Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, April 27, 2009

Mengubah Tingkah Laku Manusia Dengan Dakwah
Adanya sistem nafs pada manusia menyebabkan ia menjadi mahkluk yang berpikir dan merasa. Manusia tidak tunduk begitu saja kepada keinginannya, tidak pula pasif terhadap lingkungan, tetapi secara aktif ia bereaksi terhadap lingkungan. Manusia berusah memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimiliki. Manusia dapat memberi makna positif kepada rangsang yang diterimanya, dan pada dasarnya ia dapat berpikir konstruktif.

Dalam perspektif ini, maka tingkah laku manusia dapat diubah jika kepadanya diberikan gagasan-gagasan baik yang masuk akal dan sejalan dengan cara berpikir dan cara merasanya.berkomunikasi kepada manusia dengan menggunakan pendekatan seperti itu disebut penekatan persuasif, yakni dengan pendekatan nafs.

Al-Qur'an mengandung pesan yang sifatnya mengajak manusia untuk berpikir dan melakukan hal-hal yang mengandung nilai kebenaran. al-Qur’an juga menganjurkan agar ada sekelompok orang yang secara khusus bekerja sebagai penyampai pesan (Q.,s.al-Tawbah/9:122). Dalam khutbah haji wada' Rasul juga mengingatkan tugas setiap Muslim untuk berdakwah, fa liyubaligh al-syahidu minkum al-ghaib, hendaknya orang yang hadir menyampaikan pasan Islam ini kepada yang tidak hadir. Pada dasarnya setiap muslim wajib berdakwah, tetapi yang diwajibkan untuk menjadikan dakwah sebagai profesi hanya ditujukan kepada sekelompok kecil (tha'ifah) saja.

Dakwah adalah suatu usaha mengajak atau mempengaruhi orang lain agar mereka bertingkah laku seperti apa yang dikehendaki oleh pendakwah (da'i). Sebagai peristiwa komunikasi, dakwah melibatkan unsur-unsur da’i, mad’u, pesan, metode dan media. Tujuan utama dakwah adalah mengubah tingkah laku manusia, dari tingkah laku negatif ke tingkah laku positif. Karena tingkah laku manusia bersumber dari nafs (jiwa)-nya maka dakwah yang efektif adalah yang bisa diterima oleh nafs, yakni oleh cara berpikir dan cara merasa mad'u, sehingga meski orang yang didakwai (mad'u) itu sebenarnya sedang mengikuti petunjuk dai tapi ia merasa sedang mengikuti kehendak sendiri. Dakwah seperti inilah yng disebut sebagai dakwah persuasive. Dakwah akan efektif apabila da’i mengusai medan, menguasai materi yang diperlukan dan mengusai metode penyampainnya. Untuk itu seorang da'i dituntut untuk mempersiapkan diri dengan berbagai pengtahuan dan keterampilan, agar ia dapat berdakwah secara profesional.

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q., s. al-Tawbah/9:122).

Surat al-Tawbah/9:122 di atas mengandung anjuran agar ada sekelompok orang yang secara khusus belajar menekuni ilmu-ilmu agama dan kemudian secara profesional menjalankan dakwah kepada masyarakat luas. Latar belakang turunnya ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin sangat bersemangat untuk berangkat berjihad seagai prajurit sampai tidak ada yang tertinggal di Madinah kecuali orang jompo dan anak-anak. Mereka berangkat ke medan perang meninggalkan Rasul seorang diri di Madinah.

Ayat ini kemudian dipahami oleh para mufasir, bahwa di antara kaum Muslimin harus ada sekolompok orang yang secara khusus menekuni ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan bahwa kedudukan orang yang tidak berangkat berperang tetapi menekuni agama (dalam konteks jaman Rasul berarti berkhidmat kepada Rasul sebagai pusat ilmu) setingkat dengan orang yang pergi berjihad. Dengan kata lain bahwa menekuni agama dan berdakwah merupakan satu dimensi jihad, dan seorang da'i adalah seorang mujahid, yakni mujahid dakwah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, April 23, 2009

Kiat Bersabar
Sepanjang kehidupan manusia, problem silih berganti datang, karena makna kehidupan itu sendiri adalah bagaimana menghadapi problem. Secara teologis, problem kehidupan adalah tantangan yang akan mengklasifikasi mana orang-orang baik dan mana orang jahat, mana orang yang tahan uji dan mana orang yang lemah. Secara teori, orang mukmin akan selalu beruntung, karena ia bersyukur ketika memperoleh keberuntungan dan bersabar ketika menghadapi kesulitan.

Sebaliknya orang tak beriman selalu tak beruntung, ketika memperoleh keberuntungan ia lupa diri dan ketika menghadapi kesulitan berat ia lupa ingatan. Sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan.

Untuk dapat bersabar, Islam mengajarkan adab sebagai berikut:

1.Tahan ketika menghadapi hantaman pertama. Rasulullah pernah bersabda:

Innamassabru indassad matil uulaa

Artinya: Sabar yang sesungguhnya ialah ketika menghadapi hantaman pertama.

2. Ketika ditimpa musibah, segera mengingat Allah dan mohon ampunannya. Firman Allah SWT :

Artinya: (Orang-orang yang sabar ialah) mereka yang ketika ditimpa musibah, berkata; sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Nya. (al Baqarah: 156).

3. Tidak menampakkan musibahnya kepada orang lain, seperti yang dicontohkan oleh istri Abu Talkhah (Ummu Sulaim) ketika ditinggal mati anaknya. (dikisahkan dalam hadis Riwayat Muslim).

4. Sabar menghadapi semua cobaan dengan ikhlas kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam hadis Qudsy:

Hambaku yang mukmin, yang bersabar dengan pasrah kepadaKu ketika kekasihnya Aku panggil kembali (mati), kepadanya tak ada ba¬lasan yang layak dari Ku selain sorga. (HR. Bukhari)

Read More
posted by : Mubarok institute
Penggerak Kepada Pemilikan
Surat al-Baqarah / 2:212, dan Ali iImran / 3:14, mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dorongan psikologis untuk memiliki sesuatu untuk kesenangan dirinya. Kehidupan dunia itu dijadikan indah dalam pandangan orang-orang ingkar, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman, padahal orang yang bertakwa itu lebih mulia dibanding mereka di hari Kiamat, dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas (Q., s. al-Baqarah / 2:212).


Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, cinta syahwati, yakni menginginkan kepada wanita-wanita, anak-anak, benda-benda berharga dari emas, perak kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (Q., s. Ali Imran / 3:14).

Menurut Isfahani mengandung arti keindahan hakiki, yakni sesuatu yang tidak memiliki cela pada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara global pengertian keindahan itu menurut Isfihani dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu keindahan psikologis, keindahan fisik dan keindahan faktor luar.

Dalam al-Qur'an seringkali dinisbahkan dengan Allah seperti ayat dan adakalanya dinisbahkan dengan setan seperti terdapat dalam ayat dan juga seringkali tidak dinisbahkan dengan fa'il tertentu karena dalam bentuk mabni majhul seperti dalam surat al-Baqarah / 2:212 dan surat Ali Imran / 3:14 di atas.

Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa di mata manusia, dunia dengan simbo-simbol benda berharga adalah sesuatu yang indah secara hakiki, yang kemudian mereka menginginkannya dan memandang perlu untuk memilikinya. Dorongan untuk memiliki itulah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dalam upaya memiliki apa yang diinginkannya.

Dorongan psikologis atau motif memiliki diperlukan oleh manusia untuk mendorongnya melakukan sesuatu yang diperlukan. Motif kepada kepemilikan itulah yang menyebabkan manusia memenuhi kebutuhan hidup sementaranya, dan motif itu pula yang menyebabkan manusia berebut benda-benda yang bersifat kesenangan duniawi yang tidak abadi. Dalam batas-batas tertentu, apa yang dilakukan manusia tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan, yakni mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk hidup di muka bumi.

Karena manusia bukan sekedar hewan tatapi hewan yang berpikir, maka manusia dalam merespons dorongan untuk memiliki dapat menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yakni untuk mencapai kebahagiaan dan kenikmatan abadi di akhirat, karena tujuan dapat mengendalikan tuntutan dari dorongan itu. Manusia memang bebas memilih, dan keputusan pilihannya itu akan berpengaruh pada arah hidupnya, dan akibat dari keputusan yang tidak tepat harus ditanggung oleh manusia itu sendiri. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk menentukan keinginannya tetapi dengan mengingatkan resikonya:

Barang siapa menghendaki, kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Q., s. Hud / 11:15-16).

Ayat di atas menyodorkan kepada manusia pilihan yang harus diambil, apakah kesenangan hidup duniawi seperti yang diinginkan oleh dorongan psikologisnya tetapi dengan risiko tidak memperoleh sesuatu di akhirat, atau menekan keinginan yang bersifat duniawinya dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat sesuai dengan kemuliaan martabatnya sebagai manusia. Allah SWT telah menciptakan manusia dan melengkapinya dengan perangkat yang memungkinkannya memperoleh kemudahan dan kenyamanan dalam hidupnya.

Orang bijak akan memilih menekan dan mengendalikan dorongan-dorongan kepada hal yang bersifat rendah, untuk kemudian melakukan perbuatan yang dapat merangsang dorongan kepada kebaikan. Sedangkan orang yang tercela, ia bahkan bertekuk lutut kepada dorongan kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan melayani seluruh keinginannya.

Karakter dari motif memiliki ini adalah mendorong manusia untuk berusaha memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi dan dalam tingkatan tertentu untuk serakah terhadap harta benda. Jika tujuan yang ditetapkan oleh manusia sekadar untuk memenuhi tuntutan hidup atau memfasilitasi kehidupan yang mulia, maka motif memiliki ini mendorongnya melakukan hal-hal yang baik dan pantas. Akan tetapi jika motif ini dimiliki oleh orang serakah yang bertujuan menumpuk harta dan menduduki kekuasaan didepan manusia, maka motif ini mendorongnya melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, mendorongnya untuk kikir dan bermusuhan dengan rivalnya, sementara hal-hal yang bermakna ridla Allah SWT tidak menarik perhatiannya.

Karakter motif memiliki itu temperamental dan sungguh-sungguh, hingga ia ingin segera memperoleh pemuasan dan tidak mau menunda. Motif memiliki yang sedang bekerja kuat senantiasa mendorong pemiliknya untuk berbuat maksimal bahkan melebihi kapasitas, dengan segala cara hanya demi memuaskan kebutuhan duniawiahnya. Ia memilih yang dekat dari pada yang jauh, memilih yang fana dari pada yang kekal. Sedangkan orang yang mampu menggunakan akalnya secara optimal, memilih yang kekal dibanding yang fana, menyibukkan diri dengan hal-hal yang penting dari pada mengejar 'buih'. Orang yang tunduk kepada motif memiliki hal-hal yang bersifat duniawi, ia seperti yang diisyaratkan surat al-A'la / 87:16-17, selalu mengutamakan kehidupan duniawi, meskipun sebenarnya kehidupan akhirat itu lebih bik dan lebih abadi.

Dalam kondisi yang menyimpang atau dalam kualitasnya yang rendah, motif memiliki dapat mendorng pemiliknya untuk bertindak serakah, melakukan kecurangan, menggunakan cara-cara yang kotor, atau bahkan merampas hak-hak orang lain dalam praktik-praktik usahanya. Kecenderungan bertindak menyimpang dan zalim dalam memenuhi keinginan memiliki harta dengan segala cara itu dapat dipahami dari bimbingan al-Qur'an agar manusia tidak diperbudak oleh hawa nafsunya, seperti:

1) Larangan usaha menguasai harta yang bukan haknya melalui pengadilan yang direkayasa seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2:188,

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Q., s. al-Baqarah / 2:188).

2) Bahwa mengambil keuntungan melalui jual beli yang tanpa paksaan itu dibolehkan, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’ / 4:29,


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu …(Q., s. al-Nisa / 4:29).

3) Bahwa harta anak yatim yang berada dalam pengawasan seseorang harus dijaga sebaik-baiknya sebelum diserahkan kepada pemiliknya setelah ia bahwa seperti yang ada dalam surat al-Nisa / 4:6.)

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, April 21, 2009

Akal dan Kapasitasnya
Kata akal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab (al-'aql) yang mengandung arti mengikat atau menahan, tapi secara umum akal dipahami sebagian potensi yang isiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam psikologi modern akal dipahami sebagai kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).

Berbeda dengan kalimat al-qalb, dalam al-Qur’an kalimat al-aql tidak pernah disebut dalam bentuk kata benda, tetapi selalu dalam bentuk kata kerja, baik kata kerja fi'madli maupun fi'lmudlari'. Dalam al-Qur'an, kalimat 'aql disebut dalam 49 ayat sebagai contoh, penyebutan al-'aql dalam al-Qur'an adalah seperti yang ada pada surat al-Baqarah / 2:75:

…kemudian mereka palsukan setelah mereka pahami, dan mereka sebenarnya tahu (Q., s. al-Baqarah / 2:75).

Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di permukaan bumi dan mereka mempunyai kalbu memahami, atau telinga untuk mendengar: sesungguhnya bukanlah mata yang buta tetapi kalbu di dalam adalah yang buta (Q., s. al-Hajj / 22:42).


Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya bagimu, mudah-mudahan kamu mengerti (Q., s. al-Baqarah / 2:242).

Menurut Lisan al-Arab, al-aql juga berarti menahan, sehingga yang di maksud dengan orang berakal adalah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al-Qur’an juga menyebut orang berakal dengan beberapa istilah, seperti (uli-al-nuha) yang berarti orang yang memiliki pencegah atau akal yang mencegah dari keburukan, (ulu al-ilm), orang yang berilmu, (ulu al-albad) orang yang mempunyai saripati akal, (ulu al-abshar), orang yang mempunyai pandangan tajam, dan (dzi hijr), orang yang mempunyi daya tahan.

Dari 49 ayat yang menyebut al-'aql kata ‘aql mengandung pengertian mengerti, memahami dan berpikir. Tetapi pengertian berpikir juga diungkap al-Qur'an dengan kata yang lain, seperti nazhara yang artinya melihat secara abstrak seperti tercantum pada surat-surat (Q., s. Qaf / 50:6-7, Q., s. al-Thariq / 86:5-7, Q., s. al-Ghasyyiah / 88:17-20), tadabara yang artinya merenungkan seperti terdapat dalam surat (Q., s. Shad / 38:29, Q., s. Muhammad / 47:24), tafakara yang artinya berpikir seperti yang ada dalam surat (Q., s. al-Nahl / 16:68-69, Q., s. al-Jatsyiah / 45:12-13), faqih-tafaqqaha yang artinya mengerti Q., s. al-Isra' / 17:44, Q., s. al-Nahl 16:97-98, Q., s. al-Tawbah / 9:12, tadzakkara yang artinya mengikat, memperoleh pengertian, mendapatkan pelajaran, memperhatikan dan mempelajari terdapat pada surat (Q., s. al-Nahl / 16:17 Q., al-Zumar / 39:9, Q., s. al-Dzariyat / 51:47-49), dan kalimat fahima yang artinya memahami, terdapat pada surat (Q., s. al-Anbiya / 21:78-79).

Meskipun banyak istilah dalam al-Qur'an yang berhubungan dengan aktivitas akal, tetapi kata ‘aqala mengandung arti yang pasti, yaitu mengerti, memahami dan berpikir. Hanya saja al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana proses berpikir seperti yang dibahas dalam psikologi, tidak juga membedakan di mana letak daya berpikir dan di mana letak alat berpikir seperti yang dibicarakan oleh filsafat tidak juga menyebut pusat kegiatan berpikir itu di dada atau di kepala, tapi menyebut bahwa qalb yang di dada juga berpikir seperti akal. Hal itu disebutkan antara lain dalam surat al-A'raf / 7:179, dan diisyaratkan dalam surat al-Tawbah / 9:93 dan surat Muhammad / 47:24. Jadi menurut al-Qur'an, aktivitas berpikir atau merasa, bukan hanya menggunakan akal atau hati saja, tetapi kesemuanya akal, nafs, qalb dan bashirah, yang bekerja dalam sistem nafs. Hanya saja al-Qur'an tidak membicarakan teknis kerja sistem nafs secara rinci.

Sementara itu psikologi membahas teknis kerja sistem jiwa dengan kajian yang sudah sangat rinci. Tentang otak misalnya, psikologi membahas anatomi otak sebagai alat berpikir dengan sangat rinci, lengkap dengan pembagian kerjanya. Otak kiri misalnya berkerja untuk hal-hal yang bersifat logis, seperti berbicara, bahasa, hitungan matematika, menulis dan ilmu pengetahuan, sementara otak kanan berkerja untuk hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, April 19, 2009

Tingkah laku yang Terkendali
Surat al-Ra'd / 13:11 mengisyaratkan bahwa perbuatan manusia berhubungan erat dengan apa yang ada dalam nafs mereka. Di balik perbuatan seseorang atau suatu kaum ada sesuatu yang bersifat psikologis yang menentukan keberhasilan atau kegagalannya. Kualitas nilai dari perbuatan itu, apakah bernilai positif atau bernilai negatif juga ditentukan oleh sesuatu itu. Hadits Nabi juga menyatakan bahwa nilai suatu perbuatan bergantung kepada niatnya. Dengan demikian maka sesungguhnya manusia dapat menentukan sendiri apa harus diperbuatnya dan apa yang harus ditolaknya. Hati manusia dapat menolak sesuatu, seperti yang disebut dalam surat al-Tawbah / 9:8 atau secara sengaja melakukan sesuatu seperti yang diisyaratkan surat al-Ahzab / 33:5.

Manusia memiliki kesadaran, akal budi dan kemampuan berkhayal. Dengan kesadaran diri manusia mampu mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya, untuk selanjutnya menggunakan kekuatannya unruk menutupi kelemahannya. Dengan akal budi manusia mampu memahami dan menguasai alam serta mengembangkan ilmu dan teknologi yang berguna bagi kemudahan-kemudahan hidupnya. Dengan khayalannya manusia mampu membebaskan diri dari ikatan waktu dan tempat untuk memikirkan masa depan atau membanyangkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh panca inderanya. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya itulah manusia dapat menempatkan dirinya subyek dan obyek sekaligus, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh hewan.

Perwujudan dari kemampuan dan watak individu yang dimiliki oleh manusia dalam proses adaptasinya dengan lingkungan itulah yang disebut kepribadian (personality). Dalam perspektif al-Qur'an tingkah laku manusia yang merupakan wujud dari kepribadiannya sebenarnya merupakan sinergi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, 'aql dan bashirah dalam sistem nafs-nya. Jika tingkah laku manusia secara umum dapat disebut sebagai perwujudan dari kepribadiannya, maka sebalikya perbuatan yang dilakukan secara terus menerus oleh seseorang juga mempengaruhi pembentukan kepribadiannya. Kualitas kepribadian manusia tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, bermodal sifat bawaan sejak lahir yang diwarisi dari agenetika orang tuanya, kemudian terbangun melalui proses penyesuaian diri dengan penglaman hidupnya. Kepribadian setiap orang mengandung keunikan yang membedakannya dari orang lain.

Untuk menilai kualitas tingkah laku manusia, harus dibedakan apakah tingkah laku itu bersifat temperamental atau bersumber dari karakter kepribadiannya. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangkasan yang datang dari lingkungan dan dari dalam dirinya sendiri. Temperamental berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sulit untuk berubah. Temperamen bersifat netral terhadap penilaian baik buruk.

Adapun karakter, ia berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkah laku seseorang, yang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakatnya. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu ia dapat berubah, sejalan dengan bagaimana ia menilai pengalaman itu. Jika temperamen tidak mengandung implikasi etis, maka karakter justru selalu menjadi obyek penilaian etis. Seseorang boleh jadi memiliki temperamen yang berbeda dengan karakternya. Ada orang yang temperamennya buruk (negatif) tetapi karakternya baik, sebaliknya ada orang yang karakternya buruk, tetapi temperamennya baik. Seseorang yang karakternya buruk akan semakin buruk jika ia juga memiliki temperamen buruk. Sedangkan orang yang karakternya baik tetapi temperamennya buruk biasanya ia segera menyesali dan merasa malu atas tingkah laku buruknya, meskipun hal itu selalu terulang kembali.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengendalian tingkah laku hanya dimungkinkan pada tingkah laku yang bersumber dari karakter, sedangkan tingakh laku yang bersumer dari temperamen pengendaliannya terbatas hanya pada meminimalkan, bukan pada perubahan. Tetapi yang pasti, manusia mempunyai kebebasan untuk memutuskan apakah ia beriman atau ingkar seperti dijelaskan dalam surat al-Kahfi / 18:29.

Ukuran kualitas tingkah laku mausia juga bisa dilihat dari apakah perbuatannya itu bersumber dari fitrahnya atau perbuatan yang sifatnya diusahakan (al-muktasab). Tingkah laku fitrah adalah perbuatan yang sumbernya dari naluri fitrahny, yakni yang berhubungan dengan sistem biopsikologi dan sifat-sifat hereditas dan bawaan sejak lahir. Contoh tingkah laku fitrah adalah cara mengisap susu ibu yang dilakukan oleh bayi, cara bernafas manusia, gerakan refleks seseorang dan tingkah laku lainnya yang sejenis itu.

Dalam hal tingkah laku fitrah, manusia berbuat secara spontan tanpa mempertimbangkan untung rugi maupun tujuan. Meskipun manusia dilahirkan di tempat-tempat yang berjauhan dan berbeda zaman, tetapi tingkah laku fitrahnya sama karena fitrah itu berasal dari Allah SWT dan bersifat baku. Menurut al-Qur'an fitrah manusia itu bersifat menetap, seperti yang tertera dalam surat al-Rum / 30:30. Sedangkan tingkah laku yang diusahakan, al-muktasab, adalah perbuatan yang bersumber dari gabungan pengetahuan dan pengalaman yang dipenjara manusia sejak lahir dan kemudian dijadikan kebiasaan. Dalam melakukan perbuatan ini manusia memperhitungkan untung rugi, baik untung rugi yang bersifat dekat, duniawi, maupun untung rugi yang bersifat jauh ke belakang, ukhrawi, pahala dan dosa.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, April 16, 2009

Pengaruh Sikap
Karena sikap relatif menetap di dalam diri seseorang maka ia sangat besar pengaruhnya terhadap tingkah laku yang bersangkutan, apa lagi jika sikap itu telah lama bersemayam dalam diri seseorang atau itu pada terbentuknya sikap menentang yang dilakukan oleh kaum ‘Ad terhadad Nabi-nabi utusan Allah SWT:

Dan itulah kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai Rasul-rasul Allah, dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran) (Q., s. Hud / 11:59).

Ayat itu mengandung isyarat bahwa kaum 'Ad memiliki sikap mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT karena mereka telah hidup dalam waktu yang lama di bawah pengaruh raja-raja yang memiliki sikap menentang kepada kebenaran, sehingga sikap itu sudah menjadi sikap sosial. Mereka bersikukuh dengan sikap lama dan segera menolak terhadap sikap baru yang diperkenalkan oleh para Rasul. Sikap yang telah menetap menyebabkan mereka bergantung kepada akidah lama, sekaligus menolak dan memusuhi akidah baru. Hal-hal yang menyebabkan mereka bersikukuh dalam sikap lama itu diterangkan oleh surat al-Kahfi / 18:57:

Siapakah yang lebih zalim dibanding orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya, lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan Kami (letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya (Q., s. al-Kahf / 18:57).

Ayat tersebut menerangkan dengan jelas bahwa orang yang telah lama mengambil sikap kepada sesuatu menyebabkan ia tidak mampu melihat secara cermat kelemahan dari sikapnya itu. Mereka membela mati-matian sikapnya yang lama meskipun tidak logis, sementara karena hati (akal)-nya buta dan telinganya tuli maka mereka tidak bisa menganalisisi hujjah-hujjah dan argumen yang mendukung sikap baru, meskipun sikap baru itu jelas logis. Sikap yang telah mengenal seperti yang dimiliki oleh kaum 'Ad itu dapat mendorong orang ada pada sikap fanatik buta terhadap hal-hal yang telah lama dibela dan apriori terhadap hal-hal baru yang berbeda dengan hal-hal yang telah lama dianutnya. Orang yang telah memiliki sikap yang kuat terhadap suatu hal, maka ia tidak mampu bersikap kritis terhadap apa yang diyakininya itu sehingga orang tersebut seakan pemikirannya telah beku.

Pengaruh sikap terhadap tingkah laku juga dicontohkan al-Qur'an pada sikap orang Quraysy terhadap anak perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam tarikh bahwa orang-orang Arab suku Quraysy memiliki sikap negatif terhadap anak perempuan sehingga jika istri mereka melahirkan bayi perempuan, mereka seakan terkena aib yang memalukan hingga ada yang menguburkan bayi perempuan itu hidup-hidup sebelum orang lain mengetahui. Bayi yang dikubur hidup-hidup itu dalam surat al-Takwir / 81:8 disebut al-ma'udah. Surat al-Nahl / 16:58-59 juga mengisyaratkan tingkah laku mereka yang dipengaruhi oleh sikapnya terhadap anak perempuan;

Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar tentang (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padam) mukanya, dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, ataukah akan menguburkannya di dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (Q., s. al-Nahl / 16:58-59).

Al-Qur'an juga mencontohkan karena pengaruh sikap negatif terhadap para Nabi menyebabkan orang ingkar sama sekali tidak mampu menerima gagasan adanya hidup diakhirat seperti yang diajarkan oleh para Nabi, karena akal dan hati mereka tidak berkerja secara optimal atau bahkan tertutup sama sekali. Surat al-Mu'minun / 23:36-37 dan surat al-Jatsiyah / 45:24, menyebutkan kuatnya pengaruh sikap terhadap tingkah laku.

Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan, Kehidupan itu tidak lain adalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi (Q., s. al-Mu'minun / 23:36-37).

Mereka berkata: kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Dan mereka sekali-kali tidak memiliki pengaruh tentang itu, mereka tidak lain hanya menduga-duga saja (Q., s. al-Jatsiyah / 45:24).

Dari munasabah dengan ayat sebelumnya dapat diketahui bahwa surat al-mu'minun / 23:36-37 di atas berkaiatan dengan kaum 'Ad yang telah lama mempunyai sikap menolak kepada Nabi yang diutus kepada mereka. Sikap menolak kepada Nabi menyebabkan mereka tidak mampu memahami secara jernih terhadap pesan yang disampaikan. Sedangkan dari munasabah-nya dengan surat al-Jatsiyah / 45:23, al-Jatsiyah 24 tersebut berkaitan dengan orang yang mempertuhankan hawa nafsu, yakni orang-orang yang telah memiliki keyakinan keliru secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Ayat selanjutnya (25) menyebutkan ketidakmampuan akal mereka memahami keterangan wahyu yang bahkan sudah jelas kebenarannya. Kebiasaan mereka merujuk keyakinan lama yang meskipun tidak logis, menurut ayat 25 tersebut menyebabkan mereka hanya berhujjah dengan tradisi keyakinan nenek moyang.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, April 14, 2009

Sifat dan Keadaan Qalb (Hati)
Qalb mempunyai karakter tidak konsisten, oleh karena itu ia bisa terkena konflik batin. Interaksi yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai (positif) dengan tarikan potensi negatif yang berasal dari kandungan hatinya, melahirkan satu keadaan psikologis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi dari qalb itu. Proses pencapaian kondisi qalb itu melalui tahapa-tahapan perjuangan rohaniah, dan dalam proses itu, menurut al-Qur’an, manusia mempunyai sifat tergesa-gesa, seperti yang dipaparkan dalam surat al-Anbiya / 21:37 dan Q., s. al-Isra / 17:11, dan berkeluh-kesah, seperti yang terdapat dalam surat al-Ma'arij / 70:9-20.

Proses interaksi psikologis itu mengantar hati pada kondisi dan kualitas hati yang berbeda-beda, yaitu:

1) Keras dan kasar hati, surat Ali Imran / 3:159,

2) Hati yang bersih, surat al-Syuara / 26: 89,

3) Hati yang terkunci mati, surat al-Syura / 42:24 dan surat al-Mumin / 40:35,

4) Hati yang bertaubat, surat Qaf / 50:33,

5) Hati yang berdosa, surat al-Baqarah / 2:283,

6) Hati yang terdinding, surat al-Anfa / 8:24,

7) Hati yang tetap tenang, surat al-Nahl / 16:106,

8) Hati yang lalai, surat al-Anbiya / 21:3,

9) Hati yang menerima petunjuk Allah SWT, surat al-Taghabun / 64:11,

10) Hati yang teguh, surat al-Qashashsh / 28:10, dan surat Hud / 11:120,

11) Hati yang takwa, surat al-Hajj / 22:32,

12) Hati yang buta, surat al-Hajj / 22:46,

13) Hati yang terguncang, surat al-Nur / 24:37,

14) Hati yang sesak, surat al-Mu'min / 40:18,

15) Hati yang tersumbat, surat al-Baqarah / 2:88,

16) Hati yang sangat takut, surat al-Naziat / 79:8,

17) Hati yang condong kepada kebaikan, surat al-Tahrim / 66:4,

18) Hati yang keras membatu, surat al-Baqarah / 2:74,

19) Hati yang lebih suci, surat al-Ahzab / 33:53,

20) Hati yang hancur, surat al-Tawbah / 9:110,

21) Hati yang ingkar, surat al-Nahl / 16:22,

22) Hati yang takut, surat al-Mu’minun / 23:60,

23) Hati yang kosong, surat Ibrahim / 14:43, surat al-Qashashsh / 28:10, dan

24) Hati yang terbakar, surat al-Humazah / 104:6-7.

Dari keterangan di atas, yang berkaitan dengan fungsi, potensi, kandungan dan kualitas hati yang disebut dalam al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa qalb memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam sistem nafsani manusia. Qalb lah yang memutuskan dan menolak sesuatu, dan qalb juga yang memikul tanggung jawab atas apa yang diputuskan. Dalam perspektif inilah tampaknya Nabi menyatakan bahwa qalb lah penentu kualitas manusia, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari Muslim. Dalam hadits yang menyebutkan tentang kejelasan sesuatu yang halal dan haram serta kesamaran sesuatu yang syubhat itu di gambarkan bahwa qalb memiliki kedudukan yang sangat menentukan kualitas keputusan seorang manusia.


Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, tetapi di antara yang halal dan haram itu banyak perkara syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga diri dari yang syubhat berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus ke dalam syubhat berarti ia telah terjerumus ke dalam yang haram, seperti seorang pengembala yang mengembalakan ternaknya di sekeliling tanah larangan, dikhawatirkan akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai daerah larangan, dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah SWT adalah hal-hal yang di haramkan. Ketahuilah bahwa dalam setiap tubuh manusia ada sepotong organ yang jika ia sehat maka seluruh tubuhnya juga sehat, tetapi jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa organ itu adalah qalb (H.R. Bukhari Muslim).

Jika berfungsi tidaknya akal pada manusia diungkapkan al-Qur’an dengan kalimat tanya atau yang sebangsanya, maka besarnya peranan qalb dalam pengambilan keputusan diugkapkan oleh hadits riwayat ahmad dan al-Darimi dengan kalimat perintah, yang artinya mintalah fatwa kepada qalb-mu. Qalb di sini adalah tempat bertanya bagi seseorang jika ia harus memutuskan sesuatu yang sangat penting.

Rasyid Ridla dalam Kitab Hadits Arbain menyebutkan bahwa qalb itu ada dua macam, yaitu sepotong organ tubuh yang menjadi pusat peredaran darah, dan qalb merupakan subsistem nafs yang menjadi pusat perasaan. Bagian pertama memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan badan dan bagian kedua memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, April 12, 2009

Pemilu 2009 Bukti Sunnatullah Sejarah
Sejarah kan bisa dirancang,tetapi sejarah juga punya hukum (sunnatullah) nya sendiri. Banyak peristiwa kecil bisa menjadi pemicu lahirnya sejarah besar (positip), dan tak jarang usaha besar yang dirancang secara serius justeru melahirkan peristiwa besar yang menghancurkan (negatip). Salah satu bunyi kaidah sunnatullah dalam sejarah adalah

1. bahwa kejujuran (agenda positip) akan mendatangkan keberkahanTuhan,meski harus melalui liku-liku kepahitan.

2. Sebaliknya kecurangan (agenda buruk yang tersembunyi) akan menjerumuskan mereka kepada kesulitan, jauh dari apa yang diagendakan.

Pada pilpres 2004, persyaratan pilpres hanya 2,5 %, sehingga SBY sebagai pendatang baru,calon dari partai baru dapat ikut berlaga di panggung pilpres dan menang. Undang-undang itu direfisi DPR, dan setelah melalui liku2 perdebatan, persyaratan itu dinaikkan menjadi 15 %.

Menjelang Pemilu 2009, peta politik kedepan dibayang-bayang orang DPR. Ada dua partai besar di DPR, Golkar dan PDIP. Juga terbayang SBY adalah kandidat terpopuler untukPresiden mendatang. Timbullah agenda negatip dari dua partai besar itu,yaitu ingin menyandera SBY agar tidak bisa lolos menjadi calon presiden,dengan menaikkan angka persyaratan menjadi 35 % . Mereka berfikir bahwa Partai Demokrat pada pilleg 2009 paling-paling naik menjadi 10%. Kalau toh SBY harus dicalonkan, tapi yang mencalonkan bukan Partai Demokrat. Implikasinya sudah terbayang siapa-siapa yang mau duduk di kabinet. Tawar menawar angka itu luar biasa alotnya.

Menjelang hari pengesahan di DPR, saya bersama ketua Fraksi (Syarif Hasan) berkunjung ke rumah Pak JK, saya mengatakan bahwa angka 20 -25% itu terlalu tinggi. Angka 15 % saja itu artinya telah dinaikkan 600%. Tetapi pak JK bilang,ini demi stabilitas bangsa, supaya jangan terlalu banyak capres karena jika pada angka 15%,nanti ada capres yang bisa membeli partai-partai.. Argumen itu nampaknya logis, tetapi saya merasakan bahwa dibalik angka 20-25% itu ada agenda buruk, yaitu menghalangi munculnya kandidat,dan bahkan menyandra SBY.

Ketika hal ini disampaikan kepada pak SBY, beliau secara terbuka mengatakan. Saya sih tidak ada persoalan dengan angka 2,5, 15, 20 atau bahkan 35 %. Tetapi yang tidak etis menurut saya, UU yang menyebut angka 15% saja kan belum pernah digunakan, kok tiba-tiba ada gagasan mendadak menjadi 35% yang kemudian turun menjadi 20 %. Mestinya UU itu dirancang untuk masa depan yang panjang, bukan untuk merespond keadaan dadakan.

Tak disangka, sandra angka 20 % justeru memacu semangat demokrat. Target 15 % ditingkatkan menjadi 20-25%. Konsolidasi dilakukan sampai ke seluruh pelosok. Kartu Tanda Anggauta ditingkatkan, dari 10 juta menjadi 25 juta. Seluruh potensi diberdayakan untuk menyesuaikan persyaratan baru itu. Serangan udara melalui iklan, maupun serangan darat melalui komunikasi langsung oleh caleg2,bahkan zikir dilaksanakan di berbagai tempat termasuk di Cikeas. Ada lima penghafal Qur’an (hafidz) dari Jateng, yang tanpa meminta biaya berkeliling Jawa, berhenti di setiap kabupaten untuk mengkhatamkan al Qur`an disitu, terakhir khataman di masjid Baiturrahim istana, tanpa publikasi.Pak SBY sendiri oleh para kyai dianjurkan untuk banyak membaca hasbunalloh wa ni`mal wakil, yang artinya hanya kepada Alloh kita mohon dibecking, dan jangan terlalu terpaku oleh hitungan matematis..

Nah hasil Pemilu 2009 ternyata menjungkir balikkan semua agenda tersembunyi. Demokrat leading, SBY bersyukur, PDI harus ngetung ulang kekuatan, Gerindera sibuk mencari kambing hitam, Golkar yang sudah terlanjur memanfaatkan issue 2,5 % dengan berbagai sesumbar, mau tidak mau harus realistis mendekat ke Demokrat kembali. Dan Demokrat memang tetap membuka pintu sepanjang sportifitas dijunjung tinggi.

Pak SBY memang secara sadar memimpin dengan soft power leadership, dalam wujud berpolitik secara santun, bersih, dan mengalah. Ternyata mengalah bukan kalah,karena hanya orang kuat yang bisa mengalah. Baru sekarang diakui bahwa mengalahnya SBY adalah satu kecerdasan. Bayangkan, SBY langsung menegur wakil Ketua Umum Partai Demokrat melalui konferensi Pers tentang issue 2,5 %, demi untuk memadamkan kebakaran politik, padahal sesungguhnya teguran itu cukup dilakukan oleh ketua umum partai. Amin Rais mengomentari bahwa SBY telah merendahkan diri sendiri karena menegur langsung Mubarok. Amin Rais tidak tahu bahwa hanya orang kuat yang bisa merendahkan diri. Merendahkan diri bukan rendah diri.

Mudah-mudahan soft power akan bisa mengubah budaya politik Indonesia. Tetesan Air yang lembut ternyata bisa melubangi batu yang keras. Tsunami di Aceh yang meluluh lantakkan semua yang keras ternyata berupa air yang soft. Semoga.

Read More
posted by : Mubarok institute
Koalisi Dan Cawapres
Politik itu selalu ditentukan oleh realitas terakhir. Partai-partai boleh bermanuver apapun untuk membangun koalisi menjelang pemilu, tetapi realitas perolehan suara Pemilu akan mengubah semua yang dirancang. Itulah maka Partai Demokrat tidak mau disibukkan merancang koalisi sebelum Pemilu,karena rancangan itu seperti di awang-awang. Nanti saja setelah jelas realitas politik pasca pemilu. Alhamdulillah, rakyat menempatkan kepercayaan kepada Demokrat, yang menurut angka sementara berkisar 20 %,sementara Golkar dan PDIP diseputar 14 %. Begitu realitas nampak, peta politik langsung bergerak. Semua mendekat ke Demokrat, ada yang terus terang, ada yang malu-malu. Dalam politik, cerai dan rujuk itu bisa berlangsung sangat cepat, namanya juga politik, karena politik itu game dan seni. Dendam dalam politik adalah sebuah kebodohan. Keberhasilan demokrasi tidak ditentukan oleh yang menang, tetapi oleh yang kalah. Jika yang kalah mengakui kekalahannya, maka demokrasi akan berjalan. Tetapi jika yang kalah tidak mau mengakui kekalahannya seperti ........(siapa ya ?) maka anarki yang akan terjadi,bukan demokrasi. Yang menangpun harus merangkul yang kalah, berterima kasih kepada sportrifitas mereka.

Belajar kepada koalisi remang-remang kabinet SBY-JK, maka koalisi ke depan harus berbeda. Koalisinya harus integral, kabinet, DPR dan DPRD, dan harus terbuka isinya supaya bisa dikontrol oleh masyarakat. Dari realitas politik pasca Pemilu 2009 ini,maka jika selain yang menolak koalisi dengan Demokrat (PDIP dan Gerindra) diajak berkoalisi,maka koalisi itu bisa menggapai angka70% lebih. Opsi-opsi lain,bisa menjadi 65 atau 60%, mudah2an jangan hanya 51%.

Soal Cawapres, pengalaman wapres JK yang menjadi Ketua Umum dari Partai yang berbeda dengan partainya Presiden ,mungkin perlu menjadi pertimbangan sangat serius. Presiden dan Wakil Presiden haruslah menyatu. Perbedaan partai membuat tidak bisa menghindar dari conflict interest, sehingga seperti ada dua matahari kembar. Dampaknya,program pemerintah terganggu dan korbannya adalah bangsa. Mungkin cawapresnya bisa diambil dari tokoh independen non partai, seperti pola wagub DKI jaya, bukan dari partai tetapi didukung oleh semua partai pendukung..Jika ada boleh juga cawapresnya dari internal Partai Demokrat, itu lebih solid..

Argumen lucu-lucuan
Begitu hasil hitung cepat menempatkan Demokrat sebagai leader dan SBY hampir pasti menjadi capres lagi, berseliweranlah SMS yang mengusulkan nama cawapres pendamping SBY. Yang lucu argumennya bukan logika, tetapi arti dari nama yang diusulkan. Dari lebih dari 700 SMS yang masuk, ada lima cawapres yang diusulkan.

1. Jika bangsa Indonesia ingin mencapai kebesaran,maka SBY harus menggandeng Akbar (maksudnya Akbar Tanjung) karena Akbar artinya Besar.

2. Jika bangsa ini ingin mendapat petunjuk Allah SWT, maka syaratnya SBY harus menggandeng Hidayat (maksudnya Hidayat Nurwahid), karena hidayat artinya petunjuk.

3. Jika bangsa ini ingin memperoleh keutamaan, maka SBY harus menggandeng Fadel (maksudnya Fadel Muhammad) karena fadel artinya utama.

4. Jika bangsa ini ingin menggapai keagungan,maka SBY harus menggandeng Agung (maksudnya Agung Laksono).

5. Tetapi jika bangsa ini ingin memperoleh keberkahan dari Allah SWT maka SBY harus menggandeng Mubarok (maksudnya Achmad Mubarok) karena mubarok artinya berkah.

Masih sedang saya klassifikasi lagi SMS2 yang nampaknya lucu-lucu ini. Yah ketika zaman lagi sulit, boleh kan rekreasi spiritual melalui lucu-lucuan? Ada yang mengusulkan menggandeng Khafifah untuk mengimbangi Megawati,tapi kata SMS itu, sayang ya Khofifah itu artinya enteng, nggak jadi ah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, April 07, 2009

Pengertian Kualitas Nafs
Al-Quran menegaskan bahwa pada dasarnya nafs diciptakan Allah SWT dalam keadaan sempurna. Sebagai perangkat dalam (rohani) manusia, nafs dicipta secara lengkap, diilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukan agar ia dapat mengetahuinya.

Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. al-Syams / 91:7-11).

Nafs adalah al-jawhar atau substansi yang menyebabkan manusia berbeda kualitasnya dengan makhluk yang lain, yakni yang menyebabkan manusia maupun menggagas, berfikir dan merenung, kemudian dengan gagasan dan pikirannya itu manusia mengambil keputusan, an dengan pikirannya itu manusia juga dapat menangkap rambu-rambu dan simbol-simbol yang membuatnya harus memilih jalan mana yang harus ditempuh.

Menurut al-Quran, nafs memiliki kemerdekaan dan memiliki peluang apakah kemudian cenderung kepada kebaikan dan alergi kepada keburukan atau sebaliknya, bergantung kepada faktor-faktor yang mempngaruhinya. Faktor terpenting dalam hal ini adalah bagaimana manusia mengendalikan kodrat fitriahnya, tabiat individualnya serta daya responnya terhadap lingkungan sebelum melakukan suatu perbuatan.

Menurut al-Quran, nafs memiliki kemerdekaan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, dan dengan alat bantu yang tersedia, memungkinkannya memilih jalan atau mengubah keputusan, sehingga suatu nafs memutuskan untuk memilih jalan yang menuju kepada martabat takwa, dan di waktu yang lain menyimpang ke jalan yang sesat.

Dalam surat al-Isra / 17:15 disebutkan:

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah SWT, maka sesungguhnya ia telah berbuat bagi keselamatan dirinya, dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.

Sejalan dengan kemerdekaan yang diberi oleh Allah SWT, nafs juga diberi tanggung jawab dan otonomi. Seperti dijelaskan ayat diatas, bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan Tuhan tidak akan memberi azab sebelum terlebih dahulu memberi rambu-rambu yang harus dipatuhi melalui rasulnya. Kemrdekaan dan tangung jawab nafs itu diberikan sedemikian rupa hingga tuhan mengingatkan bahwa Dia mengetahui sisi dalam yang disembunyikan manusia. Surat Qaf / 50:16 menyebutkan bahwa apa yang dibicarakan oleh nafs yang tidak mendengar oleh panca indra manusia, diketahui oleh Allah SWT.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS. Qaf / 50:16).

Kualitas nafs seseorang bisa meningkat dan bisa menurun, dan hal ini berkaitan dengan sistem yang melibatkan jaringan tabiat dan fitrah manusia. Kualitas nafs yang telah dibentuk pada seseorang membentuk sistem pengendalian oleh tiap-tiap individu, sehingga seseorang kuat dan yang lain ada yang lemah dalam menghadapi godaan yang datang dari luar. Hal ini diisyaratkan oleh al-Quran surat al-Naziat / 79:40-41:

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya sorgalah tempat tingglnya.

Surat al-Hasyr / 59:9 juga menghubungkan kualitas nafs dengan tingkat kecintaan kepda harta benda.

dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang beruntung.

Fisik manusia, meski genetikanya sehat, tetapi proses kehamilannya, kelahiran dan lingkungan hidup selanjutnya mempengaruhi tingkat kesehatannya. Demikian juga kesehatan nafs, meskipun pada dasarnya ia ciptaan Allah SWT dalam keadaan sempurna seperti yang disebut dalam surat al-Syams / 91:7-8, tetapi pemeliharaan dan pemupukannya seperti yang diisyaratkan dalam surat al-Naiat / 79:40, surat al-Hasyr / 59:9, dan surat al-Syams / 91:9-10 di atas, melahirkan tingkatan nafs yang berbeda-beda pada tiap orang. Pada orang dewasa yang berakal, tingkatan nafs disebut dalam al-Quran dalam beberapa tingkatan, seperti al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs al-Lawwamah dan al-Nafs al-Muthmainnah. Sedangkan pada anak-anak yang belum mukallaf, al-Quran menyebut nafs untuk mereka dengan nama nafs zakiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan jiwa yang suci.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, April 06, 2009

Tingkatan Kualitas Nafs
Seperti telah dijelaskan dalam surat al-Syams / 91:9-10 bahwa nafs itu diciptkan Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Kualitas nafs tiap orang bereda-beda berkaitan dengan bagaimana usaha menjaganya dari hawa (Q.,s. al-Nâ-zi’ât/79:40), yakni dari kecendrungannya kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu, seperti yang dikatakan oleh al-Marâghi, merupakan tingkah laku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistimewaannya.

Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cendrung bersifat rendah.

Al-Quran membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs martabat tinggi memiliki oleh orang-orang takwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sedangkan nafs martabat rendah memiliki oeh orang-orang yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta orang-orang yang sesat, yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.

Secara ekplisit al-Qur’an menyebut tiga jenis nafs, yaitu
1. (al-nafs al-muthma’innah),
2. (al-nafs al-lawwamah), dan
3. (al-nafs al-ammarah bi al-su)

Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut ketuga jenis nafs itu adalah sebagai berikut:


Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku (Q,. s. al-Fajr / 89-27-30).


Aku besumpah dengan hari kiamat, dn aku bersumpah dengan jiwa amat menyesali(dirinya senderi) (Q,. s. al-Qiyamah / 75:1-2).


Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kapada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang (Q., s. Yusuf / 12:53).

Di samping tiga penggolongan tersebut, al-Qur’an juga menyebut term pada anak yang belum dewasa, seperti tersebut dalam surat al-Kahf / 18:73:

Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka khidir membunuhnya. Musa berkata: mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar (Q,. s. al-Kahf / 18-74).

Maka empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yamni ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwamya masih suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merspons secara positif terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthma’innah setelah terlebih dahulu memproses di dalam tingkatan nafs lawwamah telah mencapai tingkat muthma’innah pastilah ia menyandang predikat zakiyah pula.Akan tetapi jika nafs itu merespon lingkungan secara negative, maka ia dapat menurun manjadi nafs ammarah dengan segala karaterristik buruknya.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger