Thursday, April 30, 2015
Psikologi Kepemimpinan Politik (1)
Manusia Sebagai Makhluk Politik
Suka atau tidak
suka terhadap politik tetapi manusia adalah memang makhluk politik (zon
politicon atau siyasiyyun bitthob`I dalam bahasa Arabnya). Perilaku
politik adalah perilaku manusiawi, oleh karena itu kualitas politik bukan
bergantung kepada politiknya tetapi kepada kualitas manusianya. Sebagai makhluk
psikologis, manusia itu berfikir dan merasa, fikirannya mempengaruhi
perasaannya dan perasaannya mempengaruhi
pikirannya. Jadi kualitas perilaku politik seseorang bergantung kualitas
fikirannya (akalnya) dan kualitas perasaannya(hatinya) bahkan hati nuraninya.
Oleh karena itu ada partai politik yang menggunakan hati nurani sebagai
inspirasinya, yaitu Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura.
Naluri politik
adalah kekuasaan, tetapi konsep kekuasaan bagi setiap orang berbeda-beda, ada
yang ingin menguasai orang lain, yakni manusianya, ada yang lebih tertarik kepada kekayaan atau
ekonomi, yang lain memilih keluasan wilayah dan ada yang lebih tertarik untuk
menguasai hati dan fikiran orang lain.
Perbedaan pusat perhatian politik ini mempengaruhi perilaku politik
seorang politisi, ada yang repressip, ada yang culas, ada yang rakus dan ada yang
sportip,santun dan arif.
Sebagai makhluk
social manusia membutuhkan orang lain dan menjadi apa dan siapa bergantung
dengan siapa mereka bergaul, bekerjasama dan belajar. Untuk mengejar kekuasaan
politik maka makhluk social itu melakukan kerjasama untuk menggapai tujuan
bersama, dan bersaing untuk menggapai agenda subyektip masing-masing. Oleh
karerna itu lahirlah organisasi, ada
ormas, orpol atau Partai Politik bahkan Negara dan pemerintahan (termasuk juga
Universitas) yang kesemuanya itu merupakan wadah kerjasama dan wajah persaingan
sekaligus. Di Partai Politik mereka
bersama-sama membangun organisasi, tetapi di kongres masing-masing bersaing
merebut jabatan tertinggi/ketua umum (contoh paling segar adalah Kongres PPP
dan Golkar). Begitupun dalam pemerintahan dan dalam Negara, bahkan dalam
organisasi dunia PBB. Kualitas perilaku dalam persaingan sangat erat dengan
target apa yang ingin dicapai. Jika orang bersaing untuk merebut nilai-nilai
keutamaan, kebajikan dan ketaqwaan, maka mereka pasti bersaing secara sportip,
jujur dan bermartabat. Tetapi jika mereka bersaing untuk memperebutkan hal-hal
yang sifatnya rendah (harta,tahta,wanita,gengsi) maka para politisi sangat
mudah tergoda melakukan cara-cara kotor, seperti fitnah, intimidasi,terror,
korupsi dan sebagainya.
Menurut teori psikoanalisa, ekpressi
manusia merupakan sinergi dari tiga pilar kepribadian, id, ego dan super ego,
dimensi hewani, dimensi akal dan dimensi moral. Politisi yang berkepribadian
hewan maka ia bersaing seperti hewan, serakah, tak sabar dan sadis. Politisi
yang mengedepankan akal maka berpolitik secara cerdas, ia bisa bermain cantik
dan mampu melakukan rekayasa politik,meski belum tentu bermoral. Sedangkan type
politisi yang bermoral, ia hanya bersaing secara fair,berpegang teguh kepada
prinsip-prinsip moral, mengacu kepada cita-cita politik yang dituju dan tabah
menderita ketika harus melalui tahapan-tahapan yang berat, dan tidak mau
melakukan praktek dagang sapi.
Sebagai suatu persaingan, kemenangan
politik tidak selalu sejalan dengan karakteristik sang politisi. Amin Rais yang
Profesor Doktor dalam bidang ilmu politik ternyata tidak dijamin menang dalam
politik, sebaliknya sebagai ketua MPR ia malah harus melantik Megawati yang
tidak sarjana menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Idealisme politik tidak
menjamin kemenangan actual, dan memang idealisme justeru menguat ketika sering
berhadapan dengan realita politik yang terlalu pragmatis. Dibutuhkan kearifan,
kecerdasan, keuletan dan kesabaran serta keberanian dalam menghadapi realitas
politik yang cenderung pragmatis.
Politik dan Agama
Agama mempunyai
struktur vertical ke Tuhan Yang Maha Kuasa, sementara politik lebih berdimensi
horizontal bersaing antar manusia. Tetapi nyatanya ada partai politik yang
berbasis agama, Partai Islam, Partai Kristen dan sebagainya. Di Indonesia ada
PKS, PPP, PKB, PBB yang jelas sekali warna ke Islamannya. Bagaimana
sesungguhnya konsep polit5ik dalam Islam ?
Dalam bahasa Arab, politik
disebut dengan istilah siyasah. Ilmu agama (Islam) yang berbicara
tentang politk disebut fiqh as siyasah atau fiqih politik. Secara
akademik ilmu politik berdekatan dengan ilmu ushuluddin atau teologi,
oleh karena itu di IIUM (International Islamic University Malaysia) misalnya
jika seorang mahasiswa S2 mengambil program mayornya ilmuUshuluddin,maka
program minornya adalah ilmu politik. Jadi jika seorang sarjana alumnus
Fakultas Ushuluddin (Teologi) kemudian aktif dalam dunia politik, itu sudah
berada pada jalur yang benar. Politik berbicara tentang kekuasaan, sumber
kekuasaan adalah Tuhan,dan Ushuluddin atau Teologi adalah ilmu yang berbicara
tentang ketuhanan. Jadi berpolitik adalah juga ekpressi agama (ibadah) karena
manusia adalah khalifatulloh (wakil Tuhan) di muka bumi yang bertugas
menegakkan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia di bumi. Oleh karena itu
partai politik yang berbasis agama harus tunduk kepada akhlak mulia dalam
berpolitik. Jika melanggar ekhlak al karimah dalam berpolitik, ia bukan saja
diancam penjara di dunia tetapi diancam dengan hukuman neraka di akhirat nanti.
Politik dan
Psikologi
Definisi yang bersifat terapan menyatakan
bahwa Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan
mnegendalikan peristiwa mental dan tingkah laku manusia. ”psychology is the
sciense that attempts to describe, predict, and controle mental and behavioral
events”. Jadi psikologi juga bisa digunakan untuk memprediksi suatu peristiwa
sosial politik dan bahkan bisa digunakan untuk mengendalikan kekuatan politik.
Dengan psikologi seorang pemimpin bisa mengamankan kedudukan politiknya
sehingga tujuan-tujuan besar politik jangka panjang bisa tercapai. Pengabaian
terhadap psikologi bisa menyebabkan seorang pemimpin jatuh hanya dikarenakan
oleh kesalahan kecil tetapi berdampak (negatip) besar. Pengendalian politik sangat berhubungan dengan persepsi politik
publik. Kesalahan pendekatan psikologis dalam politik bisa melahirkan misspersepsi
yang solusinya juga hanya bisa dilakukan dengan membangun persepsi baru. Publik
terkadang bisa ditipu dengan politik pencitraan, tetapi persepsi yang terbangun
oleh plitik pencitraan biasanya sarat dengan bom waktu politik. Oleh karena itu
seorang pemimpin seyogyanya harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi
dan komitmen kuat yang dibuktikan dengan mampu memilih skala perioritas, yang
dengan itu citra politi8k akan terbangun secara real, bukan membangun politik
pencitraan.
Psikologi Barat
dan Psikologi Islam
Psikologi sebagai ilmu (lahir abad 18)
adalah produks dari peradaban Barat yang sekuler, oleh karena itu Psikologi
Barat atau Psikologi modern tidak mengenal Tuhan, akhirat bahkan tidak mengenal
baik dan buruk. Yang dikenali dalam Psikologi barat adalah sehat dan tidak
sehat secara psikologi. Kenapa ? karena
psikologi Barat hanya bersumber dari renungan intelektuil dan penelitian
empirik (laboratorium psikologi). Oleh karena itu wajar saja ketika teori
psikoanalisanya Freud dibantai habis oleh teori Behaviorisme, selanjutnya
disalip oleh teori Psikologi Kognitip dan baru muncul teori Psikologi Humanisme
yang sudah agak berdekatan dengan teori-teori Islam.
Sesungguhnya didalam al Qur’an dan
hadist banyak sekali disebut kata nafs (jiwa), tetapi para ulama
generasi awal lebih memandang jiwa dalam konteks hubungan vertikal dengan
Tuhan. Oleh karena itu ilmu yang lahir adalah ilmu akhlak dan ilmu
tasauf, dimana dapat dijumpai istilah nafs al muthma’innah (
jiwa yang tenang), nafs lawwamah (jiwa yang selalu menyesali
diri), nafs al musawwilah (jiwa yang secara umum sudah tenang
kecuali dalam menghadapi satu dua hal) dan nafs al ammarah (jiwa
yang condong kepada keburukan). Munculnya istilah Psikologi Islam justeru di
Barat (1950), yakni ketika mahasiswa muslim dari negeri2 Islam studi di Barat,
dan ketika berjumpa dengan ilmu Psikologi sebagaimana dikatakan oleh Prof. Malik Badri mengalami fase2 : (1)
infantuasi, kemudian (2) rekonsiliasi dan (3) fase emansipasi, yakni dari
terkagum-kagum, kemudian berusaha mencocdok-cocokkan dengan teori2 Islam dan
akhirnya kritis terhadap pandangan-pandangan psikologi modern. Di Indonesia
sendiri muncul istilah nafsiologi, kemudian Psikologi Islami, baru kemudian
Psikologi Islam.
Perbedaan Psikologi moderen (Barat)
dengan Psikologi Islam terletak pada wilayah dan metodolginya. Jika Piskologi
Barat wilayahnya hanya (1) menguraikan (2) memprediksi (3) mengendalikan
perilaku manusia, maka Psikologi Islam menambah dengan (4) membentuk perilaku yang
baik dan (5) mendorong jiwa agar merasa dekat dengan Tuhan. Demikian juga dari
segi sumber, jika Psikologi Barat
bersumber dari renungan intelektuil dan laboratorium empirik, Psikologi
Islam bersumber dari apa kata Sang Pencipta tentang manusia, seperti yang
terkandung dalam al Qr’an dan dijelaskan oleh hadis. Metode yang digunakan
adalah tafsir maudhu`i atau tafsirf tematik Sudah barang tentu teori2 Psikologi
Barat juga digunakan sebagai pembanding dan pembantu dalam memahami teks.
Read More