Thursday, April 23, 2009
Penggerak Kepada Pemilikan
Surat al-Baqarah / 2:212, dan Ali iImran / 3:14, mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dorongan psikologis untuk memiliki sesuatu untuk kesenangan dirinya. Kehidupan dunia itu dijadikan indah dalam pandangan orang-orang ingkar, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman, padahal orang yang bertakwa itu lebih mulia dibanding mereka di hari Kiamat, dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas (Q., s. al-Baqarah / 2:212).
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, cinta syahwati, yakni menginginkan kepada wanita-wanita, anak-anak, benda-benda berharga dari emas, perak kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (Q., s. Ali Imran / 3:14).
Menurut Isfahani mengandung arti keindahan hakiki, yakni sesuatu yang tidak memiliki cela pada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara global pengertian keindahan itu menurut Isfihani dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu keindahan psikologis, keindahan fisik dan keindahan faktor luar.
Dalam al-Qur'an seringkali dinisbahkan dengan Allah seperti ayat dan adakalanya dinisbahkan dengan setan seperti terdapat dalam ayat dan juga seringkali tidak dinisbahkan dengan fa'il tertentu karena dalam bentuk mabni majhul seperti dalam surat al-Baqarah / 2:212 dan surat Ali Imran / 3:14 di atas.
Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa di mata manusia, dunia dengan simbo-simbol benda berharga adalah sesuatu yang indah secara hakiki, yang kemudian mereka menginginkannya dan memandang perlu untuk memilikinya. Dorongan untuk memiliki itulah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dalam upaya memiliki apa yang diinginkannya.
Dorongan psikologis atau motif memiliki diperlukan oleh manusia untuk mendorongnya melakukan sesuatu yang diperlukan. Motif kepada kepemilikan itulah yang menyebabkan manusia memenuhi kebutuhan hidup sementaranya, dan motif itu pula yang menyebabkan manusia berebut benda-benda yang bersifat kesenangan duniawi yang tidak abadi. Dalam batas-batas tertentu, apa yang dilakukan manusia tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan, yakni mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk hidup di muka bumi.
Karena manusia bukan sekedar hewan tatapi hewan yang berpikir, maka manusia dalam merespons dorongan untuk memiliki dapat menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yakni untuk mencapai kebahagiaan dan kenikmatan abadi di akhirat, karena tujuan dapat mengendalikan tuntutan dari dorongan itu. Manusia memang bebas memilih, dan keputusan pilihannya itu akan berpengaruh pada arah hidupnya, dan akibat dari keputusan yang tidak tepat harus ditanggung oleh manusia itu sendiri. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk menentukan keinginannya tetapi dengan mengingatkan resikonya:
Barang siapa menghendaki, kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Q., s. Hud / 11:15-16).
Ayat di atas menyodorkan kepada manusia pilihan yang harus diambil, apakah kesenangan hidup duniawi seperti yang diinginkan oleh dorongan psikologisnya tetapi dengan risiko tidak memperoleh sesuatu di akhirat, atau menekan keinginan yang bersifat duniawinya dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat sesuai dengan kemuliaan martabatnya sebagai manusia. Allah SWT telah menciptakan manusia dan melengkapinya dengan perangkat yang memungkinkannya memperoleh kemudahan dan kenyamanan dalam hidupnya.
Orang bijak akan memilih menekan dan mengendalikan dorongan-dorongan kepada hal yang bersifat rendah, untuk kemudian melakukan perbuatan yang dapat merangsang dorongan kepada kebaikan. Sedangkan orang yang tercela, ia bahkan bertekuk lutut kepada dorongan kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan melayani seluruh keinginannya.
Karakter dari motif memiliki ini adalah mendorong manusia untuk berusaha memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi dan dalam tingkatan tertentu untuk serakah terhadap harta benda. Jika tujuan yang ditetapkan oleh manusia sekadar untuk memenuhi tuntutan hidup atau memfasilitasi kehidupan yang mulia, maka motif memiliki ini mendorongnya melakukan hal-hal yang baik dan pantas. Akan tetapi jika motif ini dimiliki oleh orang serakah yang bertujuan menumpuk harta dan menduduki kekuasaan didepan manusia, maka motif ini mendorongnya melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, mendorongnya untuk kikir dan bermusuhan dengan rivalnya, sementara hal-hal yang bermakna ridla Allah SWT tidak menarik perhatiannya.
Karakter motif memiliki itu temperamental dan sungguh-sungguh, hingga ia ingin segera memperoleh pemuasan dan tidak mau menunda. Motif memiliki yang sedang bekerja kuat senantiasa mendorong pemiliknya untuk berbuat maksimal bahkan melebihi kapasitas, dengan segala cara hanya demi memuaskan kebutuhan duniawiahnya. Ia memilih yang dekat dari pada yang jauh, memilih yang fana dari pada yang kekal. Sedangkan orang yang mampu menggunakan akalnya secara optimal, memilih yang kekal dibanding yang fana, menyibukkan diri dengan hal-hal yang penting dari pada mengejar 'buih'. Orang yang tunduk kepada motif memiliki hal-hal yang bersifat duniawi, ia seperti yang diisyaratkan surat al-A'la / 87:16-17, selalu mengutamakan kehidupan duniawi, meskipun sebenarnya kehidupan akhirat itu lebih bik dan lebih abadi.
Dalam kondisi yang menyimpang atau dalam kualitasnya yang rendah, motif memiliki dapat mendorng pemiliknya untuk bertindak serakah, melakukan kecurangan, menggunakan cara-cara yang kotor, atau bahkan merampas hak-hak orang lain dalam praktik-praktik usahanya. Kecenderungan bertindak menyimpang dan zalim dalam memenuhi keinginan memiliki harta dengan segala cara itu dapat dipahami dari bimbingan al-Qur'an agar manusia tidak diperbudak oleh hawa nafsunya, seperti:
1) Larangan usaha menguasai harta yang bukan haknya melalui pengadilan yang direkayasa seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2:188,
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Q., s. al-Baqarah / 2:188).
2) Bahwa mengambil keuntungan melalui jual beli yang tanpa paksaan itu dibolehkan, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’ / 4:29,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu …(Q., s. al-Nisa / 4:29).
3) Bahwa harta anak yatim yang berada dalam pengawasan seseorang harus dijaga sebaik-baiknya sebelum diserahkan kepada pemiliknya setelah ia bahwa seperti yang ada dalam surat al-Nisa / 4:6.)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, cinta syahwati, yakni menginginkan kepada wanita-wanita, anak-anak, benda-benda berharga dari emas, perak kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (Q., s. Ali Imran / 3:14).
Menurut Isfahani mengandung arti keindahan hakiki, yakni sesuatu yang tidak memiliki cela pada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara global pengertian keindahan itu menurut Isfihani dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu keindahan psikologis, keindahan fisik dan keindahan faktor luar.
Dalam al-Qur'an seringkali dinisbahkan dengan Allah seperti ayat dan adakalanya dinisbahkan dengan setan seperti terdapat dalam ayat dan juga seringkali tidak dinisbahkan dengan fa'il tertentu karena dalam bentuk mabni majhul seperti dalam surat al-Baqarah / 2:212 dan surat Ali Imran / 3:14 di atas.
Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa di mata manusia, dunia dengan simbo-simbol benda berharga adalah sesuatu yang indah secara hakiki, yang kemudian mereka menginginkannya dan memandang perlu untuk memilikinya. Dorongan untuk memiliki itulah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dalam upaya memiliki apa yang diinginkannya.
Dorongan psikologis atau motif memiliki diperlukan oleh manusia untuk mendorongnya melakukan sesuatu yang diperlukan. Motif kepada kepemilikan itulah yang menyebabkan manusia memenuhi kebutuhan hidup sementaranya, dan motif itu pula yang menyebabkan manusia berebut benda-benda yang bersifat kesenangan duniawi yang tidak abadi. Dalam batas-batas tertentu, apa yang dilakukan manusia tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan, yakni mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk hidup di muka bumi.
Karena manusia bukan sekedar hewan tatapi hewan yang berpikir, maka manusia dalam merespons dorongan untuk memiliki dapat menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yakni untuk mencapai kebahagiaan dan kenikmatan abadi di akhirat, karena tujuan dapat mengendalikan tuntutan dari dorongan itu. Manusia memang bebas memilih, dan keputusan pilihannya itu akan berpengaruh pada arah hidupnya, dan akibat dari keputusan yang tidak tepat harus ditanggung oleh manusia itu sendiri. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk menentukan keinginannya tetapi dengan mengingatkan resikonya:
Barang siapa menghendaki, kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Q., s. Hud / 11:15-16).
Ayat di atas menyodorkan kepada manusia pilihan yang harus diambil, apakah kesenangan hidup duniawi seperti yang diinginkan oleh dorongan psikologisnya tetapi dengan risiko tidak memperoleh sesuatu di akhirat, atau menekan keinginan yang bersifat duniawinya dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat sesuai dengan kemuliaan martabatnya sebagai manusia. Allah SWT telah menciptakan manusia dan melengkapinya dengan perangkat yang memungkinkannya memperoleh kemudahan dan kenyamanan dalam hidupnya.
Orang bijak akan memilih menekan dan mengendalikan dorongan-dorongan kepada hal yang bersifat rendah, untuk kemudian melakukan perbuatan yang dapat merangsang dorongan kepada kebaikan. Sedangkan orang yang tercela, ia bahkan bertekuk lutut kepada dorongan kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan melayani seluruh keinginannya.
Karakter dari motif memiliki ini adalah mendorong manusia untuk berusaha memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi dan dalam tingkatan tertentu untuk serakah terhadap harta benda. Jika tujuan yang ditetapkan oleh manusia sekadar untuk memenuhi tuntutan hidup atau memfasilitasi kehidupan yang mulia, maka motif memiliki ini mendorongnya melakukan hal-hal yang baik dan pantas. Akan tetapi jika motif ini dimiliki oleh orang serakah yang bertujuan menumpuk harta dan menduduki kekuasaan didepan manusia, maka motif ini mendorongnya melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, mendorongnya untuk kikir dan bermusuhan dengan rivalnya, sementara hal-hal yang bermakna ridla Allah SWT tidak menarik perhatiannya.
Karakter motif memiliki itu temperamental dan sungguh-sungguh, hingga ia ingin segera memperoleh pemuasan dan tidak mau menunda. Motif memiliki yang sedang bekerja kuat senantiasa mendorong pemiliknya untuk berbuat maksimal bahkan melebihi kapasitas, dengan segala cara hanya demi memuaskan kebutuhan duniawiahnya. Ia memilih yang dekat dari pada yang jauh, memilih yang fana dari pada yang kekal. Sedangkan orang yang mampu menggunakan akalnya secara optimal, memilih yang kekal dibanding yang fana, menyibukkan diri dengan hal-hal yang penting dari pada mengejar 'buih'. Orang yang tunduk kepada motif memiliki hal-hal yang bersifat duniawi, ia seperti yang diisyaratkan surat al-A'la / 87:16-17, selalu mengutamakan kehidupan duniawi, meskipun sebenarnya kehidupan akhirat itu lebih bik dan lebih abadi.
Dalam kondisi yang menyimpang atau dalam kualitasnya yang rendah, motif memiliki dapat mendorng pemiliknya untuk bertindak serakah, melakukan kecurangan, menggunakan cara-cara yang kotor, atau bahkan merampas hak-hak orang lain dalam praktik-praktik usahanya. Kecenderungan bertindak menyimpang dan zalim dalam memenuhi keinginan memiliki harta dengan segala cara itu dapat dipahami dari bimbingan al-Qur'an agar manusia tidak diperbudak oleh hawa nafsunya, seperti:
1) Larangan usaha menguasai harta yang bukan haknya melalui pengadilan yang direkayasa seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2:188,
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Q., s. al-Baqarah / 2:188).
2) Bahwa mengambil keuntungan melalui jual beli yang tanpa paksaan itu dibolehkan, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’ / 4:29,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu …(Q., s. al-Nisa / 4:29).
3) Bahwa harta anak yatim yang berada dalam pengawasan seseorang harus dijaga sebaik-baiknya sebelum diserahkan kepada pemiliknya setelah ia bahwa seperti yang ada dalam surat al-Nisa / 4:6.)
Post a Comment
Home