Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, April 29, 2008

Aktualisasi Panca Sila Sebagai Ideologi Bangsa
at 12:13 AM 
Oleh; Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA
Disampaikan dalam Rapat Kordinasi Persamaan Persepsi Terhadap Panca Sila diselenggarakan oleh Kantor Wakil Presiden RI,
Jakarta 22 April 2008-04-18

Pendahuluan

Realitas sejarah membuktikan bahwa Panca Sila Sebagai Dasar Negara telah berhasil mengantar kemerdekaan bangsa Indonesia hingga hari ini (62 tahun). Bahwa dalam kurun waktu 62 tahun selalu ada elemen bangsa yang mempertanyakannya,bukan berarti kedudukan Panca Sila sebagai dasar negara perlu ditinjau kembali, tetapi lebih bersumber pada tagihan masyarakat kepada negara tentang seberapa jauh aktualisasi Panca Sila dirasakan maknanya oleh mereka. Dinamika sejarah bangsa kita yang menyentuh ideologi negara selalu berpangkal dari tuntutan rasa keadilan dari sebagian rakyat yang secara obyektip memang belum bisa dipenuhi oleh negara, dan oleh perilaku pemerintah yang terkadang menggunakan Panca Sila sebagai senjata untuk mempertahankan kekuasaannya sekaligus untuk memukul lawan politiknya.

Menjadikan Pancasila sebagai mainan politik justeru berdampak pada menurunnya bobot Panca Sila sebagai ideologi bangsa. Pada era keterbukaan seperti sekarang ini tidak zamannya lagi menjadikan Panca Sila sebagai alat pemukul lawan, karena bukan saja tidak efektip tetapi bahkan bisa menjadi bumerang dimana korbannya adalah bangsa itu sendiri. Saya termasuk yang tidak ragu membicarakan Panca Sila secara terbuka karena yakin bahwa konsep Panca Sila tahan uji terhadap dialog dalam kerangka dinamika sejarah bangsa. Problem kita bukan pada substansi Panca Sila tetapi pada bagaimana membumikan Panca Sila dalam kehidupan aktual berbangsa.

Panca Sila Sebagai Produk Dialog Kebangsaan

Dari sejarah lahirnya Panca Sila dapat kita ketahui bahwa konsep Panca Sila berakar dari kesadaran berbangsa setelah 300 tahun bangsa ini bergumul dengan penjajahan Barat. Dari perlawanan secara sporadis oleh para pahlawan kita di pelbagai wilayah Nusantara mengerucut ke

1. kesadarasn berekonomi dengan lahirnya Serikat Dagang Islam, kemudian
2. kesadaran berbangsa dengan lahirnya Budi Utomo yang kemudian dijadikan tonggak kebangkitan nasional, kemudian
3. kesadaran kesamaan dalam perbedaan atau Bhinneka Tungal Ika yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, dan puncaknya adalah
4. Proklamasi kemerdekaan RI 1945.

Dalam kurun waktu hampir setengah abad sebelum proklamasi 1945 telah terjadi dialog politik dan budaya dari berbagai aspirasi kebangsaan, ada yang mengedepankan simbol kesukuan seperti yong Java, yong Celebes , ada juga yang mengedepankan simbol keagamaan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Yong Islamitten Bond, dan dialog itu mengerucut ke aspirasi Nasionalisme dan Islamisme sehingga sebelum menjadi Panca Sila dan UUD 45, dokumen itu adalah Piagam Jakarta yang bersifat Nasionalis Islamis dimana pada kalimat Ketuhanan berbunyi Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Piagam Jakarta bukan hanya milik orang Islam tetapi milik bangsa dan merupakan konsep kebangsaan Indonesia, terbukti ditanda tangani pula oleh AA Maramis yang beragama Kristen.

Hanya dengan kebesaran jiwa para pendiri negeri ini yang lebih mengedepankan kebersamaan dan mengutamakan (tidak menunda) kemerdekaan nasional maka kalimat setelah Ketuhanan dicoret, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa seperti yang kita kenal dalam teks Panca Sila sekarang ini.

Dialog Pasca Kemerdekaan 45

Para pendiri negeri ini menyadari bahwa konsep kebangsaan dari suatu bangsa yang baru saja terlepas dari periode penjajahan panjang tidak mungkin dapat disusun sempurna secara detail, oleh karena itu Panca Sila dan UUD 45 didesain longgar untuk mampu menampung dinamika kebangsaan pada periode mengisi kemerdekaan setelah proklamasi. Sudah dibayangkan oleh para founding father bahwa konstitusi itu bersifat sementara untuk selanjutnya harus disempurnakan.

Rupanya dialog lebih terfokus pada konsep nasionalisme vs Islamisme. Dialog ini gagal disepakati dalam sidang konstituante, yang oleh karena itu demi untuk menjaga stabilitas nasional Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit 5 Juli yang menetapkan kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 sebagai konstitusi tetapi mengakomodir semangat Islamisme dalam Piagam Jakarta dengan menyebutkan bahwa Piagam jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45

Sayang pada bagian akhir dari periode Sukarno, Panca Sila sudah mulai dijadikan senjata pemukul, bukan didialogkan. Pada saat itu publik tak berdaya menghadapi politik mercu suar Presiden Sukarno, dan Parlemen (MPRS dan DPRGR) selalu menyetujui gagasan-gagasan Sukarno. Bhinneka Tunggal Ika berubah menjadi Nasakom, demokrasi dijalankan tanpa pemilu (terpimpin), Masa Jabatan Presiden ditambah menjadi Presiden Seumur Hidup, jabatan kepala negara menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Panca Sila ”dilebur” dalam Manipol Usdek yang kemudian dijadikan senjata pemukul oleh aspiran politik, terutama PKI. Perilaku politik menyimpang itu berujung pada pemberontakan PKI dan kejatuhan Sukarno.

Dialog semasa Orde Baru

Tahun 1965 Pak Harto hadir tepat waktu. Pak Harto merupakan sosok pemimpin yang unik, kuat, cerdas, tahu diri, penampilannya lembut hampir malu-malu tetapi memiliki sikap batin yang yang sangat keras hampir tak kenal kompromi. Pak Harto menghela bangsa Indonesia keluar dari kepengapan sistem “orde lama” menuju sistem “orde baru” yang menjanjikan perbaikan.
Seperti teori bandul jam, PakHarto mengembalikan penyimpangan orde lama dengan jargon kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Penyimpangan orde lama di koreksi, partai politik disederhanakan, pembangunan ekonomi di kedepankan, semuanya dengan jargon kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Akan tetapi karena kuatnya sosok Suharto, Panca Sila juga berada dalam genggaman kekuasaan Suharto.

Tidak ada dialog yang berarti, yang ada adalah sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden. Panca Sila di satu sisi dijadikan peneguh kekuasaan, di sisi lain dijadikan senjata pemukul kepada lawan politik. Panca Sila disakralkan, penafsirannya dibuat sendiri oleh Pak Harto menjadi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), ditatarkan kepada seluruh aparat dengan sangat sistemik, dijadikan kurikulum di sekolah dengan nama PMP (pendidikanMoral Panca Sila). Saking kuatnya bandul semangat kembali kepada Panca Sila hingga ”ndladrah” ke mana-mana, sehingga ada istilah perburuhan Panca Sila, demokrasi Panca Sila, sepakbola Panca Sila, arbitrase Panca Sila dsb, pokoknya semuanya serba Panca Sila..

Dengan Panca Sila seperti itu Pak Harto bisa mengendalikan aparat negara hingga ke desa-desa, merekayasa demokrasi sedemikian rupa hingga negeri ini seperti sangat stabil dan seperti mau tinggal landas. Pak Harto adalah satu-satunya ”mata-hari” di negeri ini. Setelah 32 tahun berkuasa, ketika secara alamiah matahari itu redup maka gelaplah republik ini, redup pula wibawa Panca Sila dan UUD 45, dan perilaku masyarakat selama era reformasi persis seperti perilaku orang banyak dalam kegelapan. Anarki berlangsung dari jalanan hingga Senayan.

Dialog Selama Era Reformasi

Karena kuatnya kemarahan dan kebencian kepada Suharto, ABRI,Golkar dan orde Baru,maka reformasi yang digulirkan oleh Amin Rais dkk lebih bersifat emosionil, inprofisasi dan tidak konsepsionil. Teori bandul jam kembali berlangsung. Jika Pak Harto menarik bandul kepada semangat kembalike Panca Siladan UUD 45secara murni dan konsekwen, era reformasi justeru menempatkan UUD 45 sebagai “biang kerok” carut marut bangsa. Oleh karena itu dengan sangat semangat dan emosional, MPR produk reformasi melakukan amandemen konstitusi. Kerinduan untuk kembali kepada Piagam jakarta juga disuarakan oleh Partai-partai Islam di Sidang Umum MPR

Amandemen I,II,III, dan IV melahirkan konstitusi yang tidakjelas kelaminnya, sistem presidensial atau parlementer. Perundangan dan PP turunannya juga menjadi tumpang tindih, tidak jelas siapa yang menumpang dan siapa yang menindih. Akibatnya ketidak menentuan berlangsung terus entah sampaikapan.

Sekarang, ketika orang mulai merasakan sumpek dan ribetnya reformasi, orang mulai bertanya, yang salah Panca Silanya atau orangnya ? Ternyata Panca Sila yang sama menjadi berbeda ketika di tangan Sukarno dan di tangan Suharto.


So What Next ?

Dari pengalaman sejarah tersebut diatas, saya berpendapat bahwa

1. Panca Sila sebagai dasar negara dan sebagai falsafah negara secara konsepsional sudah sangat memadai untuk dijadikan acuan membangun bangsa yang berdaulat dan bermartabat . Dialog yang dilakukan oleh para founding father negeri ini dulu sudah sangat mendalam dan dan komprehensip. Kebenaran Panca Sila sebagai konsep dasar hidup berbangsa bagi bangsa Indonesia yang plural saya yakin akan bisa teruji hingga dua tiga abad ke depan atau bahkan lebih. Setengah abad pertama berdirinya Republik Indonesia, kecuali pada komunitas-komunitas terbatas, rasanya memang belum pernah Panca Sila benar-benar diberlakukan secara aktual dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga masyarakat merasa aman, bermartabat dan berpengharapan.

2. Seyogyanya Panca Sila jangan disakralkan, apalagi dibuat angker. Panca Sila adalah konsep yang diilhami dari ajaran agama Islam dan budaya modern (Barat) serta kearifan lokal. Oleh karena itu biarkan Panca Sila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan menyerap nilai-nilai baru (dari manapun datangnya) yang sudah teruji sebagai nilai-nilai yang lebih baik dari nilai-nilai lama.

3. Ideolog Islamisme tidak lagi perlu menyuarakan gerakan pemberlakuan syariat Islam, karena disamping kontraproduktip, sesungguhnya nilai itu sudah tertampung dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959, yakni Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dibutuhkan kecerdasan untuk bisa memasukkan nilai-nilai syariat ke dalam perundang-undangan tanpa menyebut syari’at Islam,misalnya UU haji,UU wakaf, UU Perkawinan,UU bank syariah, memasukkan AkhlakMulia dalam Sisdiknas, begitupun perda-perda yang mencegah kemaksiatan/pornografi, dan sebagainya, itu semua merupakan perwujudan dari bunyiPiagamjakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45.

4. Konsistensi dalam penegakkan hukum dan pemihakan kepada orang banyak (rakyat miskin) dalam kebijakan ekonomi merupakan wujud dari aktualisasi Panca Sila.

Terima kasih
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger