Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, May 18, 2009

Wacana Psikologi Islami
at 8:30 PM 
Belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah nama psikologi Islami atau psikologi Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbeda dengan disiplin ilmu sejarah Islam, Filsafat Islam atau hokum Islam-Ilmu psikologi Islam seperti halnya sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains. Kebaruan ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs atau jiwa-belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda. Psikologi, meskipun secara lughawi adalah psyche (jiwa, roh) dan logos (ilmu)-seharusnya adalah ilmu yang berbicara tentang jiwa sehingga dalam bahasa Indonesia juga disebut Ilmu Jiwa-tetapi psikologi tidak membicarakan jiwa, melainkan perbuatan sebagai gejala dari jiwa.

Sebagai disiplin ilmu baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18M, tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, ia mengatakan bahwa jiwa itu adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata. Kajian tentang nafs di Yunani selanjutnya menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani.

Runtuhnya peradaban Yunani Romawi, memberi peluang kepada pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah. Melalui gerakan penerjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan oleh para pemikir Islam terutama pada masa Dawlah Abbasiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya, dan selanjutnya melalui peradaban Islamlah Barat menemukan kembali kekayaan keilmuan yang telah hilang itu.

Pemahaman tantang nafs oleh para ulama generasi pertama tidak diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al-Quran dan hadits. Kata nafs disebut alQuran lebih dari 300 kali. Demikian juga dalam hadits nafs banyak disebutkan. Seperti telah diuraikan secara panjang lebar dalam bab 3 dan 4, nafs juga disebut alQuran dengan term lain, yaitu qalb, ‘aql, rûh dan bashirah. Dalam kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs yang berkembang bukan psikologi tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat tercela yang perlu disucikan (tazkiyah an nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs muthma-innah). Di sayap lain para failasuf Muslim juga terpengaruh oleh pemikiran Yunani dalam membahas nafs dan roh sehingga kubu filsafat Islam diwakili oleh Ibn Rusyd, yang terlibat perdebatan akademik berkepanjangan dengan al-Ghazâli dari kubu Ilmu Kalam dan tasawuf. Dalam kurun waktu lebih dari tujuh abad, nafs dibahas di dunia Islam dalam kajian yang bersifat sufistik dan falsafi.

Setelah dunia Islam jatuh dalam cengkeraman penjajahan Barat dan selanjutnya berada dalam di bawah pengaruh budaya sekuler Barat, banyak mahasiswa Muslim yang tergila-gila terhadap semua aspek peradaban yang datang dari Barat. Menurut Dr. Malik B. Badri, ada tiga fase perkembangan sikap psikolog muslim terhadap psikologi modern yang berasal dari Barat, yaitu (1) fase infantuasi, (2) fase rekonsiliasi dan (3) fase emansipasi.

Pada fase pertama mahasiswa muslim tergila-gila kepada teori psikologi dan tekniknya yang memikat. Mereka mengikuti sepenuhnya teori-teori psikologi modern tanpa kritik. Pada fase kedua mereka sudah mulai mencocok-cocokkan apa yang ada dalam teori psikologi dengan apa yang ada dalam alQuran. Mereka beranggapan bahwa di antara keduanya tidak ada pertentangan. Pada fase terakhir, mereka makin bersifat kritis terhadap pandangan-pandangan psikologi modern dan mengalihkan perhatiannya pada alQuran, hadits dan khazanah klasik Islam yang ternyata juga membahas nafs dan manusia. Tentang khazanah klasik menurut Imam Abu Manshur al-Tha’libî, ditemukan ada lima puluh kata yang digunakan kaum Muslimin untuk menyatakan tingkat perkembangan manusia seperti janin, walid, radi’i, baligh, murahiq dan lain-lain.

Pada akhirnya mereka mulai menyadari ketika mengkaji psikologi, mereka merasa sebagai Muslim yang psikolog, bukan psikolog yang kebetulan Muslim. Pandangan psikologi modern yang dipandang secara kritis terutama yang berhubungan dengan pandangan teori psikoanalisa dan behaviorisme karena kedua teori itu merendahkan martabat manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, sementara teori yang humanistik dipandang mendekati pandangan Islam.
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger