Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, July 11, 2011

Problem Pendidikan di Indonesia: Potret Ke depan
at 1:27 AM 
Kuliah Umum di depan Mahasiswa Pascasarjana STAIN,
Gresik, 9 Juli 2011

Pendahuluan

Martabat suatu bangsa diukur dari akhlak (budaya) nya. Kebudayaan suatu bangsa terbangun melalui proses pendidikan generasi. Kualitas pendidikan ditentukan oleh konsep , sistem dan SDM pendidikan, sedangkan keberhasilan program pendidikan nasional ditentukan oleh political-will Pemerintah/negara. Bangsa besar tanpa kebudayaan tinggi tidak pernah bisa menjadi subyek, sebaliknya dijadikan obyek oleh bangsa lain yang lebih tinggi kebudayaannya meski negara kecil. Tanpa pendidikan yang memadai, kebudayaan suatu bangsa tidak akan beranjak maju.


Kualitas Manusia Indonesia

Sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.

Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. Salah didikkah mereka?

2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Hasil pendidikan hari ini baru akan nampak pada 20-30 tahun yang akan datang. Kondisi bangsa hari ini adalah buah dari pendidikan nasional kita 30-50 tahun yang lalu. Lalu Seperti apa wajah generasi Indonesia mendatang ?

Problem Pendidikan di Indonesia

Menengok kebijakan pendidikan 30-50 tahun yang lalu ,sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita dimasa lalu yang buahnya kita rasakan sekarang, meliputi:
[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia.

Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliyah hanya Rp. 4.000,-/anak/tahun.
[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengem-bangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional pada era orde baru sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
7. Cendekiawan dan politisi yang hipokrit,
8. Hutang Luar Negeri yang terus membebani
9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Ketika Indonesia memasuki dunia global dimana arus informasi dan keterbukaan tak bisa dihindar, masyarakat Indonesia mengalami keterkejutan budaya, bagaikan sekumpulan orang yang selama 32 tahun dikurung dalam penjara yang gelap gulita, tiba-tiba penjaranya dirobohkan, dan mereka keluar melihat dunia baru yang terang benderang, terlihat aneh tapi mengasyikkan. Mereka berpesta pora melakukan apa saja yang sebelumnya mustahil dilakukan, dan entah kapan mereka dapat berfikir tenang merencanakan masa depan yang realistis.

Itulah gambaran masyarakat Indonesia, sepeninggal jatuhnya Presiden Suharto, mencari jati dirinya kembali tapi dalam prosesnya masih kebingungan karena permasalahan yang komplikatip, antara kerinduan kepada demokratisasi, kebebasan, kemakmuran dan kehormatan yang ternyata tidak sinkron. Problem solving yang dilakukan oleh Pemerintah, DPR dan MPR hampir semuanya berjangka pendek, kurang bersistem dan terasa sekali nuansa improvisasi karena hampir semua warga bangsa ini secara psikologis masih dalam posisi menikmati eforia kebebasan dari penjara gelap selama 32 tahun.

Sudah sepuluh tahun lebih reformasi, pesta eforia masih juga belum usai, dan perilaku ”anarkis” yang sesungguhnya memuakkan itu selalu muncul setiap kali menjelang pesta demokrasi; pileg atau pilpres. Anggaran pendidikan yang ditetapkan sejak APBN 2009 sesungguhnya sudah lumayan mencapai 20% tapi belum diikuti dengan kreatifitas yang memadai dalam bidang pendidikan. Jika kita menyaksikan perilaku ”kita” di TV terasa sekali kita seperti bangsa yang tidak berkarakter.
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger