempan terhadap nasehat-nasehat yang lemah lembut.
Kepada orang semacam ini, muhtasib dalam perca¬kapanya sengaja menggunakan kata-kata yang keras seraya mengingatkan resiko yang akan diterimanya di dunia maupun di akhirat, jika tidak mau mengubah perilakunya. Muhtasib dengan memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang mempunyai kepedulian, secara sengaja mengetuk keras-keras pintu hati klien —semacam schok terapi— agar pintu hatinya bisa terkuak, karena ketukan halus tidak akan pernah didengar atau bahkan ditertawakan.
(d) Bimbingan massal
Metode ini digunakan dalam kasus pertikaian, yakni bimbingan untuk mendamaikan perselisihan yang sudah terlanjur terbuka, antara buruh dan majikan, peminjam dan yang dipinjami, penjual dan pembeli, perselisihan anak dan ayah, suami dan isteri dsb. Karena persoalannya sudah terbuka maka hisbah yang diberi¬kan juga dilakukan secara terbuka, misalnya dalam forum perdamaian. 22)
Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh negara nantinya me¬munculkan istilah wilayat al, Hisbah dalam Fiqh al Siyasah/sistim politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah.
Post a Comment
Home