Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, October 18, 2012

Ambang Perang Suriah-Turki
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra

Eskalasi perang saudara di Syria kian mencemaskan dalam beberapa pekan ini ketika aksi militer rezim Bashar Assad mulai melibatkan Turki. Pekan lalu, beberapa mortir Syria menghantam Akcakale, sebuah kampung Turki di wilayah perbatasan sebelah utara Syria, yang menewaskan lima warga sipil Turki. Di tengah seruan internasional agar menahan diri, militer Turki melakukan serangan balasan di daerah perbatasan. Pada saat yang sama, parlemen Turki menyetujui serangan lebih masif terhadap Syria jika perlu.

Perkembangan memprihatinkan ini dapat berujung pada perang terbuka antara Syria dan Turki yang merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Limpahan (spill over) operasi militer rezim Bashar Assad terhadap kekuatan perlawanan Syria juga dapat menjangkau ke selatan—perbatasan dengan Lebanon dan Yordania. Jika ini terjadi, kawasan barat Timur Tengah kembali menjadi kumpulan bara panas yang kian sulit dipadamkan.

Dengan demikian, sejak gejolak perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad meningkat pada Maret 2011, penyelesaian krisis Syria terlihat makin jauh. Bahkan, Utusan Khusus PBB untuk (penyelesaian krisis) Syria, Lakhdar Brahimi, yang diangkat menggantikan Kofi Annan, juga kelihatan tidak berdaya apa-apa. Korban terus berjatuhan. Berbagai lembaga internasional memperkirakan sekitar 31 ribu orang—terutama warga sipil—tewas sejak pergolakan terjadi. Meski terlihat kekuatan perlawanan meningkat, mereka tampaknya sulit melawan kekuatan militer rezim Bashar Assad sehingga majalah Newsweek (17/9/2012) menyebutnya sebagai “David and Goliath in Syria”.

Meningkatnya krisis di Syria dan negara-negara di sekitarnya, yang umumnya adalah negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim, mencerminkan sejumlah hal tidak menguntungkan.

Pertama, kealotan rezim Bashar Assad, yang tidak sungkan mengorbankan para warga pembangkang demi mempertahankan kekuasaannya, yang cepat atau lambat pasti berakhir. Berbagai proposal dan skema penyelesaian damai yang disodorkan PBB, Liga Arab, dan kalangan internasional lain tidak mampu melunakkan hatinya.

Kedua, eskalasi perang di Syria, sekaligus pula memperlihatkan kegagalan mediasi internasional. Lembaga-lembaga internasional multilateral, seperti PBB, juga gagal menghentikan perang di Syria. Negara-negara di PBB pun terpecah belah. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa ingin memberlakukan tindakan internasional lebih keras dan tegas terhadap rezim Bashar Assad. Namun, ada pula blok Rusia dan Cina yang selalu menolak campur tangan internasional di Syria.

Ketiga, di tengah pembelahan kedua kubu itu, negara-negara Barat, AS dan sekutu-sekutunya, memilih untuk tidak mengerahkan kekuatan militer mereka ke Syria. Mengapa sikap mereka berbeda dengan ketika menghadapi krisis Lybia pada 2011? Ini terkait dengan krisis keuangan dan ekonomi yang terus berlanjut di banyak negara Eropa dan musim pemilu presiden di AS.

Presiden Barack Obama yang berkonsentrasi untuk bisa terpilih kembali, cenderung bersikap lunak (lenient) dalam banyak kebijakan luar negerinya sehingga menjadi sasaran kritik banyak pihak di AS sendiri, termasuk dari capres Partai Republik, Mitt Romney. Inilah sikap tipikal Partai Republik yang cenderung hawkish, galak seperti elang; berbeda dengan Partai Demokrat yang cenderung dovish, burung merpati yang lembut.

Keempat, krisis Syria juga mencerminkan konflik politik di antara negara-negara Arab khususnya. Arab Saudi dan Qatar, yang dilaporkan sebagai pemasok dana terbesar dalam kekuatan perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad. Kedua negara ini menolak keterlibatan Iran dalam usaha penyelesaian konflik Syria, bukan hanya karena faktor Presiden Ahmadinejad yang tidak mereka sukai, melainkan adanya kekuatan Hizbullah (Syi'ah) di Lebanon, tangan kanan Bashar Assad, yang Syi'ah Allawiyah dan sekaligus Ba'athis-Sosialis. Di sini terlihat sektarianisme keagamaan turut menjadi motif tersembunyi dalam sikap Pemerintah Arab Saudi dan Qatar serta Pemerintah Syria.

Dalam kondisi tersebut, pemerintahan Presiden Mursi, Mesir, tidak berdaya menengahi konflik di antara Arab Saudi dan Qatar pada satu pihak dengan Iran di pihak lain. Hal ini terutama karena daya tekan (leverage) Mesir terhadap negara-negara Arab lain, apalagi terhadap Iran, berkurang secara signifikan karena kondisi politik yang masih belum stabil pada masa pasca-Mubarak.

Dalam situasi yang serba tidak menguntungkan itu, bisa dipastikan pihak yang paling diuntungkan adalah Israel. Krisis di Syria dan konflik di antara negara-negara Arab membuat rezim PM Netanyahu bisa lebih leluasa dalam menghadapi Palestina sehingga membuat perdamaian di tanah Palestina semakin jauh dari jangkauan. Pada saat yang sama, Israel meningkatkan tekanan kepada Iran yang diklaimnya terus melanjutkan pengayaan uranium untuk menghasilkan senjata nuklir. Jadi, hari-hari esok masih sangat sulit di Timur Tengah.


Read More
posted by : Mubarok institute
Imperium Amerika di Ujung Tanduk?
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Imperium dari bahasa Latin menjadi empire dalam bahasa Inggris, yang berarti sekelompok negara atau negeri dengan wilayah kekuasaan yang luas di bawah otoritas tunggal. Dapat pula diartikan sebagai organisasi komersial raksasa yang dimiliki atau dipimpin oleh seseorang.

Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19, dengan merebut Filipina dari tangan Spanyol pada 1898, sedang bergerak dalam proses awal mengukuhkan dirinya sebagai sebuah imperium yang puncaknya terjadi pada era pascaPerang Dingin. Tetapi, untuk berapa lama lagi? Pertanyaan inilah yang telah dijawab oleh beberapa penulis terkenal, seperti Francis Fukuyama, Emmanuel Todd (Prancis), Fareed Zakaria (warga Amerika kelahiran India), dan Johan Galtung (Norwegia). Untuk mendukung nafsu imperiumnya, Amerika telah menguras uang pajak rakyatnya sendiri dalam angka triliunan dan mengorbankan rakyat bangsa lain serta rakyatnya sendiri di medan pertempuran. Semuanya ini dilakukan dengan berbagai helat dan pembenaran, apakah untuk mengekspor demokrasi atau hak-hak asasi manusia. Dalam perspektif ini, Amerika memang adalah sebuah negara imperialis yang datang terlambat dibandingkan dengan negara-negara Eropa pada abad-abad yang silam.

Todd menulis karya After the Empire: The Breakdown of the American Order/terj dari bahasa Prancis oleh C Jon Delogu(London: Constable, 2004). Judulnya sendiri sudah menunjukkan, imperium Amerika sedang berada di ujung tanduk. Fareed Zakaria di bawah judul yang lebih lunak The Post American World (London: Penguin Books, 2008), juga sudah melihat bahwa imperium Amerika akan segera berakhir. Di antara penulis itu, adalah Galtung yang telah mematok tahunnya, yaitu pada 2120, menjadi tahun kejatuhan imperium Amerika dengan buku terbarunya, The Fall of the US Empire-and then What? Successors, Regionalization or Globalization? US Fascism or US Blossoming?
(Oslo: Transcend University Press, 2009).

Francis Fukuyama, yang karyanya akan disinggung sebentar lagi, membaca posisi Amerika sedang berada di persimpangan jalan, sebuah koreksi terhadap karya sebelumnya yang sarat dengan optimisme tentang sistem kapitalisme dan demokrasi liberal. Mohon Tuan dan Puan jangan salah raba.
Yang akan tumbang bukan Republik Amerika, melainkan Amerika Serikat sebagai imperium dengan politik luar negerinya yang imperialistik yang ternyata telah menebarkan kekacauan dan permusuhan di seluruh jagat raya, khususnya sejak pascaPerang Dunia (PD) ke-2.Juga, Tuan dan Puan jangan salah sangka. Semua penulis di atas adalah pencinta Amerika sebagai republik, sebagai bangsa, tetapi pembenci imperium Amerika, terutama terbaca dengan sangat jelas dalam karya Todd dan Galtung. Amerika sebagai bangsa dan negara, menurut para penulis itu, akan tetap utuh, bahkan mungkin semakin jaya karena petualangan politik luar negerinya yang menguras pajak rakyat Amerika itu akan terpaksa dihentikan.

Kita lihat optimisme Fukuyama. Setelah memenangi Perang Dingin dengan keruntuhan Uni Soviet pada 1989/1990, Amerika muncul sebagai satu-satunya adikuasa tanpa lawan yang berarti. Sistem komunisme Uni Soviet berantakan karena pembusukan dari dalam, sedangkan lawannya kubu kapitalisme seolah-olah telah jadi pemenang. Francis Fukuyama, filsuf sosial warga Amerika berdarah Jepang, mengukuhkan kemenangan ini dengan menulis buku The End of History and the Last Man (New York: Avon Books, 1992) yang ramai dibicarakan secara global. Seakan-akan kapitalisme dan demokrasi liberal merupakan puncak peradaban, tidak ada lagi yang unggul dari itu. Itulah capaian tertinggi dari sejarah. Kemudian, mengapa Fukuyama berubah pandangan?Dalam bacaan saya, jawabannya terkait dengan politik luar negeri Amerika yang jingoistik (cinta tanah air yang berlebihan) dan ekspansif. Akibatnya, pada era Presiden Bush terutama, selalu merasa terancam oleh kekuatan luar yang membahayakan negaranya, sesuatu yang sama sekali palsu. George Bush adalah seorang paranoid (hidup dalam ketakutan).

Suasana batin yang labil ini dimanfaatkan secara maksimal oleh gerakan Zionisme, demi eksistensi Israel yang sebenarnya tidak lain ialah sebuah negara teror. Berbeda dengan Todd dan Galtung yang anti-Zionisme, Fukuyama sendiri tampaknya tidak punya nyali yang cukup untuk berbicara terus terang tentang ideologis fasis ini.

Todd sekalipun menghindari menyebut Zionisme, tetapi melihat dengan jelas peran strategisnya dalam mencoraki politik Amerika, dalam dan luar negeri. Todd juga punya perasaan simpati atas nasib rakyat Palestina dalam cengkeraman kolonisasi Yahudi. Kita baca, “Ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dari hari ke hari oleh kolonisasi Yahudi atas sisa-sisa tanah mereka dengan sendirinya adalah sebuah penyangkalan terhadap prinsip persamaan, yang menjadi fondasi demokrasi. Bangsa-bangsa demokrasi lain, terutama di Eropa, tidak punya simpati tanpa syarat terhadap Israel seperti yang dirasakan Amerika.” (Todd, hlm 114).

Adalah sebuah keheranan besar, penduduk Yahudi Amerika hanyalah sekitar 2.2 persen (Todd, hlm 115) dari total rakyat Amerika, mengapa perannya demikian menentukan? Dengan runtuhnya imperium Amerika, jawaban terhadap pertanyaan ini akan lebih mudah diperkirakan. Artinya, peta politik global akan berubah secara drastis, dan nasib Israel akan jadi taruhan, karena pelindung utamanya telah menarik diri sebagai sebuah imperium.

Dan, tidak tertutup kemungkinan Palestina akan muncul sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Jika ini terjadi, terorisme akan surut secara dramatis dan tiba-tiba, karena raison d'trê (pembenaran eksistensi) utamanya sudah tidak ada lagi. Perasaan aman secara global akan mengikutinya sebab biang kerok kekacauan ini tidak lain dari politik luar negeri Amerika yang paranoid di bawah pengaruh kuat Zionisme, yang memang “bukan bagian dari kemanusiaan”, tulis Gilad Atzmon (lihat Resonansi, 13 Januari 2009 dan 10 Juni 2010). Bagi Galtung, untuk mengakhiri terorisme, akhiri lebih dulu terorisme negara, maksudnya Amerika dan Israel. (Telusuri artikel Galtung dan Dietrich Fischer via Google, 20 September 2002, di bawah judul “To End Terrorism, End State Terrorism”).

Fukuyama yang semula adalah bagian kekuatan neo-konservatif berubah 180 derajat setelah Presiden George Bush menyerang Iraq dan menggantung Saddam Hussein. Maka beberapa tahun kemudian, muncullah buku keduanya di bawah judul "America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy" (New Haven-London: Yale University Press, 2006) sebagai ralat terhadap optimismenya yang berlebihan tentang hari depan kapitalisme dan demokrasi liberal.
Jika buku ini ditulis setelah krisis keuangan Amerika tahun 2008, tentu analisis Fukuyama akan lebih tajam lagi. Ternyata kapitalisme dengan doktrin pasar bebasnya punya penyakit kronisnya tersendiri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh seorang Milton Friedman (31 Juli 1912-16 Nop. 2006), ekonom pro-pasar, pemenang Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1976, yang pernah dipuja dunia itu, termasuk oleh pengikutnya di Indonesia.

Karya Fukuyama ini masih perlu kita bicarakan lagi, terutama yang menyangkut isu jihad yang kemudian semakin menyebabkan Presiden George Bush jadi gelap mata untuk menyerang negara-negara yang dikatakan sebagai pusat terorisme dan senjata kimia pemusnah massal, semula Afghanistan kemudian Iraq. Akibat serangan imperialistik itu, dua bangsa Muslim ini berantakan dengan korban jiwa ratusan ribu. Tetapi, akibatnya bagi Amerika tidak kurang fatalnya: mempercepat proses kerontokan imperiumnya yang baru saja mencapai titik puncaknya pada 1991 (Zakaria, hlm 4).Jika ramalan Galtung menjadi kenyataan nanti, daya tahan imperium Amerika hanyalah akan berumur setahun jagung, tidak bisa menandingi imperium Romawi kuno yang berlangsung selama lima abad. Apalagi, jika disandingkan dengan imperium Turki Usmani atau imperium Sriwijaya yang bertahan selama tujuh abad.Menurut Fukuyama, apa yang dikategori kan sebagai jihadisme modern dalam bentuk terorisme tidak ditemukan dalam tradisi asli Islam pada masa awal. Gagasan ini justru ber asal dari Barat untuk menciptakan sebuah doktrin baru yang bersifat universal sebagai sumber identitas dalam konteks dunia multikultural, membuana, modern. Ini merupakan upaya demi mengideologikan agama untuk tujuan politik. Dengan demikian, jihadisme lebih merupakan produk modernisasi, seperti halnya komunisme atau fasisme. Sekali lagi, banyak gagasan yang Islamis bukan datang dari Islam, melainkan justru berasal dari Barat yang dikalungi jubah serba Islam (lih, hlm 72-73).

Joseph E Stiglitz (9 Februari 1943), ekonom Amerika yang juga pemenang Nobel 2001, mengatakan, krisis finansial Amerika itu disebabkan oleh kemunafikan dan ketidak jujuran dalam pengelolaan keuangan. Stiglitz juga mengkritik keras peran IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia dalam memperburuk situasi ekonomi global. Korbannya cukup banyak, khususnya negara-negara berkembang, salah satu nya adalah Indonesia yang diberi resep salah oleh badan-badan keuangan dunia yang tidak lain merupakan perpanjangan tangan kapitalisme.

Apa yang kita kenal dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terhadap bank-bank bermasalah yang sedang kelimpungan akibat krisis 1998 yang kemudian harus ditalangi dengan menguras uang rakyat Indonesia sekitar Rp 650 triliun itu adalah bagian dari resep badan keuangan dunia itu. Masalah dahsyat yang memiskinkan rakyat ini belum menemukan titik terang penyelesaian sampai hari ini. Kembali kepada Fukuyama. Serangan terhadap Irak tersebut, menurut Fukuyama dan beberapa pengamat lainnya, merupakan sebuah kesalahan karena didalangi oleh orang-orang pro-Zionis, misalnya, Paul Wolfowitz, Douglas Feith, dan Richard Perle untuk mengamankan pososi Israel di lingkungan dunia Arab yang memusuhinya. Sebagaimana kita ketahui, Wolfowitz pernah bertugas di Jakarta sebagai dubes Amerika dan banyak memiliki teman di sini.

Argumen yang terpisah atas serangan terha dap Irak dialamatkan kepada Leo Strauss, tokoh neokonservatif yang dijuluki sebagai “a champion of the ‘noble lie’/pelopor dusta yang terhormat”. Baginya, menjadi sebuah kewajiban untuk berdusta terhadap massa karena hanya segelintir elite sajalah yang secara intelektual pantas untuk mengetahui kebenaran. (Fukuyama, America, hlm 12-13). Selintas, mengingat kan kita kepada Adolf Hitler dalam karyanya Mein Kamps (Perjuanganku) yang mengatakan, dusta yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.

Fareed Zakaria yang menghindari terminologi rontoknya imperium Amerika dengan judul bukunya The Post American World (Dunia Pasca- Amerika). Substansinya tidak banyak berbeda. Hanya, Zakaria menambahkan, semuanya itu terjadi karena “the Rise of the Rest” (bangkitnya negara-negara lain, terutama di dunia dagang), seperti Brasil, Meksiko, Korea Selatan, Taiwan, India, Cina, Argentina, Cile, Malaysia, dan Afrika Selatan. Sebagai migran India, Zakaria adalah orang yang menikmati sistem demokrasi Amerika, sesuatu yang sulit ditemukannya di dunia Arab. Dengan menyebarnya kekuatan ekonomi pada berbagai negara, Amerika sudah tidak punya kapasitas lagi untuk mendikte dunia se mau gue, sesuatu yang sangat terasa pada era selama beberapa tahun pas ca-Perang Di ngin.
Sebelum muncul seba gai se buah imperium, Ame rika dulunya, dikutip dari Todd, adalah protektor/pelindung kemudian malah berubah menjadi predator/pe mangsa. “Sekarang, hanya ada satu ancaman terhadap stabilitas dunia yang tak lain adalah Ame rika sendiri ….” (Todd, hlm 191). Pengamat politik global telah memperkirakan, setidaknya, mereka bertahan sampai bangunan imperiumnya roboh dalam tempo yang tak lama lagi.

Keresahan Johan Galtung dan Emmanuel Todd terhadap kelakuan imperium Amerika yang ditunggangi oleh Zionis global itu sebenarnya merupakan keresahan seluruh dunia beradab. Dengan porsi yang hanya 2,2 persen orang Ya hudi di Amerika (tidak semuanya pendukung Zionisme), dalam catatan Galtung, enam perusahaan Yahudi menguasai 96 persen media dan 70 persen profesor pada 20 universitas terpenting Amerika merupakan Yahudi. (Lih, Haarets, 30 April 2012 dan artikel Karin Abraham dalam The Times of Israel, 25 April 2012, berjudul “Jews control media, ‘peace’ professor Galtung claims”).

Akhirnya, saya sungguh berharap, perkiraan Galtung, Todd, dan yang lainnya akan menjadi kenyataan dalam tempo yang tak terlalu lama lagi demi membebaskan bumi dari petualangan politik ekspansif, keonaran, dan ketidaknyaman an oleh ulah imperium yang dikendalikan oleh kelompok minoritas Zionis yang menyatu dengan Israel. Sebagian bangsa Muslim sering menari sesuai dengan irama bunyi genderang yang di tabuh pihak lain.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 08, 2012

Manajemen syahwat
Bagi orang awam syahwat selalu dikonotasikan dengan seks sehingga orang suka malu jika disebut sebagai orang yang besar syahwatnya. Sesungguhnya syahwat merupakan salah satu subsistem dalam sistem kejiwaan (sistem nafsani) manusia, bersama dengan akal, hati, dan hati nurani. Syahwat itu bersifat fitrah, manusiawi, normal, tidak tercela, bahkan dibutuhkan keberadaannya, sebab jika seseorang sudah tidak memiliki syahwat pasti ia tidak lagi memiliki semangat hidup. Yang diperlakukan adalah kemampuan meminij syahwat sehingga ia terkendali dan menjadi penggerak tingkahlaku secara proporsional. Memang syahwat yang tidak terkendali dapat berubah menjadi hawa (menurut bahasa Indonesia hawa nafsu) yang bersifat destruktip.

Pengertian Syahwat
       Kalimat syahwat berasal dari bahasa Arab syahiya-syaha yasyha - syahwatan, secara lughawi (bahasa) syahwat berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan definisi syahwat adalah ke­cenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya;, dalam bahasa Arab : nuzu' an nafs ila ma turiduhu. Dalam al Qur'an, kata syahwat terkadang dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan, tapi di ayat yang lain digunakan untuk menyebut potensi keinginan manusia. Syahwat digunakan al Qur'an untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan syahwat seksual, (Q/7:81, Q/27:55), berhubungan dengan mengikuti pendapat orang secara membabibuta (Q/4:27) dan berhubungan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan serta kesenangan (Q/3:14, Q/19:59). Salah satu ayat yang menyebut adanya syahwat pada manusia adalah sbb (terjemahannya).
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). (Q/3:14)
       Ayat tersebut di atas menyebut syahwat sebagai potensi keinginan manusia. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan kesenangan kepada wanita/lawan jenis (seksual), anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan (kebanggaan, kesombongan dan kemanfaatan), kendaraan yang bagus (kebanggaan, ke­nyamanan dan kemanfaatan), binatang ternak (kesenangan dan kemanfaatan), dan sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan). Dengan demikian maka kecenderungan manusia kepada kesenangan seksual, harta benda dan kenyamanan, menurut al Qur'an adalah manusiawi.
Jika manusia  memperoleh hal-hal tersebut di atas merasa senang, maka sebaliknya kegagalan dalam memperolehnya bagi orang yang sangat menginginkan adalah suatu penderitaan, apalagi jika apa yang sudah dimiliki dan sedang dinikmati tiba-tiba hilang dari tangannya. Bagi orang yang kapasitas jiwanya kecil, tidak terpenuhinya dorongan syahwat dapat menggerakkan perilaku menyimpang.

Watak Syahwat
       Karena syahwat merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika syahwatnya terpenuhi maka syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika seseorang sedang lapar atau haus maka tingkahlakunya selalu mengarah kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual. Begitulah seterusnya, perilaku manusia sangat dpengaruhi oleh syahwat apa yang sedang dominant dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri , syahwat kelezatan dan lain-lainnya.. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti dorongan kepuasan, belum mengerti tanggung jawab.Jika dididik, maka jangankan anak-anak. Binatangpun tingkahlakunya bisa dikendalikan. Syahwat yang dimanjakan akan mendorong orang  pada pola hidup glamour dan hedonis.

Mengendalikan syahwat
       Dalam agama Budha dikenal adanya ajaran bagaimana mengendalikan syahwat dengan konsep samsara. Rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)    Hidup adalah samsara (B.Indonesia: sengsara,/penderitaan),
(2)    Samsara disebabkan karena adanya keinginan.
(3)    untuk menghilangkan samsara dilakukan dengan cara meng­hilangkan keinginan,
(4)    dan untuk menghilangkan keinginan harus mengikuti metode delapan jalan kebenaran, yaitu ; pengertian yang benar, pikiran yang benar, ucapan yang benar, berbuatan yang benar, mata pencaharian yang benar, usaha yang benar, perhatian yang benar dan semedi (perenungan) yang benar.)
       Sedangkan dalam Islam metode pengendalikan syahwat, dilakukan secara sistemik dalam ajaran yang terkemas dalam syari`ah dan akhlak.

1.    Pengendalian syahwat seksual dilakukan dengan anjuran menikah, menutup aurat tubuh, larangan pergaulan bebas antar jenis, dan “puasa” (puasa mata, telinga dan perut). Hidup melajang tidak direkomendasi meski hak azasi
2.    Pengendalian syahwat perut dilakukan dengan anjuran; jangan makan kecuali lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, disamping puasa wajib dan puasa sunat
3.    Pengendalian syahwat kekayaan dilakukan dengan pola hidup sederhana dan kewajiban membayar zakat, dan anjuran infaq dan sadaqah. Sederhana tidak identik dengan miskin, sederhana adalah mengkonsumsi sesuai dengan standar kebutuhan universal. Jadi orang boleh punya sebanyak-banyaknya tetapi yang dikonsumsi (makanan, pakaian, kendaraan, rumah dsb) adalah sekedar yang dibutuhkan menurut standar kebutuhan uversal. Banyak orang kaya hidupnya sederhana dan tak jarang orang miskin hidup bermewah-mewah.
4.    Syahwat politk dikendalikan dengan penekanan bahwa pada hakikatnya seorang pemimpin adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpin (sayyid al qaum khodimuhum). Politik adalah medan pengabdian, pemimpin adalah pejuang yang berpegang pada prinsip untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan orang banyak yang dipimpin.
5.     Syahwat gengsi dikendlikan dengan kesadaran akan fungsi, bahwa mobil adalah alat transportasi, pakaian adalah pelindung badan dan penutup aurat, rumah adalah tempat tinggal dan istirahat, harta adalah alat untuk menggapai keutamaan.

Syahwat dan Hawa Nafsu
       Orang tertarik kepada lawan jenis dalah wajar dan tidak tercela. Jika ia men follow up i dengan pendekatan , melamar dan menikah maka itu menjadi keutamaan, menjadi ibadah dan berpahala. Tetapi jika men follow up i dengan merayu, menipu dan memperkosanya atau berzina, maka syahwat itu sudah berubah menjadi apa yang dalam al Qur’an disebut hawa, yang dalam bahasa Indonesia menjadi hawa nafsu.
Demikian juga orang boleh ingin terkenal, ingin jadi bupati, anggauta DPR atau bahkan ingin jadi presiden, itu semua adalah syahwat politik yang wajar, manusiawi, dan tidak tercela. Demikian juga orang yang ingin menjadi milyader atau konglomerat, adalah wajar-wajar saja. Dorongan syahwat jika diikuti dengan tetap memperhatikan nilai-nilai moral, maka ia bernilai positip. Nah jika dorongan syahwat dituruti tanpa kendali moral, maka ia berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang bersifat destruktip. Ingin kaya dengan cara korupsi atau menipu, ingin menjadi pejabat dengan cara menyuap, nah itu semua ujungnya pasti destruktip.
Watak Hawa nafsu
       Syahwat yang terkendali oleh akal sehat dan hati yang bersih, apalagi jika juga didasarkan nurani yang tajam, maka syahwat berfungsi sebagai penggerak tingkah laku atau motif dan menyuburkan motivasi kearah keutamaan hidup. Dalam kondisi demikian syahwat seperti energi yang selalu menggerakkan mesin untuk tepap hidup dan hangat. Keseimbangan itu menjadikan orang mampu menekan dorongan syahwat pada saatnya harus ditekan (seperti rem mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
       Sedangkan hawa nafsu memiliki tabiat menuntut pemuasan seketika tanpa mempedulikan dampak bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Begitu kuatnya dorongan hawa nafsu, maka al Qur’an mengibaratkan kedudukan hawa nafsu bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya seperti tuhan yang harus disembah (ittakhodza ilahahu hawahu). Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apapun perilaku yang harus dikerjakan, betapapun itu menjijikkan. Jika orang memanjakan syahwat dapat terjerumus pada glamourism dan hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti akan terjerumus pada kesesatan, kejahatan dan kenistaan. Wallohu a`lamu bissawab.







Read More
posted by : Mubarok institute
Internasionalisasi Kajian Islam Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Azyumardi Azra

Bagaimana Kajian Islam (Islamic Studies) pada tingkat global dewasa ini? Berbagai kejadian sejak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, kemudian pengeboman di London, Madrid, Bali, dan seterusnya meningkatkan mispersepsi dan distorsi di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam dan masyarakat Muslim.

Kedua entitas ini sering dipandang masyarakat Barat sebagai entitas yang mengandung potensi kekerasan yang bisa meledak sewaktu-waktu, bukan hanya di AS dan Eropa, tetapi juga bahkan di negara-negara Muslim sendiri.

Perkembangan tidak menyenangkan ini mendorong banyak kalangan universitas dan pusat kajian Islam pada tingkat internasional untuk melihat kembali keadaan kajian Islam dalam rangka memberikan perspektif lebih akurat tentang Islam dan masyarakat Muslim.

Dalam konteks itu, terlihat relevansi pokok simposium tentang The State of Islamic Studies' yang diselenggarakan Consortium of Humanities Centers and Institutes (CHCI) yang berpusat di Duke University, AS, bekerja sama dengan Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), Oxford, Inggris, pada 26-28 September 2012 lalu.

Pembahasan tentang keadaan Kajian Islam terutama dilihat dari perspektif perkembangan ilmu-ilmu humaniora (humanities), seperti sejarah, teologi, kajian agama (religious studies), literatur dan sastra, dan antropologi. Ilmu-ilmu humaniora sendiri juga mengalami banyak perkembangan paradigma dan praktik, khususnya karena meningkatnya interaksi dan adopsi paradigma yang berkembang pula dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.

Hasilnya, berbagai perkembangan dalam ilmu-ilmu humaniora ini membuka peluang besar untuk lebih memaju - kan kajian Islam, baik pada tingkatan normatif --teologis dan praktik ritual-- maupun pada tingkatan tradisi dan pengalaman historis, wacana, dan realitas masyarakat-masyarakat Muslim.

Adopsi berbagai perkembangan humaniora mengharuskan adanya kajian ulang terhadap paradigma dan praktik Kajian Islam yang sebenarnya sejak awal 1980-an, di berbagai tempat di Barat dan juga di Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Korea, misalnya, mengalami banyak perkembangan signifikan.

Di Dunia Barat, pergeseran paradigma dimulai dengan penerbitan buku karya Edward Said, Orientalism (1978), tokoh Palestina yang sekaligus guru besar di Columbia University New York yang membongkar `kebusukan' motif, paradigma, dan praktik orientalisme dalam Kajian Islam. Singkatnya, Kajian Islam yang dilakukan para orientalis dimotivasi berbagai kepentingan kolonialisme, misionaris - meKristen, dan hegemoni budaya.

Walhasil, sejak awal 1980-an itu pula, istilah `orientalisme' kian jarang digunakan di kalangan para ahli dan pengkaji Islam. Hal ini tidak lain karena ia mengandung konotasi pejoratif. Banyak kalangan Barat yang mengkaji Islam kemudian lebih senang disebut sebagai Islamisis' daripada `orientalis'.

Bagi saya, paradigma dan praktik kajian Islam di berbagai negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kecenderungan utama. Pertama, kajian Islam di Barat pascaorientalisme yang menggunakan banyak paradigma humaniora dan ilmu sosial yang umumnya kritis-analitis.

Meski tidak lagi bersifat orientalistis, kajian Islam di Barat --seperti juga terungkap dalam Simposium Oxford-- cenderung mengabaikan sensitivitas normativisme keagamaan dan spiritualitas. Karena itulah dalam Simposium Oxford, nyaring suara tentang perlunyanya para Islamisis Barat untuk juga mempertimbangkan sensitivitas normatisme keagamaan Islam dan kaum Muslimin.

Kedua, kajian Islam di Dunia Arab yang di dominasi paradigma teologis normatif doktrinal dengan cenderung mengabaikan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Karena itu, kajian Islam di Dunia Arab umumnya lebih bertumpu pada pengungkapan normativisme Islam dalam bidang kalam, tafsir, hadis, fikih dan seterusnya. Pada saat yang sama, pendekatan analitis-kritis cenderung tidak digunakan. Meski demikian, untuk kajian Islam normatif, universitas di dunia Arab tetap merupakan lokus pokok.

Ketiga, kajian Islam di Indonesia yang mengombinasikan antara kerangka teologis normatif dengan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Kajian Islam yang bersifat normatif tetap menduduki tempat penting, misalnya, dalam lembaga pendidikan semacam UIN/IAIN/STAIN, PTN, dan PTS serta lembaga-lembaga riset. Namun, pada saat yang sama, berbagai paradigma hu maniora dan ilmu sosial --yang diperlakukan secara kritis-- sejak awal 1970-an kian banyak pula diterapkan. Sebab itu, kajian Islam di Indonesia tidak terperangkap belaka ke dalam normativisme agama --yang tentu saja juga penting-- pada tingkatan teologis-doktrinal, sekaligus juga melihat dinamika Islam historis, yang hidup dalam lingkungan masyarakat Muslim tertentu.

Dengan demikian, Kajian Islam di Indonesia memiliki distingsinya sendiri, yang sekaligus menjadi kekuatannya. Tetapi sayang, distingsi kajian Islam di Indonesia itu tidak banyak diketahui kalangan Barat dan Timur Tengah. Hal ini terkait dengan masih adanya sisa anggapan tentang identikasi Islam dengan Arab. Karena itu pula, kajian Islam di Indonesia masih cenderung diabaikan. Padahal, kajian Islam di Indonesia melibatkan sistem pendidikan tinggi Islam yang terbesar di muka bumi ini, seperti diwakili UIN/IAIN/STAIN dan PTAIS.

Berkaca pada kondisi tersebut, masih banyak hal yang harus dilakukan para pemikir dan praktisi kajian Islam di Indonesia. Tantangan mereka bukan hanya lebih memajukan Kajian Islam di negeri ini, tetapi sekaligus juga lebih memperkenalkannya ke dunia internasional. Sebab itu pula, internasionalisasi Kajian Islam Indonesia merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger