Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, September 22, 2010

Reformasi Yang tak kunjung usai, Perlukah Restorasi ?
Mestinya terpilihnya Presiden SBY pada tahun 2004 sudah harus menjadi akhir dari era reformasi, karena Presiden SBY terpilih dengan sistem baru, yakni dipilih langsung oleh rakyat. Nyatanya dukungan pemilih langsung tidak identik dengan konsistensi sistem presidential, karena partai-partai politik masih merasakan betapa
menggairahkannya reformasi sebagai peluang politik.

Meski Presiden SBY dipilih langsung oleh rakyat dengan suara signifikan, tetapi karena partai pengusungnya (Demokrat) hanya memiliki suara 7,5% di parlemen, sistem presidential terkalahkan oleh syahwat politik parlemen. Bukannya Presiden diberi ruang boleh begini dan begitu seperti lazimnya sistem presidential, Ruang gerak Presiden justeru dipagari begitu ketat oleh DPR sehingga Presiden menjadi tidak leluasa berekpressi, karena harus mempertimbangkan politik akomodasi yang tidak bisa dihindar.
Kegenitan politik partai-partai, ditambah ekpektasi masyarakat yang terlalu tinggi

Ideologi Nasionalis Religius

Ketika kita menyaksikan begitu banyak partai didirikan, timbul pertanyaan tentang apa dan mengapa suatu partai politik didirikan. Mengapa Orang Berkumpul Dalam Satu Partai? Jawabannya bisa berbeda-beda; misalnya: karena adanya (1) Kesamaan Tujuan, (2) Kesamaan Ideologi (3) Kesamaan Kepentingan, atau hanya karena terpesona atau terbawa-bawa.
Ketika ditanyakan apa sih tujuan dari partai itu? Jawabannya juga berbeda-beda, karena ada tujuan klise dan ada tujuan yang disembunyikan : Tujuan resmi yang tertulis dan konsepsional, bisa jadi tujuan ideologis, bisa juga tujuan strategis.
Ideologi Partai-Partai dan ormas-ormas di Indonesia juga bermacam-macam, secara garis besar; ada yang menganut ideologi Nasionalis, Sosialis, keagamaan; Islam misalnya, dan ada juga yang menganut ideologi Nasionalis Religius.

Performance Masyarakat atau Golongan Nasionalis Religius

Performance masyarakat atau golongan yang berideologi Nasionalis Religius dapat dirumuskan dengan kalimat: yakni golongan yang mencerminkan keragaman, berbeda-beda identitas tetapi memiliki tujuan yang sama membangun identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, menghargai perbedaan, mensinergikan potensi, seraya meyakini bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah atas berkat rahmat Allah S.W.T sehingga dalam kehidupan bermasyarakat selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan dalam bekerja dimotivasi oleh semangat pengabdian (ibadah) kepada Tuhan.

Prinsip-Prinsip dan Pandangan Hidup dalam
Jati diri Nasionalis Religius

Jati diri nasionalis religius dapat ditandai dari visi yang dianut dalam; (1) visi kemanusiaan dan kebangsaan, (2) visi keberagamaan (3) visi kebudayaan (4) visi kemasyarakatan (5) visi etika sosial politik dan (6) visi etika sosial ekonomi

Visi Kemanusiaan dan Kebangsaan

1. Meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia berpasangan laki perempuan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka budaya, beraneka potensi, perbedaan mana dimaksud agar mereka hidup saling berkenalan, saling menghormati dan saling memberi manfaat satu sama lain (lita‘arafu) guna mencapai tujuan bersama, yakni kesejahteraan hidup lahir batin. Visi ini sebenarnya merupakan visi agama, visi wahyu Tuhan (Q/49:13). Kata lita‘arafu dari ‘arafa-‘urf-ma‘ruf-ma‘rifah mengandung arti kebaikan yang dikenal secara common sence, maknanya, manusia pada fitrahnya secara sosial mengenali visi kebaikan. Dalam keragaman sosial, perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang harus dikelola hingga menjadi sinergi. Fitrah manusia selalu menyukai kesamaan dan juga perbedaan, senang berkumpul dengan kelompok yang memiliki persamaan, sekaligus di kesempatan lain senang mencari yang berbeda dengan yang lain, senang tampil berbeda.
2. Secara sosial manusia berbeda-beda, tetapi ukuran keutamaan substansial bersifat universal. Tuhan tidak melihat rupa, pakaian, warna kulit dan status sosial, tetapi hati dan jiwanya yang dilihat. Manusia yang bertuhan tidak akan merendahkan orang lain hanya karena status sosial atau etnik, sebaliknya mengapresiasi kemuliaan budi pekerti dan akhlak atau moralitas (bahasa agamanya taqwa; inna akramakum ‘indallahi atqakum).
3. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan, oleh karena itu keharusan menghargai dan menghormati orang lain sejalan dengan keharusan menghargai dan menghormati diri sendiri. Orang yang dirinya terhormat pasti dihormati orang lain, dan merendahkan orang lain bermakna sekaligus merendahkan diri sendiri.
4. Sejarah telah mentakdirkan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, bahasa , budaya dan tradisi nya dalam kesatuan kebangsaan, yaitu bangsa Indonesia. Sesama elemen bangsa harus saling mengenali dan mengapresiasi untuk selanjutnya saling membantu dan bekerjasama membangun kejayaan bangsa.
5. Perjuangan Kemerdekan bangsa Indonesia telah menorehkan kepahlawanan yang luar biasa, tetapi sebagai bangsa yang religius mengakui bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai adalah atas berkat rahmat Allah S.W.T. Visi ini berasal dari konsep tahmid, ucapan al hamdu lillah, segala puji hanya milik Allah, maknanya bahwa betapapun manusia telah berkarya besar, tetapi hakikatnya adalah karena adanya perkenan dari Allah, oleh karena itu segala pujian yang kita terima harus kita pulangkan kepada Tuhan yang paling berhak atas segala pujian.

Visi Keberagamaan

1. Bahwa keyakinan kepada suatu agama adalah merupakan hak azazi dan tidak boleh dipaksakan. Visi ini juga merupakan visi wahyu (la ikraha fiddin, Q/2:256)
2. Agama dalam arti keyakinan dan peribadatan tidak mengenal toleransi, oleh karena itu setiap orang beragama tidak mencampuri urusan agama lain, sebaliknya memberi kemerdekaan sepenuhnya kepada setiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya. Visi ini juga merupakan visi wahyu, yaitu; Lakum dinukum waliyadin; agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, tidak perlu toleran kepada agama yang lain, tetapi orang beragama harus memberi kebebasan kepada orang lain menjalankan agamanya. Agama tidak dituntut untuk toleran, tetapi penganut agama secara sosial wajib toleran kepada penganut agama yang lain.
3. Kesalehan individual dalam beragama harus sejalan dengan kesalehan sosial, saleh secara vertikal dan saleh secara horizontal. Kata saleh— berasal dari kata sholaha —shulh-mashlahat— mengandung arti baik, damai dan patut. Orang saleh pasti baik (konstruktip), damai dengan lingkungan dan patut secara sosial.
4. Visi Keberagaman (religiusitas) itu menyentuh kepada aspek-aspek kehidupan;
(a) Pluralitas etnik, ras, budaya, bahasa dan agama (ta‘addudiyyah)
(b) Nasionalitas; yakni kesadaran berbangsa
(c) Hak Azazi Manusia. Visi HAM menurut agama menyebut adanya lima aspek kemanusiaan yang harus dilindungi hak-haknya (al kulliyat al khams), yakni perlindungan kepada jiwa/diri (hifdz an nafs), keyakinan agama (hifdz addin), harta (hifdz almal), akal, intelektual (hifdz al‘aql), dan kesucian keturunan (hifdz an nasl).
(d) Demokrasi, yakni mengembangkan musyawarah, menghormati hak mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Musyawarah bukan untuk mencari kemenangan, tetapi mencari kebenaran dan kebaikan.
(e) Kemaslahatan; tujuan semua agama adalah kemaslahatan (kebaikan), baik untuk individu, keluarga maupun masyarakat
(f) Kesetaraan Jender secara proporsional. Setiap orang dihormati dan diapresiasi bukan karena faktor jender, tetapi karena kehormatan diri dan kapasitas.

Visi Kebudayaan

1. Pada dasarnya manusia adalah makhluk budaya, yakni makhluk yang memiliki konsep-konsep yang memandu perilakunya. Kualitas karya manusia (bentuk kebudayaan) sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam kepalanya (konsepnya)
2. Setiap budaya memiliki nilai plus dan minus. Pergaulan lintas budaya akan melahirkan proses saling mengenal, saling belajar dan saling menghargai, interaksi sosial. Dengan semangat apresiasi, nilai luhur budaya harus dipelihara dan dijadikan perekat persatuan dan ketahanan budaya (ketahanan nasional). Mengadopsi nilai-nilai budaya asing hanya pada hal yang jelas-jelas lebih baik dan sudah teruji. Prinsip ini berasal dari kaidah sunni – al muhafadzatu ‘ala al qadim as salih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah; artinya ( tradisi lama yang baik harus dipelihara dan mengambil yang baru hanya yang sudah jelas teruji lebih baik nilainya)
3. Dalam hal kebudayaan, pada dasarnya semua kebudayaan boleh diadopsi (akulturasi budaya) sepanjang tidak ada elemen-elemen yang terlarang. Pakaian, nyanyian, arsitektur, gaya hidup, sistem poleksosbud sepanjang mengandung nilai positif dan tidak mengandung elemen yang haram boleh ditiru.
4. Dalam urusan keduniawiaan (ekonomi sosial politik budaya) bekerjasama dalam kebaikan dan saling membantu tidak harus memandang agama yang dianut, tetapi dengan tetap mengedepankan nilai keadilan, kejujuran dan kepatutan (Q/60:8).

Visi Kemasyarakatan

1. Dalam pergaulan sosial masyarakat religius, yang muda (yunior) menghormati yang tua (senior), yang tua menyayangi (memaklumi, mendorong, memberi kesempatan) kepada yang muda. Nilai ini berasal dari hadist Nabi : laisa minna man lam yuwaqir kabirona wa lam yarham shaghirona) artinya; tidak termasuk golonganku orang yang tidak bisa menghormati yang lebih tua dan tidak bisa menyayangi yang lebih muda.
2. Keluarga merupakan barometer kesuksesan sosial. Seorang pemimpin masyarakat adalah yang juga bisa menjadi pemimpin dan teladan dalam rumah tangganya.
3. Solidaritas sosial berlangsung tanpa memandang perbedaan identitas sosial, tetapi berdasar kepada nilai kemanusiaan universal. Siapapun yang memerlukan bantuan kemanusiaan berhak untuk menerima bantuan sosial dari orang lain yang memiliki kemampuan.

Visi Etika Sosial Politik

1. Pada dasarnya manusia adalah makhluk politik. Setiap ada kelompok masyarakat pasti akan terbangun sistem kepemimpinan dan kekuasaan.
2. Pemimpin adalah orang yang memegang suatu kekuasaan, tetapi fungsinya adalah pelayan masyarakat. Pemimpin bukan hanya berkuasa, tetapi lebih wajib melayani kepentingan yang dipimpin. Visi ini berasal dari etika agama, sayyidul qaumi khadimuhum, artinya pemimpin masyarakat pada hakikatnya adalah pelayan mereka.
3. Yang berhak menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk memberi kepada yang dipimpin (rasa aman, kemakmuran, perlindungan, contoh teladan dll). Rekruitmen pemimpin selalu memperhatikan faktor kemampuan berkomunikasi, ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dan senioritas.
4. Masyarakat harus menghormati lembaga kepemimpinan. Mempermalukan pemimpin yang telah dipilih bermakna mempermalukan diri sendiri. Bangsa yang menjatuhkan pemimpinnya dengan cara tidak terhormat dijamin penggantinya tidak akan lebih baik dari yang dijatuhkan.
5. Pemimpin yang tidak mampu mengakomodasi apalagi bertentangan dengan aspirasi yang di-pimpin, seyogyanya secara terhormat mengundurkan diri sebelum diturunkan.
6. Dalam hubungan kerjasama sosial politik, baik dengan kawan maupun dengan lawan politik hendaknya selalu saling mengingatkan, mengkritisi tapi dengan tujuan baik, konsisten berorientasi kepada kebaikan dan kepatutan dan mencegah terjadinya kemunkaran. Visi ini berasal dari konsep amar ma‘ruf nahi munkar, artinya selalu mengajak orang kepada kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran. Amar ma‘ruf nahi munkar adalah sistem pengawasan dengan motivasi agama, bukan mencari-cari kesalahan, bukan sabotase; Ada beberapa istilah al Qur’an tentang norma, yaitu alkhair, al ma‘ruf, al munkar dan fakhisyah. (a) Al Khoir adalah kebaikan universal seperti kejujuran, keadilan, menolong yang lemah dsb. (b)Al Ma‘ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang baik dan patut; seperti ukuran sopan dan tidak sopan, ukuran besar kecil, ukuran banyak sedikit, ukuran penting tidak penting. Sedangkan (c) munkar adalah perbuatan jahat yang dibalut dengan argumen sehingga tidak terkesan sebagai kejahatan padahal sangat berbahaya, seperti komisi, mark up, sumbangan sukarela tanpa tekanan (susu tante), uang semir, pelicin, dan sebagainya dan (d) Fahisyah adalah sesuatu yang secara universal dipandang sebagai kekejian, misalnya zina. Karena universal maka pezinapun marah jika isterinya dizinahi orang. Mengingatkan lawan politik, meski tujuannya baik tetap harus dengan cara yang beretika, jadi nahi munkar pun harus dilakukan dengan cara ma‘ruf, amar ma‘ruf dengan cara munkar akan menghasilkan kemunkaran, apalagi nahi munkar dengan cara munkar.
7. Dalam manajemen kerja,harus mendahulukan penghargaan, reward (basyiran) dan menomor-duakan hukuman, punishment (nadziran). Visi ini berasal dari akhlak Nabi basyiran wa nadziran. Mendahulukan memberikan kegembiraan, baru mengingatkan bahaya.
8. Mengembangkan kearifan yang dapat disimpulkan dalam kalimat: Keliru memberi maaf itu lebih baik daripada keliru menghukum, menyesal karena diam itu lebih baik daripada menyesal karena terlanjur bicara. Visi ini juga berasal dari hadis Nabi.
9. Mengembangkan kebajikan, yakni kebaikan yang menakjubkan; seperti memaafkan kesalahan musuh (menghapus dendam politik), menyantuni orang yang pernah menzalimi dan lain sebagainya. Visi ini berasal dari Byble, dan dari hadist Nabi.
10. Pihak yang kalah secara demokratis hendaknya mengakui kekalahannya dan mendukung secara positif kepada lawannya yang menang, sedangkan pihak yang menang hendaknya merendahkan diri dengan ungkapan bahwa kami bukanlah yang terbaik, tetapi yang beruntung memperoleh kemenangan berkat rahmat Allah.
11. Tidak terjebak pada cinta berlebihan dan benci berlebihan. Visi ini berasal dari tasauf Al Gazali; ahbib habibaka haunan ma `asa an yakuna baghidhaka yauman ma, wa abghid baghidoka haunan ma `asa an yakuna habibaka yauman ma. artinya cintailah kekasihmu sederhana saja, siapa tahu dibelakang hari ia menjadi orang yang paling kau benci. Bencilah musuhmu sederhana saja, siapa tahu dibelakang hari ia akan menjadi kekasihmu.
12. Berfikir ulang sebelum merespon final. Visi ini berasal dari wahyu (Q/2:216). Apa yang kau sukai mungkin berakibat buruk bagimu, dan apa yang kau tidak sukai mungkin justeru baik untukmu.

Visi Etika Sosial Ekonomi

1. Bahwa dalam setiap produk (misalnya mobil, rumah, dlsb) hingga berujud sempurna, prosesnya telah melibatkan ratusan dan mungkin ribuan tangan manusia (menurut teori Ibn Khaldun produk seribu orang). Oleh karena itu setiap kekayaan yang kita miliki tidak sepenuhnya milik kita, tetapi didalamnya ada fungsi sosial.
2. Harta kekayaan adalah anugerah Tuhan kepada manusia, dan merupakan alat untuk mencapai keutamaan dalam kehidupan, bukan tujuan hidup. Karena harta merupakan alat hidup, maka seberapa banyak orang boleh memiliki kekayaan tergantung sejauh mana ia ingin mencapai keutamaan. Jika seseorang bercita-cita melakukan karya besar dan keutamaan yang tinggi dan banyak maka ia memerlukan banyak kekayaan.
3. Bahwa di dalam harta si kaya terdapat bagian yang menjadi milik orang lain (fakir miskin) yang harus dibayarkan. Semakin meningkat kekayaan seseorang maka semakin besar pula porsi milik orang lain yang membutuhkan. Oleh karena itu perlu diatur sistem yang menjamin dibayarkanya hak orang lain, dalam agama Islam disebut zakat, infaq dan sedekah, dalam Byble disebut persepuluhan. Pada tatanan masyarakat yang konsisten menjalankan sistem ini, orang kaya dicintai orang miskin, mereka berterima kasih dan selalu mendoakan agar si kaya bertambah kaya. Pada tatanan masyarakat yang tidak mempedulikan sistem ini, kesenjangan sosial akan melebar, orang miskin dendam kepada si kaya, dan siap melakukan anarki setiap peluang terbuka.
4. Harta kekayaan itu ibarat air, jika mengalir maka airnya bersih dan indah dilihat. Harta juga ibarat pohon, jika sering digunting secara berkala (beramal) maka pohon itu akan menjadi segar karena tumbuhnya ranting dan daun baru. Pohon yang tak pernah digunting tumbuhnya tinggi tetapi tidak indah.
5. Kejujuran dalam kegiatan ekonomi (bekerja atau berbisnis) akan mendatangkan keberkahan hidup, Berbisnis secara curang meski mendatangkan keuntungan yang besar, dijamin akan mendatangkan kegersangan dalam hidup, dirinya dan keluarganya. Berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal, orang yang hidupnya berkah, tidak ada serupiahpun hartanya yang tercecer tidak bermanfaat, lawannya adalah mubazir, banyak biaya keluar tetapi tidak mendatangkan manfaat.

Doa Seorang Nasionalis Religius

Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau pasti mengetahui bahwa kami memiliki keprihatinan yang mendalam atas krisis
yang menimpa bangsa kami.
Sebagai khalifah Mu di muka bumi,
kami terpanggil untuk memperbaiki keadan
bangsa kami, untuk menebus kesalahan-kesalahan kami, dalam mengelola karunia Mu yang amat besar atas bangsa kami, yaitu kekayaan alam yang luar biasa dari bangsa Indonesia.
Tetapi ya Allah, sebagai hamba Mu, kami memiliki banyak keterbatasan, kami menghadapi banyak kesulitan.
Oleh karena itu, ya Allah
Wahai Tuhan yang berkuasa memudahkan
semua kesulitan. Wahai Tuhan, yang berkuasa mengumpulkan kembali semua yang
bercerai berai.
Wahai Tuhan, yang berkuasa memberi kekuatan kepada setiap yang lemah.
Wahai Tuhan, yang berkuasa memberi kecukupan kepada setiap yang kekurangan.
Wahai Tuhan, yang menjadi sahabat dari
setiap yang dikucilkan.
Wahai Tuhan, yang berkuasa memberi
rasa aman kepada setiap yang terancam
Mudahkanlah semua kesulitan bangsa ini
ya Allah, karena bagi Mu, memudahkan
yang sulit, adalah mudah.
Wahai Tuhan yang tidak membutuhkan
keterangan dan rincian, bangsa ini sangat membutuhkan pertolongan Mu, dan Engkau
Pasti Mengetahuinya.
Ya Allah ya Tuhan Kami, hanya rahmat Mu
yang kami harap,
Hanya Atas berkat rahmat Mu lah bangsa ini
mencapai kemerdekaan.
Oleh karena Ya Allah, Jangan Engkau biarkan sekejap matapun kami bangsa Indonesia, menyusuri lorong-lorong gelap yang menyesatkan.
Berilah kekuatan kepada bangsa ini ya Allah,
untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini,
dan berikan pula kepada bangsa ini,
kekuatan untuk memasuki era baru yang
Engkau ridlai
Perlihatkan kepada bangsa ini ya Allah,
yang benar nampak sebagai kebenaran,
dan berilah kekuatan kepada kami untuk
berpegang teguh kepadanya.
Perlihatkan pula kepada bangsa ini ya Allah,
yang salah nampak sebagai kesalahan, dan
berilah kekuatan kepada kami untuk senantiasa menjauhinya.
Ya Allah ya Tuhan kami, berikanlah
kesempatan kepada orang-orang baik dari kami untuk memimpin bangsa ini, keluar dari kesulitan,
dan jangan Engkau beri kesempatan orang jahat memimpin bangsa ini.
Wahai Tuhan, Pemilik segala kekuasaan,
Engkaulah yang mengangkat seseorang yang Engkau kehendaki ke atas tampuk kekuasaan
Engkau pula yang menurunkan seseorang yang Engkau Kehendaki, turun dari tampuk kekuasaan.
Di tangan Mu lah segala kebaikan, dan
Engkau Maha Kuasa menentukan segalanya.
Jika Engkau berkehendak memusnahkan kami
bangsa Indonesia, ya Allah, kami adalah
hamba-hamba Mu yang tak berarti apa-apa.
Tetapi jika Engkau berkehendak menolong bangsa ini, ya Allah, memang Engkau Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
Sejujurnyalah ya Allah, kami bangsa Indonesia,
rakyatnya dan pemimpinnya, memang telah
banyak melakukan kesalahan, kami telah
berbuat zalim atas diri kami sendiri,
menyia-nyiakan anugerah Mu
Jika Engkau tidak mengampuni bangsa ini,
jika Engkau tidak menyayangi bangsa ini,
sungguh bangsa ini tidak sanggup untuk
bangkit kembali.
Oleh karena itu ampuni dan sayangilah kami
Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih
Ya Allah Ya Tuhan kami, meski bangsa ini bersalah,
jangan kiranya Engkau timpakan kepada kami
beban berat seperti yang pernah Engkau
timpakan kepada bangsa-bangsa terdahulu,
dan jangan pula Kau bebankan kepada bangsa ini
beban berat yang kami tidak sanggup untuk
menanggungnya,
Sepenuhnya kami percaya bahwa tiada satupun yang terjadi di muka bumi ini tanpa seizin Mu
La haula wala quwwata illa billahi
al ‘aliyy al ‘adzim
Kami yakin se yakin-yakin Nya ya Allah,
Engkau pasti akan mengampuni kami,
Engkau pasti akan menolong bangsa ini,
Karena kasih sayang Mu luas tak terbatas
Engkau sendiri telah berfirman,
bahwa kasih sayang Mu mengalahkan murka Mu,
inna rahmati ghalabat ghadlaby
Innama asyku batssy wa huzny ilallah
Robbi hkum bil haqqi wa robbuna al musta‘an
‘ala ma tashifun.
Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirayti hasanah waqina ‘azab annar
wa al hamdu lillahi rabb al ‘alamin.




Tentang Penulis
DR. H. ACHMAD MUBAROK, MA, lahir 15 Desember 1945 di Purwokerto, anggota MPR-RI periode 1999-2004, sebenarnya lebih seba¬gai insan pendidikan. Pengalaman kerjanya yang merayap dari guru SD hingga dosen Pascasrjana, dari kepala SR hingga Wakil Rektor dan Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi (BKSPTIS Pusat) mengantarnya menjadi seorang akademisi yang kaya pengalaman. Aktifitas organisasi yang dimulai dari ormas tingkat kecamatan hingga organisasi international mengantarnya pada pergaulan yang sangat luas menembus batas. Sehari-hari Pak Mubarok, demikian panggilan akrabnya, adalah dosen, pengasuh pesantren, da‘i, konselor agama dan konselor keluarga. Dalam lintas kultural, penulis adalah Wk. Ketua Komisi Kajian Majlis Ulama Indonesia Pusat, Vice Presiden Islamic Millennium Forum (IMFO), Editorial Board Islamic Millenium Journal, Dewan Penasehat Asosiasi Psikologi Islam, Mentor Psikologi Islam di The International Institute of Islamic Thought –IIIT Indonesia dan Vice Presiden The International Association of Moslem Psychologist. Sudah belasan buku ditulisnya diseputar Perbandingan agama, dakwah, psikologi dan tasauf;antara lain; Perbandingan Agama Islam Kristen (1985), Untaian Hikmah (1986) Psikologi Dakwah (1988) Konseling Agama, Teori dan Kasus (1989) Jiwa Dalam Al Qur’an, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern (2000), Panduan Akhlak Mulia, Membangun Manusia Berka¬rakter (2001) Psikologi Qur’ani (2001) Pendakian Menuju Allah, Bertasauf Dalam Hidup Sehari-hari (2002) Sunnatullah Dalam Jiwa, Sebuah Pendekatan Psikologi Islam (2002), Etika dan Moral Kepemimpinan (2003), Agenda Generasi Intelektual (2003), Keluarga Sakinah Menuju Masyarakat Islam (2003), Fiqh Per¬dagangan Bebas (2003), Mengaji Islam Dari Rasional Hingga Spiritual (2004) dan banyak lagi buku-buku kecil (buku saku) seperti buku Nasionali Religius yang berada di tangan anda. Insya Allah sebentar lagi akan terbit buku Pak Mubarok terbaru yang berjudul; Psikologi Keluarga (2005).

Dalam bidang politik, dalam usia 19 tahun Pak Mubarok sudah menjadi Sekretaris Partai NU tingkat kecamatan (1964-65), dan ketika masa kuliah beliau aktip di organisasi kemahasiswaan onderbouw NU, Pernah menjabat sebagai Wk. Ketua PMII Cabang Jakarta (1969) dan kemudian di DPP.PMII. Di MPR (1999-2004), duduk mewakili golongan intelektuil, dan baru pada tahun 2001 memasuki kembali dunia politik dengan ikut membidani lahirnya Partai Demokrat sebagai anggota Tim 9, dan selanjutnya duduk sebagai salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, September 21, 2010

Dari Orde Lama Hingga Orde Reformasi
Kesalahan yang Selalu Berulang

Pelajaran dari kegagalan Majlis Konstituante, kegagalan G.30 S PKI, kejatuhan orde Baru dan kegamangan reformasi adalah bahwa sebenarnya bangsa ini menginginkan konsistensi pada semangat proklamasi 45. Bung Karno membungkam demokrasi liberal dengan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada semangat 45.

Sayang, karena terlalu lama duduk dalam kursi kepresidenan, Bung Karno terlena sehingga menerima jabatan Presiden Seumur Hidup (feodal), dan mengubah semangat 45 menjadi Demokrasi Terpimpin dan Nasakom. Puncak dari penyimpangan itu adalah tragedi Gerakan 30 September PKI yang sekaligus memaksa Presiden Pertama RI turun dari kursi kepresidenan. Perilaku yang menyimpang dari fitrah proklamasi 45 biasa disebut sebagai orde lama.
Suharto tampil dalam panggung sejarah menyelamatkan negara dan bangsa, dengan semangat kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Karena orde Suharto mengkoreksi Orde lama, maka periode Presiden Suharto disebut Orde Baru.

Kehadiran Pak Harto sungguh dielu-elukan rakyat, tetapi sayang, beliau juga terlena hingga duduk di kursi kepresiden selama tujuh periode, dan kesalahan orde lama terulang, yaitu semangat Panca Sila dan UUD 45 dikalahkan oleh kekuasaan (feodal). Demokrasi yang diberi label Pancasila (Demokrasi Pancasila) mengubah demokrasi menjadi rekayasa demokrasi. Masa jabatan yang terlalu lama akhirnya diakhiri secara paksa oleh gerakan reformasi, Presiden Suharto meletakan jabatan ketika usia kabinet terakhir yang dibentuknya belum berusia seratus hari.

Krisis Jati Diri

Era reformasi ditandai dengan semangat perubahan, mengubah paradigma orde baru dengan paradigma lebih baru yaitu reformasi, bukan revolusi. Dalam praktek semangat reformasi overload, sehingga perubahan yang mestinya dilakukan secara hati-hati dan sistematis berubah menjadi semangat menggusur semua hal yang berbau Suharto. Dalam era reformasi hampir tidak ditemui seorangpun politikus besar yang berkapasitas negarawan, karena pada masa kepemimpinan Presiden Suharto yang berlangsung selama 30 tahun, setiap kali muncul tokoh yang berbakat negarawan, pasti tidak diberi kesempatan muncul ke panggung politik karena dipandang sebagai ancaman kemapanan. Tanpa panduan seorang negarawan yang berpandangan jauh, kebebasan selama era reformasi berubah menjadi anarki, anarki sosial, anarki politik dan anarki konstitusi.

Amandemen demi amandemen tidak berhasil memperbaiki tatanan kenegaraan, UU dan Tap MPR yang dikeluarkan oleh legislatif tidak memadai untuk menjadi panduan nasional, arah bangsa menjadi tidak jelas, kepemimpinan nasional cepat sekali berganti-ganti , hutang negara meningkat luar biasa, separatisme dan konflik horizontal terjadi dimana-mana, dan ketika negara lain sudah berhasil keluar dari krisis, Indonesia semakin terpuruk dalam berbagai krisis. Perilaku anarkis yang meluas di hampir semua lapisan masyarakat mengindikasikan bahwa bangsa ini sedang mengidap krisis jati diri.

Kembali ke Fitrah Jatidiri Proklamasi 45

Sebagaimana terjadi pada tahun 1959 dimana Bung Karno mengembalikan bangsa ini dalam panduan Panca Sila UUD 45 melalui Dekrit 5 Juli, dan pada tahun 1967 Pak Harto mengumandangkan semangat kembali kepada Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen, semangat ingin kembali ke fitrah proklamasi 45 kembali muncul di tengah hiruk-pikuk reformasi sekarang ini. Otokritik yang harus kita lakukan ialah bahwa setiap kali pihak yang sedang berkuasa digugat melakukan suatu penyimpangan, tak lama setelah yang menggugat menduduki kursi kekuasaan, ia sudah melakukan hal yang sama dengan pendahulunya. Semua Presiden kita diturunkan sebagai pecundang oleh MPR. Lembaga tertinggi negara ini dalam kurun waktu tiga dasawarsa secara berturut-turut telah mengeluarkan TAP yang secara emosionil menjatuhkan Presiden Pertama, menjatuhkan Presiden Kedua, secara emosional menolak LPJ Presiden ke tiga, secara emosional mengangkat Presiden ke empat dan hanya berselang tahun secara emosional memecat Presiden yang baru diangkatnya.

Akibatnya kini bangsa ini gamang menghadapi masa depan. Legislatif yang terlalu berkuasa (feodal) tak kalah mengerikannya dibanding dengan kefeodalan eksekutif.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi yang diberi tugas mengkoreksi produk-produk legislatif dapat dipandang sebagai kesadaran untuk kembali kepada fitrah proklamasi 45, yakni memikirkan secara jernih masa depan bangsa tanpa dibebani kepentingan golongan dan individu, seperti yang dilakukan oleh oleh faunding fathers negara kita pada tahun 1945.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, September 20, 2010

Proklamasi Kemerdekaan
Penjajahan Jepang, meski singkat dan sangat keras, tetapi berhasil mangakumulasi kesadaran nasional untuk merdeka. Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi para pendiri negara Republik Indonesia pada tahun 1945 tidak merujuk sejarah Islam atau contoh di Dunia Islam dalam membangun negara bangsa.

Tokoh Nasionalis Muslim sekaliber HOS Cokroaminoto dan Agus Salim rupanya memiliki kemampuan untuk memahami komunitas Indonesia yang terbuka dan egaliter partisipatif. Pendidikan modern telah membantu mereka memahami konsep-konsep nasionalisme modern yang berlawanan dengan konsep-konsep kekuasaan para raja feodal. Tetapi religiusitas para faunding father negeri kita nampak jelas seperti yang dapat dibaca pada pembukaan UUD 45, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah, dan hubungan vertikal negara dengan agama dituangkan dalam fasal 29 UUD 45, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pergumulan Nasionalisme Vs. Islamisme

Perdebatan dalam Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berlangsung sangat seru dan dinamis tetapi sehat, karena dilakukan oleh tokoh-tokoh negarawan yang mengedepankan kepentingan bangsa melebihi kepentingan kelompok dan pribadi. Secara garis besar mereka terdiri dari kelompok nasionalis muslim dan tokoh Islam nasionalis. Kebesaran jiwa mereka nampak sekali, tercermin pada persetujuan AA. Maramis yang beragama Kristen terhadap rancangan Piagam Jakarta, dan kesediaan tokoh-tokoh Islam untuk mencoret tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta demi tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia.

Dekrit 5 Juli 1959

Pergumulan pemikiran nasionalisme dengan Islamisme dalam perumusan konstitusi Indonesia sesungguhnya justeru mencerminkan jati diri nasionalis religius dari bangsa Indonesia. Tokoh Islam yang membawa aspirasi Islamisme seperti Moh. Natsir adalah seratus persen tokoh nasionalis, sementara banyak pembawa aspirasi nasionalis seperti Bung Hatta adalah tokoh yang juga taat beribadah. Adu argumen dari para pemimpin bangsa ini sangat sehat, jauh dari trik-trik konyol. Kekentalan corak nasionalis religius juga tercermin dalam hasil Pemilu pertama 1955 sehingga tarik ulur nasionalis vs. Islamisme dalam Majelis Konstituante tak pernah melahirkan pemenang. Ujung dari pergumulan itu akhirnya diselesaikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana konstitusi dikembalikan kepada UUD 45 dan dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, September 19, 2010

Akar Klasik Nasionalis Religius
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian.

Dari kawasan Anak Benua, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha, dan pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sangsekerta.

Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”. Jejak agama India ini tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat. Budhisme merupakan falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hiduisme merupakan falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa. Karena Majapahit berdiri di latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Roro Jongrang) sekaligus maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan, beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa.

Kehadiran Budaya Kosmopolit Islam
Pada saat memuncaknya peradaban Islam, maka budaya Islam merupakan pola budaya umum seluruh belahan bumi Timur, tetapi sekaligus merupakan budaya global, karena ketika itu benua Amerika sebagai belahan bumi barat belum ditemukan. Karakteristik peradaban Islam yang mengglobal itu memudahkan peneguhan agama Islam di Asia Tengara, peranan saudagar anak benua India berlanjut terus tetapi mereka tidak lagi beragama Hindu dan Budha melainkan Islam. Pola budaya Perso Arab sebagai buah masuk Islamnya imperium Persia, kemudian menggeser pola budaya Sanskerta. Perkembangan selanjutnya, pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak Arab dengan dominasi bahasa Arab, tergambar pada banyaknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Kerajaan Hindu-Budha (Majapahit-Sriwijaya) yang memasuki masa senja digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam (Aceh, Demak, Mataram, Ternate dll.).

Akulturasi budaya Islam dengan budaya se¬belumnya nampak pada berkembangnya pesantren (pondok pesantren) yang semula hanya tempat menginap (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani) bertemu dengan konsep penginapan penuntut ilmu atau hikmah yang di dunia Islam dikenal dengan nama zawiyah, ribath dan khaniqah, bertemu dengan konsep pade¬pokan Hindu-Budha dimana didalamnya dikenal ada shastri-dan cantrik. Nah pedepokan Islam diberi nama pesantren, dilengkapi dengan nama funduq, jadilah nama Pondok Pesantren dengan unsur kiyahi (dari konsep shastri) dan santri (dari konsep cantrik). Pada masa kerajaan Islam di Jawa, Pondok Pesantren meru¬pakan lembaga pendidikan bagi calon-calon pemimpin (keluarga raja) dan cendekiawan (ulama).

Datangnya Kolonialisme/Imperialisme Eropa
Setelah tujuh abad peradaban Islam menjadi peradaban dunia, giliran bangsa Eropa bangkit. Bersamaan dengan melemahnya peradaban Islam, bangsa-bangsa Eropa, terutama dari Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) mengembara, mencari jalan sendiri ke India dan Timur Jauh, yang sebelumnya dikuasai saudagar Islam. Mereka bahkan menemukan benua Amerika. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan Islam ditaklukkan, termasuk Malaka yang menjadi pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara. Sejak itulah era kolonialisme dan imperialisme Eropa menguasai wilayah-wilayah negeri-negeri Islam. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mengkapling-kapling wilayah Nusantara, tetapi penjajahan terlama terhadap Indonesia dilakukan oleh Belanda. Sungguh Ironis bahwa bangsa-bangsa Barat mampu mengungguli bangsa-bangsa Muslim setelah mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Islam, dan pandangan hidup muslim yang egalitarian, partisipasi dan keterbukaan atas dasar kebebasan memilih, sementara pada saat yang sama dunia Islam kembali tersekat oleh kejumudan, feodalisme dan politik despotik-otokratik-totaliter.

Perlawanan paling sengit terhadap kolonialis Eropa dilakukan oleh Sultan dan Ulama, terutama di wilayah bandar-bandar perdagangan, oleh karena itu pahlawan nasional kita pada masa itu kebanyakan para sultan dan ulama. Penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad mengobarkan semangat perang budaya dari kaum santri, yaitu boikot total terhadap semua yang berbau Belanda. Di satu sisi boikot budaya ini sangat efektip melindungi ummat dari pengaruh kolonial, tetapi di sisi lain sangat merugikan karena boikot total menjadikan kaum santri tidak bisa melakukan interaksi sosial dengan perkembangan modern, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam proses modernisasi. Dampak negatif dari politik boikot ini masih terasa hingga zaman kemerdekaan, dimana kaum santri tetap memandang segala sesuatu yang datang dari Pemerintah (misalnya sistem pendidikan) sebagai urusan duniawi yang haram atau makruh. Marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat santri dalam bidang pendidikan masih mewariskan kesulitan bangsa dan negara hingga kini, satu masalah yang tidak boleh dianggap sepele.

Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme Modern

Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda. Dalam upaya melanggengkan penjajahannya di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang menghambat perkembangan kecerdasan pribumi. Dari segi hukum, stratifikasi penduduk tanah jajahan dibagi menjadi empat; tertingi penduduk Eropa, kemudian Timur Asing (Cina dan Arab), kemudian aristokrat pribumi (priyayi) dan baru rakyat biasa. Stratifikasi ini juga diwujudkan dalam sistem pendidikan; khusus untuk orang Eropa (ELS), kemudian sekolah khusus untuk golongan Timur Asing (HAS dan HCS), kemudian sekolah untuk golongan priyayi (HIS), baru sekolah untuk rakyat umum, yaitu Volkse School (Sekolah Ongko Siji) dan Tweede Volkse School (Sekolah Ongko Loro). Dari sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda itu tidak memungkinkan orang Indonsia dapat menjadi terpelajar, kecuali priyayi yang sekolahanya justeru didesain untuk kepentingan penjajahan.

Satu hal yang tak diduga Belanda, dari STOVIA dan NIAS yakni dua sekolah kedokteran Jawa yang di Jakarta dan Surabaya muncul bibit-bibit nasionalisme modern, seperti Dr. Wahidin dan DR. Sutomo. Demikian juga priyayi yang sekolah di negeri Belanda mengalami pencerahan nasionalisme. Walhasil, pada paruh pertama abad XX, tumbuhlah kesadaran nasionalisme modern, baik yang bersifat nasionalis seperti Young Java, maupun yang bernuansa Islam, seperti Young Islamitten Bond, Serikat Dagang Islam , Sumpah Pemuda dan lain-lain. Kesadaran nasionalis modern itulah yang nantinya mengantar pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Read More
posted by : Mubarok institute

Saturday, September 18, 2010

Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia adalah realita kebangsaan dengan ciri-ciri budaya yang dapat dikenali sebagai khas Indonesia, dengan bahasa nasional yang juga khas Indonesia.

Keberadaan Indonesia sebagai satu bangsa sudah barang tentu melalui proses sejarah yang bukan saja tidak mudah, tetapi penuh dengan dinamika konflik.

Cita-cita kebangsaan tidak selamanya berada di jalan lurus, terkadang menyimpang ke kiri dan ke kanan, dan sejarah telah mengajarkan bahwa dalam pencapaian cita-cita kebangsaan sering diperlukan di tengah perjalanannya adanya peneguhan kembali ikatan batin atau komitmen semua warga negara kepada cita-cita nasionalnya.

Dalam usia kemerdekaan yang telah mencapai lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia masih tergolong bangsa baru, yang masih harus terus menyempurnakan proses penjadian dirinya menjadi bangsa (nation in making). Era reformasi telah menyadarkan kepada kita bahwa problem yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini sungguh sangat Besar, Berat dan Rumit, yang oleh karena itu kita harus mampu melihat hubungan logis antara krisis yang kita derita sekarang dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa. Dengan mengetahui jati diri bangsa, maka diharap kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu, dan generasi penerus akan bisa mengembangkan, memperbaiki dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Dari Nusantara Hingga Indonesia

Sudah menjadi kodrat sejarah bahwa penghuni kawasan ribuan pulau (Nusantara) di Asia Tenggara ini disatukan dalam satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Ribuan pulau, ratusan bahasa, ratusan suku, beragam-ragam tradisi, nilai budaya dan keyakinan agama, karena kodrat sejarah membuatnya tetap bersatu. Sejarah tidak bisa direkayasa. Penjajahan Barat yang berlangsung lebih dari tiga abad, meski direkayasa dengan politik pecah belah justeru mengantar pada kesatuan wilayah yang sekarang dinamakan wawasan Nusantara. Penjajahan dan politik pecah belah justeru telah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi persatuan, bahwa persatuan akan mengubah perbedaan menjadi kekuatan. Kesadaran kebangsaan ini merupakan naluri bangsa Indonesia. Oleh karena itu pergumulan pemikiran dan konflik-konflik yang pernah terjadi haruslah difahami sebagai dinamika sejarah kebangsaan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, September 16, 2010

Menempa Jati Diri Bangsa
Kata Pengantar:
Susilo Bambang Yudhoyono
Menko Polkam Republik Indonesia, dalam buku Nasionalis Religius, Jati diri bangsa

Karakter setiap bangsa berbeda-beda, tetapi diantara perbedaan itu ada karakter universal yang bisa dijadikan entry point pembentukan karakter kebangsaan. Memang manusia itu mewarisi kualitas genetika orang tua, kualitas sosial dan kualitas kebangsaan.

Akan tetapi manusia juga adalah makhluk yang tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan. Ia bisa berfikir, menganalisa dan mendistorsi lingkungan sesuai dengan kapasitas berfikirnya. Identitas manusia tidak hanya sebagai individu, tetapi ia juga memiliki identitas keluarga, identitas kelompok, identitas etnik dan identitas bangsa. Dalam lingkungan yang sempit manusia cenderung menggunakan identitas yang sempit pula, yaitu identitas pribadi dan identitas keluarga. Dalam lingkungan yang luas, identitas individual dapat terdistorsi oleh identitas yang lebih besar sesuai dengan lingkungannya. Ketika seseorang dalam perantauan domestik, maka identitas kampung halaman lebih dominan dibanding identitas individu dan identitas keluarga. Tetapi ketika seseorang berada di luar negeri maka yang dominan pada orang itu adalah identitas kebangsan.

Dalam perspektif diatas, maka jika membangun kualitas keluarga dimulai dari membangun individu, membangun suatu bangsa tidak dengan berangkat dari membangun individu-individu, tetapi harus membawa bangsa itu ke tengah lingkungan international, membawa bangsa itu dalam pergaulan antar bangsa agar yang terbangun bukan hanya konsep diri individual tetapi juga konsep diri kebangsaan. Dalam pergaulan antar bangsa, identitas kebangsaan akan tumbuh subur. Dalam percaturan international warga bangsa akan dapat bercermin kepada bangsa lain, sehingga pusat perhatiannya terpusat pada bagaimana membesarkan bangsa menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh bangsa lain. Ukuran kebesaran bangsa bisa diukur pada supremasi militernya, bisa juga dalam hal dominasi ekonomi , dan bisa juga pada ketinggian kebudayaannya. Ketinggian kebudayaan suatu bangsa akan mengantar pada supremasi yang lain. Dengan kata lain membangun karakter bangsa adalah dengan membudayakan nilai akhlak dalam kehidupan bangsa, artinya nilai-nilai moral dan akhlak harus masuk ke dalam sistem berbangsa dan bernegara, dalam perundang-undangan yang mengikat.
Sebagai contoh, kejujuran seseorang bersumber dari hatinya. Membudayakan kejujuran kepada bangsa bukan dengan menyerahkan kepada hati masing-masing warga negara, melainkan melalui sistem transparansi dan sistem pengawasan dimana peluang untuk tidak jujur menjadi semakin sempit. Setiap warga negara, terutama para penyelenggara negara haruslah terakses kekayaannya oleh sistem pengawasan. Sistem tersebut mengharuskan setiap warga negara memiliki file yang merekam setiap transaksi, dan setiap saat mereka harus bisa membuktikan asal usul harta kekayaanya secara sistemik dan terbuka. Sistem file dan transparansi tersebut akan memperkecil ruang gerak orang yang bertindak tidak jujur dalam aktifitas ekonomi. Sistem itu juga harus mencakup sanksi terhadap ketidak jujuran warga yang juga dilaksanakan secara terbuka.

Meski boleh jadi seseorang mematuhi peraturan itu belum tentu dilandasi oleh niat ibadah, tetapi sistem yang berjalan lama akan membentuk perilaku masyarakat, membentuk karakter dan jati diri bangsa.
Membangun jati diri bangsa bukanlah pekerjaan mudah, oleh karena itu harus bersistem, melibatkan banyak elemen masyarakat. Para agamawan secara mikro harus aktif mengingatkan masyarakat untuk mematuhi peraturan dan menghubungkan etos kepatuhan itu dengan niat ibadah. Secara makro harus ada kelompok yang secara terus menerus mengingatkan kepada para pemimpin bangsa dan penyelenggara negara untuk menjadi contoh dalam hal kepatuhannya kepada peraturan, termasuk pemberlakuan sanksi jika ada pemimpin yang melanggar peraturan.

Karakteristik tiap bangsa berbeda-beda, dan efektifitas sistem juga berbeda-beda. Pada bangsa yang tingkat pendidikanya tinggi maka demokratisasi, kebebasan dan keterbukaan sangat efektif dalam membangun karakter dari bangsa itu, tetapi pada bangsa yang tradisionil dan tingkat pendidikan warganya tidak merata maka keteladanan seorang pemimpin lebih efektif dibanding demokratisasi dan keterbukaan. Pada bangsa kita, demokrasi tidak bisa dilempar ke pasar bebas tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya lokal.

Manusia Indonesia, Sebuah Cermin

Di waktu yang lalu, banyak diantara kita orang Indonesia yang dengan bangga menyebut kepribadian orang Indonesia yang ramah, santun dan toleran dan bahkan religius. Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh Departemen Penerangan dan Departemen Luar Negeri, tetapi sebagian besar kita seperti membenarkan pernyataan itu. Gelombang reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua citra itu. Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat sadis kepada pelaku kriminal, fatsoen politik anggauta parlemen (dan demonstran) yang sangat vulgar, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik mencerminkan watak dari manusia yang tidak ramah, tidak santun dan tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga mencerminkan masyarakat beragama. Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini sekedar eforia reformasi atau justeru merupakan jati diri asli bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pembentukan karakter bangsa (nation building), sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset positif, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala para pemimpinnya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi efektifitasnya dibanding sistem administrasi. Oleh karena itu pada kasus bangsa Indonesia, membangun jati diri bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin. Pelanggaran nilai moral dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari penegakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil biayanya dibanding biaya menyediakan infrastruktur pengawasan secara nasional.

Apa yang disebutkan diatas, baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus dilaksanakan lebih dahulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa dewasa ini sudah sangat kompleks. Idealnya pembangunan jati diri bangsa itu melalui sistem pendidikan dan dimulai dari anak-anak dan generasi muda. Akan tetapi, disamping membutuhkan waktu yang panjang, kompleksitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka. Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat, sudah tumbuh kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama ini gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkompetisi di dunia global, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan nasional kita lebih menekankan keseragaman. Problem pendidikan dewasa ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan. Oleh karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatif dan bersifat alternatif dalam pendidikan yang komprehensip, serentak, menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat sifatnya menyeluruh, tetapi pasti ada kata kunci untuk mengurai problem tersebut.

Nasionalisme, Pluralisme dan Humanisme

Dalam era global dimana dunia menjadi kampung besar dan informasi global tidak bisa dihalangi memasuki rumah-rumah penduduk, maka disamping bangsa harus ditempa dengan nilai-nilai luhur budaya sendiri, juga harus disiapkan menghadapi laju perubahan yang tak bisa dihindar, yaitu arus globalisasi. Ada tiga kata kunci untuk mempersiapkan jati diri bangsa menghadapi serbuan budaya global, yaitu; (1) memperkokoh semangat nasionalisme, yaitu betapapun bangsa Indonesia harus memahami dan mengedepankan identitas nasionalnya sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai luhur budaya dan moralitas agama. Bangsa yang kehilangan jati diri nasionalnya akan tidak memiliki bargaining position dalam pergaulan antar bangsa. (2) Memelihara semangat pluralis. Bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tetapi keragaman itu dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi kekayaan, menjadi potensi, bukan menjadi penghalang. Semangat pluralis akan dapat menjadi filter ketika berjumpa dengan budaya bangsa lain, yakni tetap berbangga dengan budaya bangsa sendiri yang luhur, dan hanya mengadopsi budaya lain yang telah teruji memiliki nilai lebih baik. (3) Humanisme, yakni bahwa bangsa Indonesia harus bisa menghormati harkat manusia seperti yang diajarkan oleh agama, yakni insan sebagai makhluk psikologis, sebagai makhluk budaya, sebagai makhluk sosial, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah. Sebagai makhluk yang bermartabat, manusia harus dilindungi hak-hak azazinya, jiwanya, intelektualitasnya, keyakinan agamanya, kepemilikannya dan kesucian identitas dirinya.

Mengakhiri tulisan ini sebagai pengantar buku kecil karya DR. Achmad Mubarok, MA, yang berjudul Nasionalis Religius Jati diri Bangsa Indonesia, saya sangat mengapresiasi tulisan tersebut, bukan saja dari tulisannya, tetapi dari penulisnya. Saya mengenal penulis sebagai ilmuwan dan ulama yang dari pengalaman panjang hidupnya kemudian memiliki sosok nasionalis religius. Insya Allah buku ini banyak manfaatnya bagi bangsa.

Jakarta, 9 Januari 2004

Susilo Bambang Yudhoyono

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, September 15, 2010

(1) Mencari jati diri kebangsaan
Meski harus dibayar mahal, era reformasi telah memberi peluang kepada bangsa untuk merenung ulang jati dirinya. Dulu kita pernah berbangga sebagai bangsa yang ramah , toleran dan santun. Ternyata dalam era reformasi, sebagian dari kita telah menunjukkan perilaku yang sebaliknya, kebrutalan dan sadisme justeru kita lakukan kepada sesama warga bangsa, hanya karena berbeda etnik, golongan dan terkadang hanya karena berbeda kampung.

Budaya luhur bangsa yang sering kita banggakan juga tidak mampu menahan praktek korupsi. Meski kita menyebut negara kita sebagai negara hukum, tetapi selama era reformasi anarki marak dimana-mana, dari jalanan hingga Senayan. Pemilu yang amat demokratis pada tahun 1999 ternyata belum mampu mengantar bangsa ini pada perilaku bermartabat, sebaliknya kecemasan justru menghantui kita dalam membangun demokrasi.
Jepang dapat bangkit menjadi negara yang kuat setelah luluh lantak dihantam bom atom Amerika. Vietnam sudah mulai merangkak bangkit, padahal negara dan bangsa Vietnam telah hancur-hancuran dalam perangnya melawan pendudukan Amerika. Mengapa Indonesia belum juga memiliki arah yang jelas mau kemana setelah dihantam badai krisis, sebaliknya setiap upaya pencarian solusi justeru melahirkan krisis baru?

Setelah dua presiden pertama dan kedua terlalu lama duduk hingga lupa berdiri, lima tahun pertama era reformasi sungguh sangat dramatis, karena hanya dalam waktu singkat telah berlangsung tiga kali berganti presiden. Kini mulai nampak jelas akar dari krisis multi dimensi itu, yaitu krisis kepemimpinan dan krisis jati diri. Sebagai bangsa yang bersifat paternalis, kita kehilangan pemimpin panutan, akibatnya keragaman yang dibanggakan sebagai Bhinneka Tunggal Ika buyar menjadi potensi konflik, kebhinnekaan menyeruak mendesak ketunggalan bangsa. Setiap kelompok menonjolkan aspirasi kelompoknya, kedaerahan, agama, juga kepentingan, sementara kepentingan bangsa sebagai kesatuan terlupakan.

Belajar dari sejarah masa lalu, juga sejarah bangsa asing, kita harus temukan kembali jati diri kita sebagai bangsa. Koflik konstituante tahun 1959, berujung pada semangat nasionalisme, yakni dekrit 5 Juli dimana dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Krisis 1965 (G.30.S) menyadarkan kembali untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Krisis 1997 mengantar pada semangat amandemen UUD 45, tetapi kembali mengalami kebingungan karena terasa kebablasan, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan harapan untuk agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia seperti yang terkandung dalam semangat pembukaan UUD 45.

Dari pengalaman pergumulan pemikiran selama lebih dari setengah abad yang tak jarang disertai konflik politik, dapat diyakini bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah nasionalis religius, bukan masyarakat sekuler, bukan juga masyarakat theokratis. Aspirasi yang mengarah pada faham “asli” secara sempit, atau yang berusaha mengimport faham sekuler dari Barat, atau faham yang bersifat theokratis (agama) ternyata tidak pernah mendapat dukungan masyarakat luas. Pemisahan kelompok abangan, priyayi dan santri juga sangat tidak relefan. Di MPR bahkan susah membedakan mana anggauta fraksi partai agama dan mana anggauta fraksi partai nasionalis, karena semuanya menyampaikan salam yang sama (Assalamu`alaikum), dan pada jam-jam salat lima waktu, lebih tidak mudah lagi menandai dari fraksi mana. Di dalam jati diri nasionalis religius, semua aspirasi warga bangsa, agama, adat dan budaya memperoleh lahan yang subur untuk beraktualisasi diri saling menghargai dan saling mengisi dalam rangka kejayaan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Tulisan ini merupakan refleksi dari pergumulan ideologis seorang warga bangsa yang lahir dari kultur santri Jawa, tetapi beruntung mengalami lintas pergaulan luas menembus batas, dari lingkungan rasional hingga spiritual, dari lingkungan tradisional hingga metropolis, dari lingkungan pragmatis hingga lingkungan idealis garis keras. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dalam upaya membangun kembali bangsa Indonesia.Amin.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, September 06, 2010

Membangun akhlak manusia (9) Kebudayaan sebagai sumber nilai
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian “membumi”. Ketika masih di “langit” Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika “membumi” maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran.

Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya

Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

One. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
Two. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progresip dari kebudayaan.
Three. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal nilai agama.
Four. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekpressip dari kebudayaan.
Five. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti fikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.
Six. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial dan sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.

Budaya Islam Syar`iy

Sebagaimana telah diketahui bahwa sumber utama ajaran Islam adalah al Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam perjalanan sejarahnya, budaya lokal juga ikut mempengaruhi corak kebudayaan Islam. Istilah budaya Islam Syar`iy digunakan untuk membedakan bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh budaya jahiliyah (unsur-unsur budaya lokal), sebaliknya justru mengubah budaya jahiliyah yang musyrik menjadi agama tauhid, dengan bentuk-bentuk agama Islam yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal; seperti sekte-sekte Syi`ah, Khawarij dan juga ordo-ordo Sufi, dll. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasul, adalah sistem yang merupakan kesatuan utuh antara aspek aqidah (iman) aspek Islam (aturan-aturan formal) dan aspek ihsan (moral spiritual). Sepeninggal Rasul, untuk masa tertentu meski terjadi gejolak sosial dan politik, tetapi magnit al Qr’an dan Sunnah masih cukup kuat menarik jiwa penganutnya, terutama para sahabat besar sehingga budaya lokal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap budaya Islam.

Dapat dikatakan bahwa Islam yang asli telah diperagakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan diteruskan oleh Khulafa Rasyidin, yakni pada periode dimana Madinah al Munawwarah masih menjadi pusat imamah. Pengamalan Islam pada periode ini masih sederhana tetapi tauhidnya sangat kokoh dan belum diwarnai oleh peradaban lain, sebaliknya malah mengubah budaya lokal Arab. Meski budaya Islam periode awal disebut masih sederhana, dan al Qur’an serta Sunnah Nabi menjadi nilai dasar, tetapi sebenarnya di dalamnya juga sudah ada nilai-nilai rasional, ekonomi, kuasa, solidaritas dan seni.

Pergumulan Budaya

Sepeninggal periode Khulafa Rasyidin, budaya lokal menyeruak keatas permukaan menghiasi aspirasi konflik elit politik. Baru dalam bilangan 20 tahun sepeninggal Rasul, wilayah kekuasaan Islam sudah sangat luas, menaklukkan imperium Persia dan membebaskan wilayah Syams dan Afrika dari penjajahan Romawi, dimana pada kedua wilayah itu masing-masing telah memiliki peradaban yang sudah mapan serta potensi ekonomi yang sangat besar. Umar bin Khattab melarang keras tokoh-tokoh elit hijrah ke negeri baru, tetapi khalifah Usman agak mengendorkan larangan itu, sehingga banyak pedagang Quraisy hijrah ke wilayah yang baru ditaklukkan. Dengan ketiadaan sosok Rasul, para tokoh elit Arab Jahiliyah yang sudah masuk Islam tidak dapat lagi dibendung peran sosial ekonominya, karena mereka sejak sebelum memeluk Islam memang sudah memiliki kelebihan pengalaman dalam bidang ekonomi dan kepemimpinan. Jika pada masa Rasul dan Khulafa Rasyidin nilai agama dan solidaritas lebih menonjol, maka pada periode pasca Khulafa Rasyidin nilai ekonomi dan nilai kuasa justru yang lebih menonjol. Akibatnya konflik politik dan persaingan bisnis menjadi subur, dan ujungnya adalah lahirnya sistem kekuasaan absolut berupa dinasti Umayyah (berpusat di Damaskus dengan basis budaya Romawi) dan disambung dinasti Abbasiah (berpusat di Baghdad dengan basis budaya Persia). Adapun kelompok yang tetap berorientasi kepada Qur’an & Sunnah, mereka tidak mau melibatkan diri dalam konflik, tetapi mengkhususkan diri menekuni pemikiran agama, kemudian secara sosiologis menjadi kelompok ulama yang bisa dipertentangkan dengan kelompok umaro (penguasa).

Pada saat itu berbagai aspirasi (Qur`ani, Hadits, Israiliyyat, filsafat dan tradisi lama) dan berbagai kelompok kepentingan terlibat dalam pergumulan budaya, dan kesemuanya mengatas namakan Islam.

1. Dari aspek politik lahirlah penguasa dinasti yang lebih mementingkan mempertahankan nilai kuasa dibanding nilai agama dan solidaritas, disamping kelompok oposisi.

2. Dari aspek pemikiran hukum, lahirlah mazhab-mazhab fiqh, yang terbesar adalah mazhab Maliki, Syafi`I, Hanafi dan Hambali.

3. Dari aspek teologi lahir alian-aliran ilmu Kalam (filsafat ketuhanan), seperti Mu`tazilah, Qadariyah, Jabbariyyah, Maturidiyyah dan Ahlu sunnah wa al jama`ah.

4. Dari aspek spiritualisme, lahirlah sufisme yang bercorak lmmanen dan bercorak transenden, yang panteistis dan yang tetap tauhid rational.

Di Aceh, Islam bergumul dengan budaya Melayu, melahirkan sastra Melayu Islam, dan pengaruhnya meluas di Sumatera, melahirkan format seperti adat bersendi syara`, dan syara` bersendi Kitabullah. Sedangkan di Jawa nilai-nilai Islam berhadapan dengan lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap Hinduisme dan budaya wong cilik yang animistis. Hasilnya, yang lebih dekat ke Islam menjadi Pesantren, sedangkan yang lebih dekat ke budaya lokal menjadi Kejawen dan kebatinan. Di Jawa muncul konsep manunggaling kawula lan Gusti, konsep eling, konsep kalifatullah sayyidin Panatagama, konsep ngerti sadurunging winarah, konsep layang kalima sada dan sebagainya. Tipologi orang Jawa pasca pergumulan budaya Islam vs budaya lokal terbagi menjadi tiga (menurut Geertz) yakni santri, abangan dan priyayi. Priyayi kebanyakan juga abangan. Pergumulan itu di Indonesia berlangsung terus hingga sekarang, melahirkan typologi H.Agus Salim,Sukarno, Gus Dur,Nur khalis Majid, Harun Nasution, juga Takdir Ali Syahbana, Mustafa Bisri, Emha Ainun Najib, Habib Riziq, Amrozi, , Inul dan kita-kita ini.

Bias Budaya dan Agama

Ketika zaman orde baru memberlakukan azas tunggal Panca Sila, muncul resistensi terhadap Panca Sila dari sebagian kecil kelompok Islam. Wacana anti Panca Sila sebenarnya berasal dari bias agama dan budaya. Islam itu agama (murni) yang juga melahirkan budaya, maka ada kebudayaan Islam dan ada kebudayaan kaum muslimin. Kebudayaan Islam dipengaruhi oleh ajaran Islam, sedangkan kebudayaan kaum muslimin ada yang berasal dari ajaran Islam dan ada yang berasal dari budaya lain, yang bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat dalam waktu lama dan memandu perilaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ada kaidah yang mudah diingat, yaitu bahwa agama murni dalam hal ini ibadah mahdlah, pada dasarnya ritus ibadah itu dilarang, kecuali yang ada perintahnya, Dalam agama murni tidak ruang kreatifitas. sedangkan yang bersifat kebudayaan, mu`amalah, pada dasarnya semua bentuk kebudayaan masyarakat itu dibolehkan, kecuali yang ada larangannya (al ashlu fi al `adat wa al mu`amalah al ibahah hatta takun dall fi buthlanihi). Jadi pada agama (murni) tidak ada ruang kreatifitas ummat, tapi pada wilayah budaya, semuanya justeru wilayah kreatifitas. Nah Negara, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu2 agama), Panca Sila dan konstitusi adalah budaya. Demikian juga partai Islam, ormas Islam, juga produk kebudayaan. Bahkan konsep khalifah adalah budaya Islam, oleh karena itu corak khulafa rasyidin berbeda dengan khilafah Bani Umaayyah dan Abbasiyah. Negara Islam boleh berbentuk kerajaan, boleh republik, boleh dinasti, boleh kerajaan konstitusional, bergantung kepada kondisi wilayah dan kreatifitas ummatnya. Ideologi Anti Panca Sila bukanlah ekpresi Islam, tapi kedudukannya sama dengan Komunisme yang juga anti Panca Sila, dua-duanya kebudayaan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, September 05, 2010

Membangun akhlak manusia (8) Agama Sebagai Sumber Nilai
Ketika kita berbicara tentang nilai agama, harus dibedakan tingkat-tingkat pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan agama.

Sekurang-kurangnya ada lima tingkat pemahaman tentang agama

a. Agama seperti yang dimaksud oleh Tuhan.

Ketika seorang muslim mengatakan bahwa Islam adalah sempurna dan memiliki kebenaran yang bersifat mutlak, maka yang dimaksud adalah Islam seperti yang dimaksud oleh Tuhan. Ia berada pada tataran konsep yang tersembunyi dibalik wahyu kitab suci. Tafsir Kitab Suci tidak lagi mutlak kebenarannya karena disitu sudah ada pemikiran manusia

b. Agama seperti yang dicontohkan oleh Nabi utusan Tuhan.

Pada tahap ini, agama juga bersifat mutlak benar, karena seorang Nabi memang didesain Tuhan untuk menjadi contoh

c. agama seperti yang dipersepsi oleh generasi pertama (pengikut nabi).

Pada tahap ini agama tidak lagi bersifat mutlak benar, karena persepsi pengikut dipengaruhi oleh tingkat intelektual yang berbeda, juga oleh frekuensi hubungan yang berbeda.

d. Agama seperti yang diajarkan oleh para ulama/pendetanya.

Pada tahap ini kebenaran agama bersifat interpretatip, oleh karena itu tidak mutlak benar. Pada tahap ini agama sudah bercampur dengan budaya.

e. agama sebagai tradisi masyarakat beragama.

Tradisi masyarakat beragama bisa sesuai, bisa juga tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Dari itu maka agama sebagai sumber nilai akhlak dapat dibagi menjadi dua;

Pertama : Nilai-nilai yang bersifat universal , misalnya berbakti kepada orang tua, membantu si lemah, larangan zina, larangan membunuh, mencuri,. Dalam al Qur’an, nilai2 mulia yang bersifat universal disebut al khoir, nilai-nilai kekejian universal disebut fakhisyah.

Kedua : Nilai-nilai yang meski diilhami oleh nilai universal tetapi pada tahap implementasinya dipengaruhi oleh cara pandang sosial; misalnya, meski semua sepakat bahwa anak harus berbakti kepada orang tua, tetapi mereka berbeda pandangan tentang bagaimana caranya berbakti. Nilai-nilai akhlak pada tahap implementasi dalam al Qur’an disebut ma`ruf, yakni sesuatu yang secara sosial dpandang sebagai kepatutan, sedangkan kekejian yang diselimuti alasan sehingga sepertinya tidak buruk, disebut munkar. Oleh karena itu ada ungkapan amar ma`ruf nahi munkar.


Contoh Butir-butir akhlak dari agama

* Dari agama Kristen kita sering mendengar ungkapan : jika dipukul pipi kirimu berikan pipi kananmu, atau ungkapan; cintailah musuhmu. Butir ini sesungguhnya sejalan dengan butir hadis Nabi yang mengatakan bahwa aku disuruh memberi kepada orang yang pelit, bersilaturrahmi kepada orang yang memutuskan hubungan, memaafkan orang yang menzalimi.

* Dari tradisi Kristen klassik juga didapati nilai-nilai akhlak yang berbunyi; Duduk di bagian belakang kemudian dipersilahkan ke depan itu lebih baik daripada langsung duduk didepan tapi kemudian datang orang memohon agar pindah ke belakang karena di depan sudah diperuntukkan bagi orang lain.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, September 02, 2010

Membangun akhlak manusia (7) Konsep Baik Buruk
Kebaikan dan keburukan adalah kualitas nilai, semua kualitas ada derajatnya, oleh karena itu orang mengenal nilai baik dan sangat baik, atau buruk dan sangat buruk.

Dalam bahasa Indonesia dikenal adanya kebajikan disamping kebaikan. Pada dasarnya kebaikan adalah sesuatu yang enak dirasa, enak dipandang dan memberi manfaat, sebaliknya keburukan adalah sesuatu yang tidak enak dirasa, tidak enak dipandang serta tidak membawa manfaat.
Dalam bahasa Arab ada istilah khoir, hasan, birr, ma`ruf yang kesemuanya bermakna kebaikan disamping fujur, fakhisyah,munkar dan syarr yang kesemuanya bermakna keburukan.

Akal sebagai sumber nilai

Definisi manusia yang populer adalah: hewan yang berfikir (al insan hayawan natiq). Jadi kelebihan manusia terletak pada kemampuannya berfikir, atau pada akalnya. Dalam Psikologi modern, akal disebut sebagai problem solving capasity, sebagai kecakapan memecahkan masalah. Dalam Al Qur'an, akal meski disebut dengan berbagai nama dan aktifitas, tetapi kata 'agala dalam Al Qur 'an mengandung arti yang pasti yaitu mengerti, memahami dan berfikir. Tetapi aktifitas berfikir diterangkan Al Qur'an bukan hanya oleh akal, melainkan merupakan produk dari sistem nafsani yang melibatkan hati (galb), hati nurani, (bashirah), 'aql dan nafs itu sendiri. Jadi akal secara sosiologis memiliki kemampuan untuk memutuskan hukum baik dan buruk. Wujud dari hukum baik buruk yang dirumuskan oleh akal adalah sistim nilai yang terdapat dalam kebudayaan manusia, baik dalam bentuk agama budaya, tradisi, ilmu pengetahuan maupun hukum positif. Dalam perspektif ini maka dapat diketahui adanya hukum baik buruk yang seakan "univer¬sal", dan yang bersifat regional. Norma baik buruk masyarakat dunia ada yang hampir sama dan ada yang saling bertentangan. Artinya akal tidak dapat menjadi satu-satunya sumber norma, justeru karena subyektifitas pemikiran manusia itu sendiri.

Agama (Wahyu) sebagai sumber nilai

Yang dimaksud wahyu sebagai sumber nilai adalah firman Allah yang diturunkan kepada para Nabi. Wahyu merupakan hidayah Tuhan kepada manusia setelah hidayah akal. Artinya karena akal tidak akan dapat mencapai kebenaran mutlak maka Allah menyempurnakan hidayahNya dalam bentuk wahyu yang dibawa oleh para Nabi, yang wujudnya adalah Kitab Suci seperti Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur'an. Wahyu sebagai sumber nilai memiliki tingkat kebenaran yang absolut, oleh karena itu ia bersifat universal. Yang tidak absolut adalah kebe¬naran yang didasarkan kepada tafsir atas Kitab Suci. Dalam Al Qur'an, kebenaran kebaikan antara lain disebut dengan istilah al khoir dan al ma'ruf. Al khoir artinya kebaikan normatif yang sumbernya dari Tuhan dan memiliki kebenaran absolut serta berlaku universal. Sedangkan al ma'ruf adalah nilai kebaikan yang penilaiannya melibatkan kebu¬dayaan manusia, oleh karena itu nilai al ma'ruf tidak universal. Berbakti kepada orang tua adalah kebaikan yang bernilai al khoir. Siapa saja, di negeri manapun dan pada zaman apapun, setiap manusia wajib ber¬bakti kepada orang tua. Tetapi bagaimana caranya berbakti adalah al makruf, yakni tata nilai masyarakat ikut, menentukan ukurannya, oleh karena tiap masyarakat dan tiap zaman mempunyai ukuran sendiri¬sendiri. Sedangkan keburukan, Al Qur'an menyebutnya dengan istilah as su'- sayyi'at yang dalam berbagai ayat mengandung banyak arti. Sekurang-kurangnya Al Qur'an menggunakan predikat buruk atau as su' pada limabelas hal di luar pengertian dorongan seksual, yaitu; jalan yang buruk, sa'a sabila. (Q/4:22)", teman yang buruk, sa'a garina. (Q/4:38)", keputusan yang buruk, sa'a ma yahkumun (Q/6: 146), beban yang buruk, sa'a himla (Q/20:101), tempat kembali yang buruk, sa at marisa (Q/4:97), tempat tingal yang buruk, sa'at mustagarra (Q/25:66), giliran yang buruk, ddirah assau' (Q/48:6), siksaan yang buruk, su'al azab (Q/14:6), rumah atau kampung yang buruk, su'ul hisab (Q/13:25), perhitungan yang buruk, su'ul hisab (Q/13:18) Amal yang buruk, su'u 'amalihi (Q/40:37), perbuatan seorang ardda bi ahlika su'an (Q/12:25) Rekayasa jahat, makr as sayyi' (Q/35:45) dan perlindungan yang buruk syafa'atan sayyi'atan (Q/4:85).
Al Qur'an juga menggunakan kata su'u dalam berbagai kata bentukannya untuk menyebut penyakit, min ghoiri su'in (Q/28:32), dosa, kaffir 'anna sayyi atina (Q/3:193), bencana, sayyi'at (Q/11:10), dan hukuman, sayyi'at (Q/39:51).

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, September 01, 2010

Membangun akhlak manusia (6) Sumber norma akhlak
Permasalahan pokok akhlak adalah tentang ukuran baik buruk. Persoalannya setiap orang atau setiap budaya boleh jadi tidak meng¬gunakan tolok ukur yang sama dalam menentukan baik dan buruk. Sebagai contoh; bagi orang Bugis, perbuatan melarikan anak gadis oleh seorang lelaki adalah perbuatan siri yang sangat mempermalukan harga diri, dan taruhannya bisa nyawa, tetapi bagi sebagian penduduk etnik Lampung, keberanian melarikan gadis pujaan karena ditolak lamarannya justeru dinilai sebagai bukti kesungguhan.


Demikian juga adat sebagian orang Jawa Tengah, menyebut bawaan perkawinan (mas kawin) secara rinci, apa lagi jika dalam jumlah yang besar dipandang sebagai perbuatan yang kurang terpuji karena menunjukkan sikap pamer, sehingga mas kawin yang disebut dan dicatat pegawai KUA selalu berkisar 5.000-10.000 rupiah, sementara orang Betawi justeru dengan bangga menyebut jumlah besar maskawin, bahkan seluruh uangnya yang banyak terkadang dikibarkan seperti bendera hiasan. Pihak besan juga bangga kepada tamu jika menantunya banyak bawaannya.

Di samping itu juga tidak semua perbuatan bisa dihukumi dengan ukuran baik buruk. Tingkah laku seseorang yang merupakan gerak reflek, atau perbuatan seseorang yang dilakukan di luar kesadaran, juga tidak termasuk dalam wilayah hukum baik buruk. Yang menjadi per¬soalan ilmu akhlak adalah perbuatan yang timbul dari orang yang me-lakukannya dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia menyadari betul ketika melakukan perbuatan itu.
Persoalan selanjutnya ialah ukuran mana yang bisa dipakai sebagai hukum baik buruk.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger