Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, May 30, 2008

Filsafat Akhlak
Akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lehir secara spontan tanpa sempat menghitung untung rugi. Batin manusia adalah jiwanya, atau nafs nya. Berbeda dengan Psikologi yang membahas perbuatan sebagai gejala dari jiwa, nafs dibahas dalam sejarah kelmuan Islam dalam konteks hubunan manusia dengan Tuhan, sehingga kualitas jiwa nampak tingkatannya pada istilah nafs zakiyyah, nafs lawwamah, nafs musawwilah dan nafs muthma’innah. Tasauf yang sangat kental bahasannya tentang hubungan jiwa dengan Tuhan sebenarnya merupakan filsafat akhlak Islam.

Sebagaimana kajian filsafat itu sangat luas “tak berbatas” demikian juga agama Islam bisa dikaji dengan pendekatan filsafat. Yang membedakannya ialah, jika failasuf berfikir tanpa batasan selain batasan akal, sedangkan bagi seorang muslim, semua perspektip dipagari oleh frame wahyu, yakni Al Qur’an.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, May 26, 2008

Menengok siapa kita
Suatu hari Nabi Isa berjalan bersama tiga orang muridnya, ketika melewati perempatan jalan mereka menjumpai bangkai binatang yang sangat besar dan baunya menyengat. Setelah sampai tujuan, mereka ditanya oleh sohibul bait, apakah mereka melihat sesuatu di perempatan jalan. Yang satu menjawab bahwa ia melihat bangkai besar sekali, yang satu lagi mengaku melihat bangkai yang baunya sangat menyengat, dan yang satu lagi mengaku melihat bangkai yang seram dilihat mata. Giliran Nabi Isa, beliau menjawab bahwa ia melihat bangkai yang giginya sangat putih. Dari empat jawaban itu mengindikasikan adanya “isi jiwa” atau pusat perhatian yang berbeda-beda. Jadi pada dasarnya siapa itu seseorang dapat dilihat apa yang dikatakan, apa yang dilaporkan dan apa yang dikeluhkan. Kata-kata mutiara tasauf berbunyi ; Kullu wi`a in bima fihi yandloh, wa kullu ina in bima fihi tarsyuh, artinya jika ada cipratan dari gelas, pasti isi gelas itu sama dengan yang mencipratnya, dan jika ada suatu wadah rembes, pasti isi wadah itu ada kesamaannya dengan yang merembes. Bagaimana akidah seseorang, bagaimana tingkat iabadah seseorang dan bagaimana kualitas akhlaknya dapat ditengarahi dari apa yang keluar atau yang dikeluarkan olehnya.

Memang manusia bisa berpura-pura, tetapi keaslian seseorang akan muncul ketika mengalami keadaan puncak; sangat gembira, sangat sedih, sangat takut, sangat berkuasa, sangat terpojok dan sangat leluasa. Fenomena yang sering memperlihatkan keaslian seseorang antara lain adalah ketika kehilangan sesuatu, ketika ditinggaalkan sesuatu, ketika ditimpa sesuatu.

Nabi bersabda; laisa as syadidu bis shur`ati innama asyadidu man yamliku nafsahu `indal aghodlobi. Artinya; jagoan itu tidak diukur dari kemampuanya bertarung, tetapi yang sebenarnya jagoan adalah orang yang tetap mampu menguasai dirinya terutama ketika sedang marah. Wallohu a`lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Manusia Indonesia, Sebuah Cermin
Di waktu yang lalu, banyak diantara kita orang Indonesia yang dengan bangga menyebut kepribadian orang Indonesia yang ramah, santun dan toleran dan bahkan religius. Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh Departemen Penerangan dan Departemen Luar Negeri, tetapi sebagian besar kita seperti membenar­kan pernyataan itu. Gelombang reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua citra itu. Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat sadis kepada pelaku kriminal, fatsoen politik anggauta parlemen (dan demonstran) yang sangat vulgar, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik mencerminkan watak dari manusia yang tidak ramah, tidak santun dan tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga men­cerminkan masyarakat beragama. Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini sekedar eforia reformasi atau justeru merupakan jatidiri asli bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pembentukan karakter bangsa (nation building), sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset positip, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala para pemimpin­nya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi efektifitasnya dibanding sistem administrasi. Oleh karena itu pada kasus bangsa In­donesia, membangun jati diri bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin. Pelanggaran nilai moral dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari pe­negakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil biayanya dibanding biaya menyediakan infrastruktur pengawas­an secara nasional.

Apa yang disebutkan diatas, baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus dilaksanakan lebih da­hulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa dewasa ini sudah sangat kompleks. Idealnya pem­bangunan jati diri bangsa itu melalui sistem pendidi­kan dan dimulai dari anak-anak dan generasi muda. Akan tetapi, disamping membutuhkan waktu yang panjang, komplexitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang ber­tentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka. Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat, sudah tumbuh kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama ini gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkom­petisi di dunia global, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan nasional kita lebih menekankan keseragaman. Problem pendi­dikan dewasa ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan. Oleh karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatif dan bersifat alternatif dalam pen­didikan yang komprehensip, serentak, menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat sifatnya menyeluruh, tetapi pasti ada kata kunci untuk mengurai problem tersebut.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, May 14, 2008

Tasauf Sebagai Khazanah Keilmuan Islam
Istilah tasauf belum dikenal pada zaman Rasul, tetapi substansi ajaran tasauf diambil dari perilaku Rasulullah sendiri . Kalimat tasauf diduga berasal dari kata shafa yang artinya bersih, atau dari kata suf yang artinya woll, merujuk pakaian sederhana para sufi purba. Ajaran Islam mengenal pembidangan Aqidah, Syari`ah, Akhlaq, atau pembidangan Islam, Iman dan Ihsan. Dalam perspektip ini maka tasauf berada dalam sektor Akhlaq atau Ihsan.

Dalam khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan amat pesat, tetapi psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti para ulama tidak tertarik kepada masalah jiwa.. Al-Qur’an dan hadis sendiri banyak berbicra tentang jiwa (nafs), tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman psikologis masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaaan kepada Gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama (gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan sendiri tanpa panduan agama, dan jadilah kemudian peradaban sekuler.

Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangaan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam itu sendiri mendorong ummatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun - meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani - pertumbuhannya tetap berada dalam koridor Al-Qur’an.

Tentang jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan Islam tidak tumbuh ilmu jiwa (‘ilm an nafs) sebagai ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa, tetapi nafs dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan, karena Al-Qur’an dan juga Sunnah banyak menyebut secara langsung term nafs maupun term yang menyebutnya secara tidak langsung seperti qalb, ‘aql, ruh dan bashirah, yang kesemuanya itu baik secara lughawi maupun karena munasabah dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi mengandung banyak arti sehingga para ulama dibuat sibuk untuk menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam perspektip Qur’an dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasauf.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, May 13, 2008

Kiat Ketika Sedang Bekerja (etika bisnis)
Di antara hal-hal yang melekat pada manusia sebagai khalifah Allah adalah kewajiban menegakkan kebenaran (hukum-hukum Allah) di muka bumi dan hak mengelola/memanfaatkan alam semesta sebagai fasilitas hidup. Dari kewajiban dan hak itu lahir hukum kehidupan (sunnatullah) yaitu bahwa; (a) Untuk memperoleh sesuatu yang dibutuhkan, manusia harus melalui prosedur yang dipertanggung jawabkan, yaitu bekerja, (b) bahwa manusia berhak atas apa yang dikerjakannya secara benar, (c) bahwa manusia harus menanggung resiko dari apa yang dikerjakannya secara salah. Jika hewan hanya menikmati fasilitas alam yang disediakan Tuhan, maka manusia dituntut untuk dapat memelihara lingkungan dari kerusakan, dan melakukan rekayasa agar fasilitas alam itu terdayaguna secara optimal. Pada hakekatnya bekerja adalah paduan antara memelihara lingkungan dan melakukan rekayasa.

Secara teologis, alam semesta adalah wujud dari rahmat Allah kepada manusia, dan dalam perspektif ini bekerja atau berbisnis bukanlah usaha mencari harta, tetapi merupakan usaha memancing rahmat. Nilai suatu harta (sebagai hasil bekerja) bergantung seberapa besar ia membawa rahmat bagi kehidupan pemiliknya, disebut sebagai berkah atau barakah. Kebalikan dari rahmat, harta dapat berubah fungsinya menjadi beban dan azab yang tak tertanggungkan bagi pemiliknya. Dari itulah maka agama mengajarkan adanya etika bekerja atau etika bisnis. Diantara adab orang bekerja atau berbisnis adalah sebagai berikut:

1. Meluruskan niat, bahwa bekerja atau berbisnis itu untuk mencari ridla Allah. Jika anda berdagang, berniatlah untuk membantu konsumen memperoleh kebutuhannya. Jika anda berbisnis dalam skala besar, berniatlah untuk memperluas kesejahteraan masyarakat/rakyat, jika anda profesional, pegangteguhlah prinsip-prinsip profesional.

2. Menyeimbangkan porsi perhatian, antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi.

3. Mengorientasikan semua urusan pekerjaan pada fikiran jangka panjang, (hari tua, anak cucu, generasi mendatang, dan investasi akhirat/ibadah).

4. Jika berhadapan dengan pilihan sulit dalam mengambil keputusan menyangkut pekerjaan atau menyangkut proyek yang berdampak luas, sebelum mengambil keputusan hendaknya melakukan salat istikharah, yaitu mohon agar Tuhan memberi petunjuk dalam memilih hal yang terbaik baginya.

5. Jika anda seorang karyawan, hendaknya disiplin dan jujur dalam bekerja, karena keduanya akan mengantar pada ridlo Allah.

6. Jika anda seorang majikan hendaknya anda tidak mengekploitasi tenaga kerja, sebaliknya berilah upah yang memadai dan bayarkan segera. Rasulullah menyuruh kita agar mem-bayar upah buruh sebelum keringatnya kering, dan melarang mempekerjakan buruh sebelum ada kepastian tentang seberapa besar upahnya.

7. Jika anda pekerja lepas, maka giatlah anda dalam bekerja. Rasulullah mengatakan bahwa giat bekerja itu akan mendatangkan berkah hidup (al harakatu barakah).

8. Berbisnis dalam bidang yang diharamkan Tuhan, meski boleh jadi mendatangkan keuntungan yang besar dan cepat, tetapi pada akhirnya akan menyengsarakan (sekurang-kurangnya sengsara batin) karena kehilangan keberkahan. Demikian juga praktek-praktek yang diharamkan - seperti suap, korupsi, manipulasi, konspirasi jahat, meski boleh jadi melicinkan jalan, tetapi pada akhirnya akan menghilangkan makna berkah dan rahmat Allah. Praktek-praktek tersebut bukan hanya berdosa tetapi merusak sistem usaha.

9. Tunaikan kewajiban anda sebagai pengusaha kepada yang berhak, baik menyangkut hak buruh (upah), hak negara (pajak), hak Tuhan (zakat), hak masyarakat (lingkungan hidup).

10. Usaha yang berkah adalah usaha yang memberi manfaat kepada orang banyak dan memberi keuntungan yang halal.

11. Ketika anda memulai usaha atau proyek bacalah doa dibawah ini :
Allohumma ij`al awwala hadza al amro solaha wausatohu falaha wa akhirohu najaha
Artinya: Ya Allah, jadikanlah awal dari urusan ini sebagai kepatutan, dan prosesnya merupakan proses yang menyenangkan, dan berakhir sebagai keberhasilan.

Robbi auzi`ni an asykuro ni`mataka allati an`amta `alayya wa `ala wa lidayya wa an a`mala so lihan tardo hu wa adkhilni fi `iba dika as solihin

Artinya: Ya Tuhan, tolonglah aku supaya aku bisa mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada orang tuaku, dan tolonglah aku agar aku dapat mengerjakan perbuatan baik yang Engkau ridoi, dan dengan rahmat Mu, kumpulkanlah aku bersama dengan hamba-hamba Mu yang salih. (Q/s.an Naml: 19)

12. Konsekwensi berusaha atau bisnis dengan nyebut nama Allah (Bismillahir rahman nirrahim) adalah harus selalu ingat kepada Allah dalam setiap proses bisnis atau bekerja, sehingga tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, May 09, 2008

Ilmu Manusia
Al Qur’an banyak sekali mengingatkan manusia agar menggunakan akalnya untuk berfikir dan bertafakkur; afala tatafakkarun, afala ta`qilun, awala yatadabbarun. Manusia memang adalah hewan yang berfikir ( al insanu hayawanun nathiqun). Pada manusia, berfikir merupakan proses keempat setelah sensasi, persepsi dan memori yang mempengaruhi penafsiran terhadap suatu stimulus. Dalam berfikir orang meilbatkan sensasi, persepsi dan memori sekaligus. Dalam kehidupan, berfikir diperlukan untuk (a) memecahkan masalah atau problem solving, (2) untuk mengambil keputusan, decision making, dan (3) untuk melahirkan sesuatu yang baru (creatifity).

Semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin rumit cara berfikirnya, . Ada orang yang hanya bisa melamun, ada yang berfikir tetapi tidak realistis, dan ada yang berfikir realistis. Ada orang yang selalu berfikir, ada orang yang hanya mau berfikir jika merasa perlu, dan ada yang kadang-kadang saja berfikir.

Orang pandai berfikir secara bersistem, misalnya berfikir deduktip (mengambil kesimpulan khusus dari pernyataan umum), atau sebaliknya berfikir induktip (mengambil kesimpulan umum dari pernyataan khusus. Tetapi terkadang ada masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan berfikir secara biasa, maka bagi orang sangat pintar ia memakai metode yang disebut berfikir kreatip (creatip thinking).

Berfikir kreatip adalah berfikir dengan menggunakan metode baru, konsep baru, penemuan baru, paradigma baru dan seni yang baru pula. Urgensi pemikiran kreatip bukan pada kebaruannya tetapi pada relefansinya dengan pemecahan masalah. Karena kebaruan dan tidak konvensional, maka orang yang kreatip sering tidak difahami oleh orang kebanyakan, tak jarang dianggap aneh atau bahkan dianggap gila (berfikir gila). Proses berfikir kreatip itu melalui lima tahapan : (1) orienstasi, yakni merumuskan dan mengidentifikasi masalah.(2) preparasi, yakni mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, (3) inkubasi, yaitu berhenti dulu, tidur dulu, cooling dawn dulu.(4) iluminasi, yakni mencari ilham, dan (5) verifikasi, yakni menguji dan menilai secara kritis.
Ilmu pengetahuan bisa diperoleh manusia (1) melalui kapasitas intelektuilnya (akal), melalui proses belajar, (2) melalui rasa, yakni melalui hati, melalui proses olah rasa, olah batin dan (3) anugerah langsung dari Tuhan, disebut ilmu ladunni. Bagi manusia, ilmu dimaksud untuk mengetahui kebenaran tentang realita. Dari berbagai metode itu ternyata ukuran kebenaran tidak satu tapi ber tingkat-tingkat kebenaran; ada (1) kebenaran ilmah, (2) kebenaran matematis, (3) kebenaran sosial, (4) kebenaran filosofis, kebenaran logic dan (5) kebenaran sufistik. Menurut istilah al Qur’an ada (1) `ilm al yaqin, (2) `ain al yaqin, dan (3) haqq al yaqin. Kebenaran `ilm al yaqin dapat diuji dengan teori ilmiah, kebenaran `ain al yaqin dapat dibuktikan dengan laboratorium, sedangkan haqq al yaqin hanya dapat dibuktikan nanti di akhirat. Seorang failasuf dapat menerangkan kebenaran, sedangkan seorang sufi dapat merasakan kebenaran. Kepada seorang sufi failasuf berkata ; saya dapat membayangkan apa yang anda rasakan, sebaliknya sang sufi menjawab ; saya dapat merasakan apa yang anda bayangkan. Itulah ruang lingkup ilmu manusia.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger