Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, August 26, 2009

Fungsi Zakat
Zakat adalah satu dari rukun Islam yang lima, artinya zakat merupakan sendi agama. Bentuk zakat adalah memberikan sebagian harta secara reguler kepada orang lain yang berhak, ada yang setahun sekali setiap Idul Fitri (zakat fitrah), ada yang setiap panen (zakat pertanian) ada yang setiap tutup buku (perdagangan) dan ada yang setiap berjumpa obyeknya (zakat barang temuan/harta karun). Bagi pembayar, zakat sebagaimana arti bahasa dari kata zakat mengandung arti suci dan tumbuh, yakni orang yang patuh membayar zakat , hatinya dididik menjadi suci, yakni hatinya sedikit-sedikit dilatih untuk tidak terbelenggu oleh harta karena memberi kepada orang lain merupakan latihan jiwa membuang sifat tamak, menanamkan kesadaran bahwa didalam harta miliknya ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Harta pun menjadi suci karena terbebas dari apa yang bukan miliknya.

Menurut al Qur'an, di dalam harta si kaya terkandung hak-hak orang lain, yang meminta dan yang tidak berani meminta. wa fi amwalihim haqqun li as saili wa al mahrum. Jadi zakat memang milik mustahiq yang harus dibayarkan, jika tidak dibayarkan maka berarti si kaya menahan hak-hak orang miskin yang berhak, dan perbuatan itu searti dengan korupsi. Zakat juga mengandung arti tumbuh, yakni bahwa harta yang dizakati akan tumbuh berkembang secara sehat seperti pohon yang rindang, indah dipandang mata, bisa untuk berteduh orang banyak dan buahnya bermanfaat.

Zakat merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Prinsip dasar syariat Islam adalah memperkecil beban, oleh karena itu zakat bersifat ringan, hanya 2,5 % (zakat niaga/kekayaan), 5 % (zakat produksi pertanian padat modal) , 10 % (zakat produksi pertanian tadah hujan dan 20 % (zakat barang temuan atau rejeki nomplok). Zakat dipusatkan pada membayar, bukan pada menerima, oleh karena itu zakat lebih merupakan shok terapi bagi pemilik harta agar tidak serakah memonopoli kekayaan.

Zakat tidak relefan dengan pengentasan kemiskinan karena jumlahnya yang sangat sedikit. Oleh karena itu sebagaimana disamping salat wajib juga dianjurkan salat sunnat yang bermacam-macam dan jauh lebih banyak dibanding salat wajib, maka disamping kewajiban berzakat, pemilik harta dianjurkan untuk memberi sedekah dan infaq. Shadaqah adalah pemberian yang diberikan kepada fakir miskin dengan niat ibadah.

Fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak pula memiliki harta untuk membiayai hidupnya, sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk membiayai hidupnya secara 'pantas'. Jika zakat hanya diwajibkan kepada orang kaya, sadaqah bukan saja dianjurkan kepada orang kaya tetapi juga dianjurkan kepada orang miskin. Jika zakat ditentukan obyeknya, tarifnya dan mustahiqnya, maka sedekah tidak dibatasi jumlahnya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 23, 2009

Makna Shodaqoh dan Zakat
Kata sadaqah ada hubungannya dengan kata shadiq-shidaqah yang berarti persahabatan. Maknanya orang yang gemar sedekah akan memperoleh banyak sahabat, terutama dari orang yang menerima sedekah itu. Shadaqah juga berhubungan dengan kata shidq yang artinya benar atau jujur, maknanya bahwa pemberian shadaqah akan menumbuhkan persahabatan yang benar, persahabatan yang dilandasi oleh nilai kejujuran bukan persahabatan palsu. Suap juga merupakan pemberian, bahkan biasanya pemberian dalam jumlah besar, tetapi praktek suap tidak akan melahirkan persahabatan yang benar dan jujur, sebaliknya jika tujuan suap tidak tercapai, penyuapan akan berbuntut menjadi permusuhan.

Memang zakat, infaq dan sadaqah bisa dimenej menjadi potensi ekonomi masyarakat, tetapi psikologi zakat infaq dan sedekah lebih pada penjalinan hubungan antar manusia dalam keluarga, hubungan pertetanggaan dan pembinaan masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu dalam agama ditetapkan tiga perioritas penerima zakat dan sedekah, yaitu orang miskin, tetangga dekat dan kerabat. Jika banyak orang miskin sementara yang disedekahkan sedikit, utamakan untuk orang miskin yang masih ada hubungan kerabat dekat dan orang miskin yang menjadi tetangga dekat. Nabi bahkan menganjurkan agar jika di rumah memotong ayam (atau yang lain), perbanyak kuahnya ketika memasak agar bisa memberi tetangga. Nabi bahkan menekankan agar tidak malu memberi tetangga meski hanya 'ceker ayam'. Mengapa ?, tradisi saling memberi makanan antar tetangga , meski hanya makanan sederhana sangat besar peranannya dalam mengeratkan hubungan sosial. Sebaliknya pemberian bergengsi mungkin justeru memberatkan kepada yang menerima karena ia dibebani perasaan harus membalas dengan pemberian yang gengsinya setara.

Jadi zakat merupakan konsep dasar dari pembangunan kesejahteraan sosial yang harus dikembangkan secara cerdas, sejalan dengan tradisi masyarakat . Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa zakatnya rumah adalah menjamu tamu. Ajaran ini bisa dikembangkan misalnya, zakatnya mobil pribadi adalah pada sekali-sekali mengantarkan tetangga yang membutuhkan angkutan . Begitulah seterusnya sehingga pada setiap harta, disadari bahwa di dalamnya ada hak orang lain. Sosiolog Ibnu- Khaldun bahkan memperkenalkan istilah produk seribu orang, yakni bahwa dalam setiap benda yang kita miliki, kata Ibn Khaldun, proses keberadaanya telah melibatkan seribu orang. Kursi kayu yang kita duduki misalnya telah melibatkan penanam kayu, penebang kayu, pembuat alat pertukangan, tukang kayu, pembuat pelitur, pemelitur, pembuat paku, pengali tambang biji besi sampai kepada angkutan yang membawa kursi itu ke rumah. Angka seribu yang diperkenalkan Ibn Khaldun bukan angka matematik tetapi untuk menunjukan betapa banyaknya orang yang terlibat dalam proses kehadiran suatu benda, oleh karena itu kata Ibn Khaldun, setiap benda memiliki fungsi sosial.

Ada tiga format pemberian dengan nama yang berbeda, yaitu hadiah, hibah dan sedekah. Hadiah adalah pemberian dari orang kecil kepada orang yang dihormati. Misalnya persatuan guru SD memberi hadiah kepada Gubernur, sebuah produk kerajinan yang dilakukan oleh murid-murid SD Teladan. Hibah adalah pemberian dari seseorang kepada orang yang setara tingkatnya, pemberian yang bersifat persahabatan atau solidaritas sesama teman. Sedekah adalah pemberian dari orang yang lebih kuat kepada orang yang lebih lemah. Orang yang memiliki uang seratus ribu tetapi berani bersedekah sembilanpuluh ribu, adalah termasuk orang kuat dibanding orang yang memiliki sejuta rupiah tetapi tidak mampu bersedekah dalam jumlah yang sama.

Dalam Islam diajarkan bahwa sedekah akan menghilangkan bala (bencana), as- shadaqatu tadfa`u al bala'. Maknanya orang yang gemar memberi, ia akan memiliki banyak teman dan dicintai orang banyak secara jujur. Oleh karena itu setiap kali datang gangguan datang kepadanya, orang banyak akan datang ramai-ramai membantunya sehinga ia terhindar dari bencana yang tak diinginkan.

Kemampuan memberi tidak mesti berhubungan dengan banyaknya kepemilikan. Ada orang yang hanya memiliki sedikit tetapi mampu memberi banyak, sementara ada orang yang banyak memiliki tetapi tidak mampu memberi walau sedikit. Kemampuan memberi berkaitan erat dengan cara berfikir. Ada orang memiliki kambing 99 ekor, ketika sedang menggembala berjumpa dengan seseorang yang sedang menggembalakan kambingnya satu ekor, karena hanya satu ekor itulah kambing yang dimiliki. Dalam pikiran pemilik 99 ekor, tanggung amat kau, kambing hanya satu, saya punya 99, maka yang ia pikirkan adalah bagaimana memindahkan yang satu ekor itu untuk menggenapkan kambingnya menjadi seratus. Seandainya ia berfikir untuk memberi maka akan ada rumus, biar kambingku genap, ini yang sembilan aku berikan padamu, aku punya 90 dan engkau punya 10.

Hasan al Banna, pendiri Ikhwan al Muslimin Mesir pernah memberi tiga nasehat yang sangat baik. Katanya : (a) berfikirlah untuk memberi agar orang lain memperoleh faedahnya (b) berfikirlah untuk selalu menanam agar orang lain bisa memetiknya, dan (c) bersusahpayahlah untuk memberi kesempatan orang lain beristirahat.

Nasehat ini sesungguhnya sangat mendalam, karena dibalik nasehat itu ada logika-logika yang bisa dijelaskan:

1. hendaknya semua orang dalam masing-masing kapasitasnya, sebagai pemimpin, sebagai anak buah, sebagai suami, sebagai isteri, sebagai orang tua, sebagai anak dan seterusnya berfikirlah untuk dapat memberi sesuai dengan posisinya, jangan hanya berfikir apa yang dapat saya peroleh. Bayangkan seandainya semua karyawan dalam suatu kantor selalu bertanya apa yang dapat saya ambil dari kantor ini, maka pasti tak lama kemudian kantor itu bangkrut. Begitupun negara kita akan bangkrut jika setiap aparat negara selalu berfikir apa yang dapat saya ambil dari negeri ini.

2. Hendaknya semua orang berfikir untuk menanam agar orang lain bisa memetiknya. Jika semua orang berfikir menanam untuk memetik sendiri, maka tidak ada orang tua yang mau menanam kelapa, karena tanaman kelapa biasanya baru bisa dipetik oleh generasi anaknya. Jika orang menanam hanya untuk dapat segera memetik buahnya maka orang lebih suka menanam bayam, tidak mau menanam pohon jati. Nasehat ini menjadi sangat mengena karena sesungguhnya semua yang kita petik (di pasar); buah-buahan, sayuran, dan beras adalah tanaman orang lain di tempat lain. Yang paling berbahaya adalah jika orang hanya berfikir memetik dan tidak mau menanam, seperti orang yang dengan rakus membabat hutan tanpa berusaha menanam kembali. Apa yang bisa ditanam ? Pohon-pohonan, ilmu pengetahuan dan jasa. Orang bijak berkata, barang siapa menanam pasti memetik, man zaro`a hashada, meski yang dipetik mungkin tanaman orang lain, di tempat lain dan di kurun waktu yang lain.

3. Hendaknya semua orang memusatkan perhatian untuk bekerja keras untuk memberi kesempatan orang lain beristirahat. Kenapa? karena sesungguhnya orang bisa istirahat juga jika ada orang lain yang susah payah bekerja. Penumpang bus Surabaya Jakarta bisa tertidur lelap karena ada supir yang tetap terjaga. Ibu-ibu bisa isterihat di rumah karena ada bapak dan ibu guru yang bekerja keras mengajar anak-anak mereka di sekolah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Saturday, August 22, 2009

Keteladanan Pemimpin
Di dalam Bulan suci Ramadhan ini patutlah menjadi sebuah refleksi betapa penting sebuah keteladanan seorang pemimpin berbasis akhlak. Akhlak dalam kacamata Imam Al-Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya.

Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khair, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma‘ruf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan. Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.

Seseorang dapat menjadi pemimpin (imam) dari orang banyak manakala ia memiliki (a) kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b) memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin (imam) adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qaumi khodimuhum). Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.

Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang adil (imamun ‘adilun) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur’an, dan juga hadis, sebagai pemimpin yang zalim. Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Hadis Riwayat Bukhari menempatkan seorang Pemimpin yang adil dalam urutan pertama dari tujuh kelompok manusia utama. Hadis Riwayat Muslim menyebutkan bahwa pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan iapun mencintai rakyatnya. Sementara pemimpin yang terburuk menurut Nabi, adalah pemimpin yang dibenci rakyatnya dan iapun membenci rakyatnya, mereka saling melaknat satu sama lain. Hadis lain menyebutkan bahwa dua dari lima golongan yang dimurkai Tuhan adalah (1) penguasa (amir) yang hidupnya ditopang oleh rakyat (sekarang-pajak), tetapi ia tidak memberi manfaat kepada rakyatnya, dan bahkan tidak bisa melindungi keamanan rakyatnya. (2) Pemimpin kelompok (za‘im) yang dipatuhi pengikutnya tetapi ia melakukan diskriminasi terhadap kelompok kuat atas yang lemah, serta berbicara sekehendak hatinya (tidak mendengarkan aspirasi pengikutnya). Hadis Riwayat Dailami bahkan menyebut pemimpin yang sewenang-wenang (imam jair) sebagai membahayakan agama.

Kisah Al-Qur'an yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang dimisalkan semut itu. (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik (uswah hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain. Tentang betapa tingginya nilai keadilan pemimpin, Hadis Riwayat Tabrani menyebutkan bahwa waktu satu hari efektif dari seorang imam yang adil setara dengan ibadah tujuhpuluh tahun.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, August 14, 2009

Hidup Menjadi Bermakna
Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain.

Manusia adalah makhluk psikologis yang menganut suatu makna. Dalam psikologi komunikasi ada ungkapan world don’t mean, people mean; kata-kata itu tak memiliki makna, manusialah yang memberi makna. Manusia adalah makhluk yang mampu memberi makna terhadap obyek. Obyek yang sama mungkin diberi makna berbeda-beda oleh orang yang berbeda. Senyum biasanya dimaknai sebagai keramahan, orang yang sedang sakit hati kepada seseorang, maka senyuman orang itu bisa dimaknai sebagai penghinaan atau ngeledek. Senyuman ibu tiri sering dimaknai buruk oleh anak tiri, berbeda dengan persepsi anak kandungnya. Senyuman yang sama berdampak menyejukkan bagi seseorang, dan mungkin berdampak menyakitkan bagi seseorang yang lain. Apa makna sesuatu bergantung kepada persepsi tentang fungsi dari sesuatu itu. Mata dipandang bermakna jika berfungsi untuk melihat, telinga dipandang bermakna jika berfungsi untuk mendengar, mobil dipandang bermakna jika berfungsi sebagai kendaraan, suami dipandang bermakna oleh isterinya jika ‘berfungsi’ sebagai suami, presiden dipandang bermakna oleh rakyat jika berfungsi sebagai pemimpin. Begitulah seterusnya segala sesuatu, tingkat bermaknanya bergantung kepada tingkat fungsionilnya

Manusia hidup di muka bumi memiliki berbagai fungsi, bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi masyarakatnya, bagi bangsanya, bagi dunia dan bagi alam sekitarnya. Ada orang yang merasa dirinya bermakna tetapi tidak dipandang bermakna oleh orang lain, sebaliknya ada orang yang merasa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tetapi orang lain sangat menghormatinya.

Ada orang yang tinggal berada dalam suatu lingkungan dalam waktu yang lama, tetapi kehadirannya tidak berpengaruh apa-apa bagi lingkungan masyarakatrnya maka ia tidak dipandang bermakna, hadirnya tidak membuat genap, dan absennya tidak membuat ganjil. Sebaliknya ada orang yang hanya melintas sebentar dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena kehadirannya membawa perobahan besar kepada tatanan masyarakat maka sepeninggal orang tersebut namanya masih selalu disebut, gagasannya masih selalu didiskusikan, pendapatnya masih selalu dirujuk orang. Waktu yang sebentar tetapi fungsional dalam membawa perubahan, maka kehadiran sebentar itu dipandang sangat bermakna, sehingga mungkin nama orang itu diabadikan dalam nama jalan atau gedung, atau bahkan banyak bayi lahir yang kemudian diberi nama dengan nama orang itu.

Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain. Pandangan hidup dipandu oleh konsep budaya dan oleh keyakinan agama. Budaya yang tinggi akan melahirkan makna penting dan besar, budaya yang rendah akan melahirkan makna yang rendah pula. Keyakinan agama yang lurus akan melahirkan kehidupan yang benar-benar bermakna, sementara akidah agama yang keliru atau sesat akan menyesatkan penganutnya pula dan berujung pada kehadiran yang tak bermakna atau bahkan merusak.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 12, 2009

Ekspresi Diri
Meski keyakinannya sama tetapi bagaimana ekpressi orang berbeda-beda. Dari penampilan lahir saja kita dapat melihat bagaimana orang beragama menunjukkan identitas keberagamaanya. Ada orang yang sepulang haji bukan saja senang dipanggil pak haji, tetapi bahkan mengubah cara berpakaiaanya, setiap hari memakai sorban atau topi haji lengkap dengan jubahnya. Yang lain ternyata biasa-biasa saja, tidak mencantumkan titel H. di depan namanya dan tidak pernah mengenakan sorban atau topi haji.


Sesunguhnya ekpressi keberagaman seseorang berpangkal pada cara dan corak berfikirnya tentang nilai-nilai keagamaan. Sebagaimana pemahaman al Qur'an terpola menjadi dua (1) tafsir bil ma'tsur atau tafsir riwayat dan (2) tafsir bir ra'yi, ekpressi keberagamaan juga dipengaruhi oleh penekanan pada (1) bentuk-bentuk keberagamaan dan (2) substansi keberagamaan. Semua agama memiliki dua pola itu.

Disamping kelompok pertama ada yang cenderung kepada substansi pakaian, yaitu menutup aurat, suci, pantas dan sederhana, sebagai nilai berpakaian Islami, sedangkan model, bahan dan assesoris dipandang sebagai sesuatu yang penting namun jauh lebih penting adalah akhlak yang memakai juga harus terhormat dan anggun, hatinya lembut, pemaaf dan berfikir konstruktif. Al Qur'an sendiri menutup ayat tentang busana muslim dengan kalimat, walibasut-taqwa dzalika khoir (Q/7:26) bahwa pakaian taqwa itulah yang lebih baik.

Jadi ada orang yang memilih mengekpressikan keberagamaanya secara lahir namun juga batinnya. antara lain, kejujuran, rendah hati, keadilan, kebersihan, peduli kepada kemanusiaan, rajin bekerja, meski penampilan lahirnya biasa-biasa saja.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, August 11, 2009

Makna Jamaah
Salat Jum`at diikuti oleh orang sekampung atau selingkungan dengan berjama`ah di masjid jami`, dikerjakan pada hari Jum`at. Apa sebenarnya makna dari salat jum`at itu ? dan kenapa harus berjamaah? Allah berfirman bahwa manusia (dan jin) dicipta tak lain agar mereka menyembah (beribadah) kepada Allah, wama khalaqtu al jinna wa al insa illa liya`budun (Q/51:56).

Menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah(la ilaha illa Allah) disebut tauhid, artinya mengesakan Allah. Salat merupakan ritus ibadah yang paling lengkap, terdiri dari gerak, bacaan dan doa. Sebagai syari`at agama, salat bukan saja menggambarkan tauhid, tetapi juga menyimbolkan tatanan ideal masyarakat manusia.

Manusia diciptakan Allah SWT berpasangan jenis, lelaki, perempuan, juga bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan segala keragamannya, tak lain adalah agar mereka saling mengenal dan memberi manfaat satu dan lainnya, lita`arafu (Q/49:13). Tatanan salat juga menyimbolkan bagaimana caranya masyarakat manusia mencapai maksud itu, yakni saling mengenal dan saling memberi manfaat.

Semua manusia dalam salatnya harus menghadap kiblat (arah) yang sama, dengan bacaan yang sama dalam bahasa yang sama (bahasa Arab). Untuk membangun kebersamaan, disyari`atkan berjamaah, yakni salat bersama dipimpin oleh seorang imam.

Layaknya kepemimpinan sosial, seorang imam disyaratkan 3 hal (1) fasih bacaannya, . (2) ilmu agamanya tertinggi diantara yang lain, dan (3) tertua usianya.

Ini adalah simbol persyaratan seorang pemimpin bangsa yakni (1) harus bisa berkomunikasi dengan rakyatnya, (2) memenuhi syarat standard keilmuan yang relevan, dan (3) senioritas.

Jika seseorang sedang mengimami, maka makmum di belakangnya harus patuh total kepada imam, tidak boleh mendahului dan tidak boleh tertinggal. Sebaliknya jika imamnya keliru, maka makmum boleh mengingatkan dengan membaca subhanallah. Jika imamnya batal, buang angin misalnya, maka ia langsung harus mengundurkan diri, digantikan oleh orang yang persis di belakangnya. Demikian juga dalam tatanan masyarakat,

jika seseorang telah dipilih menjadi pemimpin, maka rakyat harus menghormati dan mematuhi kepemimpinannya. Jika Pemimpin melakukan kesalahan, rakyat boleh menegur dan mengkritiknya, dan jika Pemimpin melanggar sumpah jabatannya (batal) maka seyogyanya ia langsung mengundurkan diri agar tidak terjadi gejolak, jangan menunggu dilengserkan oleh rakyat, karena melengserkan pemimpin itu membutuhkan biaya (ekonomi dan sosial) yang besar.

Sebagaimana tatanan masyarakat itu bertingkat-tingkat, maka syari`at berjamaah juga bertingkat-tingkat. Di dalam setiap rumah tangga seyogyanya ada salat berjama`ah, bapak menjadi imam dan istri dan anak-anak makmum di belakangnya. Pada salat lima waktu hendaknya ada salat jamaah di setiap masjid dan mushalla. Seminggu sekali kumpulan masyarakat yang lebih luas menyelenggarakan salat jum`at di masjid besar, disebut masjid jami`. Setahun dua kali lingkungan yang lebih luas melakukan salat jamaah di masjid agung atau di alun-alun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara geografis, setahun sekali duta-duta bangsa disyari`atkan berjamaah di tempat yang sama, yakni ibadah haji di Makkah al Mukarromah. Berjama`ahlah, karena di dalam berjama’ah terkandung banyak berkah. Wallohu a`lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, August 10, 2009

Kepemimpinan Dan Keteladanan
Al-Quran mengabadikan dalam banyak ayat-ayatnya sejumlah nama tokoh/pemimpin masyarakat dari ummat-ummat terdahulu, bukan saja pemimpin-pemimpin pahlawan perjuangan kebenaran dan keadilan seperti para nabi dan rasul, tetapi juga diabadikan nama tokoh-tokoh pemimpin kezaliman (ketidakbenaran dan ketidakadilan) seperti Firaun, Haman, Qorun, Namruz dan lain sebagainya. Kita semua ummat zaman akhir ini diajak berfikir dan mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu itu, di antaranya betapa perilaku yang berubah dalam diri para pemimpin (dari komitmen idealisme ke penyelewengan) berujung pada merajalelanya kezaliman dan penindasan (ketidakbenaran dan ketidakadilan), dan akhirnya menyeret mereka bersama-sama dengan ummatnya ke dalam suatu perubahan total dimana rakyat ditelan oleh krisis, yang disadari atau tidak mereka para pemimpin telah menjadi faktor penyebabnya. Al-Qur’an kemudian menjelaskan bahwa hal yang demikian yakni kehidupan jaya yang mereka nikmati berubah menjadi derita— terjadi disebabkan perubahan yang mereka lakukan atas sikap hidup dan perilakunya yang berujung pada kezaliman dan penindasan (Dzalika bi anna Allah lam yaku mughayyiran ni‘matan ’an‘amaha ‘ala qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim, al-Anfal ayat 53).

Dengan merujuk petunjuk Al-Quran tersebut di atas, dapat kita lihat betapa faktor peran pemuka masyarakat menjadi penting dalam suatu perubahan yang terjadi atas sesuatu masyarakat dari suatu kondisi positif beralih ke kondisi negatif. Oleh karena itu, upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal krisis-krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa ini, haruslah bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Upaya ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin-pemimpin masyarakat/pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat (ulama dan umara).

Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup BERSIH, SEDERHANA, dan MENGABDI. Yang lebih penting lagi bagi ulama dan umara adalah upaya menjadikan dirinya (kehidupan pribadinya) suatu keteladanan dan pencerminan yang meyakinkan bahwa penerapan pola kehidupan yang Bersih, Sederhana dan Mengabdi yang merupakan wujud nyata dari moralitas luhur (Akhlak Mulia) itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, maka masyarakat akan percaya kepada pemuka atau pemimpinnya. Pola hidup BSM (Bersih, Sederhana dan Mengabdi) itu yang perlu dimasyarakatkan dengan kepeloporan para ulama dan umara hingga menjadi moral ekonomi, moral politik dan moral hukum, dan terus diupayakan pengembangannnya di sektor-sektor kehidupan lainnya sehingga pada saatnya menjadi Akhlak Bangsa dan Moral Nasional sebagai landasan Pembangunan Nasional. Umara (Para Pemuka Pemerintahan dan Pemuka-Pemuka lainnya) perlu berupaya menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi pemasyarakatan dan penyebarluasan pesan-pesan moral (yang terutama ditangani para ulama). Juga dipandang perlu, ulama dan umara secara bersama-sama menyatakan perang terhadap kejahatan dalam suatu kampanye antikejahatan, yang membina terus-menerus upaya menegakkan kedaulatan moral menjadi bagian dari kedaulatan rakyat. Insya Allah taufiq dan ma‘unah-Nya akan senantiasa menyertai bangsa Indonesia.

Sebagai makhluk sosial budaya, menusia mengenal lembaga kepemimpinan, termasuk ketika menjalankan ritual ibadah. Dalam bahasa Arab, pemimpin disebut dengan istilah imam, amir, za`im, ra’is, dan qa’id, tetapi istilah imam dipergunakan untuk menyebut kepemimpinan secara umum, termasuk dalam ritual ibadah. Dalam menjalankan salat jamaah kaum muslimin juga dipimpin oleh seorang imam. Laiknya kepemimpinan dalam masyarakat, dalam salat jamaah juga dikenal kriteria-kriteria (a) siapa yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika seorang imam, (c) apa kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum. Secara fiqhiyyah, siapa saja dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, tetapi pada hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia menghadap, melapor dan berdialog dengan Tuhan Yang Maha Agung, maka hanya orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.

Imam Ghazali dalam Ihya Ulum ad Din, kitab fiqh, menyebut enam kriteria persyaratan etis seorang imam. (1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan membuat makmum tidak dapat tuma’ninah (2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai muazzin dan imam sekaligus, (3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat awal waktu setiap harinya, (4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah, (5) Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya telah berbaris rapih, dan (6) Bertakbir dengan suara lantang serta membaca Al-Qur’an dengan fasih.

Salat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup melakukannya. Ia juga tidak boleh membaca ayat Qur’an terlalu panjang sekiranya ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi kekurangannya, yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Qur’an, memberi kesempatan makmum yang belum sempurna membaca Fatihah. Laiknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula mendahului gerakan imam, tetapi jika imam melakukan kekeliruan, makmum diberi hak untuk mengingatkan, yakni dengan mengucapkan kalimat Subhanallah. Sebagai imbangan dari keharusan makmum mematuhi imam, seorang imam secara sportif langsung harus mengundurkan diri jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.

Jabatan Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak orang justru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan diikuti oleh makmum di belakangnya. Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya’.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 09, 2009

Prasangka
Allah SWT berfirman dalam hadis qudsiy, ana `inda dzonni `abdi, Aku tergantung bagaimana hamba Ku menganggap Ku. Semua harapan, semua prasangka, semua hajat makhluknya bisa dilayani oleh kehendakNya.


Dalam ayat Kursiy disebutkan bahwa manusia tidak dapat menggapai ilmu Allah SWT kecuali atas seizin Nya. Artinya dari ilmu Allah SWT yang sangat luas ada juga yang bisa dicapai oleh manusia, artinya ada manusia yang mengerti ilmu Allah SWT, tetapi sebatas yang dikehendaki oleh Nya. Hadis Nabi misalnya ada yang menjelaskan bahwa ada sebagian manusia yang bisa melihat dengan penglihatan Allah SWT, bisa mendengar dengan pendengaran Allah SWT dan bahkan bisa memukul dengan 'tangan' Allah SWT. Apa iya ?

Hadis ini berbicara tentang orang yang dekat dengan Allah SWT (al muqarrabin), dan sebenarnya logis. Logikanya memang, orang yang dekat dengan penguasa ia dapat keluberan wibawa kekuasaan itu, disegani karena kedekatannya dengan penguasa, dan bisa tahu rahasia diseputar kekuasaan. Begitupun orang yang dekat dengan Allah Yang Maha Kuasa, maka ia keluberan wibawaNya, keluberan ilmu Allah SWT, apalagi menurut Islam, pada diri manusia memang terdapat sifat ketuhanan (dalam kontek lahut dan nasut) bukan karena sakti.

Pada manusia, tidak semua yang dikehendaki itu terwujud, dan apa yang dialaminya belum tentu yang dikehendakinya. Apakah Allah SWT bisa mengalami hal seperti itu? sudah barang tentu tidak. Allah SWT berkuasa atas segala sesuatu (`ala kulli syaiin qadir), hidup dan aktif (hayyun qayyum), mengerjakan semua yang dikehendaki (fa`alun lima yurid), tidak ada satupun yang terjadi – hingga jatuhnya selembar daun- diluar kontrol dan kehendaknya. Dalam hal pencapaian manusia, manusia tidak akan mencapai tingkat apapun tanpa kehendak Allah SWT. Pertanyaanya bagaimana menejemen kehendak ini ?

Allah Maha Suci dari kekurangan, oleh karena itu manusia yang serba kurang belum tentu bisa memahami menejemen kehendak, yakni antara Allah SWT sebagai ar Rahman ar Rahim (pengasih dan Penyayang) dengan Allah SWT yang dahsyat siksaanya (syadid intiqam). Kehendak Allah itu bagaikan sistem sempurna yang sangat terkendali, berjalan diatas hukum baku taqdir dan sunnatullah. Allah SWT disebut Maha Penyayang, tetapi Allah SWT juga bisa murka, bagaimana ini Kata Allah SWT dalam hadis qudsiy, inna rahmati ghalabat ghadhabi, sesungguhnya kasih sayangku mengalahkan murkaKu.

Allah SWT adalah pemilik alam semesta (rabb al `alamin). Dengan kasih sayang Nya Allah SWT bisa melayani seluruh tingkat makhluk, yang bodoh, yang pintar, yang rasional, yang tradisional, semuanya terakomodasi oleh kekuasaan dan kehendak Nya. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsiy, ana `inda dzonni `abdi, Aku tergantung bagaimana hamba Ku menganggap Ku. Semua harapan, semua prasangka, semua hajat makhluknya bisa dilayani oleh kehendakNya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, August 07, 2009

Sosialisasi Sikap Amanah
Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecendcerungan untuk berperilaku terhadap obyek tertentu; terhadap orang tertentu, terhadap gagasan tertentu, terhadap perilaku tertentu dan sebagainya. Sikap pasti mempunyai obyek, tidak ada sikap tanpa ada obyek, misalnya dari pertanyaan: bagaimana sikap anda terhadap masalah A. Sikap biasanya timbul dari pengalaman, baik pengalaman positif maupun pengalaman negatif. Pengalaman positif biasanya melahirkan sikap positif, sebaliknya pengalaman negatip biasanya melahirkan sikap negatif. Karena lahir dari pengalaman maka sikap relatip menetap. Pengalaman diperoleh melalui proses belajar, oleh karena itu meski relatip menetap, sikap bisa diubah atau diperteguh. Sikap berfungsi sebagai pendorong tingkah laku. Jika seseorang sikapnya positip terhadap penegakan hukum, maka dengan mudah ia melakukan sesuatu yang dimaksud untuk menegakkan hukum.

Pengalaman masyarakat Indonesia dalam hal amanah nampaknya kurang menguntungkan. Dalam kurun waktu yang lama masyarakat telah disodori praktek sistematis penyimpangan dari prinsip-prinsip amanah, terutama yang berhubungan dengan politik dan ekonomi. Begitu lamanya pengalaman berjumpa dengan perilaku tidak amanah, hingga banyak anggauta masyarakat yang telah menyesuaikan diri dengan perilaku itu, karena pengalaman juga dapat dilihat, seorang yang amanah justeru dipandang sebagai penghambat oleh sistem yang tidak amanah. Dengan kata lain, sikap tidak amanah itu telah membudaya merasuk ke dalam jiwa masyarakat , mewujud dalam konsep, gagasan, fikiran dan tindakan yang tidak amanah. Itulah puncak dari kehancuran moral bangsa, padahal sebagaimana dikatakan oleh Syauqy Beik, kewibawaan suatu bangsa adalah pada moralnya, pada akhlaknya, jika moralnya runtuh maka runtuh pula kewibawaannya (innama al umamu al akhlaq ma baqiyat, wa in dzahabat akhlaquhum dzahabu)

Terbayang betapa beratnya mengubah budaya masyarakat Indonesia dengan budaya amanah, karena perubahan budaya memerlukan pendekatan yang tepat dan waktu yang lama. Akan tetapi, suatu bangsa dimanapun, sebagaimana kerata api, sepanjang apapun gerbongnya, ia bisa digerakkan oleh sebuah lokomotif dan seorang masinis, sepanjang infrastruktur relnya telah dapat difungsikan. Demikian juga membangun budaya bangsa masih dimungkinkan dengan menggunakan metode gerakan, dimana simpul-simpul budaya dianyam dalam jaringan sistem gerakan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Amanah Sebagai Tanggung Jawab
Sesuatu yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada orang yang dititipi hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang menitipkan. Maksud menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu tetap terjaga dan terlindungi ke¬beradaannya. Tanggung jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah. Anak adalah amanah Allah SWT kepada orang tuanya dimana orang tua berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan berkembang potensinya hingga ia kelak menjadi manusia yang berkualitas sesuai derngan maksud penciptaannya. Isteri adalah amanah Allah SWT kepada suami dimana suami wajib melindunginya dari gangguan yang datang, baik gangguan fisik maupun psikis. Demikian juga suami adalah amanah Allah kepada isteri dimana ia wajib memberikan sesuatu yang membuatnya tenang, tenteram, aman dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya. Demikian seterusnya, murid merupakan amanah bagi guru, jabatan merupakan amanah bagi penyandangnya.

Predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, disamping mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Allah di muka bumi juga mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan kualitas pengelolaan manusia atas alam.

Dalam al Qur'an, tegas disebutkan bahwa kerusakan yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab(Q/30:41). Demikian juga tidak berfungsinya sumberdaya alam bagi kesejahteraan hidup manusia merupakan akibat dari perilaku manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Q/7:96) Tanggungjawab artinya, setiap keputusan dan tindakan harus diperhitungkan secara cermat implikasi-implikasi yang timbul bagi kehidupan manusia dengan memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan mafsadat dan mudharat.

Setiap keputusan mengandung implikasi-implikasi positif dan negatif, yang mendatangkan keuntungan dan yang mendatangkan kerugian. Jika peluangnya berimbang, maka mencegah hal yang merusak harus didahulukan atas pertimbangan keuntungan (dar'u al mafasid mu¬qaddamun 'ala jalb al masalih). Contohnya, menebang hutan itu mudah dalam menambah keuangan negara, tetapi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penebangan hutan lebih berat dan lebih mahal biaya rehabilitasinya dibanding keuntungan yang diperoleh.

Pejabat publik (Presiden, Gubernur, Menteri dan seterusnya hingga jabatan terendah) adalah pemegang amanah tanggung jawab. Otoritas yang dipegangnya bukan pada aspek kekuasaan, tetapi pada aspek pe¬ngelolaan dan pelayanan, sehingga seorang pemimpin disebut sebagai pelayan masyarakat (sayyid al qaumi khodimuhum). Keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berpeluang untuk menimbulkan implikasi yang luas kepada kehidupan masyarakat luas.

Jika keputusannya tepat, maka manfaatnya akan dinikmati oleh banyak orang, tetapi jika keputusannya keliru maka dampak negatifnya harus ditanggung oleh masyarakat luas. Seorang pejabat publik dituntut untuk memiliki tanggung jawab besar dalam membuat keputusan, yakni mendatangkan sebanyak-banyaknya manfaat bagi masyarakat dan menekan sekecil mungkin resiko yang harus dipikul orang banyak. Tanggung jawab bagi seorang pejabat publik juga berarti ia layak mem¬peroleh pujian dan penghormatan jika pekerjaannya baik, dan sebaliknya ia dapat dikritik, dicaci, dipecat atau bahkan dihukum penjara jika keputusannya keliru. Pemerintah sebagai pemegang Amanah Penderitaan Rakyat artinya Pemerintah dibebani tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger