Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, July 21, 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (5)
Hubungan Kesulitan dengan Kebahagiaan

Semua orang yang memutuskan untuk hidup berkeluarga pasti mengangankan adanya kebahagiaan dalam hidup rumah tangganya, meski angan-angan tentang kebahagiaan juga berbeda-beda. Kebahagiaan sangat subyektip tetapi universal. Ada orang yang bahagia karena memperoleh sesuatu yang banyak, tetapi yang lain sudah cukup merasa bahagia meski hanya memperoleh sedikit. Ada orang yang merasa bahagia karena memperoleh susuatu tanpa bersusah payah, tetapi yang lain merasa bahagia justru telah bersusah payah lebih dahulu. Kebahagiaan ada yang sifatnya sesaat, ada yang lama dan bahkan ada kebahagiaan abadi.

Makna bahagia
Ada dua ungkapan, senang dan bahagia. Senang adalah terpenuhinya tuntutan syahwat, misalnya sedang lapar menemukan makanan lezat, sedang haus menemukan minuman segar, sedang sulit menemukan kemudahan, sedang kesepian ketemu teman atau kekasih, sedang nganggur dapat pekerjaan dan sebangsanya. Adapun bahagia berhubungan dengan misteri yang sangat subyektip, tetapi intinya adalah datangnya pertolongan ilahiyah hingga memperoleh sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan ilahiyah (al khair). Rasa bahagia misalnya terasa ketika anaknya lahir laki-laki setelah sekian lama mendambakan ingin mempunyai anak lelaki.

Keberhasilan memiliki anak-lelaki tidak diklaim sebagai prestasi – ini karena aku bisa bikinnya misalnya; kata sang ayah- tetapi orang yang mempunyai anak lelaki setelah hampir putus asa mendambakan kehadirannya merasa bahwa kehadiran anak lelaki itu merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Kebahagiaan juga terasa ketika seorang ibu yang membesarkan anak gadisnya tanpa kehadiran suami sehingga ia dalam keadaan berat selalu berharap agar anaknya memiliki masa depan yang baik.

Pada saatnya anak gadisnya dipersunting oleh seorang pemuda saleh yang cerah masa depannya. Masa depan cerah anak gadisnya itu tidak diklaim sebagai prestasinya tetapi benar-benar dipandang sebagai anugerah Tuhan. Jadi kebahagiaan itu datang dalam rangkaian kesulitan yang panjang tetapi ketika hadir tidak diakui sebagai prestasinya. Orang lainpun akan berkomentar, ibu itu sungguh sudah bekerja keras melampaui berbagai kesulitan dalam mengasuh anaknya sendirian, maka pantaslah jika Allah menganugerahinya kebahagiaan yang sempurna kepadanya.

Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu sa`adah (bahagia), falah (beruntung), najat (selamat) dan najah (berhasil). Jika sa'adah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Tuhan setelah terlebih dahulu mengarungi kesulitan, maka falah mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak al bughyah). Falah ada dua macam, dunyawi dan ukhrawi. Falah duniawi adalah memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa nikmat, yakni menemukan (a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus, kebutuhan tercukupi terus dsb, (b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh melebihi dari yang dibutuhkan, dan (c) kehormatan sosial.

Sedangkan falah ukhrawi terdiri dari empat macam, yaitu (a) keabadian tanpa batas, (b) kekayaan tanpa ada lagi yang dibutuhkan, (c) kehormatan tanpa ada unsur kehinaan dan (d) pengetahuan hingga tiada lagi yang tidak diketahui. Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika menerima putusan bebas dari pidana, ketika mendapat grasi besar dari presiden, ketika ternyata seluruh keluarganya selamat dari gelombang tsunami dan sebagainya.

Adapun najah adalah perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah merasa pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil menjadi sarjana semua. Kesenangan berdimensi horizontal, sedangkan kebahagiaan berdimensi horizontal dan vertikal. Orang masih bisa menguraikan anatomi kesenangan yang diperolehnya, tetapi ia akan susah mengungkap rincian kebahagiaan yang dirasakannya.

Air mata bahagia merupakan wujud ketidakmampuan kata-kata. Prof. Fuad Hasan dalam bukunya Pengalaman Naik Haji mengaku tidak bisa menerangkan kenapa beliau menangis di depan Ka`bah, karena kebahagiaan yang beliau alami berdimensi vertikal, bernuansa anugerah, bukan prestasi.

Banyak mempelai menitikkan air mata ketika akad nikah, demikian juga kedua orang tuanya, dan mereka tidak bisa menerangkan anatomi perasaan bahagianya. Kebahagiaan berkaitan dengan tingkat kesulitan yang dialami. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga bukan ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat.

Sungguh orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan cucu-cucunya nya sengsara dan hina, meski perjalanan bahtera rumah tangganya penuh dengan sukses story. Kebahagiaan biasanya datang setelah orang sukses mengatasi kesulitan yang panjang, tetapi tidak semua kesulitan mengantar pada kebahagiaan yang sebenarnya.

Menurut hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam hidup berumah tangga; (1) isteri/suami yang setia (2) anak-anak yang berbakti (3) lingkungan sosial yang sehat dan (4) rizkinya dekat. Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, anak-anak yang berbakti menjadikannya sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan imajinasi.

Makna Kesulitan
Imam Gazali dalam Ihya `Ulumuddin mengatakan bahwa setiap kali target ditingkatkan maka jalannya menjadi sulit, kendalanya banyak dan dibutuhkan waktu lebih lama, kullama zada al mathlub sho`uba masalikuhu wa katsura `aqabatuhu wa thala zamanuhu. Jadi tingkat kesulitan berhubungan dengan tingkat target. Jika orang ingin sekedar senang dalam hidup, maka ia dapat mencari kesenangan instan, pergi ke tempat hiburan, berfoya-foya dan berpesta pora. Tetapi jika seseorang ingin meraih kebahagiaan, maka ia justeru harus siap menderita menghadapi kesulitan, melupakan kesenangan jangka pendek.

Manusia didesain oleh Tuhan dengan sempurna, memiliki akal sebagai alat berfikir, hati sebagai alat memahami, nurani sebagai alat introspeksi, syahwat sebagai penggerak tingkah laku dan hawa nafsu sebagai tantangan. Kesemuanya itu dirancang untuk menghadapi medan kehidupan yang sulit. Dengan akal manusia bisa memecahkan masalah yang sulit, dengan hati manusia bisa menerima kenyataan yang pahit, dengan nurani manusia bisa mundur selangkah demi memperbaiki diri, dengan syahwat membuat manusia dinamis mencari dan dengan hawa nafsu manusia menjadi tertantang untuk mampu mengendalkan diri.

Manusia di satu sisi memang menyukai stabilitas dan kenyamanan hidup, tetapi di sisi lain manusia juga menyukai kesulitan. Manusia tidak selalu lari dari kesulitan, sebaliknya justru menantang kesulitan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hidup selalu stabil dan nyaman tanpa menjumpai kesulitan, maka dibuatlah stimulasi agar orang menaklukkan kesulitan buatan. Mahasiswa berlomba naik tebing buatan (wall climbing), pembalap mobil mencari medan berlumpur, yang berperahu mengikuti arum jeram, setiap agustusan orang ramai-ramai memanjat pohon pinang yang dilumuri oli, yang sudah punya dua kaki justeru berlomba lari dalam karung.

Pokoknya banyak sekali kesulitan yang sengaja dibuat untuk ditaklukkan, mengapa ? karena manusia memang memiliki tabiat tertantang. Kesulitan buatan pada umumnya hanya melahirkan kesenangan, yakni senang menjadi juara, tetapi belum tentu sampai kepada kebahagiaan. Kesusahan biasanya menambahi kesulitan, tetapi tidak semua kesulitan membuat susah.

Adapun kebahagiaan biasanya merupakan buah dari ketabahan menghadapi kesulitan panjang yang bersifat alamiah dalam kehidupan. Itulah maka hakikat kebahagiaan hidup berumah tangga biasanya baru diperoleh setelah kakek nenek, yakni ketika menyaksikan anak cucu sebagai generasi penerusnya hidup sukses dan terhormat.

Kesulitan juga harus dibedakan antara analisa dan perasaan, antara kesulitan teknis dan merasa sulit. Ada hambatan yang menurut analisa teknis masuk kategori sangat sulit dan berat, tetapi ada orang yang memandangnya ringan-ringan saja. Kenapa ? karena ia merasa tertantang untuk dapat menaklukkan kesulitan dan ia menyadari bahwa kesulitan itu merupakan proses mencapai kebahagiaan. Ia tidak merasa berat dan sulit ketika menghadapi kesulitan karena ia selalu membayangkan buah kebahagiaan yang akan dipetiknya, seperti seorang petani yang belepotan lumpur di sawah, ia tidak merasa risih dengan lumpur karena ia membayangkan panennya nanti. Sedangkan merasa sulit merupakan respon psikologis terhadap problem dan perasaan itu berhu bungan dengan tingkat kapasitas kejiwaan yang bersangkutan.

Penutup

Suasana Akad nikah yang anggun dan religious bisa menjadi pondasi psikologis dalam menapaki sejarah kehidupan. Selanjutnya penghayatan atas sunnatulloh kehidupan disertai dengan sikap amanah dalam konteks horizontal maupun vertical amin keberkahan hidup berkeluarga. Yushlih lakum a`malakum wa yaghfir lakum dzunubakum.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, July 20, 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (4)
Terapi Psikologis

Ada tiga teori untuk menerangkan mengapa “sesuatu” berlangsung dengan baik dan di tempat lain atau pada orang lain “sesuatu” itu justru tidak dapat berlangsung dengan baik.

• Teori Transaksional
Menurut teori ini, hubungan antar manusia (interpersonal) itu berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi maka hubungan itu akan terganggu , putus, atau bahkan berubah menjadi permusuhan.

Demikian juga suami, isteri, mantu, mertua, mereka berfikir; kontribusi mereka sebanding dengan keuntungan yang diperoleh atau malah rugi. Oleh karena itu seyogyanya, suami, isteri, mantu dan mertua selalu bertanya; apa yang dapat saya berikan, jangan bertanya apa yang dapat saya peroleh. Isteri pasti penuh perhatian kepada suami jika ia merasa banyak menerima dari suami, mertua juga pasti sayang mantu jika merasa banyak menerima dari menantu. Suami pun akan semakin sayang kepada isteri jika ia merasa banyak menerima dari isteri, sang mantu juga akan sangat hormat kepada mertua jika ia merasa banyak dibantu.

• Teori Peran
Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana semestinya peran setiap orang dalam pergaulannya . Dalam skenario itu sudah ‘tertulis” seorang Presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang harus dilakukan oleh suami, isteri, ayah, ibu, anak, mantu , mertua dan seterusnya.

Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan ditegur sutradara. Wanita sudah bersuami tetapi genit di depan umum, pasti digunjing orang banyak, karena menurut skenario, seorang isteri hanya boleh genit kepada suaminya. Seorang suami tidak bekerja, isterinya bekerja membanting tulang, tetapi suami tenang-tenang saja hidup numpang isteri. Nah lelaki seperti ini pasti tidak dihormati orang karena menurut skenario, suami adalah tulang punggung keluarga.

• Teori Permainan
Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti tanggung jawab, dan jika permintaanya tidak segera dipenuhi ia akan nangis terguling-guling atau ngambek.

Sedangkan orang dewasa, ia lugas dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar resiko. Adapun orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis terguling-guling ketika minta eskrim tidak dipenuhi, tetapi orang akan heran jika ada orang tua yang masih kekanak-kanakan.

Suasana rumah tangga juga ditentukan oleh bagaimana kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan sikap dan perilaku yang semestinya ditunjukkan. Sudah semestinya suami dan isteri bersikap dewasa, tetapi kepada anak-anaknya mereka harus bersikap sebagai orang tua. Mereka juga tidak kaget jika melihat sikap anak-anaknya yang kekanak-kanakan. Jika mereka tidak bisa bersikap sesuai dengan tingkatannya maka suasana pasti runyam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, July 19, 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (3)
Terapi Al Qur’an

Al Qur’an memberikan panduan umum kepada pasangan keluarga agar berpegang teguh kepada taqwa ketika sedang mencari pemecahan masalah. Taqwa menjamin output berupa way out dan rizki, waman yattaqillaha jaj`al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib (Q/….) Taqwa artinya berpegang teguh kepada kebenaran ilahiyah dan konsisten menghindari larangan Allah, imtitsalu awamirihi wa ijtinabu nawahihi.

Secara psikologis takwa adalah aksi moral yang integral, yakni perilaku yang lahir dari komitmen nilai moralitas yang dianut orang beragama. Jadi, sesulit apapun problem, jika dalam pemecahanya berpijak pada komitmen taqwa maka jalan keluar maupun jalan masuknya baik, seperti semangat doa; rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin wa ij`al li min ladunka sulthanan nashira.
Al Qur`an secara khusus juga memberi terapi dengan menggunakan pendekatan ishlah dan mu`asyarah bi al ma`ruf, mau`idzah dan ihsan.

• Bagaimanapun keadaannya, meski sedang kesal, hendaknya masing-masing bertindak secara ma`ruf, bergaul secara ma`ruf (wa`asyiruhunna bi al ma`ruf/Q/4:19 imsakun bi ma`ruf/Q/2:229). Ma`ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang baik dan patut. Ini artinya orang harus juga memperhatikan kebiasaan dan tata krama yang dianut masyarakat dimana seseorang berada.

• Semangat yang dicari haruslah ishlah. Jika yang dicari itu ishlah pasti Allah akan menolong; in yurida ishlahan yuwaffiqillahu bainahuma (Q/4:35). Ishlah mengandung muatan makna shulh (perdamaian) shalih (baik , patut dan layak) dan mashlahat (konstruktip). Baik suami maupun isteri harus mengedepankan niat berdamai, berpikir konstruktip dan tetap menunjukan perilaku yang patut.

• Ada tahapan-tahapan dalam mencari pemecahan masalah. Artinya masing-masing suami dan isteri harus sabar, tidak keburu nafsu dan tidak putus asa. Dalam kasus suami membimbing isteri misalnya, menurut al Qur’an, pertama harus mengedepankan nasehat, mau`idzah. Jika belum efektip, meningkat ke kesungguhan sikap-seperti berpisah tempat tidur. Jika belum efektip, baru langkah yang lebih tegas (Q/4:34)

• Seandainya harus mengambil keputusan yang pahit, perpisahan misalnya, itupun harus dengan ihsan (imsakun bima`rufin au tasrihun bi ihsan (Q/2:229). Ihsan adalah kebaikan yang murni, ihsan mahdlah, terlepas dari berbagai kepentingan, gengsi misalnya. Orang yang berbuat ihsan disebut muhsin- muhsinin.


Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, July 18, 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (2)
Pernik-Pernik Hidup

Mengarungi kehidupan tak ubahnya mengarungi samudera, terkadang lautan tenang dan angin sumilir, tetapi terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang faham sunnatullah laut, maka ia bisa berhitung kapan musim ombak dan kapan musim tenang. Tetapi kehidupan juga sering diungkapkan sebagai “tersandung di jalan rata”, terpeleset oleh “kerikil” kehidupan, dan sebagainya. Pembaca buku ini mungkin sudah banyak makan asam dan garam kehidupan. Meski begitu tetap saja anda masih dihadang oleh banyak problem.

Pernik adalah benda kecil tetapi menarik perhatian. Pernik-pernik hidup adalah sesuatu yang sebenarnya tidak prinsipil, tetapi karena menarik perhatian, maka ia bisa menyita perhatian suami dan isteri sehingga mendistorsi proporsionalitas masalah.

Manusia sebagai individu adalah unik. Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan isteri. Jika keunikan suami dan keunikan isteri menjadi sinergi maka rumah tangga itu mampu mempersepsi stimulus secara proporsional. Tetapi jika dua keunikan itu bertolak belakang, maka segala yang pernik-pernik dipersepsi menjadi prinsipil, dan meresponya juga dengan sikap prinsipil berpijak pada keunikan masing-masing.

Jika keadaan sudah demikian maka sakinah akan menjauh dari rumah tangga, dan sebagai gantinya adalah kesalahfahaman yang berkesinambungan. Rumah tangga tidak lagi menjadi “surga” (baiti jannati, my house is my castil), tetapi menjadi “neraka”.

Pernik-Pernik Sandungan
Tiap rumah tangga memiliki problem spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi batu sandungan hampir sama karakteristiknya; (a) persepsi terhadap rizki, (b) egoisme, (c) perkembangan psikologi pasangan.

a. Persepsi Terhadap Rizki Keluarga
Sebenarnya Tuhan telah menjamin rizki hambaNya, bahkan jika seseorang ingin menikah tetapi ekonominya masih berat, kata al Qur’an nikah saja, Allah yang menjamin rizkinya (in yakunu fuqara yughnihimullah Q/an Nur:32). Banyak pasangan ketika baru nikah belum memiliki harta apa-apa, tetapi kemudian mereka hidup berkecukupan.

Sebaliknya ada yang ketika menikah sengaja mencari pasangan atau mertua orang kaya, ternyata tak terlalu lama sudah jatuh menjadi orang miskin. Ada yang semula suami lancar sebagai pencari nafkah, tetapi kemudian jatuh sakit berkepanjangan sehingga tak lagi produktip, kemudian sumber rizki berpindah melalui isteri.

Persoalan saluran rizki bisa menjadi problem ketika orang memandang bahwa rizki itu hanya rizkinya, bukan rizki keluarga. Suami yang sukses kemudian menjadi GR(gede rumongso-bahasa Jawa, maksudnya merasa dirinya sangat penting) memandang rendah isterinya yang cuma nyadong. Ketika saluran rizki pindah lewat isteri, sang isteri juga kemudian menjadi GR, memandang sebelah mata suami. Inilah yang sering menjadi kerikil tajam, meski rizki melimpah, padahal sebenarnya rizki itu adalah rizki bersama sekeluarga.

b. Sifat Egois dan Tinggi Harga diri
Sifat egois dan tinggi harga diri sering mendistorsi persepsi. Ada ungkapan dalam psikologi komunikasi yang berbunyi “world don’t mean, people mean”, bahwa kata-kata itu tidak punya arti apa-apa, oranglah yang memberi arti. Ada orang tanpa beban apa-apa membeli mobil baru karena memang membutuhkan, tetapi tetangganya ada yang memberi arti sombong, sok, mentang-mentang, tak menenggang perasaan dan sebagainya. Dalam rumah tangga , sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah keadaan yang normal menjadi tidak normal, apa yang sebenarnya biasa-biasa saja, proporsional, dipersepsi sebagai tidak menghargai, menyakiti dan sebagainya, sehingga apa yang semestinya seiring sejalan berubah menjadi ada yang ngerjain dan ada yang merasa menjadi korban. Ada isteri atau suami yang merasa selalu disakiti, padahal tidak ada yang menyakitinya, merasa tidak dihargai, padahal harga seseorang itu sudah nempel pada dirinya.

c. Perkembangan Psikologi Pasangan
Jiwa manusia itu tak bisa menghindar dari hukum SR, Stimulus & Respond. Setiap hari ia melihat, mendengar dan merasakan sesuatu, kemudian mempersepsinya dan meresponnya. Proses SR yang dinamis , bisa mendewasakan seseorang, bisa juga membuatnya menjadi terganggu kejiwaannya. Hubungan interpersonal suami dan isteri berlangsung sangat intens, lama dan peka. Hubungan itu kemudian bisa menumbuhkan kejiwaan mereka secara seimbang, menjadi sinergi, bisa juga jomplang. Hubungan interpersonal suami isteri itu mengandung muatan; partner seksual, partner sosial, dan persahabatan.

Pada laki-laki muatan partner seksualnya itu pada umumnya stabil, partner sosialnya pasang surut dan partner persahabatanya berjalan lambat. Sedangkan bagi wanita, muatan partner seksualnya mulai menurun setelah monopouse, yang meningkat justeru partner sosial dan persahabatan. Pada pasangan paruh umur (yang normal) gairah seksual suami tetap stabil, sementara isteri lebih merasa bersahabat dengan suami.

Menurut dokter ahli seksologi, pada wanita, gairah seks (libido) meningkat sejak haid sampai mencapai puncaknya di usia 35 (tigapuluh lima) tahun dan terus menetap sampai usia 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat bertahan terus sampai setelah menopause, terutama pada wanita yang rajin memelihara kesehatan secara tradisionil, minum jamu misalnya . Pada pria, puncak gairah seks dicapai pada umur 20-30 tahun dan bertahan sampai umur 50 tahun, kemudian berkurang dan menetap sampai umur lanjut. Pusat libido letaknya di dalam otak, oleh karena itu keadaan jiwa yang positip dapat menahan libido, sebaliknya keadaan jiwa yang tidak tenang dapat merusak libido.

Pada kasus tertentu, jika suami merasa tidak lagi stabil gairahnya apa lagi jika merasa gagal menunjukkan kejantanannya (impoten atau ejakulasi dini), muatan persahabatan bisa berubah menjadi permusuhan (untuk menutupi kelemahannya). Setiap hari suami uring-uringan dan memandang keliru apa saja yang dilakukan isterinya sehingga isteri yang ingin tetap bersahabat menjadi bingung.

Pada usia paruh baya, ada suami yang padanya muncul apa yang disebut sebagai puber kedua dan puber ketiga. Pada masa puber kedua (usia sekitar 40 tahun) ada kecenderungan lelaki senang berdekatan dengan gadis belasan tahun, sedang pada puber ketiga (antara usia 50-60 th) lelaki tidak lagi tertarik dengan gadis belia, tetapi lebih suka berakrab-akrab dengan wanita paruh baya, yakni wanita yang sudah menunjukkan keberhasilannya sebagai wanita dewasa yang anggun.

Gejala ini sebenarnya normal dan akan reda dengan sendirinya jika direspond secara proporsional. Tetapi jika oleh isterinya disalahfahami atau dicaci maki, gejala “pubertas” ini justeru menuntut aktualisasi.

Read More
posted by : Mubarok institute
Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (1)
Pendahuluan

Akad nikah itu bersifat suci dan mengandung dimensi vertikal disamping horizontal, oleh karena itu meski akad nikah juga merupakan kotrak antara dua pihak, tetapi ia bersifat suci, ilahiyah, dan spiritual. Oleh karena itu tidak dibolehkan adanya nikah muaqqot yang dibatasi oleh waktu sesuai dengan perjanjian. Akad nikah harus berdimensi selama hayat dikandung badan , meski di tengah jalan, agama membolehkan adanya perceraian jika keadaan tidak lagi kondusip untuk meneruskan akad itu. Dari beratnya bobot akad nikah itu maka sebagian ulama menyebutnya sebagai mitsaqon gholidzo, sebagai perjanjian yang dimensinya sangat berbobot. Dari sisi itu maka jika nikah dipandang sebagai ibadah dan mengikuti sunah Rasul maka orang yang menikah dengan niat negatip dihukumi sebagai perbuatan haram.

Problem Mengemudi Bahtera Rumah Tangga
Hidup berumah tangga bagaikan mengemudi bahtera di tengah samudera luas. Lautan kehidupan seperti tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah. Memasuki lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan. Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga keluarga. Akan tetapi setelah periode “impian indah” terlampaui orang harus menghadapi realita kehidupan. Sunnah kehidupan ternyata adalah “problem”. Kehidupan manusia, tak terkecuali dalam lingkup keluarga adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun yang hidupnya terbebas dari problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justeru terletak pada kemampuan seseorang mengatasi problem. Sebaik-baik mukmin adalah orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al mu’min mufattanun tawwabun.(hadis). Problem itu sendiri juga merupakan ujian dari Tuhan, siapa diantara ,mereka yang berfikir positip, sehingga dari problem itu justeru lahir nilai kebaikan, liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala (Q/67:2) liyabluwakum fi ma a ta kum (Q/6:165)

Awal Akhir Problem Hidup Berumah Tangga
Menurut hadis Nabi, menemukan pasangan yang cocok (saleh/salihah) dalam hidup berumah tangga berarti sudah meraih separoh urusan agama, separoh yang lain tersebar di berbagai bidang kehidupan. Hadits ini mengambarkan bahwa “rumah tangga” itu serius dan strategis. Kekeliruan orientasi, keliru jalan masuk, keliru persepsi, keliru problem solving dalam hidup rumah tangga akan membawa implikasi yang sangat luas. Oleh karena itu problem hidup berumah tanga adalah problem sepanjang zaman, dari sejak problem penyesuaian diri, problem aktualisasi diri, nanti meluas ke problem anak, problem mantu, cucu dan bahkan tak jarang suami isteri yang sudah berusia di atas 60 masih juga disibukkan oleh problem komunikasi suami isteri, hingga kakek dan nenek itu pisah ranjang.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, July 12, 2011

Bagaimana potret masa depan bangsa kita ?
Visi kita tentang Indonesia sudah barang tentu adalah bangsa besar yang maju. Tetapi kekayaan alam suatu bangsa tidak serta merta menjadikan bangsa itu maju, sebagaimana juga negara yang tidak memiliki sumber daya alam tidak serta merta terhalang untuk menjadi bangsa maju. Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh kekayaan alamnya, tetapi oleh kecerdasan dan keuletan manusianya.

Jepang yang tidak memiliki kekayaan alam bisa menjadi negara maju menyaingi Amerika yang dulu meluluh lantakkannya dengan bom atom. Kita bangsa Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam ternyata tertinggal oleh Jepang, karena manusianya belum memiliki karakter bangsa maju. Ada negara maju tetapi tidak bermartabat, sebaliknya ada negara yang tidak masuk kategori negara maju atau negara kaya tetapi bermartabat.

Ciri-ciri bangsa yang maju adalah

1. Memiliki kebanggaan terhadap bangsanya, tidak merendahkan bangsa sendiri, right or wrong my country
2. memiliki etos kerja yang diwujudkan dalam sistem sehingga hanya orang yang
bekerja keraslah yang mempunyai peluang untuk mencapai kesejahteraan tinggi.
3. memiliki keseimbangan antara mengadopsi nilai-nilai universal dengan pemeliharaan
niliai-nilai kearifan lokal sebagai jati diri kebangsaan.
4. memiliki program pendidikan sebagai sistem peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
5. membudayakan fanatisme nasional meski tetap berkomitmen kepada problem global.
6. memiliki sistem kepemimpinan nasional yang kuat sehingga menjamin berjalannya
konstitusi.

Dengan enam ciri tersebut diatas, suatu bangsa bisa membangun kemandirian. Kemandirian suatu bangsa dapat dilihat pada indikator-indikator :

1. mampu mengelola sendiri sumber daya alam yang dimiliki. Jika sumber daya alam dikelola oleh Negara asing maka mereka yang lebih memperoleh manfaat,sementara pemiliknya hanya menampung limbah.
2. mampu menyediakan sendiri kebutuhan dasar (terutama pangan) bagi rakyatnya. Ketahanan pangan akan dapat menghindarkan bangsa dari dampak krisis global, sebaliknya ketergantungan pangan kepada Negara asing akan melemahkan ketahanan masyarakat dari godaan anarkisme.
3. tidak memiliki ketergantungan absolut kepada Negara lain. Ketergantungan absolut kepada Negara lain akan membuat bangsa itu mudah didikte oleh Negara lain. Sedangkan saling ketergantungan antar Negara tidak bisa dihindar, sepanjang tidak absolut.
4. tidak terjerat hutang LN melebihi batas kemampuan.
5. Tidak bisa didikte oleh Negara lain.
6. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya alam,

Jika suatu bangsa mampu mandiri, maka ia berpeluang untuk menjadi bangsa yang terhormat, dan bermartabat. Martabat suatu bangsa dicapai manakala bangsa itu:

1. Rakyatnya memiliki taraf hidup yang layak dari segi sandang, pangan, papan dan kesehatan.
2. Rakyatnya hidup dalam keadaan aman dan damai, terlindung dari tindak kekerasan dan kejahatan
3. Hak azazi manusia dijamin, bebas mengeluarkan pendapat dan bebas memilih sepanjang untuk kepentingan bangsa.
4. Memiliki program pembangunan yang berkesinambungan, tidak terganggu oleh pergantian kepemimpinajn nasional. Jika setiap ganti Presiden berganti pula orientasi pembangunan nasionalnya maka stabilitas bangsa itu mudah diganggu oleh intervesi asing.
5. Pemerintahnya bersih dari praktek-praktek kotor sebangsa KKN sehingga dinamika politik dan ekonominya terukur.
6. Peduli kepada pendidikan generasi dimana sistem pendidikan yang dijalankan menjamin kualitas generasi sebagai sumber daya yang dibutuhkan, apalagi jika Universitas-universitasnya menjadi rujukan mahasiswa asing .
7. Lingkungan hidupnya sehat dan tertib, limbah terkelola dan ketertiban terjaga.
8. Memiliki prestasi international dalam bidang-bidang tertentu,misalnya olah raga, seni, lomba ilmiah.
9. mampu melindungi wilayah negaranya dari intervensi asing, musuh, penyelundupan, pencurian dan spionase.
10. Mampu menunjukkan jati diri kebangsaannya di dunia internasional; terutama kebudayaan dan karakter kebangsaan. Bangsa yang tidak lagi memiliki kebudayaan yang dibanggakan, apa lagi jika sudah lebur dengan budaya asing, atau selalu merendahkan jati diri kebangsaan sendiri maka ia akan kehilangan martabat kebangsaannya..
11. berpegang teguh kepada etiket dan moral, baik dalam interaksi internalnya dengan sesama warga bangsa maupun dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Dengan etiket dan moral yang kuat maka bangsa itu disegani oleh bangsa lain.

Dari visi itu maka kita harus memiliki misi. Ada misi yang menjadi domain pemimpin dan Pemerintah, ada yang menjadi domain lembaga pendidikan dan insan pendidikan dan juga dunia usaha.

• Depdiknas dengan anggaran pendidikan yang sudah lumayan (20%) harus membuat strategi pendidikan nasional sehinggga pendidikan menjadi relefan dengan cita-cita masa depan bangsa di tengah era global.
• Lembaga pendidikan (sekolah dan Perguruan Tinggi) harus mampu membuat kreatifitas pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal masing-masing
• Individu insan pendidikan (guru) harus memiliki konsep diri sebagai guru pendidik, bukan sekedar guru pengajar.
• Dunia usaha harus membuka link dengan dunia pendidikan dalam bidang penelitian dan ketenaga- kerjaan.
• Tiga karakteristik Budaya pesantren; yaitu kesederhanaan, toleransi dan keakraban dengan tradisi , bisa dijadikan ruh kultur pendidikan.
• Untuk menambah ufuk, budaya pertukaran murid, guru dan dosen, perlu digalakan, baik antar lembaga di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, July 11, 2011

Pendidikan di Indonesia: Potret Masa Depan
Membangun Karakter
Sudah lama kita baca dalam GBHN yang lalu bahwa hakikat pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia, pembangunan manusia seutuhnya. Jika mengamati perilaku ”menyimpang” masyarakat kita yang nampak di parlemen, di jalanan dan bahkan di pengadilan KPK, timbul pertanyaan, apakah itu cermin karakter manusia Indonesia, atau sekedar perilaku temperamental pada saat-saat tertentu.

Dalam hal ini perlu diketahui bahwa memang ada perilaku yang bersumber dari karakter seseorang, disamping ada juga perilaku yang bersumber dari temperamennya. Apa bedanya? Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri.

Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk diubah dan bersifat netral terhadap penilaian baik buruk. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolak ukur yang dianut masyarakat. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu ia dapat berubah. Jika temperamen tidak mengandung implikasi etis, maka karakter justeru selalu menjadi obyek penilaian etis.

Terkadang orang memiliki temperamen yang berbeda dengan karakternya. Ada orang yang temperamennya buruk, padahal karakternya baik. Jika temperamennya sedang bekerja maka pada umumnya bertingkah laku negatip, tetapi setelah reda nanti ia menyesali dan malu atas apa yang dilakukannya, meskipun nanti juga akan terulang kembali. Sedangkan orang yang karakternya buruk tetapi temperamennya baik, ia dapat menyembunyikan keburukannya dihadapan orang.

Penipu biasanya memiliki temperamen yang baik tetapi karakternya buruk. Yang paling merepotkan adalah orang jahat yang temperamennya buruk. Karakter yang sudah menetap akan membentuk sebuah kepribadian. Menurut Freud, kepribadian manusia berdiri diatas tiga pilar, Id, Ego dan Super Ego, unsur hewani, akali dan moral. Perilaku menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut. Tetapi kesimpulan Freud manusia adalah Homo Volens, yakni makhluk berkeinginan yang tingkah lakunya dikendalikan oleh keinginan-keinginan yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya, satu kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.

Sedangkan dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, akal dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian, disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya termasuk pengalaman pendidikan. Dalam perspektip ini maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari pengalaman masuk dalam struktur kepribadian seseorang.

Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap orang berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi di kala yang lain bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di luar keyakinan agamanya.
Jadi karakter bukan hanya terbentuk melalui pendidikan sekolah, tetapi yang juga sangat berpengaruh adalah pendidikan dalam keluarga sejak dalam kandungan atau yang sering disebut pra natalia education.

Nation and Character Building
Bung Karno dulu seringkali mengumandangkan kalimat ini, yaitu bagaimana membangun karakter bangsa. Manusia memang bukan hanya makhlukyang unik,tetapi ia juga makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi apa dan siapa bergantung ia bergaul dengan siapa. Artinya hubungan interpersonal masyarakat akan dapat melahirkan karakter masyarakat. Seberapa besar ?

Menurut sebuah penelitian psikologi, 83% perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh berbagai stimulus. Maknanya, pada era global dimana informasi dunia bisa diakses secara serentak oleh masyarakat di seluruh balahan bumi, perilaku masyarakat Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh fenomena dunia, menyangkut politik, budaya, mode, selera dan norma-norma sosial.

Yang lebih berat khususnya bagi Indonesia adalah kenyataan bahwa masyarakat Indonesia masih terpecah menjadi lima lapisan; (1) lapisan masyarakat ultra modern yang tinggal di kota-kota besar, (2) lapisan masyarakat modern di kota-kota, (3) lapisan masyarakat urban yang jumlahnya terbesar, (4) masyarakat tradisionil di desa-desa dan (5) masih ada lapisan masyarakat terbelakang yang hidup di zaman batu . Kelima lapis ini dalam era global menerima stimulus yang hampir sama melalui televisi. Realita inilah yang harus menjadi perhatian serius bagaimana bisa membangun karakter manusia Indonesia.

Strategi Pendidikan Nasional
Ada dua bangsa yang kini sedang bangkit menjadi negara besar ,yaitu Cina dan India. Kebangkitan itu ternyata merupakan buah dari strategi pendidikan nasionalnya. Dalam kesempatan dengan dialog dengan menteri Pendidikan dari dua negara tersebut terungkap terungkap hal sebagai berikut.
India, menfokuskan anggaran pendidikan nasionalnya hanya untuk 10% penduduknya,yaitu dari ”kasta” tertinggi. Selebihnya dibiarkan apa adanya seperti yang kita lihat di film2 India. Dengan demikian maka anggaran pendidikan menjadi sangat besar, dan dengan anggaran yang besar itu India bisa menyelenggarakan pendidikan yang sangat bermutu.

Buahnya sungguh luar biasa. 10% dari hampir 1 Milyard Penduduk India adalah 100 juta, dan mereka kini menguasai pasar tenaga kerja di dunia maju. Bandingkan dengan pendidikan nasional kita, sudah anggarannya kecil, pakai pemerataan lagi. Hasilnya, yang merata adalah kebodohannya. Lulusan sekolah kita takut bersaing dengan lulusan sekolah luar negeri, tenaga kerja kita yang kita kirim ke luar negeri malah hanya TKW yang tak terdidik sama sekali. Kini kita sudah mempunyai anggaran pendidikan 20%, tetapi kreatifitas pendidikan kita belum memadai.

Cina, selalu mengirimkan mahasiswa ke luar negeri dalam jumlah besar, tetapi yang kembali ke negerinya hanya 10%. Selebihnya tidak mau pulang, memilih menjadi perantau di negeri orang. Ketika Menteri pendidikannya ditanya,apa negara tidak rugi, mengirimkan mahasiswa ke luar negeri dalamumlah besar tetapimerekatidak mau kembali?. Menterinya menjawab, tidak, karena cina-cina diperantauan justeru menjadi tangan negara.Mereka membangun China town di mana-mana, dan buahnya adalah untuk kepentingan negeri leluhurnya. Bandingkan negri kita, jika ada mahasiswa diberi beasiswa keluar negeri kemudian bekerja diluar negeri, tidak mau pulang, maka mereka bisa dicap sebagai penghianat bangsa, tidak tahu terimakasih kepada negara sendiri.

Cina lebih cermat dalam melakukan perubahan abad XXI ini dibanding Indonesia, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun Cina sudah bisa mengubah diri dari negeri miskin menjadi negeri terkaya di dunia. Cina bahkan berani mengambil sistem ekonomi kapitalis meski politiknya tetap komunis. Sementara Indonesia sudah 13 tahun reformasi masih belum jelas potret 10 tahun ke depan.

Pelajaran dari Turki dan Iran
Ada dua bangsa yang sekarang mampu menunjukkan kemandiriannya yang dapat kita ambil pelajaran, yaitu Turki dan Iran.

Turki. Dulu Turki pada masa Ottoman atau Turki Usmani adalah imperium yang wilayah kekuasaannya sangat luas mencakup Asia Afrika dan Eropa. Pada masa itu bahkan Perancis nyaris ditaklukkan. Dampak dari Perang Dunia, Imperium Turki runtuh dan diambil alih oleh Mustafa Kamal Attaturk menjadi Republik Turki dengan membuang semua warisan budaya Turki Usmani mengubah jati dirinya menjadi negeri sekuler.

Bertahun-tahun Turki mengemis-ngemis untuk diakui menjadi orang Eropa tetapi hingga sekarang ditolak menjadi anggauta Uni Eropa.Keterpurukan Turki bahkan melahirkan sebutan yang sangat tidak enak, yaitu bahwa Turki adalah sick Eourope, orang Eropa yang sakit.
Baru sekitar 12-13 tahun Turki melakukan perubahan mendasar yakni menghidupkan kembali jati diri Turki melawan orde sekuler yang dimotori tentara. Pers dan dunia usaha mendukung sepenuhnya ”orde baru” Turki. Turki tak peduli diakui atau tidak diakui sebagai orang Eropa, tapi Turki justru aktif mendekati negara-negara kecil seperti Yordan, Suriah, Libanon dan Palestina. Hasilnya luar biasa, kini Turki bangkit, ekonomi dan diplomasi internationalnya.

Iran. Sedangkan Iran, setelah sekian lama dikucilkan oleh dunia Barat (tadinya boneka Amerika pada zaman Reza Pahlevi) kini Iran mampu mandiri dalam bidang senjata bahkan nuklir. Boikot Barat mengilhami bangsa itu untuk berdiri diatas kaki sendiri. Dengan kultur Syi`ah dan politik wilayatul faqih, Iran berdiri kokoh ditengah kekuatan Barat yang selalu menakut-nakuti.

Read More
posted by : Mubarok institute
Problem Pendidikan di Indonesia: Potret Ke depan
Kuliah Umum di depan Mahasiswa Pascasarjana STAIN,
Gresik, 9 Juli 2011

Pendahuluan

Martabat suatu bangsa diukur dari akhlak (budaya) nya. Kebudayaan suatu bangsa terbangun melalui proses pendidikan generasi. Kualitas pendidikan ditentukan oleh konsep , sistem dan SDM pendidikan, sedangkan keberhasilan program pendidikan nasional ditentukan oleh political-will Pemerintah/negara. Bangsa besar tanpa kebudayaan tinggi tidak pernah bisa menjadi subyek, sebaliknya dijadikan obyek oleh bangsa lain yang lebih tinggi kebudayaannya meski negara kecil. Tanpa pendidikan yang memadai, kebudayaan suatu bangsa tidak akan beranjak maju.


Kualitas Manusia Indonesia

Sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.

Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. Salah didikkah mereka?

2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Hasil pendidikan hari ini baru akan nampak pada 20-30 tahun yang akan datang. Kondisi bangsa hari ini adalah buah dari pendidikan nasional kita 30-50 tahun yang lalu. Lalu Seperti apa wajah generasi Indonesia mendatang ?

Problem Pendidikan di Indonesia

Menengok kebijakan pendidikan 30-50 tahun yang lalu ,sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita dimasa lalu yang buahnya kita rasakan sekarang, meliputi:
[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia.

Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliyah hanya Rp. 4.000,-/anak/tahun.
[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengem-bangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.

Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional pada era orde baru sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
7. Cendekiawan dan politisi yang hipokrit,
8. Hutang Luar Negeri yang terus membebani
9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Ketika Indonesia memasuki dunia global dimana arus informasi dan keterbukaan tak bisa dihindar, masyarakat Indonesia mengalami keterkejutan budaya, bagaikan sekumpulan orang yang selama 32 tahun dikurung dalam penjara yang gelap gulita, tiba-tiba penjaranya dirobohkan, dan mereka keluar melihat dunia baru yang terang benderang, terlihat aneh tapi mengasyikkan. Mereka berpesta pora melakukan apa saja yang sebelumnya mustahil dilakukan, dan entah kapan mereka dapat berfikir tenang merencanakan masa depan yang realistis.

Itulah gambaran masyarakat Indonesia, sepeninggal jatuhnya Presiden Suharto, mencari jati dirinya kembali tapi dalam prosesnya masih kebingungan karena permasalahan yang komplikatip, antara kerinduan kepada demokratisasi, kebebasan, kemakmuran dan kehormatan yang ternyata tidak sinkron. Problem solving yang dilakukan oleh Pemerintah, DPR dan MPR hampir semuanya berjangka pendek, kurang bersistem dan terasa sekali nuansa improvisasi karena hampir semua warga bangsa ini secara psikologis masih dalam posisi menikmati eforia kebebasan dari penjara gelap selama 32 tahun.

Sudah sepuluh tahun lebih reformasi, pesta eforia masih juga belum usai, dan perilaku ”anarkis” yang sesungguhnya memuakkan itu selalu muncul setiap kali menjelang pesta demokrasi; pileg atau pilpres. Anggaran pendidikan yang ditetapkan sejak APBN 2009 sesungguhnya sudah lumayan mencapai 20% tapi belum diikuti dengan kreatifitas yang memadai dalam bidang pendidikan. Jika kita menyaksikan perilaku ”kita” di TV terasa sekali kita seperti bangsa yang tidak berkarakter.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger