Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, September 18, 2008

Islam & Pergumulan Budaya
at 1:40 AM 
Pendahuluan

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian “membumi”. Ketika masih di “langit” Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika “membumi” maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal nilai agama.

4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekpressip dari kebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti fikiranya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu ang sudah final.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger