Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, April 24, 2011

GURU : digugu dan ditiru
Manusia adalah makhluk budaya. Kebudayaan adalah konsep, gagasan dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat, dan gagasan itu kemudian memandu tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa perubahan konsep maka tingkah laku tidak berubah. Masyarakat kita 50 tahun lalu tidak pernah membuat WC di dalam rumah, karena menurup konsep mereka, WC adalah tempat kotoran, oleh karena itu harus dijauhkan dari rumah. Karena tempat kotoran maka WC tidak dibuat bagus. Kini telah terjadi perubahan konsep masyarakat.

WC bukan hanya tempat kotoran, tetapi adalah kebutuhan hidup, karena setiap saat orang memerlukan WC. Karena kebutuhan, maka WC didekatkan kepada penggunanya.Maka kini WC berada di dalam rumah, bahkan di dalam kamar tidur. Mengapa masih banyak orang yang korupsi ? karena korupsi masih dipandang sebagai keberhasilan. Lihat saja berita Koran, yang selalu menyebut; bupati A berhasil membobol anggaran daerah. Kepala Sekolah berhasil menyunat dana BOS. Karena dalam konsepnya korupsi masih dipandang sebagai keberhasilan, maka orang berusaha menggapainya. Lain halnya jika korupsi dipandang sebagai najis, maka semua orang tidak mau menyentuhnya.

Ada masyarakat atau bangsa yang sudah berbudaya tinggi dan ada yang masih berbudaya rendah. Masyarakat yang berbudaya tinggi selalu memelihara nilai-nilai budayanya, seperti kejujuran, kesetiaan, kedisiplinan, kesehataan dan kemajuan. Sedangkan masyarakat yang berbudaya rendah mudah berbohong, mudah berkhianat, mudah melanggar janji dan tidak menghargai harkat manusia.

Nah, proses pembudayaan masyarakat dan bangsa itu melalui pendidikan. Pendidikanlah yang membuat suatu masyarakat atau bangsa menjadi bermartabat, dan guru adalah pilar utama dalam proses pendidikan. Hanya saja ada guru yang baru berada pada tingkat pengajar dan ada guru yang sudah berada pada tingkat pendidik. Guru pengajar perhatiannya hanya pada proses transfer ilmu pengetahuan. Pokok dating mengajar kemudian muridnya rapotnya bagus. Guru pengajar biasanya belum memiliki rasa cinta kepada pendidikan, oleh karena itu pusat perhatiannya masih pada honor mengajar.

Jika honornya besar ia rajin, jika honornya kecil ia malas. Sedangkan guru pendidik perhatiannya adalah pada transfer budaya, transfer perilaku. Ia sangat sedih jika ada murid yang mempunyai kebiasaan mencontek, karena mencontek merupakan perwujudan dari budaya yang rendah. Guru pendidik merasa bangga terhadap muridnya yang berakhlak baik, apalagi jika prestasinya juga baik. Guru pengajar akan mengalami disebut sebagai bekas guru saya oleh muridnya, sedangkan guru pendidik, seumur hidup oleh muridnya tetap disebut guru saya.

Dalam budaya Jawa, guru disebut sebagai kependekan dari yang digugu dan yang ditiru, yakni guru adalah figur yang terpercaya dan menjadi teladan bagi orang banyak.
Nah inilah tantangan dari organisasi guru seperti , PGRI, ASOSIASI GURU BERSATU INDONESIA, dll. yakni bagaimana organisasi ini bisa membangun komunitas pendidikan yang bekerja membudayakan bangsa dengan kebudayaan yang tinggi. Tugas inilah yang membuat guru disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, April 17, 2011

Akhlak Terhadap Rumah Tuhan
Yang dimaksud dengan rumah Tuhan adalah suatu tempat yang dibangun secara khusus untuk melakukan amaliah ibadah, tempat dimana manusia memuja dan menyembah Allah. Bagi orang Islam, tempat peribadatan adalah masjid. Masjidil Haram di Makkah termasyhur disebut sebagai baitullah yang artinya rumah Allah. Demikian pula masjid-masjid lain meski tidak disebut sebgai Baitullah, tetapi dalam perspektif ini mempunyai pengertian yang sama dengan masjidil Haram.

Masjid besar yang digunakan untuk salat Jum’at disebut masjid Jamik, sedangkan mesjid kecil yang tidak digunakan untuk salat Jum’at disebut Mushalla yang artinya tempat salat. Secara teologis, masjid dibangun semata-mata untuk tujuan taqwa kepada Allah (lamasjidun ussisu ‘ala at taqwa). Secara sosial, masjid seperti yang terjadi pada masa Nabi di Madinah bisa difungsikan sebagai pusat pengembangan masyarakat, spiritualnya, dan sosialnya.

Akhlak manusia kepada rumah Tuhan (dalam hal ini masjid) dapat dibedakan dari dua sudut, umum dan khusus :

Umum

a) Ketika membangun, hendaknya dilakukan semata-mata bermotivasi ketakwaan kepada Tuhan. Nabi pernah menyuruh membongkar masjid yang dibangun seseorang dengan tujuan batil (kasus masjid Dhirar).
b) Dalam membangun masjid tidak mengutamakan kemegahan fisik dan melupakan substansinya sebagai tempat beribadah, tempat merendahkna diri kepada tuhan.
c) Tidak menghiasi masjid dengan asesoris yang berlebihan
d) Dijaga kesuciannya dari najis dan dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan.

Khusus

a) Setiap Muslim dianjurkan untuk mengutamaka salat di masjid
b) Meluangkan waktu untuk beri’tikaf di dalam masjid.
c) Ketika masuk ke masjid hendaknya dalam keadaan suci, baik dari najis maupun hadas.
d) Setiap kali ke masjid dianjurkan mengenakan pakaian yang indah dan sopan.
e) Tidak melakukan bisnis duniawi di dalam masjid.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, April 14, 2011

AKHLAK TERHADAP UTUSAN TUHAN
Allah menurunkan wahyu yang merupakan petunjuk bagi ummat manusia melalui utusan-utusan atau Rasul-Nya. Selanjutnya para Rasulullah yang membimbing ummat manusia ke jalan yang diridhai-Nya. Para nabi yang menjadi utusan Allah itu ada yang menampilkan sosok pemimpin masyarakat seperti nabi Nuh dan Nabi Saleh, ada yang menampilkan diri sebagai sosok oposisi yang mengedepankan nilai-nilai universal seperti Nabi Ibrahim, ada Nabi ang menampilkan diri sebagai pejuang pembela keadilan melawan tirani seperti Nabi Musa, ada yang tampil sebagai penguasa politik seperti nabi Daud dan Sulaiman, ada nabi yang tampil sebagai figure asketik penyebar cinta kasih seperti nabi Isa, dan ada nabi yang tampil secara komprehensif sebagai pemimpin dengan multi peran seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.a.w. dalam perspektif ini maka seorang utusan allah adalah pemegang otoritas keagamaan.

Dalam penampilannya, seorang utusan Tuhan sering membawakan nilai-nilai baru yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang sedang dianut oleh masyarakatnya, karena tugas seorang Rasul memang meluruskan penyimpangan nilai-nilai kebenaran. Alasan diturunkannya seorang Nabi ke suatu entitas masyarakat justru karena pada entitas masyarakat tersebut sedang berlangsung penyimpangan nilai-nilai kebenaran.

Oleh karena itu hampir semua Nabi pada awalnya pasti dimusuhi dan diusir oleh masyarakatnya, terutama oleh kelompok mapannya, karena kehadiran seorang Nabi dalam jangka pendek pasti merugikan kelompok mapan tersebut.

Menurut al Qur’an, seorang Rasul hadir di tengah-tengah masyarakat manusia dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Q/61:9), diperkuat dengan otoritas dan bukti (Q/11:96), berbicara dengan menggunakan bahasa masyarakatnya (Q/14:4), aktif menyampaikan seruan (Q/2:51), secara seimbang menyamaikan kabar gembiran dan memberikan peringatan (Q/2:119), memberikan keteladan yang sangat tinggi (Q/33:21) dan misinya bersifat rahmat bagi seluruh manusia (Q/21:107).

Dari itu maka pengiriman Rasul itu tak lain dimaksud agar dipatuhi oleh manusia (Q/4:64) , sejajar dengan kepatuhannya kepada Allah (Q/4:59). Kepada manusia diingatkan agar percaya kepada Rasul (Q/24:62), merespon secara positif seruan Rasul (Q/8:34), tidak berkhianat kepada Rasul (Q/8:27), tidak memperolok-olok (Q/15:11), tidak menyakiti (Q/ 33:53), tidak melawan (Q/ 58:5), tidak mendahulukan selain Rasul (Q/ 49:1), tidak menyepelekan (Q/24:63) dan bahkan ketika berbicara dengan Rasul pun hendaknya tidak dengan suara yang lebih keras dibanding suara Rasul (Q/49 :2). Akhlak tersebut di atas hanya mngkin dimiliki oleh orang yang percaya (iman) dan cinta kepada Rasul. Dalam sejarah dan riwayat dapat diketahui bahwa pada masa hidupnya, setiap Rasul banyak menghadapi orang yang tidak percaya, menentang, melecehkan, mengusir, dan bahkan membunuh Rasul.

Bagi kita yang tidak hidup sezaman dengan Rasul maka, iman dan kecintaan kepada Rasul diwujudkan dalam mengapresiasi ulama menjadi pewaris para rasul, mengikuti sunnah-sunnahnya, membaca salawat kepadanya, menziarahi makamnya dan hal-hal lain yang sifatnya memuliakan namanya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, April 13, 2011

Akhlak Manusia Kepada Tuhan (2)
Tauhid dan Tawakkal

Tauhid

Bertauhid artinya menggesakan Tuhan, memandang dan memperlakukan Tuhan sebagai satu-satunya Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengatur, Yang maha Pengasih lagi maha Penyayang, yang pantas disembah dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Dalam peribadatan, bertauhid artinya hanya menyembah Allah (iyyajka na’budu), sedangkan dalam bermu’amalah, bertransaksi, meski prosedurnya berurusan dengan sesame manusia, tetapi di dalam hatinya ia hanya memohon pertolongan kepada Allah (iyyaka nasta’in). dalam memahami pasang surut kehidupan, seseorang yang bertauhid merasa yakin, bahwa apa yang diperoleh dan apa yang sesunguhnya Allah-lah Pelaku sebenarnya (la fa’ila illallah).

Dalam berkontemplasi seorang yang bertauhid bahkan merasa bahwa dirinya adalah nonsen, karena sebenarnya tidak ada eksistensi kecuali Allah (la maujuda Illallah)
Lawan dari tauhid adalah syirk, pelakunya disebut musyrik. Seorang musyrik dalam beribadah disamping mengakui adanya kekuasaan dari Tuhan Sang Pencipta ia menyembah juga kepada makhluk ciptaan-Nya, seperti patung berhala, matahari, api atau bahkan manusia. Syirk model ini disebut syirk jaliy, yakni syirk yang nyata, syirk yang Nampak di mata. dalam kehidupan sehari-hari seorang musyrik mempercayai hal-hal tertentu atau benda-benda tertentu yang diyakini secara gaib dapat menentukan takdir kehidupan, misalnya percaya bahwa memelihara ayam putih dapat membuat dagangan laris, atau mengatakan; jika bukan aku yang menolong pasti dia sudah mati, atau meyakini seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu dapat diatur dengan uang. Syirk seperti ini disebut syirk khofiy, atau syirk tersamar.

Tawakkal

Tawakal artinya berpasrah diri kepada Allah setelah melakukan upaya-upaya secara maksimal. Manusia di dunia jika menginginkan sesuatu maka ia harus berusaha untuk menggapainya. Meski demikian, usaha manusia tidak sepenuhnya menentukan, karena banyak faktor kebetulan, faktor yang dipercaya sebagai keberuntungan, faktor doa dan sebagainya.
Orang yang menyombongkan keberhasilannya sebagai usaha sendiri termasuk orang yang buruk akhlaknya terhadap Tuhan, dan bahkan bisa terperangkap ke dalam syirk khofiy.

Seorang yang bertawakal kepada Allah adalah orang yang bekerja keras untuk menggapai apa yang diinginkannya dengan mengikuti prosedur yang wajar (menggunakan management usaha), teteapi ia tetap meyakini bahwa keberhasilan usahanya ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Pengatur. Ia yakin betul bahwa upaya dan kekuatan itu tidak efektif tanpa seizin Allah, la haula wala quwwata illa billah al’Aliy al ‘Aziem.

Pengertian tawakal diahami dari hadis yang berbunyi I’qilha wa tawakkal. Dikisahkan bahwa ada seseorang baru datang dri luar kota menemui Rasululla. Beliau menanyakan apakah ontanya diikat (di parker secara benar dan dikunci). Orang itu menjawab: tidak Ya rasulullah, saya tawakal saja kepada Allah. Rasul lalu menegurnya; (jangan begitu), ikat dulu untamu secara benar, baru engkau bertawakal kepada Allah. Dari hadist ini dapat dipahami bahwa kepercayaan kepada Allah sebagai yang Maha Kuasa, Maha pengatur dan maha Penentu tidak mengurangi profesionalitas dan rationalitas usaha.

Tingkat kemampuan seseorang untuk bertawakal kepada Tuhan berhubungan juga dengan tingkat ketauhidannya. Imam Ghazali menggambarkan tingkat-tingkat tawakkal dengan perumpaan sebagai berikut :

a. Jika engkau mau pergi ke padang pasir gersang, maka engkau harus mempersiapkan segala kebuthan yang diperlukan disana, makanan, minuman, tenda, kendaraan dan sebagainya. Jika sudah lengkap berangkatlah anda dan bertawakalah kepada Allah. Jika tidak lengkap jangan berani nekat, karena di sana alamnya sangat kejam. Ini adalah tawakal tingkat terendah.

b. Jika engkau akan pergi ke hutan tetapi tidak ada bekal makanan, yang ada hanya alat berburu (senapan, pisau, korek dan termos air), berangkat sajalah dengan tawakal kepada Allah. Insya Allah anda bisa menemukan bahan makanan disana. Ini adalah bentuk tawakal orang yang telah memiliki keterampilan tertentu.

c. Jika anda tidak memiliki bekal apapun, tetapi anda harus pergi juga ke suatu tempat, maka pergilah dengan tawakkal kepada Allah, asal tempat yang anda tuju itu masih ada atau banyak orang. Tawakkal tingkat ini masih rationil karena sifat sosial masyarakat akan dapat menjadi tumpuan hidupnya.

d. Meski anda tidak mempunyai bekal apapun, dan tempat yang anda tuju tidak juga ada persediaan bekal, sedang anda tidak bisa menghindar dari keharusan untuk pergi ke tempat itu, maka pergilah dengan bertawakkal kepada Allah. Insya Allah Dia akan memberi apa yang anda butuhkan. Tawakal tingkat ini adalah tawakkal kaum khowash, orang yang sebenar-benarnya bertauhid, karena ia telah mencapai tingkat ma’rifat yang meyakini betul bahwa Tuhan Yang maha kuasa mengadakan yang tiada, mengembalikan yang hilang, memberi rizki kepada seluruh hamba-Nya dimanapun ia hidup, dan maha pengasih lagi Penyayang kepada makhluk-Nya.

Tawakal merupakan wujud akhlak manusia kepada Tuhan, yang oleh karena itu perbuatan itu bernilai ibadah. Secara psikologis, orang bertawakal dapat terhindar dari perasaan kecewa berkepanjangan jika menghadapai kegagalan, dan terhindar dari rasa sombong jika memperoleh keberhasilan. Karena ia menempatkan diri sebagai hamba yang berprasangka baik terhadap kehendak Tuhan. Orang yang sudah bisa bertawakkal, jika ia sukses dalam suatu hal, disamping mengucapkan syukur kepada Tuhan, ia juga bertanya-tanya dalam hatinya, jangan-jangan kesuksesan ini merupakan coban dari Tuhan.

Sebaliknya jika setelah bekerja keras secara benar untuk menggapai apa yang diinginkan tetapi mengalami kegagalan, maka ia menyalahkan diri sendiri dan mengembalikan persoalannya kepada Tuhan Yang Maha Pengatur serasa berprasangka bahwa kegagalan itu merupakan rahmat Tuhan, karena boleh jadi dimata Tuhan ia belum layak menerima apa yang diinginkannya. Di satu sisi, tawakkal adalah juga merupakan bentuk tawaddu’ atau rendah hati seorang hamba kepada Tuhannya. Orang yang bertawakal pada umumnya juga ridla (puas) atas apapun yang diterimanya dari Tuhan, baik yang bersifat peningkatan maupun yang bersifat penurunan, karena ia memahami makna pemberian Tuhan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, April 12, 2011

Akhlak Manusia kepada Tuhan (1)
Akhlak kepada Tuhan dengan Ibadah

Tuhan menciptakan manusia bukan tanpa maksud. Menurut al Qur’an, Tuhan, tidak menjadikan manusia dan jin kecuali untuk menyembah-Nya (Q/51 :56). Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan antara makhluk dan khaliqnya, antara yang dicipta dengan Sang Pencipta. Tuhan mensifatkan diri-Nya sebagai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sementara manusia, meski ia sebagai hamba dengan dianugerahi Tuhan dengan berbagai kelebihan, yang selanjutnya menjadi faktor pembeda dengan makhluk yang lain, kelebihan manusia dibanding makhluk yang lain ialah bahwa ia memiliki jiwa dengan desain yang sempurna, memiliki potensi untuk mengetahui kebaikan dan kejahatan, memiliki akal yang bisa berpikir, hati yang bisa memahami, hati nurani yang memiliki ketajaman pandangan dan nafsu yang bisa menggerakan motivasi.

Dengan seperangkat elemen kejiwaan itu manusia diberi kemerdekaan untuk berpikir, bersikap dan berbuat. Sebagai konsekuensi dari fasilitas yang begitu banyak, manusia diberi beban memikul amanat, yakni dituntut untuk bertangungjawab dan mempertanggungjawabkan segala yang dilakukannya , kepada dirinya, kepada masyarakat, dan terutama Tuhan. Nah hubungan dengan Tuhan juga ada etikanya.

AKHLAK KEPADA TUHAN

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa Tuhan menciptakan manusia dan jin agar mereka menyembah kepada-Nya, maka akhlak manusia kepada Tuhan yang pertama kali adalah menyembah Tuhan atau beribadah. Disamping itu manusia juga harus bertawakal disamping tidak boleh menyekutukan-Nya dengan makhluk.

IBADAH
Ibadah berasal dari kata ‘abada ya’budu yang artinya menyembah. Dari kata ‘abdun yang artinya hamba dan dalam bahasa jawa menjadi abdi yang artinya sahaya, dan kata pengabdian dalam bahasa Indonesia yang mengandung arti melakukan sesuatu dengan maksud member dan berdasar patuh serta hormat kepada yang diberi dan berdasar merupakan perintah Tuhan kepada seluruh manusia (Q/2:21). Kata ‘abd sekurang-kurangnya mengandung tiga arti ;
a) Tumbuhan yang beraroma harum
b) Anak panah, dan
c) Sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya atau budak).

Manusia dalam status sebagai ‘abd seharusnya menggambarkan tiga makna itu, yaitu memberi suasana indah dan harum lingkungannya, sigap seperti anak panah dan merasa menjadi milik penuh pemiliknya (Tuhan). Etika beribadah haruslah bernuansa tiga semangat tersebut. Ketika ia menjalankan ibadah shalat misalnya, maka ia harus mencerminkan permormance sebagai manusia yang bermakna kepada lingkungannya karena shalatnya telah menjelma menjadi perilaku yang jauh dari perbuatan keji dan munkar.

Dalam menjalankan ritualnya ia sigap dan disiplin sesuai dengan syarat rukunnya seperti sigapnya anak panah yang dilepas busurnya. Dalam hal makna salat, ia sama sekali tidak merasa bahwa salatnya merupakan prestasi dirinya, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada penilaian Tuhan yang memiliki dirinya (khusyuk). Demikian pula ketika membayar zakat, berpuasa,haji, dan sebagainya. Dalam surat al Fatihah disebutkan ayat yang berbunyi iyyaka na’budu wa iyya ka nasta’in, hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku mohon pertolongan. Ayat ini mengandung makna bahwa semangat ibadah (pengabdian kepada Tuhan) bukan hanya ketika menjalankan ritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, berekonomi, berpolitik dan berbudaya.

Orang yang beribadah melalui kegiatan perekonomian, ia akan menciptakan suasana indah dan harum di lingkungannya, disiplin menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, dan sadar betul bahwa prestasi bisnisnya semata-mata karena rahmat Allah, yang oleh karena itu ia tidak menyombongkan diri. Orang yang beribadah dalam aktifitas politik, melakukan manuver politik yang menyejukan masyarakat, disiplin terhadap komitmen yang dibuatnya dan sadar betul bahwa Tuhanlah yang memberikan kekuasaan politik kepada seseorang dan Dia pula yang mencabutnya dari seseorang (Q/3:26).

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, April 11, 2011

AKHLAK KEPADA ALAM
Kita diajarkan doa munajat yang berbunyi :Robbana ma kholaqta haza batila, Ya Tuhan kami, tak satupun makhluk ciptaan-Mu ini yang tak berguna (Q/3:191). Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan menciptakan ala ini dengan konsep yang sangat sempurna. Suatu makhluk meski sekecil bakteri pun, telah di desain oleh Sang Pencipta sebagai bagian sari ekosistem alam. Sebagaimana yang telah disebutkan di depan bahwa dalam sistem alam ini, manusia diberi predikat oleh Allah sebagai khalifah-Nya dimana manusia diberi wewenang dan tanggung jawab mengelola alam ini bagi kehidupannya.

Setiap kewenangan tanggung jawab, pastilah di dalamnya terkandung hak dan kewajiban. Oleh karena itu amanah Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya ialah bahwa manusia dibebani kewajiban, dan bersamaan dengan itu manusia diberi hak, termasuk hak pemanfaatan alam. Dalam al Qur’an, jelas sekali disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia (huwa allazi khalaqa lakum ma fil ardhi jami’an) (Q/2:29).

Manusia diberi hak utnuk mengelola alam ini, mengkomsumsi yang dibutuhkan, tetapi di tangan manusia pula diletakan tanggung jawab pemeliharaan kelestarian alam. Oleh karena tu manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam, karena akan berdampak merusak ekosistem yang pada gilirannya akan menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam perspektif ilmu akhlak, maka manusia pun harus berakhlak kepada alam. Masuk dalam kategori alam adalah hewan (makhluk yang bernyawa) dan alam fisik, seperti bumi, air, dan tumbuh-tumbuhan. Berakhlak kepada Alam alah bagaimana merperlakukan hewan dan alam fisik dengan baik.

Di antara akhlak kepada binatang adalah sebagai berikut :

1) Tetap member ruang habitat yang memadai terhadap hewan, misalnya hutan bagi satwa hutan, terumbu karang bagi ikan di laut, pohon-pohonan bagi unggas dan sebagainya. Hewan ciptaan Tuhan, meski secara mikro ada binatang yang berbahaya (ular misalnya), tetapi secara makro dalm ekosistem alam, sebenarnya memiliki peran-peran tertentu dalam pelestarian alam.
2) Tidak memasung hewan piaraan dalam kerangkeng yang menyiksa, apalagi jika kurang menyediakan makanannya.
3) Member hak istirahat kepada hewan yang dipergunakan sebagai alat angkut (misalnya kuda, kerbau, atau sapi) dan tdak membebaninya dengan beban yang melampaui batas kewajaran.
4) Jka mengkomsumsi hewan, hendaknya memilih yang dihalalkan dan melalui proses penyembelihan berdasarkan syari’at agama.

Sedangkan akhlak kepada alam lingkungan antara lain:
1) Tidak mengekspoitasi sumber daya alam secara berlebihan yang berpotensi merusak tatanan siklus alamiah.
2) Tidak membuang limbah secara sembarangan yang dapat merusak lingkungan alam.
3) Secara lebih detail dan individual, agama misalnya melarang binatang atau di bawah pohon yang rindang (karena membuat tidak nyaman orang yang bernaung dibawahnya).

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger