Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, April 30, 2015

Psikologi Kepemimpinan Politik (1)
Banyak  yang berkata bahwa fenomena politik nasional dewasa ini sangat menyebalkan. Konflik koalisi  KMP vs KIH di Parlemen, konflik DPR dengan Pemerintah, konflik internal Partai Politik, ada DPR tandingan, Kongres tandingan, Gubernur tandingan dipertontonkan secara terbuka kepada public. Belum lagi skandal korupsi pimpinan Partai Politik, kesemuanya itu membuat ada yang berkesimpulan bahwa politik memang kotor, politik memang jahat. Benarkah politik itu jahat ?
Manusia Sebagai Makhluk Politik
       Suka atau tidak suka terhadap politik tetapi manusia adalah memang makhluk politik (zon politicon atau siyasiyyun bitthob`I dalam bahasa Arabnya). Perilaku politik adalah perilaku manusiawi, oleh karena itu kualitas politik bukan bergantung kepada politiknya tetapi kepada kualitas manusianya. Sebagai makhluk psikologis, manusia itu berfikir dan merasa, fikirannya mempengaruhi perasaannya dan perasaannya mempengaruhi  pikirannya. Jadi kualitas perilaku politik seseorang bergantung kualitas fikirannya (akalnya) dan kualitas perasaannya(hatinya) bahkan hati nuraninya. Oleh karena itu ada partai politik yang menggunakan hati nurani sebagai inspirasinya, yaitu Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura.
       Naluri politik adalah kekuasaan, tetapi konsep kekuasaan bagi setiap orang berbeda-beda, ada yang ingin menguasai orang lain, yakni manusianya,  ada yang lebih tertarik kepada kekayaan atau ekonomi, yang lain memilih keluasan wilayah dan ada yang lebih tertarik untuk menguasai hati dan fikiran orang lain.  Perbedaan pusat perhatian politik ini mempengaruhi perilaku politik seorang politisi, ada yang repressip, ada yang culas, ada yang rakus dan ada yang sportip,santun dan arif.
       Sebagai makhluk social manusia membutuhkan orang lain dan menjadi apa dan siapa bergantung dengan siapa mereka bergaul, bekerjasama dan belajar. Untuk mengejar kekuasaan politik maka makhluk social itu melakukan kerjasama untuk menggapai tujuan bersama, dan bersaing untuk menggapai agenda subyektip masing-masing. Oleh karerna itu lahirlah organisasi,  ada ormas, orpol atau Partai Politik bahkan Negara dan pemerintahan (termasuk juga Universitas) yang kesemuanya itu merupakan wadah kerjasama dan wajah persaingan sekaligus.  Di Partai Politik mereka bersama-sama membangun organisasi, tetapi di kongres masing-masing bersaing merebut jabatan tertinggi/ketua umum (contoh paling segar adalah Kongres PPP dan Golkar). Begitupun dalam pemerintahan dan dalam Negara, bahkan dalam organisasi dunia PBB. Kualitas perilaku dalam persaingan sangat erat dengan target apa yang ingin dicapai. Jika orang bersaing untuk merebut nilai-nilai keutamaan, kebajikan dan ketaqwaan, maka mereka pasti bersaing secara sportip, jujur dan bermartabat. Tetapi jika mereka bersaing untuk memperebutkan hal-hal yang sifatnya rendah (harta,tahta,wanita,gengsi) maka para politisi sangat mudah tergoda melakukan cara-cara kotor, seperti fitnah, intimidasi,terror, korupsi dan sebagainya.
       Menurut teori psikoanalisa, ekpressi manusia merupakan sinergi dari tiga pilar kepribadian, id, ego dan super ego, dimensi hewani, dimensi akal dan dimensi moral. Politisi yang berkepribadian hewan maka ia bersaing seperti hewan, serakah, tak sabar dan sadis. Politisi yang mengedepankan akal maka berpolitik secara cerdas, ia bisa bermain cantik dan mampu melakukan rekayasa politik,meski belum tentu bermoral. Sedangkan type politisi yang bermoral, ia hanya bersaing secara fair,berpegang teguh kepada prinsip-prinsip moral, mengacu kepada cita-cita politik yang dituju dan tabah menderita ketika harus melalui tahapan-tahapan yang berat, dan tidak mau melakukan praktek dagang sapi.
       Sebagai suatu persaingan, kemenangan politik tidak selalu sejalan dengan karakteristik sang politisi. Amin Rais yang Profesor Doktor dalam bidang ilmu politik ternyata tidak dijamin menang dalam politik, sebaliknya sebagai ketua MPR ia malah harus melantik Megawati yang tidak sarjana menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Idealisme politik tidak menjamin kemenangan actual, dan memang idealisme justeru menguat ketika sering berhadapan dengan realita politik yang terlalu pragmatis. Dibutuhkan kearifan, kecerdasan, keuletan dan kesabaran serta keberanian dalam menghadapi realitas politik yang cenderung pragmatis.
Politik dan Agama
       Agama mempunyai struktur vertical ke Tuhan Yang Maha Kuasa, sementara politik lebih berdimensi horizontal bersaing antar manusia. Tetapi nyatanya ada partai politik yang berbasis agama, Partai Islam, Partai Kristen dan sebagainya. Di Indonesia ada PKS, PPP, PKB, PBB yang jelas sekali warna ke Islamannya. Bagaimana sesungguhnya konsep polit5ik dalam Islam ?
Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan istilah siyasah. Ilmu agama (Islam) yang berbicara tentang politk disebut fiqh as siyasah atau fiqih politik. Secara akademik ilmu politik berdekatan dengan ilmu ushuluddin atau teologi, oleh karena itu di IIUM (International Islamic University Malaysia) misalnya jika seorang mahasiswa S2 mengambil program mayornya ilmuUshuluddin,maka program minornya adalah ilmu politik. Jadi jika seorang sarjana alumnus Fakultas Ushuluddin (Teologi) kemudian aktif dalam dunia politik, itu sudah berada pada jalur yang benar. Politik berbicara tentang kekuasaan, sumber kekuasaan adalah Tuhan,dan Ushuluddin atau Teologi adalah ilmu yang berbicara tentang ketuhanan. Jadi berpolitik adalah juga ekpressi agama (ibadah) karena manusia adalah khalifatulloh (wakil Tuhan) di muka bumi yang bertugas menegakkan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia di bumi. Oleh karena itu partai politik yang berbasis agama harus tunduk kepada akhlak mulia dalam berpolitik. Jika melanggar ekhlak al karimah dalam berpolitik, ia bukan saja diancam penjara di dunia tetapi diancam dengan hukuman neraka di akhirat nanti.
Politik dan Psikologi
      Definisi yang bersifat terapan menyatakan bahwa Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mnegendalikan peristiwa mental dan tingkah laku manusia. ”psychology is the sciense that attempts to describe, predict, and controle mental and behavioral events”. Jadi psikologi juga bisa digunakan untuk memprediksi suatu peristiwa sosial politik dan bahkan bisa digunakan untuk mengendalikan kekuatan politik. Dengan psikologi seorang pemimpin bisa mengamankan kedudukan politiknya sehingga tujuan-tujuan besar politik jangka panjang bisa tercapai. Pengabaian terhadap psikologi bisa menyebabkan seorang pemimpin jatuh hanya dikarenakan oleh kesalahan kecil  tetapi berdampak  (negatip) besar.  Pengendalian politik  sangat berhubungan dengan persepsi politik publik. Kesalahan pendekatan psikologis dalam politik bisa melahirkan misspersepsi yang solusinya juga hanya bisa dilakukan dengan membangun persepsi baru. Publik terkadang bisa ditipu dengan politik pencitraan, tetapi persepsi yang terbangun oleh plitik pencitraan biasanya sarat dengan bom waktu politik. Oleh karena itu seorang pemimpin seyogyanya harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi dan komitmen kuat yang dibuktikan dengan mampu memilih skala perioritas, yang dengan itu citra politi8k akan terbangun secara real, bukan membangun politik pencitraan.
Psikologi Barat dan Psikologi Islam
        Psikologi sebagai ilmu (lahir abad 18) adalah produks dari peradaban Barat yang sekuler, oleh karena itu Psikologi Barat atau Psikologi modern tidak mengenal Tuhan, akhirat bahkan tidak mengenal baik dan buruk. Yang dikenali dalam Psikologi barat adalah sehat dan tidak sehat secara psikologi. Kenapa ?  karena psikologi Barat hanya bersumber dari renungan intelektuil dan penelitian empirik (laboratorium psikologi). Oleh karena itu wajar saja ketika teori psikoanalisanya Freud dibantai habis oleh teori Behaviorisme, selanjutnya disalip oleh teori Psikologi Kognitip dan baru muncul teori Psikologi Humanisme yang sudah agak berdekatan dengan teori-teori Islam.
         Sesungguhnya didalam al Qur’an dan hadist banyak sekali disebut kata nafs (jiwa), tetapi para ulama generasi awal lebih memandang jiwa dalam konteks hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu ilmu yang lahir adalah ilmu akhlak dan ilmu tasauf, dimana dapat dijumpai istilah nafs al muthma’innah ( jiwa yang tenang), nafs lawwamah (jiwa yang selalu menyesali diri), nafs al musawwilah (jiwa yang secara umum sudah tenang kecuali dalam menghadapi satu dua hal) dan nafs al ammarah (jiwa yang condong kepada keburukan). Munculnya istilah Psikologi Islam justeru di Barat (1950), yakni ketika mahasiswa muslim dari negeri2 Islam studi di Barat, dan ketika berjumpa dengan ilmu Psikologi sebagaimana dikatakan oleh  Prof. Malik Badri mengalami fase2 : (1) infantuasi, kemudian (2) rekonsiliasi dan (3) fase emansipasi, yakni dari terkagum-kagum, kemudian berusaha mencocdok-cocokkan dengan teori2 Islam dan akhirnya kritis terhadap pandangan-pandangan psikologi modern. Di Indonesia sendiri muncul istilah nafsiologi, kemudian Psikologi Islami, baru kemudian Psikologi Islam.
       Perbedaan Psikologi moderen (Barat) dengan Psikologi Islam terletak pada wilayah dan metodolginya. Jika Piskologi Barat wilayahnya hanya (1) menguraikan (2) memprediksi (3) mengendalikan perilaku manusia, maka Psikologi Islam menambah dengan (4) membentuk perilaku yang baik dan (5) mendorong jiwa agar merasa dekat dengan Tuhan. Demikian juga dari segi sumber, jika Psikologi Barat  bersumber dari renungan intelektuil dan laboratorium empirik, Psikologi Islam bersumber dari apa kata Sang Pencipta tentang manusia, seperti yang terkandung dalam al Qr’an dan dijelaskan oleh hadis. Metode yang digunakan adalah tafsir maudhu`i atau tafsirf tematik Sudah barang tentu teori2 Psikologi Barat juga digunakan sebagai pembanding dan pembantu dalam memahami teks.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, April 29, 2015

Tasawuf Nusantara (2)
Pada umumnya orang memandang tarekat itu hanya sebagai fenomena keagamaan tardisionil yang terbatas wilayah perhatiannya. Tetapi dalam keadaan tertentu tarekat juga tak bisa menghindar dari situasi social politik yang sedang berlangsung sehingga tarekat dan politik bisa menjadi senafas, bahkan berhubungan jiuga dengan Negara.
   Tarekat dan Negara
Pada tahun 1998 saya mengadiri perhelatan tarekat Naqsyabandi di Washington Amerika Serikat, dalam acara yang dikemas dengan nama Second International Conference of Islamic Unity, diselenggarakan oleh masyikhah Tarekat Naqsyabandi Haqqani, dihadiri oleh 100 negara. Sebelumnya (1995, 1996 dan 1998) saya diundang dalam Multaqa aTasawwuf al `Alamy atau International Sufisme Meeting, di Tripoli, Benghazi dan  Baidho Libia. Pada tahun 1988, saya juga hadir pada festifal Ashab at Thuruq di Kairo. Jarang yang mengetahui bahwa Libia adalah satu-satunya Negara modern yang didirikan oleh Tarekat, yaitu Tarekat Sanusiyah. (Ingat Umar Mukhtar, tokoh Lion of the dissert). Sewaktu di Washington saya sempat berjumpa dengan Presiden Chehnya, Jenderal Aslan Mashadov. Juga jarang yang tahu bahwa Chehnya adalah satu-satunya Negara yang menyebut Tarekat Naqsyabandi sebagai tarekat Negara. Uni Sovyet dibuat sangat repot oleh Mujahidin Chehnya karena mujahidin Chehnya ini bukan hanya pejuang bersenjata tetapi juga pengamal tarekat sufi.
Jejak Tasauf di Indonesia
         Tahun 1998, Indonesia sedang berada pada masa transisi. Gerakan reformasi 1998 tak jelas arahnya, bahkan mengkhawatirkan, karena tidak ada contohnya dalam sejarah reformasi ekonomi dan politik yang dilaksanakan bersama yang berhasil. Uni Sovyet, Negara super power, gara-gara melakukan Glasnot dan Perestoika, reformasi ekonomi dan politik sekaligus, hasilnya bubar. Yugoslavia juga bubar. Dalam keadaan sedang galau itu, saya di Washington mohon doa restu untuk bangsa Indonesia kepada Syekh Nazim, Adil al Qubrusy, mursyid tarekat Naqsyabandi Haqqani yang pusatnya di Turki. Dalam bahasa Inggris yang terbata-bata, jawaban Syekh Nazim ternyata sangat mengusik perasaan. Beliau menjawab sebagai berikut. Iya, sekarang ini para auliya sedang sangat sibuk mendoakan negeri anda, karena negeri anda Indonesia, dulu itu didesain oleh para wali. Itu yang membuat Indonesia berbeda dengan Andalus.
Beberapa hari sesudah itu fikiran selalu terusik oleh pernyataan Mursyid tarekat Naqsyabandi itu. Dari rekaman sejarah ternyata memang nampak jelas perbedaan bagaimana Islam masuk ke Andalus (Spanyol) dan ke Indomnesia . Islam masuk ke Andalus dengan pedang, sehingga meski 700 tahun politik Islam sempat  bercokol di Andalusia Eropa bahkan kota Paris nyaris ditaklukkan. ketika kekuatan politiknya runtuh maka Islamnyapun terusir tak bersisa dari bumi Andalus. Sedangkan Islam ke Indonesia dibawa oleh para wali dengan pendekatan akulturasi budaya yang membuat orang Indonesia (baca Jawa) menjadi Islam tanpa disadari. Tradisi masyarakat Jawa dipertahankan bentuknya tetapi isinya diganti, seperti tradisi tahlilan hari ke 3, 7, 40, dan 100  setiap ada orang meninggal. Makanan tumpeng juga menjadi symbol konsep tauhid. Pertunjukkan wayang juga digunakan untuk berdakwah secara amat halus. Kokohnya tradisi “Islam” itu menjadi benteng yang sangat kuat, sehingga meski pernah mengalami sejarah kolonialisme barat lebih 300 tahun, tetapi Islam tetap utuh di bumi Indonesia.
Tokoh pembawa Islam ke Indonesia terkenal dengan sebutan para wali yang kemudian disebut wali songo. Jika berbicara  wali maka pastilah itu menjadi domainnya tarekat dan tasauf. Dan para wali bukan seperti bayangan awam, karena ternyata mereka bahkan aktip dibelakang kekuasaan politik real. Sunan Kalijaga misalnya adalah penasehat raja Mataram. Begitupun di kerajaan Demak dan Pajang. Oleh karena itu tidak aneh ketika gerakan perlawanan kepada penjajah Belanda juga banyak yang dimotori oleh gerakan tarekat. Syekh Maulana Yusuf sampai harus diasingkan ke Afrika Selatan karena pengaruhnya yang sangat kiuat terhadap gerakan perlawanan kepada penjajah. Hingga hari ini sesungguhnya “cengkeraman gaib” sufisme dan tarekat masih cukup kuat di masyarakat Indonesia. Kota Rokan Hulu Jambi bahkan hingga hari ini masih disebut sebagai kota seribu suluk. Sebagaimana fenomena awal dimana tasauf muncul karena ada krisis materialism di kalangan umat Islam generasi pertama, di Indonesia setiap kali ada krisis social maka fenomena Sufism dan tarekat mengemuka. Istilah tarekat Nusantara bisa dibenarkan karena ekpressi tarekat di Indonesia berbeda dengan ekpressi tarekat di Mesir, Libia atau Afrika.
Pengalaman bertarekat
Ayah, paman dan kakek saya adalah mursyid tarekat naqsyabandi. Irama tawajuhan yang bernuansa Jawa sangat akrab di telinga saya karena selalu mendengar sejak kecil, baik  pada musim suluk maupun rutin mingguan. Tahun 1965 saya hijrah ke Jakarta. Ada beberapa pengalaman yang sangat mengesankan dalam kaitan hidup bertarikat yang saya alami.
·       Dalam kesempatan yang tidak disengaja saya bertemu dengan seorang kyai kampong, seorang mursyid tarekat Naqsyabandi dari daerah Banten. Tanpa saya minta beliau menubuatkan/meramalkan tiga hal ramalan menyangkut diri saya, yaitu jodoh, ekonomi dan traveling. Setelah puluhan tahun ternyata ketiga ramalan tersebut terbukti. Pertama, saya diramal bahwa pernikahan saya yang pertama akan berakhir dengan perceraian, hubbun ya`qibuhu firoq, kata beliau dalam bahasa Arab yang artinya cinta yang akan diakhiri dengan perceraian. Ternyata setelah 18 tahun usia perkawinan , perceraian tidak bisa dihindar. Kedua; garis ekonomi saya putus. Ini juga terbukti, saya menjadi direktur sebuah perusahaan, setelah lima tahun saya tidak sanggup meneruskan karena konflik batin, disatu sisi saya adalah guru agama dan da`I, tapi perusahaan itu ternyata menjadi alat korupsi pejabat, karena pemilik perusahaan itu adalah bendaharawan di suatu departemen. Ketika perusahaan itu di puncak kemajuannya, saya mengundurkan diri. Ketiga saya diramal akan mengelilingi hamper seluruh belahan dunia termasuk ziarah makam Rasul. Ini juga terbukti, saya sudah mengunjungi 28 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
·       Pada tahun 1968 ketika duduk di bangku kuliah tingkat dua saya mengalami semacam frustasi, karena tidak bisa memahami gaya hidup kyai di Jakarta, yang sangat berbeda dengan persepsi saya selama ini tentang kyai di pesantren kampung. Perasaan frustasi itu berkembang menjadi tidak bisa menghormati dosen, dan juga tidak bisa menghormati ilmu. Akhirnya saya malas kuliah, dan lebih senang bepergian kemana saja mencari “udara” segar. Dalam pengembaraan itulah saya berjumpa dengan beberapa mursyid tarekat, dan melalui ru`ya al haqq akhirnya saya dipertemukan dengan mursyid tarekat Syadziliyyah yang kemudian saya dibai`atnya. Ternyata jalur tarekat itulah yang mengantar saya pada jalan ilmu, karer, bisnis dan traveling. Tak disangka ramalan traveling mursyid tarekat dari Banten pada tahun 1968 itu menjadi kenyataan mulai dari tahun 1988 hingga hari ini. Sudah 27 negara saya kunjungi Asia, Eropa, Afrika dan Amerika, melalui jaringan tarekat.
·       Pada tahun 1997 melalui internet saya mengenal Syekh Hisyam Kabbani, masyikhah Tarekah Naqsyabandi Haqqani Amerika. Yang menarik dari guru tarekat ini adalah etosnya yang sangat berbeda dengan etos guru tarekat Nusantara. Etos beliau adalah “dengan semangat salafi menembus globalisasi”.  Hampir 50% waktunya digunakan untuk safar, mengunjungi murid-muridnya diseluruh dunia, dan setiap berkunjung ke suatu negeri pasti ada agenda ketemu Presidennya, termasuk Presiden Putin (Rusia). Tahun 2003, Pak SBY (ketika itu menko Polkam) saya perkenalkan dengan Syekh Hisyam, dan akhirnya Pak Sby berbai`at tarekat Naqsyabandi. Selanjutnya hamper setiap ke Indonesia selalu ada agenda ke istana.

·       Tahun 1968 saya bai`at tarekat, tetapi baru pada tahun 1995 saya berceritera kepada orang lain bahwa saya menganut tarekat, setelah pada tahun 1995 sayalah satu-satunya orang Indonesia yang dengan “keajaiban” menghadiri sarasehan guru tarekat se dunia di Tripoli. Ternyata selanjutnya perjalanan hidup saya tidak pernah terlepas dari sufisme dalam semua aspek kehidupan saya. Di akademik, saya menjadi profesor pertama di dunia dalam bidang Psikologi Islam, yang hakikatnya adalah pendekatan psychosufistik. Dalam bidang bisnis juga keberhasilan saya justeru karena melalui pendekatan sufistik, yang terambil dari nasehat sufistik; man akhodza addunya kullaha tarokaha kullaha, wa man tarokaha kullaha akhodzaha kullaha, fa akhdzuha bi tarkiha, (orang yang obsessinya uang ia akan ditinggal lari oleh uang, sedangkan orang yang tidak pernah berfikir uang, ia akan dikejar-kejar uang, jadi kalau ingin punya uang caranya jangan memikirkan uang).). Dalam bidang politik saya juga menggunakan etika sufistik dari maqalah sufistik yang berbunyi. La an tajlisa fi al juz’i al kholfi wa tuqoddimuka annas khoirun min an tajlisa fi aljuz’I al amami wa tu’akhhiroka annas (bahwa duduk dibelakang kemudian disuruh maju kedepan itu lebih baik daripada nekad duduk di depan tetapi kemudian disuruh pindah kebelakang). Wallohu a`lamu bissawab

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, April 23, 2015

Tasawuf Nusantara (1)
OLEH : Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

Pendahuluan      
Perilaku Sufistik dapat dijumpai pada semua agama sepanjang masa, demikian juga pada masa Rasululloh, baik pada diri Rasul maupun para sahabat. Tetapi munculnya sufisme pada sejarah Islam dapat disebut sebagai respond terhadapi gejala pola hidup materialistik pada generasi awal ummat Islam. Sebagaimana diketahui gebrakan Islam sebagai power dunia berlangsung sangat cepat menaklukkan dua imperium ; Persia dan Rumawi. Penduduk padang pasir yang biasanya hidup sederhana tiba-tiba mendapati dirinya sebagai penguasa politik dan penguasa harta benda peninggalan bengsa yang ditaklukkan. Oleh karena itu dalam adaptasi terhadap keadaan baru ini banyak yang terdistorsi keberagamaannya oleh kehidupan duniawi yang materialistic. Fenomena itulah yang mengilhami sebagian ulama untuk mencari solusi, antara lain dengan menekankan sisi-sisi kehidupan spiritual yang akhirnya mewujud dalam apa yang kita kenal sebagai sufisme. Munculnya  banyak guru sufi melahirkan ragam ekpressi sufistik, dan ketika setiap guru sufi juga mempunyai banyak pengikut maka lahirlah banyak aliran yang secara social menjadi  ordo atau tarekat. Meski banyak aliran tetapi semua tarekat tetap menjadikan al Qur’an dan hadis sebagai pedoman utamanya. Ihya `Ulumuddin karya al Gazali dapat disebut sebagai bukti betapa keterikatan tasauf dengan sumber utama ajaran Islam.
Dari Nusantara Hingga Indonesia
Sudah menjadi kodrat sejarah bahwa penghuni kawasan ribuan pulau (Nusantara) di Asia Tenggara ini disatukan dalam satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Ribuan pulau, ratusan bahasa, ratusan suku, beragam-ragam tradisi, nilai budaya dan keyakinan agama, karena kodrat sejarah membuatnya tetap ber­satu. Sejarah tidak bisa direkayasa. Penjajahan Barat yang berlangsung lebih dari tiga abad, meski direkayasa dengan politik pecah belah justeru mengantar pada kesatuan wilayah yang sekarang dinamakan wawasan Nusantara. Penjajahan dan politik pecah belah justeru telah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi persatuan, bahwa persatuan akan mengubah perbedaan menjadi kekuatan. Kesadaran kebangsaan ini merupakan naluri bangsa Indonesia. Oleh karena itu pergumulan pemikiran dan konflik-konflik yang pernah terjadi haruslah difahami sebagai dinamika sejarah kebangsaan.

Akar Klassik Nasionalis Religius
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian. Dari kawasan Anak Benua, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha, dan pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sanskerta. Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat  dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”. Jejak agama India ini tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat. Budhisme merupakan falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang ber­semangat bahari, dan Hiduisme merupakan falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa. Karena Majapahit berdiri di latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Roro Jongrang) sekaligus maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan, beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa.

Kehadiran Budaya Kosmopolit Islam
Pada saat memuncaknya peradaban Islam, maka budaya Islam merupakan pola budaya umum seluruh belahan bumi Timur, tetapi sekaligus merupakan budaya global, karena ketika itu benua Amerika sebagai belahan bumi barat belum ditemukan. Karakteristik peradaban Islam yang mengglobal itu memudahkan peneguhan agama Islam di Asia Tengara, peranan saudagar anak benua India berlanjut terus tetapi mereka tidak lagi beragama Hindu dan Budha melainkan Islam. Pola budaya Perso Arab sebagai buah masuk Islamnya imperium Persia, kemudian menggeser pola budaya Sanskerta. Perkembangan selanjutnya, pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak Arab dengan dominasi bahasa Arab, tergambar pada banyaknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Kerajaan Hindu-Budha (Majapahit-Sriwijaya) yang memasuki masa senja  digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam (Aceh, Demak, Mataram, Ternate dll.).
Akulturasi budaya Islam dengan budaya se­belumnya nampak pada berkembangnya pesantren (pondok pesantren) yang semula hanya tempat menginap (funduq=Arab ) dan kata funduq itu berasal dari kata  pandokheyon=Yunani, yakni asrama orang-orang yang belajar filsafat pada era Yunani Kuno)) bertemu dengan konsep penginapan penuntut ilmu atau hikmah yang di dunia Islam dikenal dengan nama zawiyah, ribath dan khaniqah, bertemu dengan konsep pade­pokan Hindu-Budha dimana didalamnya dikenal ada shastri-dan cantrik. Nah pedepokan Islam diberi nama pesantren (dari kata cantrik-pecantrikan), dilengkapi dengan nama pondok (dari kata funduq (Arab) dan pondokheyon =Yunani), jadilah nama Pondok Pesantren dengan unsur kiyahi (dari konsep shastri) dan santri (dari konsep cantrik). Pada masa kerajaan Islam di Jawa, Pondok Pesantren meru­pakan lembaga pendidikan bagi calon-calon pemimpin (keluarga raja) dan cendekiawan (ulama).
Datangnya Kolonialisme/Imperialisme Eropa
Setelah tujuh abad peradaban Islam menjadi peradaban dunia, giliran bangsa Eropa bangkit. Bersamaan dengan melemahnya peradaban Islam, bangsa-bangsa Eropa, terutama dari Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) mengembara, mencari jalan sendiri ke India dan Timur Jauh, yang sebelumnya dikuasai saudagar Islam. Mereka bahkan menemukan benua Amerika. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan Islam ditaklukkan, termasuk Malaka yang menjadi pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara. Sejak itulah era kolonialisme dan imperialisme Eropa menguasai wilayah-wilayah negeri-negeri Islam. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mengkapling-kapling wilayah Nusantara, tetapi penjajahan terlama terhadap Indonesia dilakukan oleh Belanda. Sungguh Ironis bahwa bangsa-bangsa Barat mampu mengungguli bangsa-bangsa Muslim setelah mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Islam, dan pandangan hidup muslim yang egalitarian, partisipasi dan keterbukaan atas dasar kebebasan memilih, sementara pada saat yang sama dunia Islam kembali tersekat oleh kejumudan, feodalisme dan politik despotik-otokratik-totaliter.
Perlawanan paling sengit terhadap kolonialis Eropa dilakukan oleh Sultan dan Ulama (juga guru-guru tarekat) terutama di wilayah bandar-bandar perdagangan, oleh karena itu pahlawan nasional kita pada masa itu kebanyakan para sultan dan ulama. Syekh Maulana Yusuf al Makassary , mursyid Tarekat Naqsyabandi bahkan oleh Belanda dibuang ke Afrika Selatan (makam dan jamaahnya hingga kini masih ada di Afrika Selatan).Penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad mengobarkan semangat perang budaya dari kaum santri, yaitu boikot total terhadap semua yang berbau Belanda. Di satu sisi boikot budaya ini sangat efektip melindungi ummat dari pengaruh kolonial, tetapi di sisi lain sangat merugikan karena boikot total menjadikan kaum santri tidak bisa melakukan interaksi sosial dengan per­kembangan modern, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam proses modernisasi. Dampak negatif dari politik boikot ini masih terasa hingga zaman kemerdekaan, dimana kaum santri tetap memandang segala sesuatu yang datang dari Pemerintah (misalnya sistem pendidikan)  sebagai urusan duniawi yang haram atau makruh. Marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat santri dalam bidang pendidikan masih mewariskan kesulitan bangsa dan negara hingga kini, satu masalah yang tidak boleh dianggap sepele.

Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme Modern
Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda. Dalam upaya melanggengkan penjajahannya di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang menghambat perkembangan kecerdasan pribumi. Dari segi hukum, stratifikasi penduduk tanah jajahan dibagi menjadi empat; tertingi penduduk Eropa, kemudian Timur Asing (Cina dan Arab), kemudian aristokrat pribumi (priyayi) dan baru rakyat biasa.  Stratifikasi ini juga diwujudkan dalam sistem pendi­dikan; khusus untuk orang Eropa (ELS), kemudian sekolah khusus untuk golongan Timur Asing (HAS dan HCS), kemudian sekolah untuk golongan priyayi (HIS), baru sekolah untuk rakyat umum, yaitu Volkse School (Sekolah Ongko Siji) dan Tweede Volkse School (Sekolah Ongko Loro). Dari sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda itu tidak memungkinkan orang Indonsia dapat menjadi terpelajar, kecuali priyayi yang sekolahanya justeru didesain untuk kepentingan penjajahan.
Satu hal yang tak diduga Belanda, dari STOVIA dan  NIAS  yakni dua sekolah kedokteran Jawa yang di Jakarta dan Surabaya muncul bibit-bibit nasionalisme modern, seperti Dr. Wahidin dan DR. Sutomo. Demikian juga priyayi yang sekolah di negeri Belanda mengalami pencerahan nasionalisme. Walhasil, pada paruh pertama abad XX, tumbuhlah kesadaran nasio­nalisme modern, baik yang bersifat nasionalis seperti Yong Java, maupun yang bernuansa Islam, seperti Yong Islamitten Bond, Serikat Dagang Islam , Sumpah Pemuda dan lain-lain. Kesadaran nasionalis modern itulah yang nantinya mengantar pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, April 21, 2015

Terorisme dan Politik (2)

Oleh: Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA
Praktek terorisme dapat dilihat akar sejarahnya dari tokoh Syi’ah ektrim Hasan bin Sabah dari sekte Hassyasyin (1057M) yang diberi gelar The Old Man of The Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia), dan nama Hassyasyin (ada hubungannya dengan penggunaan hasyis-narkoba)  kemudian di Barat-kan menjadi Assasination karena kelompok ini selalu membunuh lawan-lawan politiknya secara tiba-tiba. Sedangkan ideologi terorisme modern pada umumnya dinisbahkan kepada Teori Evolusi Darwin struggle for survival between the races dan teori natural selection. Selanjutnya Maximilien Robespierr, tokoh Revo­lusi Perancis dianggap sebagai peletak dasar tero­risme modern, kemudian disusul Vladimir Lenin (Rusia), Yoseph Stalin (Rusia) yang diberi predikat master executive terror (1924), disusul Mao Tse Tung (Cina) yang dalam melakukan teror untuk menjamin kesetiaan rakyat kepada negara menghancurkan institusi keluarga dan agama. 
Di Amerika, terorisme bukanlah sesuatu yang asing sejak perang abad ke tujuh belas. Bahkan menurut sejarahnya, Amerika dirumuskan dan dilahirkan dalam kejahatan, “this nation was, as one historian note, “coceived and born in violence oleh karena itu perang Amerika terhadap terorisme sesungguhnya merupakan perang melawan diri sendiri, atau bagian dari kultur teroristiknya.
Internasionalisasi Terorisme
Ada dua hal yang menjadi titik internasionalisasi “terrorisme”  dewasa ini yaitu sosok Usamah bin Laden dan Afganistan atau kota Peshawar.
1.     Sesungguhnya kasus Usamah bin Laden lebih meru­pakan limbah politik dalam negeri Saudi Arabia. Usamah sebagai seorang muslim dan nasionalis Saudi bersama dengan 50 orang ulama/cendekiawan Saudi, protes keras terhadap kerajaan atas kehadiran tentara (pangkalan militer) Amerika di bumi kota suci Makkah Madinah. Kerajaan Saudi bukan saja tidak menghormati aspi­rasi Usamah dan 50 tokoh Saudi lainnya, tetapi lebih suka me­nunjukkan komitmen kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Usamah terusir dari tanah kelahiran­nya dan akhirnya ia menjadikan seluruh negeri Islam sebagai tanah airnya. Ia pernah di Sudan, kemudian menetap di Afghan, sekarang kemungkinan besar sudah gugur tetapi tetap “dipelihara” kemunculannya guna me­ngawal “proyek” perang melawan terorisme global.
2.     Ketika Uni Sovyet menduduki Afganistan, Amerika sangat berkepentingan untuk mengusirnya. Dalam upaya mengusir tentara Komunis itu Amerika mem­bantu, melatih dan mempersenjatai Mujahidin Afghan. Invasi negara Komunis ke bumi Afghanistan sangat menyentuh panggilan jihad kaum muslimin dari se­luruh dunia. Amerika merasa menemukan potensi yang dapat digunakan sebagai kekuatan pengganggu Uni Sovyet, maka Amerika menfasilitasi partisipasi mujahidin non Afghan yang datang dari seluruh pen­juru negeri Islam, termasuk dari Indonesia di Peshawar Pakistan. Peshawar bagaikan Akademi Militer dengan 100 000 mujahidin dari seluruh dunia dibawah asuhan team instruktur CIA dibawah kendali William Cassey, M16 (Inggris), ISI (Pakistan) dan dana dari Saudi Arabia. Nah ketika Uni Sovyet telah ber­hasil diusir dari bumi Afghanistan, para Mujahidin merasa bahwa merekalah yang mengusir tentara kafir dari Afganistan, tetapi Amerika merasa dialah yang berhasil mengalahkan Uni Sovyet dengan melatih pasukan mujahidin Afgan dan non Afgan. Sepeninggal tentara Uni Sovyet tanpa disadari telah hadir veteran perang (mujahidin) yang jumlahnya sangat besar. Pengalaman keberhasilan Mujahidin mengusir tentara super power Uni Sovyet secara psikologis melahirkan konsep diri positif pada mujahidin, yakni merasa sanggup mengatasi masalah seberat apapun. Oleh karena itu gelombang veteran perang Afghanpun mengalir ke Bosnia bahkan ke Chehnya, Daghestan dan Moro, juga Poso dan Ambon. Pokok­nya dimana­pun terjadi penindasan terhadap kaum muslimin, para mujahidin itu siap untuk jihad dan syahid.  Ketika para pahlawan perang yang tangguh itu kemudian tidak lagi menemukan medan jihad, maka  sebagian besar kem­bali ke habitatnya sebagai orang biasa, ada petani, pedagang dan guru agama, tetapi ada juga yang mengalami problem psikologis seperti veteran perang Vietnam di Amerika. Hambali, Amrozi , Imam Samudera dan yang lain-lain yang jumlahnya cukup banyak adalah orang desa (lokal) yang masuk pusaran global. Mereka tinggal di desa kecil, tetapi informasi dunia global selalu diikuti melalui internet, dan seperti Rambo jiwanya mudah terguncang ketika melihat arogansi Amerika yang selalu menggunakan standar ganda. Mereka  bukanlah terrorist seperti yang di stigmakan oleh publik opini media Barat, tetapi mereka adalah pejuang ideologis yang sedang membutuhkan tempat berpijak yang tepat. Oleh karena itu memperlakukan kelompok itu secara “gebyah uyah” dengan menggunakan pa­radigma perang melawan terorisme international seperti yang dikumandangkan oleh presiden Bush, bukan saja tidak efektif, tetapi akan membangkitkan kembali jiwa perang veteran yang sudah tenang di habitat asalnya.
Laporan Badan Penasehat Pentagon, Defence Science Board yang bertajuk Strategic Communication sebagaimana dikutip situs BBC (Kamis 25-11-2004) secara terbuka menyalahkan perang melawan terorisme yang justeru melebarkan jaringan terorisme terhadap Amerika, karena diplomasi publik oleh AS soal demokrasi ke dunia Islam tak lebih sebagai kepura-puraan semata. Tindakan AS terhadap dunia Islam, kata laporan tersebut didorong oleh motif tersembunyi dan secara sengaja dikendalikan demi memenuhi kepentingan nasional AS dengan me­ngorbankan dunia Islam.
Bagaimana di Indonesia ?
         Praktek terror sudah lama dikenal di Indonesia. Para pahlawan kita dulu juga dicap sebagai teroris dan ektrimis oleh Belanda, karena mereka melakukan terror kepada penjajah,  bukan terror yang mengerikan (horrific terrorism ) tetapi terror yang bernuansa perjuangan dan kepahlawanan (heroic terrorism). Setelah merdeka , bersamaan dengan pencarian system kenegaraan Republik Indonesia, radikalisme tak bisa dihindarkan. Pertama karena adanya perbedaan konsep Negara, misalnya lahir DI/TII (Jawa),Daud Bereuh (Aceh) dan kahar Muzakkar (Sulawesi). Kedua karena tekanan politik (political pressure) yang dilakukan oleh rezim orde Baru. Ketiga karena adanya mainan inteljen seperti KOMJI nya Imran, Keempat pengaruh dinamika global;seperti perang Timur Tengah, Revolusi Iran, Arqam malaysia, perang Afgan dan pendudukan Amerika terhadap Afgan dan Irak. Tetapi yang paling berperan dalam menstigmakan atau membumikan terorisme di Indonesia adalah Sidney Jones.
Sidney Jones ,Direktur Indonesia International Crisis Group  yang berpusat di Australia menghabiskan waktu 20 tahun untuk merekam berbagai konflik di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM  sekaligus “kaki tangan” Amerika.  Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika,FBI dan CIA,  Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones mengejutkan orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu,karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke “celana dalam” pelaku, seperti dalam laporan The Case of The Ngruki Network in Indonesia.  . Tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan inteljen Barat, apakah terrorist itu pelaku terror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan image negatip Indonesia dimata international. Pers Indonesia pun larut ke dalam tesis Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones. Sementara itu organisasi non profit multinasional yang berpusat di Belgia, International Crisis Group (ICG) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, meski juga ber”warna” Amerika tetapi tidak seberani Sidney Jones dalam menyimpulkan wacana radikalisme di Indonesia.

Sosok Amrozi dan Imam Samudera
       Senyum Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati sungguh menggemaskan hati keluarga korban bom Bali dan membingungkan psikolog Barat, oleh karena itu Barat hanya menyebutnya sebagai teroris murah senyum. Sementara Imam Samudera justeru menulis buku Aku Seorang Teroris,  Hingga hari ini tidak ada keinginan keduanya untuk meminta grasi dan tetap dengan senyum menyongsong hari kematiannya. Senyum politik kah atau senyum ideology ? Sesungguhnya Amrozi dan Imam Samdera hanya sekedar sample dari limbah politik global, limbah dari politik standarganda Amerika. Amerika, dalam hal ini CIA kurang cermat ketika memutuskan melatih mujahidin di Peshawar untuk memerangi Uni Sovyet di Afganistan. Jika CIA berfikir teknis lawan dari lawan adalah kawan, mujahidin non Afgan yang datang ke Afgan lebih didorong oleh semangat mengusir tentara kafir dari bumi Afgan. Mereka siap mati bukan demi tugas dinas, tetapi karena adanya panggilan jiwa. Di Afgan, Imam Samudera tidak merasa sebagai orang Indonesia tetapi sebagai penduduk bumi yang sedang bekerja membasmi kezaliman tentara kafir. Suasana batin seperti itu dirasakan oleh mujahidin dari seluruh dunia,baik yang sempat berlaga di Afgan maupun yang barus bersiap-siap menuju kesana. Amrozi termasuk kategori yang terakhir ini karena ia hanya sampai ke Malaisia. Ketika Amerika menunjukkan standargandanya secara telanjang dengan menciptakan image building yang menghubungkan terorisme dengan kelompok Islam ,mujahidin alumnus Peshawar berbalik melawan Amerika yang dulu melatihnya. Jika  Bush berkata Now for all nations of the world, there only two choice; join America or join the terorisme,maka veteran mujahidin tak mungkin memilih Amerika. Mereka dipaksa oleh Amerika untuk menjadi lawan.  Sikap arogansi Amerika yang hanya memberikan dua pilihan persis sama ketika perang dingin 1950 an, John Foster Dulles berkata; “to all the Asian and African countries that there are only two alternative either they going to join Washington, or they join Moscow. Jika Bush dalam perang melawan teroris bertekad mengejar mereka dimanapun mereka berada,maka respond alumni Peshawar juga tidak kalah galaknya,yaitu killing Americans Civilian and military any where and any time,membunuh orang Amerika, sipil maupun tentara kapan dan dimanapun. Amrozi dan Imam Samudera tidak sedang memusuhi Indonesia, tetapi sedang terlibat dalam perang global dengan Amerika. Psikologi prajurit dalam perang itu sering kacau. Jika pesawat Amerika yang super canggih di Basrah Irak menembak mobil bak yang membawa tiang listrik karena dikira tank, itu karena suasana psikologis dalam perang. Begitupun Imam Samudera dan Amrozi, dalam kasus bom Bali dia tidak bisa membedakan antara orang Amerika dengan orang Australia. Jadi terorisme global kini lebih sebagai alat politik dan ekonomi serta rekayasa inteljen dibanding sebagai ideology, dan biasanya orang bodoh dan orang yang sempit wawasan yang dapat dijebak untuk menjadi pelaku lapangan terorisme, sementara actor intelektualnya tetap duduk ongkang-ongkang sambil menghitung keuntungan proyeknya..

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, April 09, 2015

Terorisme dan Politik(1)
Oleh Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

Heboh ISIS merupakan puncak dari stigma terorisme terhadap Islam. Eksekusi pilot Yordania, Muadz al Kasasbeh, 26 tahun dengan cara dibakar hidup-hidup didalam kerangkeng besi seperti binatang buas di kebon binatang, kemudian abunya dibuang ke tempat sampah benar-benar merupakan puncak stigma negatip. Bayangkan pelakunya adalah kelompok yang menamakan dirinya Daulah Islamiyah fi al `Iraq wa al Suriyyah atau Islamic State  of Irak and Syiria (ISIS). Lebih dahsyatnya lagi proses pembakaran itu diabadikan oleh ISIS lewat video yang bisa ditonton lewat internet dan kemudian berbagai stasiun TV dunia mencupliknya. Saluran TV International FOX bahkan menayangkannya dari awal hingga akhir.
Apa yang dapat kita katakan melihat itu, karena seluruh yang dikerjakan kelompok ISIS bertentangan 180 derajat dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Pengelola majalah Cherlie Hebdo di Perancis yang baru-baru ini diserang “teroris” pasti tertawa terbahak-bahak. Demikian juga pendeta Amerika Terry Jones dan politisi Belanda yang dulu pernah secara demontratip membakar al Qur’an pasti merasa sangat terbantu oleh perilaku barbar ISIS.
Sesungguhnya terorisme ada sepanjang zaman dan di semua bangsa dan agama. Bahkan sejarah terorisme di Barat jauh lebih sadis dan massif, tetapi kini dalam era global, issue terorisme lebih distigmakan kepada Islam, terutama setelah runtuhnya Uni Sovyet. Jadi disitu ada scenario global untuk memojokkan Islam, dan ada kebodohan orang Islam yang mau digiring menjadi pelaku tindakan terorisme. Korban agresi Amerika di Perang Irak, Afganistan < Pakistan tidak pernah disebut korban terorisme. Tetapi jika pelakunya orang Islam meski korbannya hanya dua tiga orang maka pelakunya disebut sebagai teroris dan korbannya disebut korban terorisme.        
Dulu dalam kasus bom Bali, Amrozi yang menjadi sangat tekenal juga dituduh sebagai teroris kelas dunia . Menjadi lebih menarik karena  Amrozi justeru tersenyum ketika hakim mengetokkan palu vonis hukuman mati kepadanya. Timbul pertanyaan, terror yang dilakukan oleh Amrozi cs itu perbuatan politik atau perbuatan ideology ? Issue terorisme dewasa ini  sebenarnya sudah keluar dari kebenaran substansial, sebaliknya ia hanya menjadi alat propaganda politik dan ekonomi global. Adu argumen tentang terorisme tidak lagi dengan meng­gunakan paradigma keilmuan, tetapi justeru dengan paradigma politik dan ekonomi.
Definisi Terorisme
Mendefinisikan terorisme menjadi sangat penting untuk membedakan terrorist dengan pejuang kebebasan. Memang hampir mustahil terorisme dapat didefinisikan secara obyektif. Definisi terorisme yang dinisbahkan kepada Osamah bin Laden misalnya, menurut kolumnis Michael Kinsley dalam Washington Post, 5 Oktober 2001 adalah pendefinisian yang kacau. Definisi yang me­ngandung pengertian “injury to government property” dan “computer trespass” terlalu luas cakupannya. Kinsley selanjut­nya memberi contoh, Amerika mendukung gerak­kan gerilya melawan pemerintahan Nicaragua, akan tetapi di El Salvador Amerika melakukan hal yang sebaliknya. Jika terorisme diartikan sebagai perbuatan kejahatan yang mendukung tujuan politik, pertanyaanya adalah bagaima­na jika yang melakukan justeru Pemerintah dari suatu negara?
Terorisme telah didenifisikan mengacu kepada ke­pentingan pemberi definisi, sehinga ada definisi terorisme perpespktif penguasa, perspektif inteljen dan perspektif ilmu. Definisi terorisme perspektif penguasa antara lain: “Terrorism is premediated threat or use of violence by subnational groups or cladestine individuals intended to intimidate and coerce governments, to promote political, religius or ideological outcomes, and to inculcate fear among the public at large
Sedangkan FBI misalnya mendefinisikan sese­orang menjadi teroris atau tidak bergantung kepada opini publik di Amerika, sebagai berikut: “The unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or to coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social goals” 
Adapun definisi yang lebih netral misalnya apa yang dikatakan oleh Ali A Mazrui dan Raymond Hamden. Menurut Ali A Mazrui, harus dibedakan antara teroris yang me­ngerikan (horrific terrorism) yang membunuh manusia tak berdosa tanpa pandang bulu dengan bentuk terorisme yang dilakukan oleh para pejuang kemerdeka­an (heroic terrorism) dalam menghadapi kekuatan pe­nindas, atau bahkan negara adidaya penindas. “Terrorist” yang terakhir ini me­ngandung nuansa patriotic dan kepahlawanan. Sementara itu Raymond Hamden mem­bedakan typology terorisme, dimana ada yang dilatar­belakangi oleh pan­dangan politik, ideologi suatu agama, oleh pertarungan politik melawan pemerintah yang mapan, dan terorisme yang dilakukan oleh orang yang mengidap sakit mental. 
Meski mustahil menyatukan definisi terorisme, tetapi pada akhirnya yang diterima  oleh banyak orang adalah definisi yang dibuat oleh pemilik kekuasaan yang bisa memaksakan kehendaknya, baik kekuasaan politik, militer, ekonomi maupun teknologi.
Pasti tidak mudah ketika orang harus memahami cara berfikir Amerika yang memandang Arafat sebagai teroris, sementara Israel yang menjajah Palestina, pe­langgar HAM dan pemilik senjata pemusnah massal dibela habis-habisan oleh Amerika. Terorisme tidak pernah dibahas akar masalahnya, tetapi dilihat dari kepentingan Amerika. Semua yang mengancam ke­pen­tingan Amerika di cap sebagai teroris, dan sayangnya PBB tidak cukup kuat untuk menentang hegemoni Amerika. Akar terorisme adalah ketidak adilan. Dimana­pun wilayah konflik dimana terjadi ketidakadilan yang menyolok, pasti akan muncul tindakan kekerasan. Palestina, Afganistan, Pilipina Selatan dan Irak sekarang adalah produsen kekerasan. Ditujukan kepada siapa? kepada pihak yang sangat kuat, yang me­maksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah dengan du­kungan kekuatan senjata, legalitas formal dan ekonomi. Ada tiga cirri aktifitas terorisme; (a) menyebarkan rasa takut (b) menghancurkan infrastruktur public dan (c) menimbulkan korban tak berdosa dalam jumlah besar. Jadi sebenarnya ada dua kelompok teroris.
1.     Pertama, Teroris kuat,  dalam hal ini negara besar (kuat), yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak untuk menghancurkan lawan, dimanapun berada. Amerika (di Afgan dan Irak) dan Israel (di Palestin) serta Uni Sovyet (ketika men­jajah Afganistan) dalam perspektip ini adalah negara teroris, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara, lounching by state. Dilihat dari cirri-ciri aktifitas terorisme maka ternyata Amerikalah yang paling banyak menyebarkan rasa takut, meluluh lantakkan infrastruktur public dan membunuh manusia tak berdosa dalam jumlah sangat besar.
2.     Kedua, Teroris Terpojok, yakni mereka  yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah.  Kelompok ini  merasa berhak untuk mem­bela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki.
Jadi peperangan teror dan anti teror dewasa ini se­benar­nya merupakan peperangan antara dua teroris, pertama teroris  yang berusaha mempertahankan dominasi kekuasaanya (terutama ekonomi) di dunia, dan kedua, teroris yang dalam posisi terpojok dan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya merasa harus mempertahan­kan eksistensinya dengan segala cara. Lahirnya kelompok seperti ISIS lebih banyak disebabkan karena frustrasi terhadap masa depan, karena dalam waktu yang lama dan nyaris tanpa ada harapan, kekerasan selalu terjadi di lingkungan mereka, baik karena krisis politik nasional mareka atau karena intervensi asing yang sangat kuat. Timur Tengah kini tak lagi berrsisa, semua Negara berhasil dikacaukan dari Irak, Tunisia, Suriah, Mesir dan kini Yaman. Hanya Iran yang tetap mampu melakukan konsolidasi diri menghadapi kekuatan “setan” Barat.. Saudi dan Negara Teluk  tidak dihancurkan karena disitu juga ada kepentingan Barat.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger