Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, June 23, 2011

Proklamasi Kemerdekaan
at 8:24 PM 
Penjajahan Jepang, meski singkat dan sangat keras, tetapi berhasil mangakumulasi kesadaran nasional untuk merdeka. Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi para pendiri negara Republik Indonesia pada tahun 1945 tidak merujuk sejarah Islam atau contoh di Dunia Islam dalam membangun negara bangsa. Tokoh Nasionalis Muslim sekaliber HOS Cokroaminoto dan Agus Salim rupanya memiliki kemampuan untuk memahami komunitas Indonesia yang terbuka dan egaliter partisipatif. Pendidikan modern telah membantu mereka memahami konsep-konsep nasionalisme modern yang berlawanan dengan konsep-konsep kekuasaan para raja feodal.

Tetapi religiusitas para faunding father negeri kita nampak jelas seperti yang dapat dibaca pada pembukaan UUD 45, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah, dan hubungan vertikal negara dengan agama dituangkan dalam fasal 29 UUD 45, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pergumulan Nasionalisme Vs. Islamisme
Perdebatan dalam Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berlangsung sangat seru dan dinamis tetapi sehat, karena dilakukan oleh tokoh-tokoh negarawan yang mengedepankan kepentingan bangsa melebihi kepentingan kelompok dan pribadi. Secara garis besar mereka terdiri dari kelompok nasionalis muslim dan tokoh Islam nasionalis. Kebesaran jiwa mereka nampak sekali, tercermin pada persetujuan AA. Maramis yang beragama Kristen terhadap rancangan Piagam Jakarta, dan kesediaan tokoh-tokoh Islam untuk mencoret tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta demi tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia.

Dekrit 5 Juli 1959
Pergumulan pemikiran nasionalisme dengan Islamisme dalam perumusan konstitusi Indonesia sesungguhnya justeru mencerminkan jati diri nasionalis religius dari bangsa Indonesia. Tokoh Islam yang membawa aspirasi Islamisme seperti Moh. Natsir adalah seratus persen tokoh nasionalis, sementara banyak pembawa aspirasi nasionalis seperti Bung Hatta adalah tokoh yang juga taat beribadah. Adu argumen dari para pemimpin bangsa ini sangat sehat, jauh dari trik-trik konyol. Kekentalan corak nasionalis religius juga tercermin dalam hasil Pemilu pertama 1955 sehingga tarik ulur nasionalis vs. Islamisme dalam Majelis Konstituante tak pernah melahirkan pemenang. Ujung dari pergumulan itu akhirnya diselesaikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana konstitusi dikembalikan kepada UUD 45 dan dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45.

Dari Orde Lama hingga Reformasi
Bung Karno sesunguhnya adalah tokoh besar dalam sejarah. Ia berhasil menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia. Tetapi sebagai manusia , beliau juga mempunyai kelemahan. Bung Karno tergoda untuk melanggar konstitusi (UUD 45) yang disusunnya. Pemilu ditiadakan, anggauta parlemen diangkat, masa jabatan lima tahunan diganti menjadi presiden seumur hidup, jabatan presiden dirasa kurang besar sehingga diperkenalkan jabatan Pemimpin Besar Revolusi. Sudah menjadi sunnatulloh dalam sejarah, penyimpangan akan berakhir dengan kejatuhan (1965), dan periode Bung Karno disebut orde lama.

Pak Harto adalah sosok yang sangat tepat hadir pada tahun 1965. Orangnya muda, kuat, suka senyum tetapi kemauannya tak bisa dibantah. Pak Harto berhasil mengubah orientasi politik nasional ke jalur ekonomi. Rasanya pada pertengahan masa Suharto, bangsa hidup tenang dan berpengharapan masa depan. Tetapi, lagi-lagi Pak Harto juga tergoda untuk melanggengkan kekuasaan. Jika Bung Karno 20 tahun, Pak Harto malah duduk di kursi kekuasaan selama 32 tahun. Ketergodaan itulah yang membuat demokrasi direkayasa, ekonomi seolah-olah maju , bangsa seakan-akan mau tinggal landas, nyatanya tertinggal di landasan. Di akhir penutup abad 20 pak Harto dengan orde Barunya dijatuhkan oleh gerakan reformasi.

Amin Rais CS disebut sebagai penarik gerbong reformasi, tetapi sekali lagi, reformasi 1998 tidak konsepsional, lebih bersifat emosional, didorong oleh kemarahan kepada Pak harto, Gol Kar, ABRI dan Orde Baru. Akibatnya reformasi gagal mengantar bangsa pada sistem kenegaraan yang mapan, sebaliknya justeru menjerumuskannya pada sistem yang tumpang tindih. Kini tidak mudah bagi bangsa untuk kembali ke tatanan yang mapan. Jika di Amerika, kebebasan itu relefan dengan kesejahteraan rakyat, di Indonesia kini, kebebasan justeru sering mengganggu kesejahteraan.

Teori Sosiologi Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun, jatuh bangunnya bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi; generasi pendobrak, generasi pembangun dan generasi penikmat. Jika generasi penikmat sudah menjadi mayoritas maka akan muncul generasi keempat, yaitu mereka yang tidak menghargai masa lalu dan tidak mempedulikan masa depan. Mereka tidak bisa menghormati pahlawan yang telah gugur, dan juga tidak peduli nasib generasi anak cucu. Proses jatuh bangunnya bangsa itu berlangsung selama satu abad.

Jika teori ini kita gunakan untuk membedah sejarah negeri kita, ketika bangsa ini baru berusia 60 tahun lebih, ada satu dua generasi pendobrak yang masih hidup (angkatan 45), generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang, sudah mulai mucul generasi penikmat, yaitu mereka yang sibuk menikmati tanpa berfikir membangun, sibuk menebang tanpa berfikir menanam. Dibutuhkan kesadaran nasional untuk jangan sampai muncul generasi ke empat. Kita masih punya waktu 35 tahun untuk membalik sejarah, meluruskan kembali kiblat hidup berbangsa.

Negeri Pesantren
Sekarang jarang sekali orang berfikir panjang, dan mendalam dalam kehidupan berbangsa. Agendanya selalu pendek lima tahunan, pilkada atau pilleg atau pilpres. Akibatnya wajah Indonesia sekarang nampak sebagai jejak improvisasi, bukan jejak konsep besar seperti yang dibayangkan oleh para pendiri negeri ini 60-75 tahun yang lalu. Dalam kegalauan ini terbayang kata-kata Syekh Nazim al Qubrusy yang mengatakan bahwa Indonesia didesain oleh para wali.

Dari itu saya sangat tergoda untuk menggulirkan budaya Pesantren sebagai pondasi psikologis dan spiritual bangsa Indonesia. Ada tiga karakter Pesantren yang bisa menjadi pondasi budaya bangsa, yaitu kesederhanaan, sikap tasamuh atau toleransi dan akrab dengan tradisi. Tiga pilar ini cukup untuk menghadapi gempuran budaya global. Kesederhanaan bisa melawan budaya hedonis materialis, tasamuh bisa melawan radikalisme, dan tradisi bisa menjadi filter gempuran budaya asing melalui media global.

Sebagai bangsa kita bisa belajar kepada pengalaman bangsa lain.Paling tidak ada lima Negara dapat diambil sebagai pelajaran pada era global ini, yaitu Cina, India, Turki, Iran dan Jepang. Kelima Negara ini dipandang mampu mensikapi perubahan dunia dengan modal pondasi budaya mereka sendiri. Khudzil hikmah walau min ayyi biladin khorojat. Kata kyai di Pesantren. Ambillah pelajaran dari negeri manapun resep itu datang. Wa
lohu a`lamu bissawab.l
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger