Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, May 31, 2009

Bangsa Besar dan Pemimpin Besar
Dari segi luas wilayah, sumberdaya alam dan jumlah penduduk, Indonesia adalah Negara besar. Tetapi Negara besar tidak otomatis disebut sebagai bangsa besar. Bangsa besar itu ditandai oleh peradabannya yang tinggi, atau oleh ekonominya yang kuat, atau oleh kekuatan militernya yang tak terkalahkan. Dari tiga ukuran tersebut maka Indonesia belum masuk kategori bangsa besar.

Untuk menjadi bangsa besar,dibutuhkan fikiran besar dan langkah besar. Fikiran dan langkah besar biasanya muncul dari orang besar atau pemimpin besar. Dalam sejarah pemimpin besar lahir dari kancah revolusi, atau dari problem besar bangsa yang harus diatasi. Jika ada seorang pemimpin yang telaten dan sabar hingga mampu mengatasi kesulitan besar itu maka pada akhirnya ia diakui menjadi pemimpin besar.

Ciri pemimpin besar adalah citarasa dan perhatiannya jauh menembus sekat ruang dan waktu. Ruang kerjanya mungkin hanya 50 meter persegi, tetapi perhatiannya menggapai ke seluruh wilayah negeri. Waktu menjabatanya hanya lima tahun, tetapi yang difikirkan adalah untuk kepentingan bangsa 50 – 100 tahun ke depan.

Pemimpin itu ada yang hadir tepat waktu, ada yang kedaluarsa dan ada yang datang mendahului waktu. Pak Harto misalnya, muncul tepat waktu pada tahun 1965. Sosok yang sorot matanya tajam, tegas, senyumnya nampak malu-malu tetapi kemauannya tak bisa dilawan, tepat untuk menghadapi krisis bangsa akibat pengkhianatan G.30.S PKI. Pak Hartopun menjadi pemimpin besaar yang mampu menghela bangsa keluar dari krisis, dan mendorongnya hingga hampir tinggal landas. Akan tetapi karena Pak Harto kelamaan duduk dikursi kepresidenan (32 tahun) dengan demokrasi yang direkayasa, maka akhirnya Pak Harto menjadi pemimpin yang kedaluarsa, pemimpin yang kehilangan kreatifitas, dan menjadi tidak relefan dengan problem bangsa. Akhirnya Pak Harto dijatuhkan oleh reformasi.

Gus Dur adalah contoh Pemimpin yang hadir mendahului zamannya. Ketika menjadi Presiden RI, banyak sekali gagasan dan langkahnya yang susah difahami oleh orang banyak, tetapi setelah lewat waktunya baru orang berkata,...ternyata yang bener Gus Dur ya ?

Siapakah pemimpin besar negeri kita sekarang ? Periode Pak Harto yang kepanjangan menyebabkan terjadi generasi yang hilang, lost generation. Pak Harto sangat tidak suka terhadap pesaing yang menonjol. Semua calon pemimpin yang potensil menjadi pesaing diberangus atau dikucilkan. Yang nurut ditampung di DPR atau di lembaga-lembaga lain. Nah ketika Pak Harto jatuh, tak satupun stok pemimpin yang masuk kategori pemimpin besar. Itulah sebabnya reformasi nggak selesai-selesai, produk reformasi melahirkan sistem yang tumpang tindih, nggak jelas siapa yang numpang dan siapa yang nindih.

Sejarah itu bukan hanya berlangsung tetapi juga bisa dirancang. Pemimpin besar itu juga bukan hanya lahir, tetapi juga bisa dilahirkan. Oleh karena itu kini bangsa harus secara sadar memproses sistem agar melahirkan peluang pemimpin menjadi pemimpin besar. Mungkinkah ?? belajarlah kepada sejarah. Langkah besar suatu bangsa terkadang dirancang secara iseng-iseng di warung kopi hanya oleh beberapa orang. Dinamika nasional yang begitu dahsyat terkadang hanya digerakkan oleh energi 2,5 %. Yang penting adalah adanya kemauan luhur, bukan persekongkolan jahat. Indonesia merdeka adalah atas berkat rahmat Allah disertai keinginan luhur bangsa, begitu kata preambul UUD 45.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, May 27, 2009

Jiwa Menurut Term Nafs
Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian. Dalam bentuk mufrad,nafs disebut 77 kali idlafah dan 65 kali dalam bentuk idlafah. Dalam bentuk jamak nufus disebut 2kali, sedang dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali. Sedangkan kata tanaffas,yatanaffasu dan al-muianaffisu masing-masing hanya disebut satu kali.

Dalam bahasa Arab, kata nafs mempunyai banyak arti, tetapi yang menjadi obyek kajian dalam tulisan ini adalah nafs seperti yang dimaksud dalam al-Qur’an. Term nafs dalam al-Qur’an semuanya dusebut dalam bentuk ism atau kata benda, yakni nafs, nufus dan anfus. Sedangkan kata (ARAB) dalam surat al-Takwir / 83:26 (ARAB) dan kata (ARAB) dalam surat al-Muthaffin /83:26 (ARAB) meskipun kata-kata itu berasal juga dari kata nafasa / nafasu, dalam kata jadian seperti itu mempunyai arti yang tidak berhubungan langsung dengan nafs.

Sastra Arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut dari atau seseorang, sementara kata roh digunakan untuk menyebut nafas dan angin. Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara roh digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada priode sesudah al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata nafs digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan roh secara silang, dan keduanya digunakan untuk mentebut rohani, malaikat dan jin.

Bahasa Arab juga menggunakan istilah nafsiyun dan nafsaniyun menyebut hal-hal yang berhubungan dengan nafs.

Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna:

1. Nafi, sebagai diri seseorang, seperti yang tersebut dalam surat Alu ‘Imran /3:61, surat Yusuf /12:54 dan surat al-Dzariyat / 51:21.

2.Nafs, sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12, 54.

3. Nafs person sesuatu, dalam surat al-Furqan / 25:3 dan surat al-An’am / 6:130.

4. Nafs sebagai roh, surat al-Qn’am / 6:93.

5. Nafs sebagai jiwa,surat al-Syams / 91:7 dan surat al-Fajr / 89:27 .
6. Nafs sebagai totalitas manusia, surat al-Ma’idah / 5:32, dan surat al-Qashash / 28:19, 33.

7. Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku,surat al-Ra’d / 13:11 dan al-Anfal / 8:53.

Dalam konteks manusia, di samping penggunaan nafs untuk menyebut totalitas manusia,banyak ayat al-Qur’an yang mengisyatatkan gagasan nafs sebagai sesuatu di dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sisi dalam manusia, sebagai lawan dari sisi luarnya.

Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya sisi luar dan sisi dalam manusia antara lain adalah sebagai berikut:

Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-nya ada kurangnya. (Dialah) yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang melahirkan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapannya itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Q., s. al-Ra’d / 13:8-11).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, May 19, 2009

Menghayati Kekuasaan Allah SWT
Pada tahun 1988, saya beruntung tinggal bersama mujahidin Afganistan yang sedang seru-serunya bertempur mengusir penjajah kafirUni Sovyet. Mujahidin yang kelelahan itu dibawa ke garis belakang untuk mengikuti program rehabilitasi mental seperti penataran, selama tiga bulan, atas biaya Saudi Arabia, bertempat di Mesir.Banyak kisah spektakuler dan ajaib saya dengar, persis seperti kisah para pejuang Hizbullah di Indonesia dulu melawan penjajah Belanda. Jika kisah Hisbullah pada bagaimana bamboo runcing melawan senjata modern Belanda, kisah ajaib mujahidin pada bagaimana dua pul;uh mujahidin bisa menakut-nakuti seribu tentara Sovyet hingga mereka menyerah.. Mereka tidak merasa hebat tetapi merasa ditolong Tuhan yang Maha Hebat.

Dari Kairo saya beruntung bisa ke Makkah untuk umroh, dan ini merupakan kali pertama saya bisa menziarahi kota Suci Makkah. Ada kisah ajaib yang saya alami di dekat ka’bah. Waktu itu musim umroh padat, meski bukan musim haji tetapi jamaah umroh sangat padat. Ketika tiba giliran thawaf, saya yang merasa masih muda dan sehat bertekad ingin bisa mencium hajar aswad setiap kali putaran. Dalam hati saya berkata, ah masa nggak bisa? Bismillah saya mau cium hajar aswad tujuh kali, selama tujuh putaran thawaf..

Putaran pertama lancar,saya bisa leluasa mencium hajar aswad. Begitu juga putaran kedua dengan mudah saya bisa mencium hajar aswad. Mulailah timbul di dalam hati perasaan ujub, apa sih sulitnya mencium hajar aswad, toh mudah saja, saya heran kok banyak orang ceritera sulit sekali menciumnya. Pada putaran ketiga setelah berhasil menerobos antrian dan desakan, ketika tinggal selangkah lagi ke hajar aswad, tiba-tiba di depan saya ada seorang kakek-kakek yang juga sedang berusaha mencium hajar aswad.. Jika saya maju sedikit saja,maka saya yang bisa mencium dan mungkin kakek itu akan terdesak ke belakang. Tetapi ketika itu timbul suara hati nurani, mengapa harus berusaha mencium, bukankah memberi peluang kepada orang lain,apalagi kepada kakek-kakek yang sudah uzur,nilainya lebih utama dibanding mencium sendiri ¿? Tafaddol ya syaikh, begitu saya mempersilahkan orang tua itu mencium hajar aswad, biarlah saya sesudahnya. Tiba-tiba datang desakan keras dari jamaah samping dan belakang. saya terlempar sebelum sempat menciumnya, Setelah itu saya sulit sekali untukbisa mendekati hajar aswad. Sudahlah biarkan, kata saya di dalam hati,nanti pada putaran ke empat harus bisa. Subhanalloh, ternyata pada putaran-putaran berikutnya, setiapkali sudah di depan hajar aswad, selalu ada orang yang harus saya dahulukan,orang tua atau wanita. Begitulah terus hinggá putaran ke tujuh saya tidak lagi dapat mencium hajar aswad. Terbayang, seadainya ini antrian beli karcis bioskop atau antrian untuk dapat sesuatu, mungkin saya all out harus dapat, tetapi di ka`bah semangat harus dapat itu sirna,karena mengutamakan orang lain justeru lebih bernilai.

Setelah sa`i sengaja saya duduk di dekat ka`bah, tafakkur sekaligus melihat jamaah yang sedang berdesak-desakan tawaf. Ketika itu saya menjumpai seorang jamaah infalid, ia tidak bisa berdiri karena kakinya kecil dan tidaklurus,maka ia bertawaf sambil merangkak, juga mengambil jarakyang agak jauh dari ka`bah karena menghindari kerumunan besar. Saya tertarik kepada orang cacad tersebut, dan dalam hati saya berkata,bagaimana dia mau cium hajar aswad, saya saja susah.

Pas mendekati arah hajar aswad, dia duduk dan berdoa.Dalam batin saya dia berdoa, ya Alloh,sesungguhnya saya ingin mencium hajar aswad seperti orang-orang lain, tapi ya Alloh, tubuhku tidak mengizinkan. Saya tidak kecewa ya Alloh, Kau izinkan aku yang cacad ini ke ka`bah pun sudah sangat aku syukuri.

Rupanya rintihan jiwanya didengar Tuhan. Tuhan kemudian mengggerakkan hati seorang lelaki yang besar dan kuat. Orang itu menghampiri si invalid itu,mengangkatnya dan membawanya ke hajar aswad, sambil berteriak minta jalan. Ajaib, bagaikan seorang pejabat tinggi lewat , semua orang menyingkir untuk memberi jalan kepada si invalid menuju hajar aswad. Usai mencium ia dibopong kembali ke tempat yang tidakpenuh sesak.Saya melihat ia sujud dan bangun takbir berulang-ulang menysukuri nikmanya mencium hajar aswad. Saya tertarik mengikuti gerak lanjut si invalid. Eh rupanya,pada setiapputaran selalu ada orang yangmengangkat tubuhnyauntukmenciumhajar aswad.

Hati saya bergetar,ya Alloh, Engkau telah menunjukkan kekuasaan MU, yang lemah menjadi kuat, yang kuat menjadi tak berdaya. Saya yang sehat hanya bisa mencium hajar aswad dua kali, sementara si invalid justeru lengkap tujuh kali menciumnya, dengan pertolongan Alloh.

Saya tertunduk merenungkan sejarah, pasang surut sejarah, dan kita dapati betapa seringnya kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar,atas izin Alloh. Kam min fiatin qalilatin gholabat fiatan katsiratan bi iznillah..kata alQur’an.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, May 18, 2009

Wacana Psikologi Islami
Belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah nama psikologi Islami atau psikologi Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbeda dengan disiplin ilmu sejarah Islam, Filsafat Islam atau hokum Islam-Ilmu psikologi Islam seperti halnya sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains. Kebaruan ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs atau jiwa-belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda. Psikologi, meskipun secara lughawi adalah psyche (jiwa, roh) dan logos (ilmu)-seharusnya adalah ilmu yang berbicara tentang jiwa sehingga dalam bahasa Indonesia juga disebut Ilmu Jiwa-tetapi psikologi tidak membicarakan jiwa, melainkan perbuatan sebagai gejala dari jiwa.

Sebagai disiplin ilmu baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18M, tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, ia mengatakan bahwa jiwa itu adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata. Kajian tentang nafs di Yunani selanjutnya menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani.

Runtuhnya peradaban Yunani Romawi, memberi peluang kepada pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah. Melalui gerakan penerjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan oleh para pemikir Islam terutama pada masa Dawlah Abbasiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya, dan selanjutnya melalui peradaban Islamlah Barat menemukan kembali kekayaan keilmuan yang telah hilang itu.

Pemahaman tantang nafs oleh para ulama generasi pertama tidak diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al-Quran dan hadits. Kata nafs disebut alQuran lebih dari 300 kali. Demikian juga dalam hadits nafs banyak disebutkan. Seperti telah diuraikan secara panjang lebar dalam bab 3 dan 4, nafs juga disebut alQuran dengan term lain, yaitu qalb, ‘aql, rûh dan bashirah. Dalam kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs yang berkembang bukan psikologi tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat tercela yang perlu disucikan (tazkiyah an nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs muthma-innah). Di sayap lain para failasuf Muslim juga terpengaruh oleh pemikiran Yunani dalam membahas nafs dan roh sehingga kubu filsafat Islam diwakili oleh Ibn Rusyd, yang terlibat perdebatan akademik berkepanjangan dengan al-Ghazâli dari kubu Ilmu Kalam dan tasawuf. Dalam kurun waktu lebih dari tujuh abad, nafs dibahas di dunia Islam dalam kajian yang bersifat sufistik dan falsafi.

Setelah dunia Islam jatuh dalam cengkeraman penjajahan Barat dan selanjutnya berada dalam di bawah pengaruh budaya sekuler Barat, banyak mahasiswa Muslim yang tergila-gila terhadap semua aspek peradaban yang datang dari Barat. Menurut Dr. Malik B. Badri, ada tiga fase perkembangan sikap psikolog muslim terhadap psikologi modern yang berasal dari Barat, yaitu (1) fase infantuasi, (2) fase rekonsiliasi dan (3) fase emansipasi.

Pada fase pertama mahasiswa muslim tergila-gila kepada teori psikologi dan tekniknya yang memikat. Mereka mengikuti sepenuhnya teori-teori psikologi modern tanpa kritik. Pada fase kedua mereka sudah mulai mencocok-cocokkan apa yang ada dalam teori psikologi dengan apa yang ada dalam alQuran. Mereka beranggapan bahwa di antara keduanya tidak ada pertentangan. Pada fase terakhir, mereka makin bersifat kritis terhadap pandangan-pandangan psikologi modern dan mengalihkan perhatiannya pada alQuran, hadits dan khazanah klasik Islam yang ternyata juga membahas nafs dan manusia. Tentang khazanah klasik menurut Imam Abu Manshur al-Tha’libî, ditemukan ada lima puluh kata yang digunakan kaum Muslimin untuk menyatakan tingkat perkembangan manusia seperti janin, walid, radi’i, baligh, murahiq dan lain-lain.

Pada akhirnya mereka mulai menyadari ketika mengkaji psikologi, mereka merasa sebagai Muslim yang psikolog, bukan psikolog yang kebetulan Muslim. Pandangan psikologi modern yang dipandang secara kritis terutama yang berhubungan dengan pandangan teori psikoanalisa dan behaviorisme karena kedua teori itu merendahkan martabat manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, sementara teori yang humanistik dipandang mendekati pandangan Islam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, May 15, 2009

Jiwa Menurut Term Nafs
Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata jadian. Dalam bentuk mufrad,nafs disebut 77 kali idlafah dan 65 kali dalam bentuk idlafah. Dalam bentuk jamak nufus disebut 2kali, sedang dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali. Sedangkan kata tanaffas,yatanaffasu dan al-muianaffisu masing-masing hanya disebut satu kali.


Dalam bahasa Arab, kata nafs mempunyai banyak arti, tetapi yang menjadi obyek kajian dalam tulisan ini adalah nafs seperti yang dimaksud dalam al-Qur’an. Term nafs dalam al-Qur’an semuanya dusebut dalam bentuk ism atau kata benda, yakni nafs, nufus dan anfus. Sedangkan kata (ARAB) dalam surat al-Takwir / 83:26 (ARAB) dan kata (ARAB) dalam surat al-Muthaffin /83:26 (ARAB) meskipun kata-kata itu berasal juga dari kata nafasa / nafasu, dalam kata jadian seperti itu mempunyai arti yang tidak berhubungan langsung dengan nafs.

Sastra Arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut dari atau seseorang, sementara kata roh digunakan untuk menyebut nafas dan angin. Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara roh digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada priode sesudah al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata nafs digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan roh secara silang, dan keduanya digunakan untuk mentebut rohani, malaikat dan jin.

Bahasa Arab juga menggunakan istilah nafsiyun dan nafsaniyun (menyebut hal-hal yang berhubungan dengan nafs.

Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna:

1.Nafi, sebagai diri seseorang, seperti yang tersebut dalam surat Alu ‘Imran /3:61, surat Yusuf /12:54 dan surat al-Dzariyat / 51:21.

2. Nafs, sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12, 54.

3. Nafs person sesuatu, dalam surat al-Furqan / 25:3 dan surat al-An’am / 6:130.

4. Nafs sebagai roh, surat al-Qn’am / 6:93.

5. Nafs sebagai jiwa,surat al-Syams / 91:7 dan surat al-Fajr / 89:27.

6. Nafs sebagai totalitas manusia, surat al-Ma’idah / 5:32, dan surat al-Qashash / 28:19, 33.

7. Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku,surat al-Ra’d / 13:11 dan al-Anfal / 8:53.

Dalam konteks manusia, di samping penggunaan nafs untuk menyebut totalitas manusia,banyak ayat al-Qur’an yang mengisyatatkan gagasan nafs sebagai sesuatu di dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sisi dalam manusia, sebagai lawan dari sisi luarnya.

Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya sisi luar dan sisi dalam manusia antara lain adalah sebagai berikut:

Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-nya ada kurangnya. (Dialah) yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang melahirkan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapannya itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Q., s. al-Ra’d / 13:8-11).

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, May 13, 2009

Fitrah Nafs
Dalam nafs manusia ada potensi yang diciptakan secara fitri, berfungsi sebagai penggerak tingkah laku manusia. Penggerak tingkah laku mempunyai peranan penting dalam kegiatan manusia sekurang-kurangnya dalam dua hal. (1) mewarnai corak tingkah laku manusia, dan (2) menentukan makna atau nilai dari perbuatan yang dilakukan orang dalam hidupnya.

Penggerak tingakh laku seseorang tidak dapat diketahui secara langsung melalui perbuatan yang dilakukan, karena ia bekerja dalam sistem nafs pada sisi dalam manusia. Di dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan yang menuntut memperoleh pemuasan, dan dorongan-dorongan itu akan tampak jika bertemu dengan stimulus yang sesuai, dan selanjutnya dorongan-dorongan itu bersama dengan tabiat nafs lainnya menentukan bagaimana merespons atas stimulus tersebut. Nafs yang sehat dimungkinkan untuk bisa mengendalikan dorongan-dorongan itu sehingga berwujud pada tingkah laku negatif, ia berpontensi untuk mempengaruhi seseorang hingga berwujud pada tingkah laku yang yang tidak terkendali.

Pertentangan antara keinginan integritas dirinya sedemikian rupa. Dalam keadaan demikian orang dapat terbalik pikirannya sehingga apa yang mustahil sebagai satu hal mungkin, masalah yang bernilai buruk dapat diterima oleh logika dan sistem nilai jiwanya, ada apa yang tidak wajar tampak menjadi sesuatu yang wajar.

Dalam al-Qur’an, gagasan tentang faktor-faktor penggerak tingkah laku (motif) berhubungan dengan apa yang disebut syahwah, hawa dan firhrah. Motif dalam al-Qur’an tidak disebut secara langsung dengan term, tetapi dengan term syahwah, hawa, fithrah dan uslub lainnya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, May 03, 2009

Sebuah Model Solidaritas Ideal
Hampir tidak ada orang Islam yang belum pernah mendengar nama Ansor dan Muhajirin. Kedua nama tersebut terabadikan dalam al Qur'an dan tersebut dalam teks-teks doa. Muhajirin artinya orang-orang yang hijrah. Yang dimaksud orang-orang Muhajirin dalam al Qur'an adalah penganut Islam generasi awal yang demi me¬melihara imannya dan menghindar dari gangguan musuh meninggalkan kampung halamannya di Makkah berhijrah ke Madinah. Sedangkan Ansor yang artinya penolong digunakan untuk menyebut penduduk Madinah generasi Islam pertama yang bersedia menerima hijrahnya Nabi dan pengikutnya (Muhajirin Makkah).

Kedua kelompok itu akhirnya menjadi pilar masyarakat Madinah yang mengantar sejarah Islam sampai menjadi kekuatan adidaya pada masanya. Baik Muhajirin maupun Ansor, keduanya memiliki tokoh-tokoh besar yang kemudian berperan dalam sejarah. Sebenarnya tabiat penduduk Makkah berbeda dengan penduduk Madinah. Orang Makkah yang pada umumnya pedagang bertabiat keras, lugas dan agak kasar. Sedangkan orang Madinah yang agraris pada umumnya lembut dan ramah. Kaum Muhajirin datang dalam jumlah besar ke Madinah sebagai pengungsi tanpa sempat membawa harta, satu hal yang potensil menimbulkan masalah sosial. Tetapi format persaudaraan antara pendatang (Muhajirin) dan pribumi (Ansor) dibentuk sedemikian rupa oleh Rasulullah sehingga menyatu dalam satu komunitas muslim.

Dalam sebuah dokumen tertulis (Sahifah) seperti yang disebut Ibn Hisyam dan Sirah Nabawiyyah, Nabi menetapkan batasan hubungan berikut hak dan kewajiban yang secara tradisionil telah melekat antara Muhajirin Quraisy dan Ansor Madinah di satu pihak dengan orang-orang Yahudi di pihak lain. Dokumen itu mengatur tata pergaulan semua pen-duduk menyangkut pidana, perdata dan politik.

Yang sangat menarik ialah bagaimana hubungan Muhajirin dan Ansor diatur dalam format persaudaraan (mu'a khah) laiknya saudara seketurunan. Abu bakar Siddik misalnya dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zuhair. Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan 'Itban bin Malik, Abu 'Ubaidah Abdulla al Jarrah di¬persaudarakan dengan Asmah 'Amir bin Abdullah, begitu seterusnya sehingga tak seorang Muhajirin¬pun yang tidak memiliki saudara di Madinah. Persaudaraan yang diikat dengan nama Allah ini telah mewujudkan hubungan solidaritas yang sangat tinggi, misalnya orang Ansor membagi harta¬nya menjadi dua, separoh untuk dirinya dan separoh lain untuk saudara barunya dari Muhajirin.

Hubungan persaudaraan seiman itu menjelma bagaikan persaudaraan seketurunan. Barangkali model hubungan ukhuwwah Ansor-Muhajirin ini merupa-kan model ideal yang tak pernah terulang dalam masyarakat sesudahnya hingga sekarang, meski Al Qur’an menganjurkan untuk diteruskan. Itulah mengapa al Qur’an menggunakan kata ikhwah yang artinya saudara seketurunan dan bukan kata ikhwan, dalam ayat innamal mu’minuna ikhwah, yang artinya; bahwasanya antara orang-orang mu’min itu ada hubungan persaudaraan’ dengan harapan bahwa meskipun mereka bukan saudara seketurunan tetapi hendaknya hubungan seiman itu menyerupai hubungan seketrununan. Al Qur’an memuji kaum Ansor, yang meski dalam keadaan sulit tetapi tetap solider, terhadap kesulitan orang lain.

Wayu' tsiruuna 'alaa anfusihim walau kaana bihim khashaashash. (QS/59:9)

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger