Integritas Diri dan Religiusitas
Keyakinan agama merupakan bagian dari kepribadian seseorang, karena agama merupakan prinsip yang disakralkan yang pelanggarannya membawa implikasi merasa berdosa. Secara teori, orang yang taat beragama harusnya memiliki integritas yang tinggi, tetapi karena kualitas keberagamaan orang berbeda-beda maka corak integritas diri dipandang dari sudut religiusitas juga berbeda-beda. Al Qur’an misalnya menyebut integritas diri seorang muslim dengan sebutan muslim, mukmin, muhsin, muttaqin, saleh, mukhlis shabur dan halim, disamping fasiq, kafir , munafiq,zalim dan jahil.
1. Muslim, Mu'min , dan Muttaqin
Seorang muslim artinya orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah kepada Tuhan, tetapi dalam rangking manusia berkualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Karakteristik seorang muslim adalah seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu, tetapi dalam praktek ia belum tangguh karena ia masih suka melupakan hal-hal yang kecil. Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas mukmin adalah seorang muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai kebenaran, sampai kepada hal-hal yang kecil. Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa iman itu mempunyai tujuhpuluh cabang, artinya indikator seorang mu'min itu ada tujuhpuluh variabel. Di antara tujuhpuluh indikator itu antara lain; (1) seorang mukmin hanya berbicara yang baik, (2) jika mendapati sesuatu yang mengganggu orang lewat ketika ia melewati suatu jalan maka ia tidak akan meneruskan perjalanannya sebelum menyingkirkan sesuatu yang mengganggu itu, (3) merasa sependeritaan dengan mukmin yang lain, dan sebagainya. Sedangkan Muttaqin adalah orang mukmin yang telah menjiwai nilai-nilai kebenaran dan allergi terhadap kebatilan. Seorang muttaqin adalah orang yang setiap perbuatannya sudah merupakan perwujudan dari komitmen iman dan moralnya yang tinggi. Menurut Fazlur Rahman, takwa adalah aksi moral yang integral.
2. Saleh dan Muhsin
Saleh mengandung arti patut (yashluhu), baik (mashlahat), damai (shuluh) dan reformis (ishlah). Jadi pribadi saleh adlah orang yang selalu memperbaiki diri (ishlah) untuk mengapi kebaikan umum (mshlahat), yang dengan itu maka ia bisa berdamai dengn orang lain (shulh), dan penampilannya mengikuti norma-norma kepatutan social sehngga ia bisa hidup harmoni dengan lingkungan karena dikenal sebgai orang baik-baik (shalihin). Sedangkan muhsin adalah orang yang sudah bisa melakukan bukan saja kebaikan, tetapi kebaikan yang sifatnya istimewa, misalnya memberi kepada orang yang kikir kepadany, memaafkan orang yang menzaliminya, bersilaturrahmi kepda lawan, jika bicara, pembicaraannya merupakan ekpressi dari zikir, jika diam, kediamannya merupakan ekpressi tafakkkur, dan jika memandang sesuatu, pandangannya merupakan ekpressi dari mengambil hikmah atau mengambil pelajaran.
3. Fasiq, Kafir dan Munafiq
Orang Fasiq adalah orang yang mengetahui dan meyakini supremasi nilai kebenaran, tetapi dalam kehidupan ia malas mengikutinya terutama jika bertentangan dengan dorongan syahwat/kesenangannya. Demi kenikmatan hidup ia merasa enteng saja untuk melanggar nilai-nilai kebenaran, meski ia tahu bahwa hal itu buruk. Meski demikian ia berharap hanya dirinya yang fasiq dan di dalam hatinya ia berharap agar anaknya tidak seperti dirinya.
Adapun orang kafir adalah kebalikan dari orang mukmin. Jika orang mukmin konsisten dalam berpegang kepada kebenaran yang diimaninya dalam keadaan apapun, maka orang kafir konsisten dalam hal tidak mempercayai kepada nilai-nilai kebenaran. Secara terbuka orang kafir menyatakan tidak percaya kerpada Tuhan, kepada dosa dan kepada kebajikan. Ia hidup menurut ukuran budaya di mana mereka berada, tidak percaya kepada nilai yang bersumber dari wahyu gaib. Ia berbangga dengan kekafirannya dan berusaha mengajak orang lain bergabung dalam kelompoknya seraya memperolok-olok kepercayaan orang beriman.
Sedangkan orang munafik, karakteristiknya dapat disebut sebagai orang yang bermuka dua, berbeda antara kata dan perbuatan. Jika orang kafir secara terbuka mengemukakan kekafirannya, orang munafik justeru menyembunyikan
kemunafikannya. Secara lahir ia perlihatkan perilaku seakan-akan ia sama dengan orang mukmin yaitu mempercayai nilai-nilai kebenaran, padahal yang sebenarnya ia tidak percaya dan berusaha melecehkan kebenaran dibelakang penglihatan orang mukmin. Orang munafik tak ubahnya musuh dalam selimut, seharihari ia bersama kita padahal ia memusuhi kita, mencuri peluang untuk mencelakakan kita. Tanda-tanda orang munafik menurut hadis Nabi ada tiga, yaitu (1) jika berkata dusta, (2) jika berjanji ingkar, (3) jika dipercaya khianat.
Karena kualitas itu bersifat psikologis, maka jarak antara satu kualitas dengan kualitas yang lain tidaklah seterang warna hitam dan putih, oleh karena itu seorang mukmin boleh jadi pada dirinya masih terdapat karakter-karakter fasiq, nifaq atau bahkan kufur. Seorang mukmin ketika sedang tersinggung misainya, karena dorongan ingin mempertahankan harga dirinya bisa saja terjadi mengalami distorsi iman, yakni imannya mengalami penipisan sehingga ia melakukan perbuatan kufur, sama halnya orang pandai terkadang melakukan perbuatan bodoh.
4. Mukhlis, Shabir dan Halim
Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata dilakukan hanya untuk Allah SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut. Dari deretan predikat kualitas yang dicontohkan Nabi dengan urutan Muslim, Mu'min, 'Alim (orang terpelajar), Amil (yang beramal) dan Mukhlis, maka selain mukhlis, mereka masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka). Manusia dengan kualitas mukhlis adalah orang yang paling produktif bagi dirinya, meski boleh jadi tidak diakui oleh orang lain. Sementara seorang 'alim yang 'amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis adalah kontra produktif bagi dirinya, meski boleh jadi memperoleh banyak penghargaan dari masyarakat. Seorang mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain, sedangkan kebalikannya yaitu orang yang riya, ia hanya mau melakukan sesuatu jika diketahui orang, atau diliput berita. Orang mukhlis berbuat sesuatu demi Allah, sedangkan orang riya melakukannya demi pujian orang.
Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau penyabar. Menurut Imam Ghazali, sabar artinya tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan.
Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang tidak sabar biasanya, karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan, sebaliknya ia melakukan sesuatu yang justeru mempersulit tercapainya tujuan.. Sabarpun mengenal batas waktu, oleh karena itu jika suatu ketika mengalami kegagalan, sudah diulang gagal, diulang lagi gagal lagi, maka orang yang sabar hams berfikir mencari alternatif, karena boleh jadi sumber masalahnya justru pada keputusan awal yang kurang tepat. Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal. Ia bukan hanya mampu mengatasi kesulitan yang datang dari luar, kesulitan tehnis misalnya, tetapi juga mampu mengatasi kesulitan yang datang dari diri sendiri, kebosanan, kemalasan atau syahwat misalnya. Al Qur'an menghargai manusia unggul yang penyabar, yakni yang sabar dan memiliki kecerdasan intelektuil, Emosionil dan Spirituil (IQ, EQ dan SQ) ,setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal, Al Qur'an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).
Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur'an memberi contoh sosok Nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at Taubah: 114) Al hilm itu sendiri dapat diartikan sebagai akal, tetapi akal bukan sebagai problem solving capasity, melainkan akal sebagai akumulasi seluruh kecerdasan, intelektual, emosional dan spiritual. Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan mengkhawatirkan keadaan orang lain. Ibrahim tidak memiliki perasaan marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi Ibrahim lapor kepada Tuhan tentang kaumnya yang patuh dan yang durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Tuhan agar mengampuni dan menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi'ani fa innahu minni , waman 'asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36).
5. Zalim dan Jahil
Zalim (sewenang-wenang) dan jahil (bodoh) keduanya merupakan penyakit yang dalam bahasa Arab disebut maradl. Keduanya mengandung arti melampaui batas dari kewajaran. Yang satu melampaui batas atas, dan yang lain batas bawah. Jika adil mengandung arti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsionil), maka perbuatan zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang
zalim adalah orang yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya secara sadar, dalam bahasa sehari-hari sering disebut sewenang-wenang, sedangkan orang jahil suka melakukan hal yang sama tetapi tanpa keasadarannya karena kebodohannya. Orang pandai terkadang melakukan perbuatan zalim, yang bisa juga disebut sebagai perbuatan bodoh. Orang bodoh yang baik hati itu lebih baik daripada orange pandai yang zalim. Kezaliman orange bodoh biasanya hanya sedikit dampaknya, tetapi kezaliman orange pandai bisa berdampak sangat luas.
Sebenarnya manusia memiliki sifat adaptasi yang tinggi dan secara umum lebih banyak berfikir konstruktif. Dalam setiap komunitas, biasanya hanya sedikit orange yang berperilaku buruk, tetapi dampak buruk dari perbuatan orange buruk bisa berakibat luas. Sebagai contoh, penduduk Maluku pada umumnya sebenarnya lebih menyukai hidup damai berdampingan dengan yang lain meski berbeda agama. Untuk membenturkan masyarakat Maluku dalam konflik horizontal berkepanjangan cukuplah dikirim beberapa orange provokator ke sana, di bawah kendali seorang aktor intelektual zalim yang cukup dengan duduk tersenyum-senyum di Jakarta. Oleh karena itu, manusia baik secara individu maupun kelompok membutuhkan tangan-tangan dingin dari pribadi-pribadi yang adil, yang bisa membentuk atau mengubah perilaku mereka ke arah kebaikan sehingga masyarakat manusia memperoleh kenyamanan dalam hidup.
Psikologi Hamba dan Khalifah
Perilaku manusia dipengaruhi oleh konsep diri yang dimilikinya. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang terhadap diri sendiri. Konsep diri bisa bersifat physic, psikis dan social. Seorang gadis yang merasa dirinya cantik, dengan percaya diri memasuki ruang pesta, tetapi seorang mahasiswi yang malas belajar meski cantik, ia merasa tidak percaya diri ketika memasuki ruang ujian. Seorang anak gubernur merasa tenang-tenang saja ketika disetop polisi karena melanggar rambu-rambu lalu lntas, tetapi seorang tukang ojek buru-buru minta damai sebelum ditanya oleh polisi yang menyetopnya. Orang yang merasa mampu mengatasi masalah, pada akhirnya ia bisa mengatasi masalah yang
dihadapi, sedangkan orang yang merasa bodoh, pada akhirnya ia menjadi bodoh beneran.
Konsep diri terbangun karena dipengaruhi dua hal :
Pertama karena dipengaruhi orang lain, misalnya sering dipuji sebagai orang pintar dan memperoleh banyak sertifikat kepintaran maka tumbuhlah rasa percaya diri dan akhirnya pintar beneran. Sebaliknya jika sering di bodoh-bodohin dan dipermalukan di depan umum, maka akhirnya ia bisa menjadi bodoh beneran dan minder.
Kedua karena dipengaruhi oleh kelompok rujukan. Misalnya pengakuan dari institusi professional bahwa seseorng ahli dalam bidng tertentu. Seorang ahli pengobatan alternatip mendapat pengakuan dri Ikatan Dokter Indonesia misalnya, maka ia merasa percaya diri ketika melakukan terapi pengobatan.
Al Qur’an memberikan manusia dua predikat, yaitu manusia sebagai hamba Alloh (`abdulloh) dan manusia sebagai wakil Alloh di muka bumi (khalifatullah). Karakteristik hmba adalah kecil, terbatas dan tak berdaya. Hamba harus tunduk dan patuh kepada yang diperhamba. Sedangkan krakteristik khalifah (wakil) sangat bergantung siapa yang diwakili. Besar kecilnya wakil bergantung kepda siapa yang diwakili; wakil ketua RT, wakil Lurah, wakil Bupati, wakil Presiden? Nah predikat khalifatulloh adalah wakil Tuhan di muka bumi. Jadi sebagai hamba Alloh manusia adlah sangat kecil tak berdaya, tetapi sebagai khalifatullah, manusia adalah sangat besar, karena wakil dari Tuhan yang maha Besar kekuasaan Nya.
Dalam perspektip integritas diri, predikat hamba Alloh adalah berdimensi vertical, sedangkan khalifatullah berdimensi horizontal. Sebagai hamba harus menempatkan diri dibawah, tunduk sujud dan patuh terhadp segala perintah Nya, berharap memperoleh ridla,ampunan, berkat dan rahmat Nya , serta takut
dimurkai dan dihukum oleh Nya. Tetapi sebagai khalifah Nya manusia tidak boleh tinggal diam melihat ketidak adilan di muka bumi, ia harus menyebarkan kasih saying, menolong yang lemah, memaafkan yang mengaku salah, menindak yang zalim bahkan menghukum mati pembunuh, yang kesemuanya dilakukan atas nama Alloh. Hakim yang memutuskan hukuman mati atau algojo yang bertugas mengeksekusi hukuman mati adalah dalam kapasitas sebagai khalifatullah, oleh karena itu teks keputusan pengadiln juga berbunyi demi hokum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa., karena manusia hanya berhak memutuskan hukuman mati dalam kapasitasnya sebagai wakl Tuhan Sang Pencipta.
Integritas Diri Model Insan Kamil
Manusia adalah mahkluk yang memiliki desain kejiwaan tersempurna (fi ahsani taqwim), tetapi ia berpeluang menjadi makhluk yang terendah martabatnya ( asfala safilin). Meski kesempurnaan manusia sebagai makhluk adalah tidak sempurna tetapi ada manusia yang dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna (insan kamil). Insan kamil adalah manusia yang pola komunikasi intra dan interpersonalnya berlangsung secara optimal sesuai dengan maksud penciptaan organ psikologisnya. Manusia yang dapat dikategorikan sebagai insane kamiladalah para nabidan wali. Karakteristik integritas diri modelinsan kamil dapat ditinjau dari empat sifat nabiyaitu shidiq (benar) ,amanah (terpercaya) fathonah (cerdas) dan tabligh (actual).
1.Shidiq (benar) bermakna bahwa manusia tersebut selalu berkata benar, berfikir benar, berkehendak benar dan bertindak benar,jujur kepada orang lain dan jujur kepada diri sendiri..
2. Amanah (terpercaya) bermakna bahwa karenaia shiddiq (benar) dalam fikiran, perkataan,kehendak dan perbuatan maka kehadirannya memberi rasa aman,yang oleh karena itu ia dipercaya oleh orang lain.
3. Fathonah (cerdas) bermakna bahwa meski ia jujur, tetapi ia juga memahami
setting suasana sehingga ia hanya mengatakan yang diperlukan, melakukan sekedar yang diperlukan, tidak mengatakan yang tidak perlu dikatakan,tidak melakukan sesuatu yang tidak diperlukan sehingga kejujurannya tidak bisa disalah gunakan oleh orang lain.
4. Tabligh (menyampaikan) bermakna bahwa ia peduli kepada orang lain, selalu mengaktualisasikan pengetahuan dan kekuatannya untuk semaksima mungkin memberi manfaat, beramar makruf secara ma`ruf dan nahi mungkar juga secara ma`ruf,
Read More