Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, September 28, 2012

Krisis Ekonomi Politik Eropa
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Berulang kali bolak-balik ke berbagai negara Eropa sejak pertengahan 1990-an, barulah dalam dua tahun terakhir ini saya menyaksikan dan mengalami sendiri krisis keuangan dan ekonomi euro zone. Kian parah lagi, krisis dalam bidang tersebut dengan segera mengalir ke dalam krisis sosial-politik.
Kemerosotan ekonomi terjadi di hampir seluruh negara di kawasan Eropa Selatan, mulai dari Yunani, Italia, Spanyol, dan Portugal.

Sementara kawasan Eropa Utara, Jerman, negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Finlandia, lalu Belanda dan Belgia terlihat belum turut terlanda krisis ekonomi.
Karena itu negara-negara ini, khususnya Jerman, menjadi pihak yang memberikan paling banyak talangan (bail out) bagi Yunani dan Spanyol agar krisis tidak menyebar ke Eropa Utara atau dunia secara keseluruhan.

Tetapi, bayang- bayang krisis ekonomi tetap menghantui negara-negara Eropa Utara.
Karena itu, di kalangan masyarakat negara-negara tersebut belakangan ini muncul dan menguat sikap antiimigran, khususnya Muslim dan gypsies dari Eropa Timur. Keadaan ini segera memberikan momentum bangkitnya partai-partai ultra kanan di berbagai negara Eropa.

Di tengah belum terlihatnya tanda perbaikan ekonomi di Eropa Selatan, kalangan masyarakat di Eropa Utara kian kritis dan makin enggan membantu. Dalam beberapa percakapan dengan sejumlah warga Belanda dan Jerman, saya menemukan nada kejengkel an mereka terhadap warga Yunani, misalnya. Mereka menganggap orang Yunani lebih ba nyak santai daripada bekerja keras. Tetapi, dengan gaya hidup santai itu masyarakat Yunani justru menikmati gaji, tunjangan, dan insentif lebih besar.Karena itu, banyak kalangan warga Belanda dan Jerman komplain, "Kita bekerja keras dan membayar pajak. Tidak fair kalau dana pajak kita digunakan untuk mem-bail out negara yang masyarakatnya enggan bekerja keras." Profesor Paul Nieuwenburg dari Universitas Leiden seperti dikutip koran International Herald Tribune(12/9/2012) membenarkan meluasnya sentimen itu di kalangan warga Belanda, "Euroskeptisisme terus menguat dan di kalangan warga juga meningkat sentimen bahwa kami membayar pajak dan mereka tidak".

Friksi, fragmentasi, dan bahkan separatisme kembali menguat di Eropa --mengingatkan `perang' politik dan agama di antara negara-negara Eropa pada abad pertengahan dan pramodern. Bahkan, juga membangkitkan ingatan pada disintegrasi Uni Soviet dan Eropa Timur pada 1990-an.

Krisis ekonomi dan sosial dewasa ini mem- berikan momentum bagi kebangkitan kembali separatisme Catalunia --kawasan timur laut Spanyol dengan Barcelona yang sekaligus menjadi episentrum politik, sosial, budaya, dan sekaligus sepak bola. Kini kian banyak warga Catalan yang tidak lagi betah berada dalam kesatuan dengan Spanyol.

Gejala ini tecermin, misalnya, dari perubahan sikap Jordi Pujol, presiden Generalitat yang menguasai pemerintahan Catalan antara 1980- 2003. Selama berkuasa, Pujol merupa kan pemimpin paling aktif menentang separatisme Catalunia dan menekankan kesatuan de ngan negara Spanyol. Dalam wawancara dengan Financial Times, London (12 September 2012), Pujol menegaskan, ia kini tidak lagi punya argumen tersisa menolak kemerdekaan Catalunia.Spanyol bertanggung jawab atas krisis sekarang, "Sehingga membuat Catalunia menderita dan karena itu kami tidak lagi bisa terus menerima keadaan se perti ini".

Meningkatnya kembali separatisme Catalunia sebenarnya sudah terlihat sejak akhir tahun lalu.
Dalam pembicaraan saya dengan beberapa figur pemerintahan Spanyol di Madrid pada November 2011 terlihat kecemasan yang kian meningkat terhadap gejala kembali menguatnya separatisme Catalunia.

Beberapa polling sepanjang 2012 ini mengungkapkan, mayoritas warga Catalunia ingin kemerdekaan dari Spanyol. Pengungkapan sentimen ini mencapai puncaknya dalam rapat akbar warga Catalunia memperingati `Diada' hari nasional Catalunia pada 11 September 2012. Tidak kurang terdapat baner yang berbunyi: "Catalunia: Sebuah Negara Baru di Eropa".

Hikmah apa yang bisa diambil Indonesia dari perkembangan yang tidak menggembirakan di banyak negara Eropa tersebut? Indonesia belum menunjukkan tanda krisis ekonomi, meski terdapat gejala menurunnya pertumbuhan ekonomi karena merosotnya ekspor --tetapi sebaliknya impor masih terus meningkat. Pelambatan pertumbuhan di Cina dan India serta berlanjutnya krisis keuangan dan ekonomi di Eropa dan belum membaiknya ekonomi AS, bisa membuat Indonesia terkena im basnya.Menyimak berbagai keadaan tidak kondusif itu, pemerintahan Presiden SBY sepatutnya melakukan antisipasi secara lebih fokus dan serius. Terlalu banyak energi dihabiskan pada kontestasi politik, termasuk ancang-ancang menuju Pemilu 2014 yang bisa mengakibatkan kegagalan pemerintah memberikan respons yang tepat terhadap krisis ekonomi dan politik pada tingkat internasional tadi, sehingga mendorong kian menguatnya kejengkelan sosial di kalangan warga yang bisa meledak sewaktu- waktu.


Read More
posted by : Mubarok institute
Kelatenan Terorisme
Republika.co.id 
Oleh: Azyumardi Azra


Terorisme masih laten di negeri ini, seperti terlihat dari penyergapan di Solo dan Depok da lam pekan terakhir Agustus dan awal September 2012. Polisi bahkan juga menduga ledakan besar yang terjadi di Beji, Depok, akhir pekan lalu ter kait dengan Thoriq, seorang terduga teroris yang buron pascapenyergapan Solo.

Korban nyawa kembali jatuh; dua terduga teroris yang masih muda, Farhan dan Mukhlis yang berusia 19 tahun. Tewas pula Briptu Suherman dalam baku tembak di Solo. Polisi kemudian menyergap anak muda lain, Bayu Setiono, di Karanganyar, Jawa Tengah, dan Firman di Depok. Menurut Bayu Setiono, dari enam komplotan Solo, lima adalah alumni Pondok al- Mukmin Ngruki, Solo.
Kasus-kasus terakhir ini selain menunjukkan terus latennya terorisme di Indonesia sekaligus memperlihatkan terjadinya regenerasi sel-sel teror. Jelas kelihatan, mereka yang ter duga dan terkait dengan aksi terorisme ini kian berusia muda-rata-rata ber umur anak tamatan SMA/MA. Mereka ini bisa dipastikan memiliki sema ngat bernyala-nyala yang dapat diarahkan kalangan lebih tua untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mereka sendiri sangat boleh jadi tidak paham sepenuhnya. Cuci otak dan indoktrinasi akhirnya membuat mereka rela mengorbankan nyawa milik paling berharga setiap anak manusia.

Karena itu, jika ada pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian anak-anak muda itu adalah kalangan guru, ustaz, murabbi, atau kiai mereka yang menanamkan pemahaman jihad yang keliru kepada murid-murid mereka. Jelas pula, kalangan pengajar ini tidak sanggup melakukan terorisme dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebaliknya, justru anak anak muda yang masih naif dalam hal kompleksitas ideologis keagamaan dan politis yang mereka asung membunuh orang lain sekaligus diri mereka sendiri.

Terorisme tetap menjadi laten jika tetap ada kalangan pengajar di lembaga pendidikan mana pun yang memendam dan mengajarkan ideologi kemarahan, kebencian, dan dendam kepada pihak lain, seperti aparat kepolisian—khususnya Densus 88—lingkungan pejabat negara dan boleh jadi juga kalangan umat Muslimin arus utama. Selama ideologi seperti masih diajarkan melalui pencucian otak, indoktrinasi, dan rezimentasi, selama itu pula warga Indonesia lain yang cinta damai harus hidup di tengah ancaman terorisme yang dapat muncul sewaktu-waktu kapan Memang tidak pada tempatnya mengaitkan lembaga pendidikan tertentu, semacam Pesantren Ngruki, dengan aksi-aksi teror yang dilakukan sejumlah alumninya. Apalagi, mengaitkannnya dengan seluruh pesantren di Tanah Air, yang jumlahnya lebih daripada 20.000. Tetapi, jika ada lembaga pendidikan yang satu demi satu alumninya masih saja terkait dengan aksi kekerasan dan terorisme, wajar belaka jika ada ka langan mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya yang diajarkan kepada para murid.

Sangat boleh jadi, kurikulum yang digunakan lembaga pendidikan tersebut adalah kurikulum yang ditetapkan Kemdikbud dan Kemenag. Karena itu, secara formal tidak ada yang salah de ngan kurikulum lembaga pendidikan bersang kutan dan ketika diselidiki, instansi pendidikan berwenang tidak menemukan penyimpangan dalam kurikulum.

Masalahnya kemudian, proses pendidikan dan pembelajaran juga melibatkan “kurikulum tersembunyi” (hidden curri culum) dengan muatan tertentu—termasuk ideologi kekerasan keagamaan—yang bisa disampaikan kalangan guru atau ustaz tertentu. Sering pula hidden curriculum itu masuk melalui kegiatan “ekskul” OSIS atau rohis yang ada di lembaga pendidikan.

Karena itu, pihak-pi hak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan dan pembelajaran—dalam hal Kemdikbud dan Kemenag—semestinya berusaha memantau hidden curriculum tersebut. Jika melakukan pemantauan dan bahkan penelitian terhadap proses pendidikan dan pembelajaran di lembaga pendidikan manapun, sepatutnya mereka tidak berhenti hanya pada penerapan kurikulum formal be laka. Mereka harus bergerak lebih jauh dengan menyelidiki “kurikulum tersembunyi” yang disampaikan kepada para murid.Lebih daripada itu, sepatutnya pula para penanggung jawab pendidikan di negeri ini menatar kembali para pimpinan lembaga pendidikan dan para guru dengan subjek-subjek penting menyangkut negara, bangsa, dan agama. Ditengah kebebasan informasi dan pertarungan ideologis yang ditandai meningkatnya intrusi dan infiltrasi berbagai corak paham dan gerakan transnasional, penataran semacam itu dapat memberikan perspektif lebih jelas tentang kebangsaan, agama, kedamaian, dan peradaban.

Pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk melahirkan generasi muda yang mencintai negara-bangsanya dan juga agamanya. Pendidikan juga merupakan sarana paling strategis untuk membangun generasi muda yang berilmu, beriptek, beriman, beramal, dan berakhlak mulia. Melalui pendidikanlah dapat dibangun peradaban bangsa lebih maju. Karena itu, jika ada kalangan yang terus menerapkan kurikulum tersembunyi dengan muatan ideologi kebencian dan kemarahan, yang menjadi korban bukan hanya kalangan generasi muda bangsa, tetapi sekaligus peradaban dan kemanusiaan.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger