Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, February 23, 2009

Arti Imam
Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur’an, Nabi Mu¬hammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan de¬mikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bim¬bingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan.

Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misal¬nya; “(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami me¬manggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” (Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam (pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan ja¬dikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.

Allah berfirman, “Sesung¬guhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing Kami jadikan orang-orang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menja¬dikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); “dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang me¬nyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir, karena se¬sungguhnya mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipe¬gang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)

Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh bebe¬rapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhir¬nya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengan¬dung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk meng¬gantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus masalah umat Islam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penamaan khalifah: apakah khalifah saja (tanpa embel-embel), atau khalifah Rasulullah dan khalifah Allah? Sebagian ulama membolehkan penggunaan gelar khalifah Allah, dengan merujuk kepada ayat Al-Qur’an—yang menyebutkan bahwa “Dia menjadikanmu khalifah-khalifah atau pewaris bumi.” Namun, jumhur ulama tidak membolehkan penanaman gelar khalifah Allah—karena ayat Al-Qur’an tidak berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar. Bahkan, Abu Bakar sendiri telah melarang pemanggilan dirinya dengan khalifah Allah. Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melain¬kan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Menurut Dhiauddin, gelar khalifah setelah Ra¬sulullah digunakan untuk menjadi antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran—sebuah pemerintahan individu yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.

Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekha¬lifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.

Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keha¬rusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, se¬orang kepala atau pemimpin wajib hu¬kumnya menurut ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.

Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk meng¬halangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.

Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepe¬mimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, se¬bagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem po¬li¬tik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatul¬lah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, February 22, 2009

Fatsun Politik (2)
Menurut penelitian Psikologi, 83 % perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya dipengaruhi oleh campuran berbagai stimulus. Perilaku masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya sangat dipengaruhi oleh gempuran budaya global. Dengan teknologi informasi (TI) Globalisasi mengubah dunia menjadi kampung kecil. Apa yang terjadi di suatu negeri pada saat yang sama dapat dilihat oleh seluruh penduduk bumi.

Perang,skandal dan krisis yang ada di satu kawasan ditonton dan berimbas ke kawasan yang sangat luas seketika. Gagasan, mode, dan gaya hidup yang berasal dari kultur liberal menerobos masuk ke benteng-benteng tradisi. Budaya masyarakatpun porak poranda, nilai-nilai lama ditinggalkan,nilai-nilai baru meski belum jelas kualitasnya dirindukan. Ide-ide economic reform, political reform, HAM dan liberalisasi ditelan mentah-mentah tanpa filter budaya. Money politik tidak lagi menjadi mainan politisi. Orang-orang desa pun menuntut money politik dalam setiap even pilkada dan kampanye caleg. Korban lumpur lapindopun terilhami untuk sekaligus memeras ganti rugi dengan menaikkan harga tanahnya berlipat-lipat.

Sampai kapan keporak-porandaan budaya ini berlangsung ? nampaknya masih lama. Indonesia bukan hanya terdiri dari ribuan pulo dan ratusan etnik serta bahasa, tapi strata masyarakatnyapun berlapis. Ada lima lapis strata sosial masyarakat Indonesia. Paling atas ada kelompok ultra modern yang tinggal di kota-kota besar. Dibawahnya ada kelompok modern, juga di kota-kota. Dibawahnya ada kelompok besar, yaitu lapisan masyarakat urban, tersebar di kota-kota besar dan kota-kota kecil serta desa-desa di sekeliling kota.

Lapis bawahnya ada kelompok masyarakat tradisionil, dan terbawah masih ada kelompok terbelakang. Lima lapis ini menerima stimulus yang sama dari dunia global berupa siaran televisi, mode pakaian dan menu makanan serta teknologi informasi. Jika kelompok ultra modern dan sebagian modern sudah bosan melihat ekpressi kebebasan demontrasi, kelompok urban justeru sedang-nikmat-nikmatnya merasakan kebebasan; bisa melempari polisi dengan batu, merobohkan pintu gerbang kantor kantor pemerintahan, membakar ban di jalanan dan sebagainya. Belum lagi kasus korupsi . Apa yang dilakukan oleh KPK disatu sisi membanggakan,di sisi lain membuat hati miris, karena semua lapisan elit terlibat korupsi, eksekutip, legislatip dan yudikatip. Yang lebih menyedihkan, dalam tayangan TV tersangka korupsi nampak masih happy dan membantah tuduhan dengan sangat percaya diri.Baru setelah bukti rekaman diputar, perilakunya berubah menjadi kuyu dan lesu.

Bagaimana mengubahnya ?

Cara berfikir masyarakat dipengaruhi oleh paradigma yang dianut. Tata nilai menyimpang tetapi ditolerir dalam waktu lama bisa berubah menjadi budaya. Kebudayaan adalah gagasan, konsep, ajaran dan keyakinan yang dianut masyarakat dalam waktu lama,konsep mana kemudian digunakan sebagai panduan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Gagasan buruk akan melahirkan perilaku buruk, dan jika berlangsung lama maka jadilah bangsa ini berkebudayaan rendah, budaya yang kurang bermartabat.

Untuk mengubah budaya masyarakat caranya juga dengan mengubah paradigma, dengan proses pembudayaan, yakni membudayakan nilai-nilai tinggi. Pada era modern dan global sekarang maka pembudayaan nilai harus menggunakan infrastruktur modern. Transparansi misalnya akan sangat berpengaruh dalam pengendalian perilaku pemimpin. Ada tiga infrastruktur yang bisa menjadi pilar budaya bermartabat. Pertama Semua penduduk harus mempunyai Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) .

Dengan NPWP, transaksi signifikan terkontrol.Kedua sistem filing digabung dengan sistem administrasi kependudukan nasional. Semua kegiatan warga negara terekam dalam file yang bisa diakses oleh sistem. Ketiga penegakan hukum secara kosisten dan berkesinambungan. Tiga pilar ini akan mempersempit ruang warga untuk berperilaku menyimpang. Tetapi diatas segalanya karena bangsa Indonesia itu paternalistis, maka keteladanan pemimpin akan memberikan kontribusi yang sangat besar dengan biaya murah dalam membangun fatsun politik. Sebagai contoh, sebelum pilpres 2004 sudah ada deklarasi siap menang siap kalah dari seluruh capres, tetapi ternyata tidak seorang caprespun yang siap kalah.

Buktinya tak seorangpun mantan capres yang mengucapkan selamat kepada SBY sebagai pemenang. Bu Mega malah merasa ditusuk dari belakang oleh SBY. Selama lima tahun pasca kekalahan, para ex capres kerjanya mengkritik pemenang tanpa sedikitpun mengapreasi suara rakyat yang memilihnya. Demikian juga pada setiap peringatan proklamasi kemerdekaan di istana, mereka tidak pernah hadir ke istana. Perilaku elit politik seperti ini akhirnya ditiru oleh cagub-cagub dan cabup yang kalah dalam pilkada.

Belajar kepada bangsa lain, betapa indahnya Hillary Clinton langsung mendukung Obama sedetik setelah ia kalah dalam convensi capres Demokrat, dan selanjutnya dia malah bersedia menjadi menlunya Obama. Betapa indahnya apa yang dilakukan oleh M Cain yang langsung mengucapkan selamat kepada Obama sedetik setelah penghitungan jelas memenangkan Obama. Betapa indahnya, dua mantan Presiden Amerika (Clinton dan Bush senior) secara bersama, ditugasi oleh Presiden Prdesiden Bush untuk mewakili negaranya mengunjungi korban tsunami Aceh.

Nampaknya kini ditunggu ada orang-orang ahli dan arif yang secara diam-diam menyusun konsep-konsep kebangsaan kita untuk 50-100-200 tahun mendatang, mengiringi DPR dan MPR yang juga melakukan pekerjaan yang sama. Semoga.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, February 20, 2009

Fatsun Politik (1)
Manusia adalah makhluk politik (zon politicon). Ia memiliki tabiat suka bekerjasama dan bersaing sekaligus. Dalam bekerjasamapun manusia sambil bersaing satu sama lain.Dalam bersaing ada yang fair dan ada yang tidak fair. Persaingan politik pada umumnya lebih menggoda untuk tidak fair karena politik lebih dekat ke syahwat dibanding ke hati nurani. Bahkan partai yang sudah menamakan dirinya Partai Hati Nuranipun tetap lebih didominir oleh syahwat politik dibanding nurani politik. Nurani dan syahwat politik merupakan ekpressi kekhalifahan manusia.

Secara vertical manusia memang memiliki dua dimensi, hamba Alloh dan khalifah (wakil) Nya. Sebagaihamba manusia adalah kecil tak berarti, tetapi sebagai khalifah Nya, manusia memiliki kebesaran luar biasa karena yang diwakili adalah Tuhan Yang maha Besar. Sebagai khalifah manusia diberi kekuasaan untuk menegakkan kebenaran seperti yang diajarkan Tuhan. Hanya saja tak selamanya nurani manusia berfungsi.Nurani dari kata nur artinya cahaya, jadi nurani adalah cahaya ketuhanan yang ditempatkan di dalamhati manusia, oleh karena itu nurani selalu konsisten dengan kebenaran ketika ia berfungsi optimal. Cahaya nurani tidakberfungsi ketika tertutup oleh keserakahan dan maksiat. Ketika nurani (cahaya) mati maka hati menjadi gelap, dan perilaku orang seperti dalam kegelapan,; salah langkah,salah ambil,salah naroh dan salah pandang.

Menurut epistimologi Islam, ilmu politik (`ilm assiyasah) berada dibawah ilmu teologi (`ilm ushuluddin). Maknanya kekuasaan politik harus dijalankan seperti Tuhan berkuasa. Di satu sisi Tuhan adalah Maha Kuasa, tetapi di sisi yang lain,Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Menejemen dari dua sisi ektrim itu adalah keadilan,dan Tuhan adalah Maha Adil. Nah fatsun politik yang benar adalah manakala insane politik tetap konsisten bersikap dan bertindak adil, yakni menempatkan segala sesuatu pada proporsinya,tidak memutar balik, tidak berlebihan.

Sesungguhnya politik itu memiliki tiga dimensi; ilmu, game dan seni. Ilmu politik bisa melahirkan konstitusi, peraturan dan struktur yang logic. Game politik membuat persaingan politk menjadi meriah, menggairahkan, kalah menang menjadi sesuatu yang biasa. Seni politik membuat perkelahian sekalipun indah dirasa dan indah ditonton.

Fatsun Politik Pemimpin Kita

Perjalanan sejarah bangsa, disadari atau tidak telah membentuk warna dan corak perilaku politik para pemimpin. Penjajahan Belanda ratusan tahun disamping melahirkan sifat kepahlawanan,juga melahirkan sifat pengkhianatan dan dendam. Revolusi 45 telah melahirkan sifat anarkis. Periode Sukarno sedikit menyuburkan nasionalisme, periode panjang Suharto menanamkan sikap kepura-puraan.Nah kesemuanya itu tumpah ruah pada era reformasi yang digelar bersamaan dengan proses globalisasi . Perilaku politik para pemimpin bangsa mencerminkan gabungan dari sifat-sifat itu, dendam,khianat,anarki dan pura-pura.

Pada periode akhir masa penjajahan, para pemimpin generasi kebangkitan nasional banyak sekali mereka yang memiliki integritas tinggi sebagai pejuang. Pada awal Republik ini, tokoh-tokoh se angkatan Moh Natsir juga menunjukkan integritas yang tinggi sebagai pemimpin sehingga dalam konflikpun mereka menjaga fatsun politiknya sebagai negarawan. Pada periodePakHarto selama 30 tahun,karena PakHarto terlalu kuat dan tidak mau disaingi maka terjadilah loss generation. Tokoh-tokoh muda yang berbakat menjadi pemimpin nasional dikandangin di ”ruang isolasi”, ada yang di parlemen, ada yang di kabinet, tetapi semuanya berada di bawah bayang-bayang Suharto. Yang berani nentang sedikit seperti kelompok petisi 50 ditaroh di kandang yang berbeda. Ali Sadikin mestinya berbakat jadi Presiden, tetapi ia tak pernah berkesempatan untukbersaing. Apalagi tokoh-tokoh muda, mereka terlena dalam seakan-akan.

Dampak dari lost generation itusangat terasa ketika bangsa membutuhkan hadirnya pemimpin besar. Pasca Suharto kita tidak punya orang. Stok pemimpin yang ada hanya yang pas-pasan sebagai pemimpin kelompok. Anggaplah,SBY adalah yang terbaik diantara yang pas-pasan itu, tetapi SBY harus berhadapan dengan ekpetasi masyarakat yang sangat tinggi, sementara problem yang ditinggalkan oleh Pak Harto menumpuk dan membelit hingga hampir-hampir tidak ada teori yang bisa digunakan sebagai problem solving secara tepat. Sementara itu pesaing pak SBY yang sesungguhnya lebih pas-pasan berkoar-koar mengkritik tetapi juga tidak mampu mengajukan resep tandingan. Tanpa disadari,anarki bukan hanya di lakukan dijalanan,

MPR pun melakukan amandemen yang anarkis, dialog antar elit juga anarkis,bahkan takbir pun anarkis. Mestinya takbir adalah kalimat suci yang hanya diucapkan pada saat puncak emosi secara vertikal (kepada Tuhan). Nah untuk merobohkan pintu gerbang DPR ketika demopun disertai dengan pekik takbir. Masyaallooooh, astaghfirulloooh. Melihat daftar nama caleg 2009 dari semua partai , hati lebih miris, karena tokoh yang berintegritas diri tinggi sulit sekali di jumpai dari mereka... Saya tidakbisamembayangkan progres lima tahunan 2009, 2014, 2019,karena sesungguhnya bangsa ini butuh konsep untuk 50 – 100 tahun ke depan. Kita sudah melakukan moratorium amandemen, tapi kita tidak boleh stagnant, maka kita harus berani melakukan Restorasi Indonesia, yang lama tapi baik kita pelihara, dan kita hanya mau menerima yang baru dari luar apa yang sudah teruji lebih baik. Almuhafadzatu `ala al qadim assalih, wa al’akhdzu biljadid al-ashlah. Kata ideologi NU.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, February 12, 2009

Membuat Sejarah (GeGer 2,5%)
Sejarah terkadang berlangsung seperti yang dirancang oleh para pelaku sejarah, terkadang berjalan sendiri menyimpang jauh dari yang dirancang. Oleh karena itu ada pelaku sejarah, ada orang yang terbawa oleh arus sejarah dan ada orang yang menjadi korban sejarah. Bung Karno dulu berusaha mengukir sejarah Indonesia, tetapi di ujung beliau menjadi korban dari sejarah yang diukirnya. Pak Harto juga merancang sejarah Indonesia untukbisa tinggal landas. Ujungnya seperti yang kita saksikan, rancangannya berantakan, dan beliau juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan Bung Karno.

Peristiwa besar terkadang dipicu oleh peristiwa kecil, bahkan terkadang dipicu oleh sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Ada contoh kecil yang kebetulan melibatkan nama saya. Secara terbuka saya sebagai wakil ketua umum Partai Demokrat ditegur oleh Bapak SBY selaku ketua Dewan Pembina Partai. Yang membuat peristiwa itu menjadi besar adalah karena tegurannya dilakukan secara terbuka, lewat konperensi pers yang ditayangkan oleh semua stasiun TV nasional. Dapat diduga, malam itu dan hari-hari berikutnya Koran,TVdan radio se Indonesia selalu menyebut nama saya, dan seakan ada konflik besar dalam koalisi Demokrat Golkar atau SBY-JK). Mendadak saya menjadi selebritis, dikejar TV, wartawan, dan telpon serta SMS tak pernah berhenti berdering. Nama Achmad Mubarok selalu disebut dan wajah saya ditayangkan berulang-ulang disemua tayangan TV,sebagai pemicu peristiwa, atau sebagai newsmaker. Benarkah saya sebagai pemicu ? ternyata heboh itu bersumber dari sesuatu yang tidak ada, karena saya sesungguhnya tidak pernah berfikir, tidak berbuat dan tidak berkata seperti yang diberitakan. Lalu apa sesunguhnya yang terjadi.

Di sela-sela acara rapimnas Partai Demokrat di Kemayoran, sementara saya menunggu persiapan liputan life ANTV , ada seorang mendekati saya dari samping , saya tahu dia wartawan, tetapi tidak wawancara resmi, seperti orang ngobrol biasa, tidak direkam, dia bertanya. Pak Kenapa koalisi tidak dibangun sekarang ? Saya jawab.Kalau koalisi sekarang , itu sama dengan koalisi di awang-awang,wong realita politiknya belum nampak. Nanti habis Pemilu legislatip tuh, baru nampak the real politiknya. Tapi kan sudah kelihatan partainya?kata wartawan.Saya jawab. Eh…,pemilu itu bisa membuat yang kecil jadi besar, dan yang besar menjadi kecil. Koalisi harus kuat,paling tidak 50 % lebih, maka hanya partai yang memperoleh angka signifikan yang bisa menjadi pilar koalisi . Angka signifikan itu berapa pak ?. ah relatip itu., tetapi yang jelas kalau mencari 50% ya bukan partai yang hanya memperoleh 2,5 %. Seandainya PKS dapat 20 % ? tanya wartawan. Itu adalah realitas, siapapun akan memperhatikan. Kalau Golkar hanya dapat 2,5 % ? tanya wartawan. Itu juga realitas,jawab saya. Apa mungkin Golkar bisa turun jadi 2,5% ? tanya wartawan lagi. ha ha ha ha, di dunia ini apa aja bisa terjadi. Jawab saya geli. Rupanya watawan ini kreatip. Ia mengambil potongan ini untuk memancing pak Yusuf Kalla, dengan pertanyaan.Pak,kata Pak Mubarok Demokrat akan gandeng PKS karena golkar hanya dapat 2,5%. Pak Yusuf Kalla terpancing, merespon dengan jawaban jangan mimpi buruk lah dan seterusnya seperti yang sudah kita dengar.

Bayangkan, dialog yang sama sekali tidak melecehkan siapa-siapa dan tidak meramalkan siapa-siapa bisa berkembang sangat dahsyat, setelah Pak JK mengomentari,hingga Pak SBY pun ikut konperensi pers. Untung Pak SBY sangat bijak, menegur saya tetapi menutup dengan kalimat pujian;,saya kenal pak Mubarok,orangnya lurus dan lugu, tidak punya pikiran jahat.

Saya juga sudah membantah melalui koran dan TV, tetapi sejarah berjalan terus.Di Golkar berkembang wacana-wacana baru, mungkin akan berkembang menjadi alur sejarah yang tak dibayangkan, mungkin juga akan berhenti seminggu lagi setelah muncul issue baru yang lebih segar sehingga tidak menjadi sejarah.

Kata orang penganut teologi Jabariah (predestination), semua itu sudah diatur oleh Tuhan dari atas, kita tinggal terima. Kata orang yang menganut teologi Qadariyah, wah ini bisa kita mainkan ke arah yang kita inginkan. Kata orang Ahlussunnah waljamaah. Mari kita berfikir dan berbuat yang baik, selanjutnya kita tawakkal kepada Alloh,apapun hasilnya..

Begitu melekatnya angka 2,5% dengan nama saya, kemarin ada teman muallaf, pengusaha, bertanya lewat telpon; saya punya harta ini dan itu, nilai semuanya sekian. Berapa zakat yang harus saya keluarkan pak ? saya jawab langsung, 2,5%. Ehh teman saya langsung jawab, pak yang bener dong jawabnya, saya ini bukan golkar.,Padahal maksud saya zakatnya sebesar 2,5% dari nilai yang dia sebut. Huebaat kan ?

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, February 03, 2009

Menyusuri Lorong Politik
Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri peluncuran buku Pengembaraan Batin seorang santri Jawa di Lorong Kehidupan, tulisan sahabat saya Bambang Wiwoho, dengan kata pengantar Prof. K.H. Ali Yafie. Saya tertarik buku itu karena saya sering bersama beliau melalui lorong-lorong kehidupan, terkadang dalam satu lorong, terkadang harus berpisah karena lorongnya sempit. Kami berdua sama-sama murid Kyai AliYafie, yang berbeda, pak Wie,panggilan akrab Pak Bambang Wiwoho adalah orang Jawa santri, yang belajar agama Islam melalui tembang-tembang Jawa dan dari nasehat ibunya. Sebaliknya saya meski orang Jawa tetapi terlebih dahulu menjadi santri,baru kemudian mengenal budaya Jawa.

Panggung kehidupan memang memungkinkan orang berjalan di jalan raya. Jalan raya itu lebar,mulus dan orang ramai melewatinya. Perjalanan di jalan raya kehidupan nampak terang, ada ukurannya,misalnya perjalanan seorang birokrat dalam menempuh karier, jelas pangkatnya, status sosialnya. Tetapi yang nampak itu belum tentu yang sebenarnya. Orang yang sukses dalam karier formal,belum tentu ia sukses dalam kehidupan. Yang dihormati dalam upacara belum tentu orangnya terhormat. Yang tinggi pangkatnya belum tentu tinggi martabatnya.Namanya juga panggung, hebat di mata penonton dalam peran yang dimainkan, tetapi yang sesungguhnya berperan belum tentu dia.

Terkadang orang sumpek, tidak nyaman dan bahkan muak berjalan di jalan raya karena terlalu banyak sampah dan polusi udara ,maka ada orang yang memilih jalan alternatip. Jalan alternatip biasanya melingkar lebih jauh dan sempit. Begitupun jalan kehidupan, ada loringnya. Ada lorong politik,lorong ekonomi, lorong budaya,lorong seni, lorong spiritual dan sebagainya.

Lorong Politik

Manusia memiliki tabiat kerjasama dan bersaing sekaligus. Ada yang bersaing secara fair,ada juga yang tidak fair. Persaingan politik cenderung tidak fair, karena politik lebih dekat ke syahwat dibanding nurani,bahkan meski partainya sudah dinamakan partai nurani. Secara teori , politik itu netral,tidak mesti kotor. Jika anda studi di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM), jika anda ambil mayor program teologi (ilmu ushuluddin) , maka program minor yang harus anda ambil adalah ilmu politik (`ilm assiyasah). Jadi politik ada dibawah payung ilmu ketuhanan. Alur pikirnya adalah sebagai berikut. Politik adalah kendaraan untukmencapai kekuasaan, sementara pemilik kekuasaan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka bagaimana politisi berkuasa harus meniru cara Tuhan berkuasa, takhallaqu bi akhlaqillah, kata ilmu tasauf. Disatu sisi Tuhan adalah Maha Kuasa yang kekuasaan Nya tak terbatas, tetapi di sisi yang lain, Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nah menejemen kontrolnya adalah sifat adil,dan Tuhan adalah Maha Adil. Jadi seorang penguasa yang benar adalah yang menggunakan kekuasaanya untuk menyebarkan kasih sayang kepada rakyat dengan seadil-adilnya. Problemnya, kekuasaan cenderung korup, bertindak adil bagi penguasa juga sangat berat karena sering harus berperang dengan kepentingan sendiri (konflik interest)

Dalam usia 19 tahun saya menjabat sebagai sekretaruis Partai NU tingkat kecamatan, pada tahun 1965.Pemahaman saya pada politik dalam usia muda dan pada masa tahun itu masih sangat bias. Pasca G.30 S, dunia politik saya tinggalkan untuk kemudian masuk dunia keilmuan, kuliah dan mengajar. Setelah seluruh jenjang keguruan saya lalui, dari guru SD hingga guru besar,bersamaan dengan era reformasi saya terseret lagi ke dunia politik,menjadi pendiri hingga akhirnya menjadi Wakil Ketua Umum Partai The rulling party. Menjabat sebagai ketua partai adalah berjalan di jalan raya politik. Tujuan kebanyakan orang berpartai adalah menjadi anggauta parlemen atau menjadi eksekutip. Ternyata politik dalam praktek itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Mestinya politik itu memiliki tiga sisi, ilmu, game dan seni. Dengan ilmu politik, konstitusi, peraturan dan struktur organisasi jadi logis. Dengan game, politik menjadi meriah,kalah ataupun memang tetap mendapat applouse. Politik sebagai seni membuat perkelahian sekalipun indah ditonton dan indah dirasa. Partai saya menggariskan politikcerdas,santun,bersih dan demokratis. Di jalan raya politik ternyata tidak mudah untuk konsisten menjalankan politik cerdas,santun,bersih dan demokratis, karena sering bersaing dengan kepentingan jangka pendek.

Politik itu power. Dalam dunia mesin, mesin mobil atau kapal misalnya,ukuran kekuatan itu diukur dengan tenaga kuda (HP). Politik itu fungsinya sama seperti kuda, yakni bisa mengantar orang bahkan membawa kereta ke tujuan tertentu. Tetapi watak kuda itu liar,oleh karena itu seorang kusir sado atau penunggang kuda harus memasang kacamata kuda agar power itu terkendali tidak liar. Politik pun tidak boleh terbuka telanjang bulat, ada wilayah-wilayah tertentu yang harus tertutup untuk umum. Yang menarik,orang Betawi menamakan kusir delman dengan nama sais. Sais adalah kata dalam bahasa Arab, bentuk isim fail dari kata siyasah yang artinya politik. Politisi adalah tak ubahnya sais yang harus pandai-pandai mengendalikan powernya. Salah kendali bisa disepak .

Saya ingat ajaran empat kebenaran dari agama Budha; (1)hidup adalah penderitaan (2) penderitaan disebabkan karena adanya keinginan,(3) untuk menghilangkan penderitaan caranya dengan menghilangkan keinginan,(4) untuk menghilangkan keinginan caranya dengan melakukan delapan jalan, yaitu berkata benar, berfikir benar, berbuat benar dan seterusnya. Saya juga ingat nasehat Abuzar al Ghifari,bahwa barang siapa mengejar dunia ia akan kehilangan makna dunia,barang siapa meninggalkan dunia,ia akan menggenggam dunia, penguasaan dunia caranya dengan meninggalkannya, dan orang yang kehilangan makna dunia itu disebabkan karena mengejar-ngejarnya.

Dari renungan di jalan raya itu menuntun saya ke jalan alternatip, saya mencoba memasuki lorong-lorong politik, saya tidak mau menjadi caleg .Di tengah masyarakat yang mengenali saya sebagai petinggi partai politik, saya justeru aktip di bidang konseling keluarga, tetap disiplin mengajar di pascasarjana, mengakrabi bidang sosial keagamaan,dan pergaulan lintas agama. Disitu ternyata sarat dengan nilai-nilai politik dalam perspektip lorong. Lorong politik yang sempit itu terkadang saya jumpai tempat becek, bahkan berlumpur, tetapi ternyata di dalam lumpur bisa dijumpai mutiara,dan meski sudah terendam lama di kubangan lumpur, mutiara tetap mutiara, oleh karena itu di dalam lorong yang sempit itu juga terkadang ada ruang yang terang benderang, bersih dan sehat. Disitulah keindahan berpolitik dapat dirasakan, meski tidak nampak karena tidak diliput pers. Anda sedang menyusuri lorong apa?

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger