Wednesday, June 22, 2011
Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia adalah realita kebangsaan dengan ciri-ciri budaya yang dapat dikenali sebagai khas Indonesia, dengan bahasa nasional yang juga khas Indonesia. Keberadaan Indonesia sebagai satu bangsa tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi melalui proses sejarah yang bukan saja tidak mudah, tetapi penuh dengan dinamika konflik.
Cita-cita kebangsaan tidak selamanya berada di jalan lurus, terkadang menyimpang ke kiri dan ke kanan, Dalam usia kemerdekaan yang telah mencapai lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia masih tergolong bangsa baru, yang masih harus terus menyempurnakan proses penjadian dirinya menjadi bangsa (nation in making).
Era reformasi telah menyadarkan kepada kita bahwa problem yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini sungguh sangat Besar, Berat dan Rumit, yang oleh karena itu kita harus mampu melihat hubungan logis antara “krisis” yang kita derita sekarang dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa.
Dari Nusantara Hingga Indonesia
Sudah menjadi kodrat sejarah bahwa penghuni kawasan ribuan pulau (Nusantara) di Asia Tenggara ini disatukan dalam satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Ribuan pulau, ratusan bahasa, ratusan suku, beragam-ragam tradisi, nilai budaya dan keyakinan agama, karena kodrat sejarah membuatnya tetap bersatu. Sejarah tidak bisa direkayasa. Penjajahan Barat yang berlangsung lebih dari tiga abad, meski direkayasa dengan politik pecah belah justeru mengantar pada kesatuan wilayah yang sekarang dinamakan wawasan Nusantara.
Penjajahan dan politik pecah belah justeru telah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi persatuan, bahwa persatuan akan mengubah perbedaan menjadi kekuatan. Kesadaran kebangsaan ini merupakan naluri bangsa Indonesia. Oleh karena itu pergumulan pemikiran dan konflik-konflik yang pernah terjadi haruslah difahami sebagai dinamika sejarah kebangsaan.
Akar Klassik Nasionalis Religius
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian. Dari kawasan Anak Benua, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha, dan pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sanskerta. Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”. Jejak agama India ini tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat.
Budhisme merupakan falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hinduisme merupakan falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa. Karena Majapahit berdiri di latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Roro Jongrang) sekaligus maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan, beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa.
Kehadiran Budaya Kosmopolit Islam
Pada saat memuncaknya peradaban Islam, maka budaya Islam merupakan pola budaya umum seluruh belahan bumi Timur, bahkan sekaligus merupakan budaya global, karena ketika itu benua Amerika sebagai belahan bumi barat belum ditemukan. Karakteristik peradaban Islam yang mengglobal itu memudahkan peneguhan agama Islam di Asia Tengara. Peranan saudagar anak benua India berlanjut terus tetapi mereka tidak lagi beragama Hindu dan Budha melainkan Islam. Pola budaya Perso Arab sebagai buah masuk Islamnya imperium Persia, kemudian menggeser pola budaya Sanskerta. Perkembangan selanjutnya, pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak Arab dengan dominasi bahasa Arab, tergambar pada banyaknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Kerajaan Hindu-Budha (Majapahit-Sriwijaya) yang memasuki masa senja digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam (Aceh, Demak, Mataram, Ternate dll.).
Datangnya Kolonialisme/Imperialisme Eropa
Setelah tujuh abad peradaban Islam menjadi peradaban dunia, giliran bangsa Eropa bangkit. Bersamaan dengan melemahnya peradaban Islam, bangsa-bangsa Eropa, terutama dari Semenanjung Liberia (Spanyol dan Portugis) mengembara, mencari jalan sendiri ke India dan Timur Jauh, yang sebelumnya dikuasai saudagar Islam. Mereka bahkan menemukan benua Amerika. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan Islam ditaklukkan, termasuk Malaka yang menjadi pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara. Sejak itulah era kolonialisme dan imperialisme Eropa menguasai wilayah-wilayah negeri-negeri Islam. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mengkapling-kapling wilayah Nusantara, tetapi penjajahan terlama terhadap Indonesia dilakukan oleh Belanda. Sungguh Ironis bahwa bangsa-bangsa Barat mampu mengungguli bangsa-bangsa Muslim setelah mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Islam, dan pandangan hidup muslim yang egalitarian, partisipasi dan keterbukaan atas dasar kebebasan memilih, sementara pada saat yang sama dunia Islam kembali tersekat oleh kejumudan, feodalisme dan politik despotik-otokratik-totaliter.
Perlawanan paling sengit terhadap kolonialis Eropa dilakukan oleh Sultan dan Ulama, terutama di wilayah bandar-bandar perdagangan, oleh karena itu pahlawan nasional kita pada masa itu kebanyakan para sultan dan ulama. Penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad mengobarkan semangat perang budaya dari kaum santri, yaitu boikot total terhadap semua yang berbau Belanda. Di satu sisi boikot budaya ini sangat efektip melindungi ummat dari pengaruh kolonial, tetapi di sisi lain sangat merugikan karena boikot total menjadikan kaum santri tidak bisa melakukan interaksi sosial dengan per¬kembangan modern, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam proses modernisasi. Dampak negatif dari politik boikot ini masih terasa hingga zaman kemerdekaan, dimana kaum santri tetap memandang segala sesuatu yang datang dari Pemerintah (misalnya sistem pendidikan) sebagai urusan duniawi yang haram atau makruh. Kini bahkan masih ada yang memandang Pemerintah sebagai thoghut dan hormat bendera merah putih dalam upacara bendera sebagai dosa syirik. Marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat santri dalam bidang pendidikan masih mewariskan kesulitan bangsa dan negara hingga kini, satu masalah yang tidak boleh dianggap sepele.
Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme Modern
Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda. Dalam upaya melanggengkan penjajahannya di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang menghambat perkembangan kecerdasan pribumi. Dari segi hukum, stratifikasi penduduk tanah jajahan dibagi menjadi empat; tertingi penduduk Eropa, kemudian Timur Asing (Cina dan Arab), kemudian aristokrat pribumi (priyayi) dan baru rakyat biasa. Stratifikasi ini juga diwujudkan dalam sistem pendi¬dikan; khusus untuk orang Eropa (ELS), kemudian sekolah khusus untuk golongan Timur Asing (HAS dan HCS), kemudian sekolah untuk golongan priyayi (HIS), baru sekolah untuk rakyat umum, yaitu Volkse School (Sekolah Ongko Siji) dan Tweede Volkse School (Sekolah Ongko Loro). Dari sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda itu tidak memungkinkan orang Indonsia dapat menjadi terpelajar, kecuali priyayi yang sekolahanya justeru didesain untuk kepentingan penjajahan.
Satu hal yang tak diduga Belanda, dari STOVIA dan NIAS yakni dua sekolah kedokteran Jawa yang di Jakarta dan Surabaya muncul bibit-bibit nasionalisme modern, seperti Dr. Wahidin dan DR. Sutomo. Demikian juga priyayi yang sekolah di negeri Belanda mengalami pencerahan nasionalisme. Walhasil, pada paruh pertama abad XX, tumbuhlah kesadaran nasio¬nalisme modern, baik yang bersifat nasionalis seperti Yong Java, maupun yang bernuansa Islam, seperti Yong Islamitten Bond, Serikat Dagang Islam , Sumpah Pemuda dan lain-lain. Kesadaran nasionalis modern itulah yang nantinya mengantar pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Cita-cita kebangsaan tidak selamanya berada di jalan lurus, terkadang menyimpang ke kiri dan ke kanan, Dalam usia kemerdekaan yang telah mencapai lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia masih tergolong bangsa baru, yang masih harus terus menyempurnakan proses penjadian dirinya menjadi bangsa (nation in making).
Era reformasi telah menyadarkan kepada kita bahwa problem yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini sungguh sangat Besar, Berat dan Rumit, yang oleh karena itu kita harus mampu melihat hubungan logis antara “krisis” yang kita derita sekarang dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa.
Dari Nusantara Hingga Indonesia
Sudah menjadi kodrat sejarah bahwa penghuni kawasan ribuan pulau (Nusantara) di Asia Tenggara ini disatukan dalam satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Ribuan pulau, ratusan bahasa, ratusan suku, beragam-ragam tradisi, nilai budaya dan keyakinan agama, karena kodrat sejarah membuatnya tetap bersatu. Sejarah tidak bisa direkayasa. Penjajahan Barat yang berlangsung lebih dari tiga abad, meski direkayasa dengan politik pecah belah justeru mengantar pada kesatuan wilayah yang sekarang dinamakan wawasan Nusantara.
Penjajahan dan politik pecah belah justeru telah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi persatuan, bahwa persatuan akan mengubah perbedaan menjadi kekuatan. Kesadaran kebangsaan ini merupakan naluri bangsa Indonesia. Oleh karena itu pergumulan pemikiran dan konflik-konflik yang pernah terjadi haruslah difahami sebagai dinamika sejarah kebangsaan.
Akar Klassik Nasionalis Religius
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian. Dari kawasan Anak Benua, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha, dan pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sanskerta. Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”. Jejak agama India ini tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat.
Budhisme merupakan falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hinduisme merupakan falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa. Karena Majapahit berdiri di latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Roro Jongrang) sekaligus maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan, beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa.
Kehadiran Budaya Kosmopolit Islam
Pada saat memuncaknya peradaban Islam, maka budaya Islam merupakan pola budaya umum seluruh belahan bumi Timur, bahkan sekaligus merupakan budaya global, karena ketika itu benua Amerika sebagai belahan bumi barat belum ditemukan. Karakteristik peradaban Islam yang mengglobal itu memudahkan peneguhan agama Islam di Asia Tengara. Peranan saudagar anak benua India berlanjut terus tetapi mereka tidak lagi beragama Hindu dan Budha melainkan Islam. Pola budaya Perso Arab sebagai buah masuk Islamnya imperium Persia, kemudian menggeser pola budaya Sanskerta. Perkembangan selanjutnya, pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak Arab dengan dominasi bahasa Arab, tergambar pada banyaknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Kerajaan Hindu-Budha (Majapahit-Sriwijaya) yang memasuki masa senja digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam (Aceh, Demak, Mataram, Ternate dll.).
Datangnya Kolonialisme/Imperialisme Eropa
Setelah tujuh abad peradaban Islam menjadi peradaban dunia, giliran bangsa Eropa bangkit. Bersamaan dengan melemahnya peradaban Islam, bangsa-bangsa Eropa, terutama dari Semenanjung Liberia (Spanyol dan Portugis) mengembara, mencari jalan sendiri ke India dan Timur Jauh, yang sebelumnya dikuasai saudagar Islam. Mereka bahkan menemukan benua Amerika. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan Islam ditaklukkan, termasuk Malaka yang menjadi pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara. Sejak itulah era kolonialisme dan imperialisme Eropa menguasai wilayah-wilayah negeri-negeri Islam. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mengkapling-kapling wilayah Nusantara, tetapi penjajahan terlama terhadap Indonesia dilakukan oleh Belanda. Sungguh Ironis bahwa bangsa-bangsa Barat mampu mengungguli bangsa-bangsa Muslim setelah mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Islam, dan pandangan hidup muslim yang egalitarian, partisipasi dan keterbukaan atas dasar kebebasan memilih, sementara pada saat yang sama dunia Islam kembali tersekat oleh kejumudan, feodalisme dan politik despotik-otokratik-totaliter.
Perlawanan paling sengit terhadap kolonialis Eropa dilakukan oleh Sultan dan Ulama, terutama di wilayah bandar-bandar perdagangan, oleh karena itu pahlawan nasional kita pada masa itu kebanyakan para sultan dan ulama. Penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad mengobarkan semangat perang budaya dari kaum santri, yaitu boikot total terhadap semua yang berbau Belanda. Di satu sisi boikot budaya ini sangat efektip melindungi ummat dari pengaruh kolonial, tetapi di sisi lain sangat merugikan karena boikot total menjadikan kaum santri tidak bisa melakukan interaksi sosial dengan per¬kembangan modern, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam proses modernisasi. Dampak negatif dari politik boikot ini masih terasa hingga zaman kemerdekaan, dimana kaum santri tetap memandang segala sesuatu yang datang dari Pemerintah (misalnya sistem pendidikan) sebagai urusan duniawi yang haram atau makruh. Kini bahkan masih ada yang memandang Pemerintah sebagai thoghut dan hormat bendera merah putih dalam upacara bendera sebagai dosa syirik. Marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat santri dalam bidang pendidikan masih mewariskan kesulitan bangsa dan negara hingga kini, satu masalah yang tidak boleh dianggap sepele.
Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme Modern
Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda. Dalam upaya melanggengkan penjajahannya di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang menghambat perkembangan kecerdasan pribumi. Dari segi hukum, stratifikasi penduduk tanah jajahan dibagi menjadi empat; tertingi penduduk Eropa, kemudian Timur Asing (Cina dan Arab), kemudian aristokrat pribumi (priyayi) dan baru rakyat biasa. Stratifikasi ini juga diwujudkan dalam sistem pendi¬dikan; khusus untuk orang Eropa (ELS), kemudian sekolah khusus untuk golongan Timur Asing (HAS dan HCS), kemudian sekolah untuk golongan priyayi (HIS), baru sekolah untuk rakyat umum, yaitu Volkse School (Sekolah Ongko Siji) dan Tweede Volkse School (Sekolah Ongko Loro). Dari sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda itu tidak memungkinkan orang Indonsia dapat menjadi terpelajar, kecuali priyayi yang sekolahanya justeru didesain untuk kepentingan penjajahan.
Satu hal yang tak diduga Belanda, dari STOVIA dan NIAS yakni dua sekolah kedokteran Jawa yang di Jakarta dan Surabaya muncul bibit-bibit nasionalisme modern, seperti Dr. Wahidin dan DR. Sutomo. Demikian juga priyayi yang sekolah di negeri Belanda mengalami pencerahan nasionalisme. Walhasil, pada paruh pertama abad XX, tumbuhlah kesadaran nasio¬nalisme modern, baik yang bersifat nasionalis seperti Yong Java, maupun yang bernuansa Islam, seperti Yong Islamitten Bond, Serikat Dagang Islam , Sumpah Pemuda dan lain-lain. Kesadaran nasionalis modern itulah yang nantinya mengantar pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda.
khaadi 3 piece suit stitched
khaadi online stitched
Post a Comment
Home