Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, August 24, 2007

Landasan & Bimbingan Konseling Agama
Penderita gangguan jiwa sering tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang melanda dirinya. Ia gelisah, cemas, tak bersemangat, terkadang takut, ragu-ragu, tak percaya diri, tetapi ia sendiri tidak tahu persis apa sebenarnya yang menyebabkan keadaan-keadaan tersebut. Di kalangan masyarakat, ada yang menyarankan agar penderita itu dibawa kepada dukun, karena gejala itu ada hubungannya dengan gangguan makhluk halus. Di sisi yang lain, ada yang menganjurkan agar penderita dibawa kepada kepada dokter jiwa karena ia dianggap sakit jiwa. Fenomena itu menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami fungsi bimbingan dan konseling.

Meskipun di sekolah sudah ada guru BP yang menangani masalah kesulitan belajar bagi siswa-siswa bermasalah, tetapi pada umumnya masyarakat belum bisa membedakan tugas dan fungsi guru BP dengan guru lainya. Layanan Bimbingan dan Konseling kejiwaan pada umumnya baru tumbuh pada masyarakat perkotaan, terutama-kota-kota besar, karena hiruk pikuk kehidupan manusia di kota besar dengan segala permasalahannya sangat memungkinkan timbulnya gang­guan jiwa bagi orang yang tidak siap mental atau yang terlalu berat beban mentalnya dalam mengatasi problema kehidupan yang dialaminya. Meskipun belum ada data penelitian lapangan, nampaknya pengguna jasa layanan Bimbingan dan Konseling kejiwaan masih terbatas pada kalangan menengah ke atas, dan pada kelompok yang relatip tidak dekat dengan agama. Di kalangan masyarakat santri, jika ada seseorang yang merasa bermasalah biasanya lebih suka sowan kepada kyai untuk minta doa dan berkahnya agar sembuh dari gangguan jiwa itu. Apa yang dilakukan oleh para kyai terhadap tamu yang mohon di doakan dan diberkahi itu sebenarnya memang merupakan jenis layanan konseling, meski paradigmanya berbeda.

Masyarakat dakwah di Indonesia pada umumnya masih berkutat di seputar tabligh, yakni sekedar menyampaikan seruan atau informasi tentang Islam. Usaha mensosiali­sasikan Islam dengan persuasip masih merupakan teori yang dipelajari di bangku kuliah atau di diskusikan dalam seminar-seminar, belum menjadi perencanaan apalagi program aksi yang terkordinasi. Orientasi dakwah di Indonesia pada umunya masih monoton, normatip dan idealistik. Para da'i pada umumnya belum tertarik dengan penelitian dakwah sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat mad'u tidak diketahui secara empirik, dan para da'i dalam dakwahnya hanya memberikan apa yang mereka punyai, bukan memberikan apa yang dibutuhkan. Kelompok masyarakat bermasalah termasuk yang belum diteliti oleh para da'i sehingga merekapun tidak tahu persis apa yang dibutuhkan.

Dalam kondisi masyarakat dakwah yang sedemikian itu maka logis jika bentuk Bimbingan dan Konseling Agama belum menarik perhatian para da'i. meskipun masyarakat sebenarnya sudah membutuhkan. Dewasa ini, bentuk pemberian layanan Bimbingan dan Konseling Agama mestinya sudah menjadi agenda dakwah, yakni dakwah yang bersifat khusus. Kenyataannya hanya sedikit da'i yang memusatkan perhatian dakwahnya kepada kelompok orang bermasalah , dan itupun masih bersifat improfisasi.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, August 21, 2007

Kiat Ketika Sakit
Hidup manusia mengalami pasang surut, terka­dang senang terkadang susah, terkadang beruntung di kali yang lain merugi, terkadang sehat di kali yang lain menderita sakit. Diantara kebahagian manusia ialah memperoleh per­tolongan ketika sedang me­ngalami kesulitan, mendapat kelonggaran ketika dalam kesempitan, dikunjungi sahabat ketika se­dang sakit. Menengok orang sakit termasuk amalan ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah SWT.

Rasulullah pernah bersabda:
Artinya: Barang siapa melawat orang sakit atau me­ngunjungi temannya seagama, maka terdengarlah panggilan (dari Allah) bahwa engkau adalah orang budiman, perjalananmu baik dan engkau membangun sendiri mahligai di surga. (HR. Muslim)

Dalam hal melawat orang sakit, agama Islam memberikan tuntunan tatakrama sebagai be­rikut:

1. Mendoakan kepada orang yang sakit agar cepat sembuh, ketika mengunjunginya. Doa yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah sebagai berikut: La ba`sa `alaika, tahu run insya a Allah

Artinya: Tidak mengapa dengan sakitmu, Insya Allah (dengan sebab sakit itu) engkau akan menjadi orang yang bersih dari dosa. (HR.Bukhari)

2. Meletakkan tangan kanannya di atas (kening) orang yang sakit sambil berdoa:
Allahumma rabbun na si, azhib al ba`sa, wa asyfi anta as Sya fi, la syifa a illa syifa uka syifa an la yugha diru saqaman.

Artinya: Ya Allah, Tuhan Pencipta manusia, hilangkan penyakitnya, ya Allah sembuhkan dia, karena Engkaulah Sang Penyembuh, tiada kesembuhan tanpa kesembuhan dari Mu, kesembuhan yang tak menyisakan sakitnya. (HR. Bukhari)

3. Dalam melawat orang sakit hendaknya tidak ter­lalu lama, dikhawatirkan justru meng­ganggu orang yang sakit atau keluarganya.

4. Lawatan hendaknya dilakukan berulang-ulang jika si sakit menyukai yang demikian, agar ia merasa diperhatikan. Inilah makna sebenarnya dari mengunjungi orang sakit.

5. Mengajak orang yang sakit agar bersabar dan ridla dalam menerima ketentuan Allah dan takdir Nya. Berikan harapan kepadanya untuk pulih kembali kesehatannya serta mengi­ngatkan dia untuk tidak putus asa dan tidak mengharap cepat mati, meskipun penyakitnya demikian gawat. Rasulullah pernah bersabda: “Jangan seseorang di antara kamu meng­harapkan cepat mati karena musibah yang menimpanya”.

Seandainya memang harus demikian, sebaiknya berdoalah sebagai berikut:
Allahumma ahyini ma ka nat al haya tu khairan li wa tawaffani iza ka nat al wafa tu khairan li.

Artinya: Ya Allah berilah kami tetap hidup jika memang hidup itu lebih baik bagiku, dan cabutlah nyawaku, jika memang mati itu lebih baik bagiku. (muttafaq `alaih)

6. Disunatkan bagi yang sakit untuk mere­nungkan kembali tentang amal saleh yang pernah dilaku­kan. Ini adalah untuk mendo­rong si sakit supaya menguatkan husnuzzon (baik sangka) kepada Allah SWT. Di samping mengingat hikmah sakitnya itu sebagai pemberian Allah untuk menebus dosa-dosanya, membesarkan pahala­nya dan me­ninggikan derajatnya.

7. Alangkah baiknya jika yang sakit itu mem­perbanyak zikir kepada Allah, dan tidak lupa mewa­siatkan sesuatu yang perlu kepada keluarganya, terutama masalah utang piutang atau barang amanah orang lain atau mewa­siatkan sebagian hartanya kepada sabilillah dan sebagainya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 15, 2007

Shalat Tahajjud; Memadu Kasih Dengan Yang Maha Pengasih
Oleh : Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA
Disampaikan dalam acara workshop Tahajud Call, Jakarta, 12 Agustus 2007

Arti tahajud (al hujud) itu sendiri secara lughawi adalah tidur. Sedangkan makna istilah salat tahajud adalah salat sunnat yang dikerjakan setelah terlebih dahulu tidur malam. Berbeda dengan salat istikharah dan salat hajat yang bahan komunikasinya dengan Allah sudah definitif, salat tahajud dilakukan bukan karena keinginan yang sudah terkonsep, tetapi salat yang fungsinya benar-benar sebagai media pendekatan diri kepada Allah, taqarrub ilallah. Salat tahajud merupakan saat dimana seorang hamba ingin melepas kerinduannya, kepasrahannya dan kemesraannya dengan Tuhan sang Khaliq. Salat tahajud merupakan forum “berduaan” antara dua orang kekasih, seorang mukmin yang rindu, dengan Allah (Yang Maha Pengasih). Oleh karena itu, etikanya, salat tahajud dilakukan ketika orang lain sedang tertidur nyenyak dan tidak dilakukan secara berjamaah, agar suasana berduaan itu tidak terganggu.
Dalam salat tahajud itulah seorang kekasih bisa menangis, tertawa, mengadu dan memadu cintanya. Salat tahajud benar-benar merupakan nilai plus (nafilah) dari kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Jika salat lain ditentukan jumlah rakaatnya, maka salat tahajud boleh dilakukan sebanyak kebutuhan orang yang melakukannya, diserahkan kepada orang yang sedang memadu cintanya, seberapa lama ia terpuasi kerinduannya berjumpa dengan sang kekasih. Salat tahajud boleh dua rakaat, 20 rakaat atau seratus rakaat, bergantung tingkat kemesraannya (al inbisath wa al ‘uns). Dalam salat tahajud itulah seorang mukmin bisa mengelana jauh menembus batas ufuk dunia ke alam ruhiah yang tak terbatas, yakni apa yang dikatakan sebagai mikrajnya orang mukmin.

Mengelana ke alam gaib ruhaniah

Mengelana bermakna seseorang berangkat dalam pencarian, tetapi kembali bermakna berjalan menuju ke tempat asal. Yang pertama seseorang lebih dipengaruhi oleh keinginan, yang kedua lebi dipengaruhi oleh keyakinan. Alam gaib artinya wilayah yang tidak nampak. Yang tidak nampak bisa karena terhalang oleh sekat ruang dan waktu atau terhalang oleh perbedaan dimensi. Alam gaib adalah alam dibalik yang nampak . Alam yang nampak dapat terdeteksi oleh teknologi, sedangkan alam gaib hanya terdeteksi oleh perangkat spiritual. Alam mimpi, alam kubur, lam akhirat adalah alam gaib. Puncak dari kegaiban adalah Yang Maha Gaib, Alloh S.W.T.

Seseorang bisa berkelana di alam mimpi, bahkan bisa ber”tele-conference” di alam mimpi, tetapi perjalanan itu tidak bisa dikonfirmasi kecuali oleh “member”. Mimpi ada dua macam; ru’ya al haqq dan adhghotsu ahlam. Yang pertama dijamin benar dan ada nalarnya, yang kedua tidak ada nalarnya dan tidak melahirkan keyakinan.. Pengelanaan spiritual bisa nyampai, bisa juga tersesat, oleh karma itu seorang musafir harus melengkapi diri dengan peta dan kompas dan kalau perlu guide (mursyid) . Pengelana bisa bisa seniman, dukun para normal, failasuf maupun mutadayyin.

Berpulang ke Rahmatullah

Berpulang merujuk tempat asal, oleh karena itu berpulang ke rahmatullah artinya orang kembali ke tempat asalnya, yaitu ke haribaan Allah Yang Maha Rahim. Berpulang ke rahmatullah diilhami oleh kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji`un, sesungguhnya kita ini milk Allah dan akan kembali kepada Nya. Hanya saja ada orang yang secara sadar memprogram hidupnya untuk kembali kepada Nya, ada orang yang tak pernah memprogram, tiba-tiba kaget ketika ditarik kembali dari peredaran.

Mengapa Berpulang ?

Konsep berpulang berasal dari konsep penciptaan. Ada dua teori yang menerangkan bagaimana proses penciptaan makhluk manusia, yaitu teori al faidh (limpahan) dan teori isyraqi (pancaran). Menurut teori pertama, manusia adalah limpahan dari rahmat Allah, ahmat Alloh yang sangat besar melimpah, salah satu limpahannya adalah manusia. Oleh karena itu di dalam diri manusia juga terdapat rasa kasih saying dengan kadar yang berbeda-beda. Nah kekuatan rahmat yang memuncak memunculkan kerinduan untuk “berpulang” ke rahmatullah.
Sedangkan menurut teori kedua, manusia adalan pancaran dari cahaya (nur) Allah, oleh karena itu di dalam diri manusia ada kekuatan cahaya (nur) kebenaran yang tidak bisa berdusta, disebut nurani. Sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna, manusia adalah “tajalli” (perwujudan) dari kebesaran Allah, oleh karena itu jika Allah memiliki sifat Maha Suci, maka di dalam diri manusia ada bakat-bakat kesucian. Jika Allah Maha Pengasih Penyayang, maka di dalam diri mansuia ada rasa kasih sayang, jika Allah Maha Besar, maka pada diri manusia juga terkadang muncul sifat merasa besar (takabbur). Pokoknya semua sifat-sifat Allah (yang Maha sempurna) menampakkan jejaknya secara tidak sempurna pada manusia yang diciptakannya.
Sebagaimana panas matahari selalu berusaha kembali ke panas asalnya di atas, maka manusia pun secara sadar atau tidak sadar sering merindukan untuk kembali mendekat ke cahaya asalnya, Alloh S.W.T.Perjalan berpulang yang diprogram disebut taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah.

Tiga Jalan Berpulang

Ketika orang secara sadar harus kembali kepada Tuhan, maka ia harus membayangkan peta perjalanan, mau lewat mana, jalan pintas, jalan raya atau jalan alternatip.

· Jalan Raya. Yang dimaksud jalan raya adalah jalan biasa, konvensional, jelas arah dan rambu-rambunya sehingga tidak membutuhkan guide tertentu. Jalan ini dalam ilmu tasauf disebut thoriqat al akhyar, jalannya orang-orang baik, atau disebut juga thoriqot as syar`I, jalan syari`at.
· Jalan pintas. Yang dimaksud dengan jalan pintas adalah jalan yang tidak rumit, bisa lebih pendek tetapi butuh kekuatan ektra. Jalan ini dalam ilmu tasauf disebut thoriqot ahl az zikr, jalan dari ahli zikir. Cara berfikir ahl zikir ini sama seperti cara berfikir politik. Jika ingin cepat menembus jalan menuju tujuan, maka orang harus memiliki akses ke penguasa politik atau dipersepsi sebagai pendukung politik. Jika ingin melewati kerumunan massa PDI, teriakkan Hidup Megawati, pasti aman. Jika ingin melewati kerumunan massa PKS , teriakkan Hidup Adang Dani, pasti aman, jika lewat kerumunan massa PKB, teriakkan hidup Gus Dur, begitu seterusnya. Nah penguasa yang sesungguhnya dari alam kehidupan ini adalahAlloh SWT, oleh karena itu jika ingin aman menuju kepada Nya selalulah berzikir menyebut Nya, pasti aman.
· Jalan alternatip. Jalan ini biasanya lebih jauh, tetapi disana banyak dijumpai keindahan pemandangan. Orang mau bersusah payah melewati jalan alternatip, meski jauh dan berat, tetapi mereka merasa senang. Jalan ini menurut ilmu tasauf disebut thoriqat mujahadat as syaqa’, jalan yang penuh dengan kesulitan. Orang yang memilih jalan ini, malu tidur di kasur, malu makan enak, malu berpakaian mewah, malu naik pesawat, karena merasa tidak pandai menysukuri nikmat Tuhan yang telah memberi kaki. Pergi haji mereka memilih naik sepeda atau jalan kaki, pokoknya semua-yang tidak enak itulah yang mereka pilih, dan mereka merasa nikmat.

Tangga Pendakian Menuju Allah

Kata Pendakian merujuk kepada posisi; bahwa manusia itu rendah dan Allah itu Maha Tinggi, oleh karena itu manusia harus mendaki. Saking tinggi dan jauhnya maka tidak bisa sekali jalan. Orang harus melalui tangga-tangga, atau melewati stasion-stasion atau maqamat.. Stasiun2 itu adalah :

1. Stasion Taubat; dilengkapi dengan tiga loket karcis yang harus dibeli
· Karcis penyesalan
· Karcis perjanjian
· Karcis pembuktian
Jika tiga tiket ini sudah terbeli, maka ia akan menemukan stasiun ke dua, yaitu :

2. Stasiun Zuhud; dengan persyaratan

· menjauhkan diri dari dunia materi/dunia ramai
· hidup sederhana
· tak tergoda kesenangan dunia dan kelezatan materi

setelah stasiun Zuhud, orang akan melewati stasiun berikutnya, yaitu

3. Stasiun Wara` dengan karakteristik menjauhkan diri dari syubhat. Setelah itu ketemu stasiun berikutnya

4. Stasion Faqr, dengan karakteristik

· kebutuhan hidupnya sedikit
· tidak meminta kecuali sekedar seperlu
· tidak meminta meski tak punya

5. Stasion SABAR

· sabar dalam ibadah
· sabar dalam musibah
· sabar dalam menjalankan kewajiban
· sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh ,
dalam menghadapi cobaan dan rintangan,
dalam jangka waktu tertentu,
dalam rangka mencapai tujuan

6. Stasion TAWAKKAL

· pasrah bulat-bulat kepada kehendak Tuhan
· tidak memikirkan kebutuhan (materi)hari esok
· merasa cukup apa yang ada hari ini
· merasa tenteram meski tak punya
· jika punya ia merasa ada orang lain yang lebih membutuhkan

10. Stasion besar bagi al Muqarrabin

Setelah orang bisa melampaui tangga-tangga stasiun (maqamat), maka stasiun akhir dari perjalanan itu ialah ma’rifat, ridlaa dan cinta. Orang yang telah mencapai tingkat itu sudah masuk kategori orang yang dekat dengan Allah (al muqarrabin). Hal-hal tersebut hanya diketahui melalui pengalaman spirituil.

Ridla artinya ; senang dan puas terhadp apapun yang diberi oleh Tuhan, oleh karena itu orang yang ridlha selalu ceria dan berserk-iseri.
Ma`rifat artinya kenal, bukan sekedar tahu.
Cinta. Jika orang sudah kenal, maka ia bisa jatuh cinta. Jik sudah cinta maka segala yang datang dari sang kekasih selalu menyenangkan.


Ketika dalam pendakian, seorang mutasawwif merasa takut dan cemas kepada Tuhan, tetapi setelah dekat, ia merasa bahwa Allah bukanlah zat yang suka murka kepada hamba Nya, tetapi zat yang lebih cinta dan sayang kepada hamba Nya. Oleh karena itu rasa takutnya hilang dan sebagai gantinya adalah rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cintanyya kepada Tuhan menjadi bergelora dalam hatinya, maka ketika ittulah seorang mutasawwif sampai ke stasion cinta, dan ketika itu barulah ia disebut seorng sufi. Ciri cintanya adalah:
(1) memeluk kepada kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada Nya,
(2) Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi
(3) Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Dia yang dikasihi


Pada tingkat tertinggi para sufi mencapai tingkatan bersatu dengan Tuhan, seperti yang disebut dalam ungkapan :

ittihad, yaitu maanusia berhasil naik ke tingkat yang tertinggi hingga bersatu dengan Tuhannya, setelah terlebih dahulu mengalami fana dan baqa.

Hulul, yaitu Tuhan memilih hambaNya tertentu untuk bersemayam sifat-sifat ketuhananNya. Dalam tasauf dikenal adanya nasut dan lahut. Nasut adalah sifat ketuhanan, sedangkan lahut adalah sifat kemanusiaan. Tuhan memiliki nasut dan lahut, sedangkan manusia memiliki lahut dan nasut. Pengalaman hulul dialami oleh Al Hallaj dan Syeh Siti Jenar. Al Hallaj pernah berkata Akulah Yang Benar (ana al Haqq) atau akulah Allah. Sufi yang telah mencapai tingkat ini disebut telah mencapai insan kamil, manusia yang sempurna.

Tingkat ini juga disebut dengan istilah wahdatul wujud atau wahdatus Syuhud. Yang pertama artinya bersatu dalam eksistensi, sedang yang kedua artinya nampaknya saja bersatu.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger