Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, November 08, 2012

Pemerintahaan Islam di Negara Sekuler
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

''Kami ingin mendidik generasi muda kita sebagai generasi yang religius,'' kata Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan, di depan sidang parlemen negaranya beberapa bulan lalu. Kepada kaum oposisi, ia menegaskan, ''Apakah kalian ingin melihat dari partai demokrat konservatif seperti Partai Keadilan dan Pembangunan akan lahir generasi ateis? Bila hal itu yang kalian kehendaki, itu adalah urusan kalian. Urusan kami adalah melahirkan generasi demokrat konservatif yang meyakini nilai-nilai dan tradisi agama kita (Islam).'' Demikianlah jawaban Erdogan menjawab kritikan dari para politisi oposisi. Yang terakhir ini mengkhawatirkan Erdogan akan menjadikan Turki sebagai negara agama. Tepatnya negara Islam. Mereka menuduhnya telah mengkhianati asas sekularisme Republik Turki yang didirikan Kemal Ataturk pada 1923 lalu. Kritikan itu bukannya tanpa dasar. Sejak Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) yang ia pimpin berkuasa di Turki, yang pada Sabtu (03/11) lalu genap 10 tahun, sejumlah hal -- yang bisa saja dihubungkan dengan Islamisasi Turki --- telah dia ubah atau lakukan. Misalnya yang terkait dengan peran tentara. Selama ini militer menempatkan diri sebagai penjaga prinsip sekularisme Turki. Bila ada isyarat pemerintah melanggar prinsip sekuler, maka militer akan segera bertindak. Antara lain dengan kudeta. Sepanjang tahun 1960 hingga 1980, militer Turki telah melakukan tiga kali kudeta. Namun, tuduhan 'melanggar prinsip sekularisme' sering tidak jelas. Penafsirannya hanya sepihak. Yaitu pihak militer yang didukung partai sekuler. Dan, seringkali tuduhan itu mengarah pada partai Islam pemenang pemilu dan sedang memerintah. Termasuk partainyanya Erdogan, PKP. Karena itu, hubungan PKP/pemerintah dengan militer selalu diwarnai ketegangan. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk 'menghabiskan' pengaruh militer Turki dalam politik. Dengan 'memanfaatkan' undang-undang dan standar nilai yang berlaku di Uni Eropa, sedikit demi sedikit pengaruh militer dikurangi. Puncaknya terjadi tahun lalu ketika Presiden Abdullah Gul, yang juga pimpinan PKP, menunjuk empat pimpinan tinggi militer negara itu. Ini merupakan pertama kalinya pemerintah sipil Turki memutuskan pimpinan komando tertinggi angkatan bersenjata. Sebelumnya, sejak 2008, ratusan perwira militer ditangkap dengan tuduhan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Erdogan, yang dinilai telah melenceng dari prinsip sekuler. Tuduhan lain Islamisasi Turki oleh Erdogan adalah soal jilbab. Sejak PKP berkuasa, pemerintah terus berupaya mengamandemen undang-undang larangan berjilbab di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah. Meskipun amandemen itu terus menuai pro dan kontra, namun isteri PM dan Presiden yang berjilbab kini sudah mulai masuk ke istana. Pada acara peringatan 89 tahun berdirinya Republik Turki beberapa hari lalu, isteri Presiden Abdullah Gul dan isteri Perdana Menteri Erdogan untuk pertama kalinya menghadiri acara resmi kenegaraan di istana kepresidenan. Keduanya berdiri di samping komandan tertinggi angkatan bersenjata. Pada tahun-tahun sebelumnya, pejabat tinggi militer selalu menolak mengikuti acara yang juga dihadiri para istri pejabat partai PKP yang berjilbab. Karena itu, di setiap acara peringatan kenegaraan Presiden Gul selalu menggelar dua kali resepsi terpisah. Yang pertama untuk para perwira tinggi militer. Yang kedua untuk umum yang juga dihadiri istri para pejabat pemerintah yang berjilbab. Namun, tahun ini ia hanya menggelar sekali resepsi di istana kepresidenan yang dihadiri pejabat tinggi militer, sipil, dan juga istri-istri pejabat yang berjilbab. Namun, Erdogan membantah bila semua langkah dan keputusan pemerintahannya tersebut dalam rangka Islamisasi Turki. Dalam suatu kesempatan ia menegaskan 'Partai Keadilan dan Pembangunan akan selalu menjaga nilai-nilai Republik Turki, termasuk sekularisme.'' Dalam wawancara dengan televisi Mesir, ia juga menyatakan Mesir bisa mengadopsi sebuah konstitusi sekuler. Menurutnya, sekularisme bukan berarti meninggalkan ajaran agama. Dalam sebuah negara sekuler, tambahnya, setiap orang memiliki hak untuk memilih menjadi religius atau tidak. ''Dan, saya adalah perdana menteri Muslim untuk negara sekuler,'' katanya. Bagi Erdogan, sekuler atau tidak sebuah negara tampaknya tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah bagaimana 'mengisi' negara itu. Yang terpenting adalah kontennya. Dan, ia telah membuktikan selama 10 tahun memimpin Turki, pemerintahannya adalah sangat Islami. Dengan kata lain, pemerintahan Islam di negara sekuler. Baginya, Islam bukan sekadar urusan pemakaian jilbab yang terus ia perjuangkan. Juga bukan sekadar simbol-simbol. Tapi, Islam juga adalah bagaimana memberikan kesejahteraan kepada rakyat, pendidikan yang baik, keamanan, kenyamanan, dan seterusnya. Keberhasilan PKP dan Erdogan memenangkan pemilu sebanyak tiga kali jelas menunjukkan rakyat puas terhadap kepemimpinannya. Pertumbuhan ekonomi Turki selama sepuluh tahun ini mencapai rata 8 persen, naik empat kali lipat dari sebelumnya. Sedangkan pendapatan per kapita naik tiga kali, dari 3.500 dolar AS pada 2002 menjadi 10.400 dolar pada 2011. Dalam pandangannya, beberapa tahun ke depan, pemerintahannya masih bisa meningkatkan hingga 25 ribu dolar per kapita, dan menjadikan Turki sebagai salah satu dari 10 besar kekuatan ekonomi dunia, yang sekarang baru di peringkat 16.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, November 01, 2012

Islamisasi Jawa (2)
 REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

 Islamisasi Jawa jelas tak berjalan linear. Jika sejak Islamisasi mulai berlangsung pada abad ke-14 sampai awal abad ke-19 terjadi apa yang disebut sejarawan MC Ricklefs sebagai “sintesa mistik” antara tradisi spiritualisme Jawa dengan Islam, periode selanjutnya (1830-1930) ditandai dengan meningkatnya polarisasi masyarakat Jawa. Perkembangan ini tak lepas dari dinamika Islam di tingkat internasional, khususnya di Arabia, yang memengaruhi proses Islamisasi dan santrinisasi nusantara, termasuk di Jawa.

Kebangkitan gerakan Wahabiyah yang dinisbahkan pada Muhammad bin 'Abd al-Wahhab (masa hidup 1703-79) sejak pertengahan abad ke-18 mengubah arah gerakan pembaruan di kalangan pengikut Tarekat Syatariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau yang mulai menemukan momentum pada 1870-an. Gerakan yang semula damai berubah menjadi gerakan Padri radikal-dengan paham dan praksis amat mirip Wahabi-setelah kembalinya tiga haji dari Tanah Suci pada awal abad ke-19. Konflik atau tepatnya “perang saudara” di antara barisan pendukung pembaruan damai dengan kelompok pemurnian radikal ala Wahabi berubah menjadi Perang Padri (1821-37) ketika Belanda campur tangan atas permintaan kaum adat. Di Jawa, pada waktu hampir bersamaan terjadi Perang Jawa yang dikenal sebagai Perang Diponegoro (1925-30). 

Selain karena kebijakan yang merugikan pribumi, perang ini terkait transformasi dan intensifikasi keislaman Pangeran Diponegoro. Seperti terungkap dalam penelitian Peter Carey, sejarawan Oxford University, Pangeran Diponegoro lewat lingkungan tarekat dan pesantren menempuh pengalaman keberagamaan sangat intens membuatnya tidak lagi bisa menerima kolonialisme Belanda kafir. Intensifikasi keislaman atau santrinisasi masyarakat Muslim Jawa selanjutnya terkait pertumbuhan jamaah haji dari kalangan kelas menengah Muslim yang mulai tumbuh. Meski statistik kolonial abad ke-19 tidak bisa terlalu dipercaya, menurut Ricklefs, sebagai gambaran pada 1850 hanya 48 pribumi Jawa pergi naik haji. Tetapi, pada 1858 meningkat menjadi 2.283 orang dan pada tahun-tahun akhir abad ke-19 berfluktuasi antara 1.500 sampai 5.000 orang. Dalam waktu bersamaan, jumlah pesantren meningkat: sebagian didirikan para haji yang kembali dari Tanah Suci. Memang pesantren sudah ada sejak masa awal penyebaran Islam di Jawa, tetapi baru pada abad ke-19 lembaga pendidikan ini menjadi salah satu “fenomena” utama Islam Jawa. 

Pada 1863, pemerintah kolonial mencatat hampir 65 ribu fungsionaris “profesional” keagamaan Islam (pengurus masjid dan guru agama) dan 94 ribu murid “sekolah agama” (pesantren). Menjelang 1872, jumlahnya masing-masing menjadi 90 ribu dan 162 ribu dan pada 1893 ada 10.800 pesantren di Jawa dan Madura dengan santri lebih dari 272 ribu. Proses santrinisasi juga didorong penguatan reorientasi syariah penganut tarekat, khususnya Naqsyabandiyah Khalidiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang diikuti tarekat lain. Perkembangan ini mengikuti kecenderungan sama yang terjadi pada tarekat-tarekat di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin sepanjang abad ke-17 sampai abad ke-18. 

Tarekat-tarekat ini selain menekankan kesetiaan kepada syariah dan menolak kecenderungan antinomian dalam tarekat juga amat anti-Belanda dan terjun berjihad melawan kolonial-dan selanjutnya, seperti ditegaskan Ricklefs-bersikap anti-Kristen. Polarisasi dalam masyarakat Jawa dengan demikian terjadi tidak hanya di antara kelompok Muslim yang kian menjadi santri dengan golongan masyarakat Muslim yang tetap mempertahankan “sintesa mistik”, tetapi juga dengan kalangan warga Jawa yang beralih masuk Kristen. Seperti diungkapkan Ricklefs, untuk pertama kali, seusai Perang Jawa, misi Kristen mencapai sukses. Beberapa tokoh Jawa masuk Kristen, seperti Ky Ibrahim Tunggu Wulung dan Ky Sadrach. Hasilnya, menjelang akhir abad ke-19 terdapat sekitar 20 ribuan Kristen Jawa plus sejumlah “Kristen Londo” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Dengan polarisasi terakhir ini, meminjam kerangka sejarawan terkemuka lainnya, Anthony Reid, terciptalah batas keagamaan lebih jelas dan tegas, baik di antara pemeluk Islam maupun penganut Kristen maupun di antara Muslim santri dengan Muslim pemegang sintesa mistik-atau “abangan”. Di tengah polarisasi itu, Islam secara keseluruhan terus menemukan momentum-menciptakan proses Islamisasi lebih intens karena berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang mendorong Kristenisasi. 

Perlawanan dengan motif Islam juga meningkat. Contoh terbaik adalah KH Ahmad Rifa'i (1786-1876) yang setelah kembali ke Kali Salak, Batang, Jawa Tengah, dari belajar di Makkah, Madinah, dan Kairo menolak tunduk kepada otoritas kolonial Belada. Ia tidak mengakui keabsahan pernikahan yang dilakukan penghulu fungsionaris masjid yang diangkat Belanda. Ia menolak percampuran antara ajaran Islam dan tradisi Jawa dan mendorong penerapan Islam puritan dalam masyarakat Muslim Jawa.

Read More
posted by : Mubarok institute
Islamisasi Jawa (I)
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Azyumardi Azra 

Islamisasi Jawa? Mengapa Islamisasi masyarakat Jawa merupakan subjek sangat penting? Pentingnya antara lain adalah karena suku Jawa merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia Muslim. Dengan jumlah sekitar 100 juta dari hampir 250 juta penduduk Indonesia, etnis Jawa sekaligus merupakan suku terbesar di Indonesia. Karena kenyataan demografi ini, etnis Jawa memainkan peran penting dalam berbagai dinamika Indonesia sejak dari sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, dan seterusnya dalam periodisasi sejarah nusantara. Meski demikian, pandangan stereotipe yang dipercayai banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, adalah sebagian besar Muslim Jawa hanyalah abangan atau Muslim nominal atau `Islam KTP'. Istilah `abangan' yang sudah lama beredar dalam masyarakat Jawa sendiri kemudian dipopulerkan ke lingkungan akademik internasional oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam karya klasiknya "Religion of Java" (1960). Dengan judul seperti ini, Geertz menekankan apa yang dia sebut sebagai `agama Jawa' dan pada saat yang sama secara implisit menolak frasa semacam Javanese Islam atau Islam in Java. 

Masihkah absah anggapan bahwa sebagian besar Muslim Jawa abangan? Sejarawan terkemuka Merle Calvin Rick-lefs membantah anggapan itu secara meyakinkan dalam karya mutakhirnya "Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, and Religious History, c. 1930 to the Present" (Singapore: NUS Press, 2012, xxi 575 halaman). Karya ini merupakan sekuel ketiga atau terakhir dari dua karya sebelumnya, "Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries" (2006) dan "Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930" (2007). Tidak ragu lagi, ketiga karya ini secara komprehensif membahas Islamisasi Jawa sejak abad ke-14 sam pai sekarang. Islamisasi masyarakat Jawa merupakan proses yang terus berlanjut sejak kemunculan Islam dalam masyarakat Jawa pada abad ke- 14. Mengamati proses dan dinamika Islamisasi masyarakat Jawa selama berabad-abad hingga sekarang, Ricklefs menyimpulkan, masyarakat Muslim Jawa melewati masa sulit sejak awal penyebaran Islam, penjajahan kolonialisme Belanda dan Jepang, periode kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno yang kacau, totalitarianisme Presiden Soeharto, dan demokrasi kontemporer. 

Menempuh berbagai perubahan, masyarakat Muslim Jawa kini menjadi contoh luar biasa dalam hal peningkatan religiositas keislaman. Kesimpulan Ricklefs ini senada dengan temuan para ahli sebelumnya, misal Harry J Ben da dalam karyanya tentang Islam Indonesia di masa Jepang, "The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945" (1958). Benda menyimpulkan, sejarah Islam Indonesia khususnya masyarakat Jawa, tidak lain adalah history of the expansion of santri culture. Jelas karya Benda telah outdated-keting- galan zaman. Bisa dipastikan, ketika Benda me nrbitkan karyanya, kaum abangan dalam ma syarakat Muslim Jawa masih amat dominan. Karena itu, "Islamisation and Its Opponents in Java" dan kedua karya Ricklefs sebelumnya jelas melampaui karya Benda dalam cakupan periodisasi dan proses sangat kompleks, yang menghasilkan `Islamisasi lebih dalam' (deeper Islamisation) masyarakat Jawa. Proses ini biasa saya sebut sebagai `santrinisasi' sangat intens. 

Tetapi, proses Islamisasi di Jawa, atau te pat nya `santrinisasi', yaitu kian menguatnya komitmen dan praktik keislaman masyarakat Muslim Jawa, tidak bergerak lurus (linear). Awalnya, seperti diungkapkan Ricklefs dalam buku pertamanya, manuskrip lokal mengisyaratkan dua hal kontradiktif. Pada satu pihak ada yang mengisyaratkan, Islam yang mulai menyebar sejak abad ke-14 menemukan `sintesis mistik' dalam lingkungan budaya Jawa. Tetapi, sebagian naskah lain menyiratkan tidak terjadinya `sintesis mistik' tersebut. Terlepas perbedaan perspektif naskah- naskah itu, jelas Islamisasi pada masa awal menampilkan adanya sinkretisme antara Islam, agama lokal, dan budaya Jawa. Bahkan, ada semacam ketidakcocokan antara keraton dan lingkungan masyarakat yang kian banyak memeluk Islam. Barulah ketika Sultan Agung (berkuasa 1613-1646) menjadi penguasa Mataram terjadi rekonsiliasi antara keraton dan tradisi Islam. Walau tetap setia pada Ratu Kidul, Sultan Agung membuat istananya lebih `Islami'. Ia rajin berziarah ke makam para wali, memperkenalkan literatur pokok tentang Islam semacam Kitab "al-Uslubiyah", dan mengirim utusan kepada penguasa Hijaz untuk mengakuinya sebagai `sultan' yang merupakan khalifatullah zhillullah fil ardhi. Hasilnya pada tahap Islamisasi ini adalah apa yang disebut Ricklefs sebagai `sintesis mistik' pada tiga hal pokok. Pertama, mewujudkan identitas keislaman yang kuat, menjadi orang Jawa sekaligus menjadi Muslim. Kedua, melaksanakan lima rukun Islam, dan ketiga, menerima realitas tradisi keagamaan dan budaya lokal yang menyangkut Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk supranatural lainnya.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger