Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, October 31, 2008

Kualitas Salat
Kualitas salat seseorang diukur dari tingkat kekhusyu’annya. Salat dapat disebut sebagai zikir manakala orang yang salat itu menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam salatnya, karena zikir itu sendiri adalah kesadaran. Lawan dari zikir adalah lalai, oleh karena itu al Qur’an juga mengingatkan orang yang berzikir (salat) agar jangan lalai, wala takun min al ghafilin (Q/7:205). Salat¬nya orang yang lalai pasti tidak efektif karena tidak komunikatif. Hadis Riwayat Abu Hurairah menyebut¬kan bahwa betapa banyak orang yang salat, tetapi tidak memperoleh apa-apa selain lelah dan capai, Kam min qa imin hazzuhu min salatihi at ta’abu wa an nasobu. Salat sebagai zikir bukanlah kata-kata, ruku dan sujud, tetapi dialog, muhawarah dan munajat seorang hamba dengan Tuhannya. Kunci dari muhawarah dan munajat adalah kehadiran hati, hudur al qalb, dalam salatnya. Jadi khusyu’ adalah hadirnya hati dalam setiap aktivitas salat. Makna salat terletak pada seberapa besar kehadiran hati di dalamnya.

Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin menyebut enam makna batin yang dapat menyempurnakan makna salat, yaitu; (1) kehadiran hati, (2) kefahaman, (3) ta’zim, mengagungkan Allah, (4) segan, haibah, (5) Berharap, roja, dan (6) malu.

Di samping enam hal yang bersifat maknawi, bagi orang awam masih membutuhkan situasi fisik yang kondusif untuk salat, agar perhatiannya tidak terpecah sehingga hatinya dapat hadir. Bagi orang yang sudah kuat konsentrasinya, maka lingkungan fisik tidak lagi menjadi stimulus yang mengganggu, apa yang bagi orang awam, sesuatu yang terdengar, yang terlihat, justeru lebih menarik perhatiannya, lupa kepada Tuhan yang sedang diajak berbicara. Demikian juga bagi orang yang terlalu banyak problem yang tidak halal, ruang gelap, ruang kosong, menutup mata dan menutup telinga tidak akan membantu mengkonsentrasikan hatinya kepada Tuhan, karena dua hal itu merupakan hal yang bertentangan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Fungsi Salat
Dalam struktur syari’at Islam, salat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum mukmin (inna as salat kanat ‘ala al mu’minin kitaban mauquta,Q/4:103). Sebagai kewajiban yang bersifat sentral, salat tidak cukup dikerjakan sekali-sekali, tetapi bersistem sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu perintah salat bukan untuk mengerjakan, tetapi mendirikan salat (iqam as salat), yakni mengerjakan dengan mengikuti sistemnya. Jika salat dikerjakan dengan mengikuti sistemnya, maka ia akan berfungsi bagi yang mengerjakannya, seperti maksud syari’at salat.


Jika salat hanya dikerjakan tanpa mengikuti sistemnya maka yang tertinggal hanyalah bentuk ritual salat yang tidak relevan dengan fungsinya. Salat lima waktu merupakan tugas wajib, oleh karena itu ia tidak dimaksud untuk apa-apa selain mematuhi kewajiban.

Untuk mencari nilai plus hubungan manusia dengan Alloh, misalnya ingin dekat dengan Allah, maka itu bukan dengan salat wajib, tetapi dengan salat sunnat (nawafil).
Diantara fungsi salat adalah (1) untuk berko¬munikasi dengan Alloh, (2) media zikir kepada Alloh, dan (3) untuk membangun kepribadian.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 22, 2008

Pengertian Bid’ah
Dari segi bahasa, bid`ah artinya penciptaan, jika disebut bid`ah agama maka yang dimaksud adalah penciptaan hal-hal baru dalam agama. Hadis Nabi mengatakan bahwa semua bid`ah itu sesat, dan semua yang sesat akan masuk ke neraka (kullu bid`atin dholalah wa kullu dhalalah fin nar).

Tetapi dalam hadis lain disebutkan bahwa barang siapa mempunyai kreatifitas yang baik, maka ia memperoleh pahala ganda, dari kreatifitasnya dan dari orang yang mengikuti kreatifitas itu (man sanna sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha). Nabi dalam urusan tanam menanam juga pernah berkata bahwa ;dalam urusan ini engkau lebih tahu, (antum a`lamu bi umuri dunyakum). Nah dari keterangan itu maka disimpulkan bahwa bid`ah yang dilarang adalah dalam hal agama, artinya mengada-ada apa yang semula tidak ada dalam hal agama. Lalu apa saja yang termasuk agama, dan dimana ruang kreatifitas itu.

Nah disinilah terjadi pemilahan masalah;. Misalnya salat adalah wilayah agama yang tidak boleh diubah-ubah, dikurangi atau ditambah, tetapi gedung masjid, sajadah, kolam wudlu, menara, pakaian salat dan lain-lainnya adalah kebudayaan yang orang boleh berkreatifitas . Adakah peringatan maulud Nabi itu wilayah agama atau kebudayaan ? sudah jelas peringatan maulud Nabi adalah kebudayaan Islam, yakni diciptakan oleh masyarakat atas ilham keagamaan, yakni didorong oleh rasa cinta kepada Nabi dan didorong oleh tujuan dakwah.

Karena ekpressi cinta maka bentuk mauludan berbeda-beda, ada yang dalam bentuk ceramah agama, ada pawai obor, ada sekatenan, ada pembacaan rawi dan sebagainya. Kitab Rawi (Barzanji) itu sendiri adalah kitab sastra yang berisi epic sejarah Nabi, ditulis sebagai wujud kecintaan seorang sastrawan terhadap Nabi Muhammad. Untuk memahami kedudukan kebudayaan dalam beragama, maka perlu diketahui tingkat pemahaman terhadap agama.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 20, 2008

Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik
Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktifitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dan klien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab 'alaih.

Pengertian hisbah
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menum¬buhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah:
artinya : Hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan men¬cegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104)
artinya: Tidak ada kebajikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia ) memberi sedekah, atau yang berbuat maíruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q/4:114)

Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.

Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien ter¬dorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya.
Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.

Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran.

artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengizinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang ribut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka Nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah aku tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu.

Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiar¬kannya, kata pemuda itu. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga, ya Rasul, Demi Alah aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perem¬puanya atau bibinya dizinahi. Nabi kemudian meletakkan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. (H.R. Ahmad dari Abu Umamah)
Menurut parawi hadis tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina.

Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam mengha¬dapi pemuda itu Nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang im¬plikasi zina bagai orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memu¬tuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psi¬kologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus.

Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Yang pertama men¬dasarkan pendapatnya pada firman Allah:

artinya: Orang-orang mukmin, laki dan perempuan, yang satu dengan lainnya adalah kekasih dan orang kepercayaannya, mereka selalu beramar makruf dan nahi munkar. (Al Taubah, 71)

artinya: Demi masa. Sesunguhnya manusia senantiasa merugi, kecuali orang yang beriman, bermalal saleh dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. (Q/103: 1-3)

Yang berpendapat hukumnya fardlu kifayah menda¬sarkan pendapatnya pada ayat al Qur'an:

artinya: Hendaknya ada diantara kalian sekelompok orang yang bekerja mengajak kebaikan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, merekalah orangorang yang beruntung. (Ali Imran 104).
Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga ketika itu jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat.

Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang/amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pe¬merintah.

Bentuk-bentuk ihtisab/hisbah ketika itu menurut Ka¬mal Ibrahim Mursi antara lain :

(a) Pemberian nasehat (mau'idzah hasanah) secara umum, yakni dilakukan secara perorangan atau kelompok, di masjid, di rumah atau di tempat kerja. Tahap ini sifatnya merupakan langkah prefentip.

(b) Bimbingan ringan secara individuil
Bentuk hisbah ini diberikan kepada orang-orang yang nyata nyata membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Obyek bimbingannya bisa menyangkut masalah ke¬agamaan, kerumah tangaan, kepribadian, pekerjaan dsb. Dalam menjalankan hisbah dalam bentuk ini, muhtasib (konselor) berusaha menjumpai muhtasab 'alaihi (klien) berdua saja. Bentuk hisbah ini dilakukan untuk mendorong motivasi klien pada kebaikan, dan mendo¬rongnya alergi terhadap kemunkaran,dan menyadarkannya untuk menerima kenyataan secara ikhlas.

(c) Bimbingan berat secara individuil
Metode ini dilakukan terhadap orang yang sudah terang terangan menjalankan perbuatan tercela/keji, dan terang-terangan pula tidak mau mengerjakan perbuatan baik, orang yang sudah akrab dengan kejahatan dan allergi terhadap kebaikan. Orang pada tingkat seperti ini biasanya sudah tidak mempan terhadap nasehat-nasehat yang lemah lembut.

Kepada orang semacam ini, muhtasib dalam perca¬kapanya sengaja menggunakan kata-kata yang keras seraya mengingatkan resiko yang akan diterimanya di dunia maupun di akhirat, jika tidak mau mengubah perilakunya. Muhtasib dengan memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang mempunyai kepedulian, secara sengaja mengetuk keras-keras pintu hati klien —semacam schok terapi— agar pintu hatinya bisa terkuak, karena ketukan halus tidak akan pernah didengar atau bahkan ditertawakan.

(d) Bimbingan massal

Metode ini digunakan dalam kasus pertikaian, yakni bimbingan untuk mendamaikan perselisihan yang sudah terlanjur terbuka, antara buruh dan majikan, peminjam dan yang dipinjami, penjual dan pembeli, perselisihan anak dan ayah, suami dan isteri dsb. Karena persoalannya sudah terbuka maka hisbah yang diberi¬kan juga dilakukan secara terbuka, misalnya dalam forum perdamaian. 22)


Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh negara nantinya me¬munculkan istilah wilayat al, Hisbah dalam Fiqh al Siyasah/sistim politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah.

Read More
posted by : Mubarok institute
Pendidikan Spiritual
Pendidikan adalah satu proses yang bertujuan membentuk pola perilaku; misalnya pendidikan kemiliteran, pendidikan kewiraswastaan, pendidikan agama dan sebagainya. Proses itu biasanya membutuhkan peran seorang pendidik (murabbi), tetapi manusia juga bisa mendidik diri sendiri setelah berjumpa dengan pengalaman yang mendidik. Oleh karena itu pendidikan spiritual lebih menekankan pada pemberian kesempatan agar seseorang mengalami sendiri suatu pengalaman spiritual. Jika bercermin kepada perilaku Nabi Muhammad, maka nampaknya lembaga pendidikan spiritual yang dialami oleh Muhammad sebelum menjadi Nabi adalah gua Hira. Nabi sering uzlah, menyendiri di dalam gua Hira, bertafakkur, mengasah nurani, menajamkan hati, dan mengelola emosi serta mengendalikan nafsu.

Dalam perspektif Islam, Pendidikan spiritual adalah proses tranformasi sistem nilai Qur’ani ke dalam potensi kejiwaan seseorang melalui perjuangan dan pelatihan jiwa (mujahadah) agar setiap kali merespon stimulus dalam kehidupan, jiwanya tunduk kepada nilai-nilai tersebut dengan tenang, senang dan yakin.

Wujud mujahadah itu adalah zikir, salat malam (qiyam al lail) puasa sunnat, zuhud yang disembunyikan (zuhd al qalbiy). Secara sufistik, pendidikan spiritual dilakukan melalui proses perjalanan (as sayr wa as suluk) menembus stasiun-stasiun taubat, zuhud, faqr, wara‘, terus hingga mencapai maqam ma‘rifat, yang dengan pencapaian itu ia bisa melihat dengan pandangan Alloh, bisa mendengar dengan pendengaran Alloh dan bisa melakukan sesuatu dengan “tangan” Alloh.

Orang yang telah memiliki kecerdasan spiritual disebut sebagai ‘arif atau min al ‘arifin, secara sosiologis sering disebut sebagai orang yang arif bijaksana. Ma‘rifat tidak menetap, melainkan sesaat-sesaat (sa‘atan sa‘atan), seperti disebut dalam hadis riwayat Hanzalah, tetapi pengaruhnya menghunjam dalam kejiwaan seseorang, mempengaruhi persepsi dan mewarnai perilaku.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 13, 2008

Makna Imam Dalam sholat
Manusia adalah makhluk sosial dan budaya. Salah satu wujud kebudayaan dan kesosialannya, mereka mengenal lembaga kepemimpinan. Di mana pun dan pada zaman kapan pun masyarakat manusia mengenal kepemimpinan. Dalam bahasa Arab, pemimpin disebut imam, amir, ra’is, za’im dan qa’id. Dalam Iingkungan Islam, Imam dipergunakan untuk menyebut pemimpin ibadah dan pemimpin dalam pengertian umum, Amir (umara/amirul mukminin) dipergunakan untuk menyebut panglima, qa’id digunakan untuk menyebut komandan, sedangkan rais digunakan untuk menyebut kepala negara atau Presiden dan za‘im untuk menyebut pemimpin kemasyarakatan (non formal).

Agama Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk menjalankan ibadah salat berjamaah. Salat jama’ah dipimpin oleh seorang imam, dan selebihnya menjadi makmum di belakangnya. Dalam salat jamaah, laiknya kepemimpinan dalam masyarakat, juga dikenal kriteria-kriteria (a) siapa yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika seorang imam, (c) apa kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum. Secara fiqhiyyah, siapa saja dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, tetapi pada hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia menghadap, melapor dan berdialog dengan Alloh SWT Yang Maha Agung, maka hanya orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.

Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad Din, kitab fiqh yang memiliki makna spiritualitas, menyebut enam kriteria persyaratan etis seorang imam. (1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan membuat makmum tidak dapat tuma’ninah (2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai muazzin dan imam sekaligus, (3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat awal waktu setiap harinya, (4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah, (5) Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya telah berbaris rapih, dan (6) bertakbir dengan suara lantang serta membaca Al Qur’an dengan fasih.

Shalat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup melakukannya.

Ia juga tidak boleh membaca ayat Al Qur’an terlalu panjang sekiranya ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi ke¬kurangannya, yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Al Qur’an, memberi kesempatan makmum yang belum sempurna membaca Fatihah.

Laiknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula mendahului gerakan imam, tetapi jika imam melakukan kekeliruan, makmum diberi hak untuk mengingatkan, yakni dengan mengucapkan kalimat Subhanallah.

Sebagai imbangan dari keharusan makmum mematuhi imam, seorang imam secara sportif langsung harus mengundurkan diri jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.

“Jabatan” Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak orang justeru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan diikuti oleh makmum di belakangnya. Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya’

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, October 12, 2008

Kiat Ketika Memberi Salam
Salam adalah penghormatan bagi kaum muslimin yang disyariatkan Allah untuk dijadikan slogan diantara sesama mereka. Memberi salam adalah kewajiban bagi seorang muslim terhadap muslim lainnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada enam; yaitu (a) apabila berjumpa, ucapkanlah salam kepadanya, (b) apabila ia mengundang, penuhilah undangannya, (c) apabila ia minta na¬sehat, berilah ia nasehat, (d) apabila ia bersin yang disertai ucapan Alhamdulillah, maka ucapkanlah yarhamukallah, (e) apabila ia sakit, lawatlah, dan (f) apabila ia meninggal, hantarkanlah jenazahnya. (HR. Muslim).

Tatakrama memberi salam menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut :

1. Sedapat mungkin memberi salam dengan salam paripurna sesuai syari`ah, yaitu ucapan Assa¬lamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Husain r.a. menceriterakan bahwa: “Seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW seraya mengucap¬kan salam Assalamu `alai¬kum, lalu Rasulullah menja¬wabnya. Kemudian lelaki itu duduk, dan Rasulullah kemudian berkata kepadanya, engkau mendapat sepuluh (pahala). Tak lama kemudian datang se¬orang lelaki lain dan mengucapkan salam Assa¬lamu `alaikum warahmatullah, dan Rasulullah juga menjawabnya. Setelah lelaki itu duduk, Rasulullah berkata kepadanya; engkau mem¬peroleh dua¬puluh (pahala). Kemudian datang lagi seorang lelaki dan mengucapkan salam Assalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh, dan Rasulullah menjawabnya pula. Setelah lelaki terakhir itu mengambil tempat duduk, Rasulullah berkata kepadanya, engkau memperoleh tigapuluh (pahala)”. (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Nasai dengan sanad yang kuat).

2. Di antara adab memberi salam menurut ajaran Islam ialah :

a. Pejalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk.

b. Pengendara kendaraan memberi salam kepa¬da pejalan kaki.

c. Kelompok yang jumlahnya sedikit memberi salam kepada kelompok yang jumlahnya lebih besar.

d. Yang muda usia memberi salam kepada yang lebih tua

e. Orang yang baru masuk ke ruangan mem¬beri salam kepada orang yang sudah berada du¬luan di dalam ruangan.

f. Tidak memulai salam kepada orang non muslim.

3. Apabila dua orang sahabat berjumpa, cukuplah dengan bersalaman dan mengucapkan salam tanpa berpelukan, kecuali bagi orang yang baru pulang dari perantauan, kepada mereka disu¬natkan berpelukan. Hadis riwayat Anas bin Malik menyebutkan: “Adalah para sahabat Rasulullah SAW apabila bertemu satu sama lain, mereka memberi salam dan berjabat tangan. Dan apabila pulang dari perantauan, mereka saling berpelukan”.

4. Makruh mengucapkan `alaikas salam, karena ucapan itu pantasnya untuk orang yang telah meningggal. Ucapan salam yang disyari`atkan ialah Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

5. Disunatkan ucapan salam diulangi lebih dari satu kali jika orangnya banyak, supaya semua bisa mendengarnya. Rasulullah SAW jika datang kepada suatu kaum, beliau mengucapkan salamnya tiga kali. (HR. Bukhari).

6. Salam tidak cukup hanya dengan isyarat saja tanpa mengucapkan lafaz salamnya apabila jarak antara keduanya jauh.

7. Makruh memberi salam kepada orang yang sedang buang air atau sedang di kamar mandi.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, October 09, 2008

Islah Pada Zaman Nabi

Dalam bukunya, Sejarah Ka’bah Sebelum Islam, Abd Al-Quddus Al-Anshari memaparkan bahwa Al-Ka’bah Al-Mukarramah telah dipugar empat kali beberapa tahun sebelum Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah SWT. Salah satu sebab pemugaran itu, karena Ka’bah mengalami kerusakan setelah sering dilanda banjir setiap kali hujan lebat turun di Mekkah. Ka’bah sendiri me¬rupakan bangunan batu mulia dan agung yang berdiri tegak di sebuah dataran rendah dikelilingi tanah-tanah pegunungan dari segala penjuru. Jadi wajar bila Ka’bah sering diguyur air banjir.

Menurut H.M.H. Al-Hamid Al Husaini, dalam bukunya Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, untuk mengantisipasi dan menyelamatkan agar Ka’bah tidak diserang banjir lagi dan rusak walaupun sudah tiga kali dipugar, maka orang-orang para pemuka Quraisy sepakat untuk melakukan pemugaran Ka’bah. Mereka membuat tanggul di sekelilingnya yang lebih tinggi dari bangunan Ka’bah. Mereka juga menambah ketinggian Ka’bah yang semula hanya 5 hasta dan memasang atap yang lebih baik di atas bangunan tersebut. Orang-orang Quraisy betul-betul khawatir bila Ka’bah sebagai rumah suci dan lambang kehormatan mereka, rusak dan hancur hanya gara-gara banjir.

Muhammad Husain Haekal, dalam Sejarah Hidup Muhammad, mencatat bahwa Muhammad sebelum diangkat sebagai Nabiullah dan Rasulullah tidak pernah memutus pergaulannya dengan penduduk Mekkah. Bahkan, beliau terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan positif dalam masyarakat Mekkah—termasuk dalam pemugaran Ka’bah.

Ketika hari perombakan dan pembangunan Ka’bah dimulai, Muhammad ikut pula membawa batu-batu. Sementara itu, orang-orang Quraisy membagi sudut-sudut Ka’bah menjadi empat bagian, dan tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Pada saat peletakan Hajar Aswad mulai ditempatkan pada tempat semula, timbullah perselisihan di kalangan Quraisy.

Mereka berselisih mengenai orang yang berhak dan mendapat kehormatan meletakkan batu hitam yang suci itu pada tempat aslinya. Perselisihan itu tanpa ada kesepakatan antarmereka, sehingga memuncak pada perang saudara. Untuk menjaga kehormatan di kalangan mereka, mereka mengangkat sumpah bersama untuk tidak menyerahkan perselisihan itu ke kabilah lain yang ingin ikut bercampur tangan. Mereka memasukkan tangan ke sebuah baki berisi darah untuk memperkuat sumpat mereka.

Tiba-tiba setelah melihat perselisihan itu, Abu Umayyah ibn al-Mughira dari Banu Makhzum orang tertua yang dihormati dan ditaati di antara mereka, berkata, “Serahkanlah putusanmu ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa ini!” Kata-kata ini rupanya menjadi pijakan jalan keluar kemelut anggota kabilah. Dan ternyata, Muhammad adalah orang pertama yang memasuki tempat itu.

Mereka pun berseru, “Ini Al-Amin. Kami dapat menerima keputusannya.” Lalu, mereka menjelaskan peristiwa itu kepada Muham¬mad, dan Muhammad sudah melihat kobaran api permusuhan di antara mereka. Muhammad berusaha memecahkan perselisihan itu. Ia meminta sehelai kain. Ia menghamparkan kain itu, dan meletakkan batu hitam tersebut di atas dengan tangannya sendiri.

Kemudian, katanya, “Hendaklah setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.” Lalu, Muhammad meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya. Solusi penyelesaian konflik di antara anggota kabilah di kalangan Quraisy itu dilakukan Muhammad pada saat berusia 35 tahun ada yang menyebutkan bahwa saat itu Muhammad baru berusia 25 tahun.

Muhammad berhasil mencegah pertumpahan darah di tengah-tengah masyarakat Quraisy. Dalam penyelesaian konflik itu, Muhammad tampak melibatkan para pimpinan kabilah. Mereka diajak bersama-sama mengangkat batu hitam, sehingga kehormatan mereka tetap terjaga. Muhammad betul-betul menjaga kecemburuan dan ketersinggungan perasaan dalam diri mereka. Tindakan penyelesaian perselisihan itu menunjukkan bahwa Muhammad memiliki bibit-bibit jiwa besar dalam dirinya sebelum Allah menurunkan wahyu pertama kepadanya. Begitulah Nabi Muhammad melakukan ishlâh alias penyatuan kembali (reformation), per¬damaian, perukunan kembali (reconciliation), atau kompromi di antara anggota kabilah.

Read More
posted by : Mubarok institute
Psikologi Spiritual
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain. Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi keyakinan.

Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan. Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).

Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu’mini dinuhu, wa muru’atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).

Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.

Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi’ah tidak tercover oleh Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.

Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku, tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada dalam al Qur’an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberagamaan seorang muslim.

Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)

2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.

3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral

4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan

5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan gagasan Ketuhanan.

6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan

7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan

8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.

Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat rational, ada yang tradisional, ada yang “fundamentalis” dan ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh, sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 08, 2008

Jihad Sebagai Expressi Spiritual
Keberagamaan seseorang juga mengandung dimensi kognitip, afektip dan psikomotorik. Jika orang lebih menonjol aspek kognitipnya dalam beragama, maka ia cenderung memahami ajaran agama dengan kacamata keilmuan; pusat perhatiannya pada sistematika dan konsistensi konsep ajaran, ilmiah atau tidak, rasionil atau tidak, masuk akal atau tidak. Jika yang lebih menonjol aspek afektipnya maka pusat perhatiannya pada efek rohaniah, menenteramkan, hambar atau mengelisahkan, ia tidak terlalu menukik pada segi ilmiah atau tidak. Kalau toh ia tertarik membicarakan ajaranya yang sistematis, maka perhatiannya adalah pada apa yang secara sistematis melahirkan ketenangan dan ketenteraman batin. Jika seseorang lebih menonjol aspek psikomotoriknya, maka ia tidak tertarik untuk terlibat dalam perdebatan tentang agama, tetapi yang penting adalah bagaimana mengamalkannya. Tanpa banyak mempertanyakan detail ajaran, ia secara cepat merespond dengan amal. Yang penting kerjakan, nanti pengetahuan dan ketenteraman pasti akan diperoleh.

Sesungguhnyalah bahwa semestinya orang beragama itu memenuhi ketiga aspek tersebut diatas sebagai sistem keberagamaan. Orang beragama mestilah berilmu (faham ilmu agama), tunduk patuh kepada superioritas agama dan sigap dalam memenuhi panggilan amal. Begitulah tuntunan konrehensip bagi setiap muslim. Hanya saja kecenderungan orang memang berbeda-beda. Konsep Spiritual sendiri sebenarnya justeru dimaksud untuk membimbing keberagamaan yang komprehensip itu, oleh karena itu Spiritual harus berdiri diatas syari’at (ilmu-ilmu agama), selanjutnya dibimbing menjalani riadlah, sayr dan suluk (menyuburkan rasa keberagamaan) dan mendorong melakukan jihad (psikomotorik).

Secara sosial, faham Spiritual dipersepsi masyarakat sebagai kelompok yang mengutamakan ibadah, kurang tanggap terhadap masalah-masalah sosial. Persepsi ini mungkin tidak keliru karena memang banyak orang yang pusat perhatiaanya tidak konprehensip. Tetapi jika kita mengamati sejarah perjuangan, orang yang tampil dengan senjata melawan kezaliman penjajahan (di negeri Islam) selalu dimotori oleh kelompok-kelompok penganut Spiritual. Pemberontakan Banten, pemberontakan Garut dimotori oleh kelompok tarekat Spiritual. Di Afrika Utara, pejuang anti penjajahan Italy dan Perancis juga dimotori oleh ulama-ulama Spiritual. Tokoh Omar Muchtar yang digelari Lion of The Desert adalah ulama pendiri tarekat Sanusiyyah. Pejuang anti rusia di Chehnya 90 % adalah penganut tarekat Naqsyabandi.

Memang dalam Spiritual ada ajaran `uzlah, yaitu menyingkir dari dunia ramai untuk hanya beribadah kepada Tuhan di tempat sunyi. Konsep uzlah diberlakukan ketika perjuangan secara fisik dan lisan sudah tidak efektip bahkan kontraproduktip, maka demi menyelamatkan hati, dianjurkan untuk menyingkir, masuk ke “bengkel ruhani” mengisi stroom batin, untuk nanti pada waktu yang tepat turun gunung kembali. Untuk memahami makna jihad, maka kita harus memahaminya dari sumber utama ajaran, yaitu al Qur’an.



Pengertian Jihad

Alqur’an menyebut dua term, yakni jihad dan qital. Kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebut sebanyak 41 kali tersebar dalam 19 ayat. Sebagian turun di Makkah dan sebagian di Madinah. Secara lughawi, jihad nengandung arti memerangi musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu yang disanggupinya. Sedangkan kata qital secara tegas mengandung arti perang dan di dalamnya juga terkandung makna membunuh musuh (qatala). Sedangkan kata jihad, bisa berarti perang melawan musuh, bisa juga berarti bekerja keras non perang. Dari akar kata jihad inilah kemudian ada kalimat ijtihad, yakni kerja keras secara intelektuil dan mujahadah an nafs, kerja keras secara ruhaniah atau spiritual.

Gagasan Jihad dalam al Qur’an

Dari 41 ayat yang menyebut kata jihad, 28 diantaranya berbicara tentang jihad dalam arti perjuangan, seperti : perintah berjihad kepada orang kafir dengan al Qur’an, (fala tuthi` al kafirin waja hidhum bihi jihadan kabira (Q/al Furqan:52), berjihad dan sabar setelah hijrah , tsumma ja hadu wa sabaru,(an Nahl:110), manfaat jihad , wa man ja hada fa innama yujahidu linafsihi, (al `Angkabut:6) berjihad dengan harta dan nyawa ( wal mujahidun fi sabilillah bi amwalihim wa anfusihim (an Nisa :95) dan lai-lain. Sedangkan ayat yang pertamakali membolehkan jihad dalam arti perang menggunakan kata qital, yakni kaum mukminin yang diperangi musuh boleh membela diri dengan perang fisik, uzina lillazina yuqataluna bi annahum zulimu, (al Hajj:39) dan ayat ini merujuk kepada peperangan pertama , perang Badar,

Sedangkan dalam hadis, jihad tidak hanya merujuk kepada makna perang, tetapi juga ibadah haji, .Perintah jihad ada yang ditujukan kepada pribadi (mukhatab mufrad) dan kebanyakan ditujukan kepada kelompok (mukhatab jamak).. Perintah jihad juga ada yang disedbut obyeknya, kafir dan munafik seperti yang disebut dalam surat at tahrim:9, jahid al kuffar wa al munafiqin, tetapi lebih banyak yang tidak menyebut obyeknya. Yang disebut justeru maknanya, yaitu jihad di jalan Allah, fi sabililah. Kaidah penafsiran mengajarkan bahwa jika suatu kata kerja transitip disebutkan dalam suatu ayat tanpa disertai penyebutan obyeknya, maka obyek kata kerja itu bersifat umum. Dengan demikian maka obyek jihad bukan hanya orang kafir dan munafik, tetapi segala hal yang tercakup dalam kalimat fisabilillah.misalnya memberi makan fakir miskin, membebaskan perbudakan (al Balad; 13-16) Dengan demikian maka jihad tidak mesti menggunakan pedang, tetapi bisa juga pena atau lisan.

Jihad dan mati syahid

Al Qur’an banyak menyebut mati syahid dalam rangkaian jihad sebagai sesuatu yang yang sangat tinggi nilainya. Disebutkan bahwa orang yang mati syahid pada hakikatnya tidak mati, tetapi tetap hidup dan bahkan dalam kehidupan yang lebih baik.(al `Imran;169). Hal itulah yang menyebakan para mujahid dengan semangat mencari syahadah (mati syahid), karena syahadah itu prestasi dan lebih menguntungkan. Jargon dari syahadah adalah; Hiduplah secara terhormat atau mati sebagai syahid, `isy kariman au mut syahidan.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger