Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, October 13, 2008

Makna Imam Dalam sholat
at 10:41 PM 
Manusia adalah makhluk sosial dan budaya. Salah satu wujud kebudayaan dan kesosialannya, mereka mengenal lembaga kepemimpinan. Di mana pun dan pada zaman kapan pun masyarakat manusia mengenal kepemimpinan. Dalam bahasa Arab, pemimpin disebut imam, amir, ra’is, za’im dan qa’id. Dalam Iingkungan Islam, Imam dipergunakan untuk menyebut pemimpin ibadah dan pemimpin dalam pengertian umum, Amir (umara/amirul mukminin) dipergunakan untuk menyebut panglima, qa’id digunakan untuk menyebut komandan, sedangkan rais digunakan untuk menyebut kepala negara atau Presiden dan za‘im untuk menyebut pemimpin kemasyarakatan (non formal).

Agama Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk menjalankan ibadah salat berjamaah. Salat jama’ah dipimpin oleh seorang imam, dan selebihnya menjadi makmum di belakangnya. Dalam salat jamaah, laiknya kepemimpinan dalam masyarakat, juga dikenal kriteria-kriteria (a) siapa yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika seorang imam, (c) apa kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum. Secara fiqhiyyah, siapa saja dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, tetapi pada hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia menghadap, melapor dan berdialog dengan Alloh SWT Yang Maha Agung, maka hanya orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.

Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad Din, kitab fiqh yang memiliki makna spiritualitas, menyebut enam kriteria persyaratan etis seorang imam. (1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan membuat makmum tidak dapat tuma’ninah (2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai muazzin dan imam sekaligus, (3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat awal waktu setiap harinya, (4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah, (5) Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya telah berbaris rapih, dan (6) bertakbir dengan suara lantang serta membaca Al Qur’an dengan fasih.

Shalat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup melakukannya.

Ia juga tidak boleh membaca ayat Al Qur’an terlalu panjang sekiranya ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi ke¬kurangannya, yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Al Qur’an, memberi kesempatan makmum yang belum sempurna membaca Fatihah.

Laiknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula mendahului gerakan imam, tetapi jika imam melakukan kekeliruan, makmum diberi hak untuk mengingatkan, yakni dengan mengucapkan kalimat Subhanallah.

Sebagai imbangan dari keharusan makmum mematuhi imam, seorang imam secara sportif langsung harus mengundurkan diri jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.

“Jabatan” Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak orang justeru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan diikuti oleh makmum di belakangnya. Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya’
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger