Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, March 30, 2007

Abah
Prof Mubarok yang saya kenal selalu dipanggil oleh keluarganya dan teman-temannya dengan sebutan abah, bahkan mbak hanum yang tinggal di bojonegoro yang saya belum pernah liat sosoknya-pun memanggilnya abah. Buat saya, abah adalah abah bagi semua orang yang dekat dengannya maupun yang tidak dekat sekalipun.

Pernah satu hari dikolom konsultasinya abah mendapatkan pertanyaan, “abah, saya suka gelisah dan cemas jika dimalam hari, saya harus bagaimana?” abah menjawabnya. “berlakulah lurus disiang hari, agar tidak gelisah dan cemas jika dimalam hari.” (Agussyafii)

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 29, 2007

Kesulitan Dan Kebahagiaan (2)

Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu sa`adah (bahagia), falah (beruntung) dan najat (selamat) dan najah (berhasil). Jika saadah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Tuhan setelah terlebih dahulu mengarungi kesulitan, maka falah mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak al bughyah). Falah ada dua macam, dunyawi dan ukhrawi. Falah duniawi adalah memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa nikmat, yakni menemukan (a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus, kebutuhan tercukupi terus dsb, (b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh melebihi dari yang dibutuhkan, dan (c) kehormatan sosial. Sedangkan falah ukhrawi terdiri dari empat macam, yaitu (a) keabadian tanpa batas, (b) kekayaan tanpa ada lagi yang dibutuhkan, (c) kehormatan tanpa ada unsur kehinaan dan (d) pengetahuan hingga tiada lagi yang tidak diketahui. Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika menerima putusan bebas dari pidana, ketika mendapat grasi besar dari presiden, ketika ternyata seluruh keluarganya selamat dari gelombang tsunami dan sebagainya. Adapun najah adalah perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah merasa pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil menjadi sarjana semua.

Kesenangan berdimensi horizontal, sedangkan kebahagiaan berdimensi horizontal dan vertikal. Orang masih bisa menguraikan anatomi kesenangan yang diperolehnya, tetapi ia akan susah mengungkap rincian kebahagiaan yang dirasakannya. Air mata bahagia merupakan wujud ketidakmampuan kata-kata. Prof. Fuad Hasan dalam bukunya Pengalaman Naik Haji mengaku tidak bisa menerangkan kenapa beliau menangis di depan Ka`bah, karena kebahagiaan yang beliau alami berdimensi vertikal, bernuansa anugerah, bukan prestasi. Banyak mempelai menitikkan air mata ketika akad nikah, demikian juga kedua orang tuanya, dan mereka tidak bisa menerangkan anatomi perasaan bahagianya.

Kebahagiaan berkaitan dengan tingkat kesulitan yang dialami. Kebahagiaan sesungguhynya dalam kehidupan rumah tangga bukan ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Sungguh orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan cucu-cucunya nya sengsara dan hina, meski perjalanan bahtera rumah tangganya penuh dengan sukses story. Kebahagiaan biasanya datang setelah orang sukses mengatasi kesulitan yang panjang, tetapi tidak semua kesulitan mengantar pada kebahagiaan yang sebenarnya.

Menurut hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam hidup berumah tangga; (1) isteri/suami yang setia (2) anak-anak yang berbakti (3) lingkungan sosial yang sehat dan (4) rizkinya dekat. Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, anak-anak yang berbakti menjadikannya sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan imajinasi.

Read More
posted by : Mubarok institute
Kesulitan dan Kebahagiaan
Semua orang yang memutuskan untuk hidup berkeluarga pasti mengangankan adanya kebahagiaan dalam hidup rumah tangganya, meski angan-angan tentang kebahagiaan juga berbeda-beda. Kebahagiaan sangat subyektip tetapi universal. Ada orang yang bahagia karena memperoleh sesuatu yang banyak, tetapi yang lain sudah cukup merasa bahagia meski hanya memperoleh sedikit. Ada orang yang merasa bahagia karena memperoleh susuatu tanpa bersusah payah, tetapi yang lain merasa bahagia justeru telah bersusah payah lebih dahulu. Kebahagiaan ada yang sifatnya sesaat, ada yang lama dan bahkan ada kebahagiaan abadi.

Makna bahagia
Ada dua ungkapan, senang dan bahagia. Senang adalah terpenuhinya tuntutan syahwat, misalnya sedang lapar menemukan makanan lezat, sedang haus menemukan minuman segar, sedang sulit menemukan kemudahan, sedang kesepian ketemu teman atau kekasih, sedang nganggur dapat pekerjaan dan sebangsanya. Adapun bahagia berhubungan dengan misteri yang sangat subyektip, tetapi intinya adalah datangnya pertolongan ilahiyah hingga memperoleh sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan ilahiyah (al khoir). Rasa bahagia misalnya terasa ketika anaknya lahir laki-laki setelah sekian lama mendambakan ingin mempunyai anak lelaki. Keberhasilan memeliliki anak-lelaki tidak diklaim sebagai prestasi – ini karena aku bisa bikinnya misalnya; kata sang ayah- tetapi orang yang mempunyai anak lelaki setelah hampir putus asa mendambakan kehadirannya merasa bahwa kehadiran anak lelaki itu merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Kebahagiaan juga terasa ketika seorang ibu yang membesarkan anak gadisnya tanpa kehadiran suami sehingga ia dalam keadaan berat selalu berharap agar anaknya memiliki masa depan yang baik. Pada saatnya anak gadisnya dipersunting oleh seorang pemuda saleh yang cerah masa depannya. Masa depan cerah anak gadisnya itu tidak diklaim sebagai prestasinya tetapi benar-benar dipandang sebagai anugerah Tuhan.

Jadi kebahagiaan itu datang dalam rangkaian kesulitan yang panjang tetapi ketika hadir tidak dakui sebagai prestasinya. Orang lainpun akan berkomentar, ibu itu sungguh sudah bekerja keras melampaui berbagai kesulitan dalam mengasuh anaknya sendirian, maka pantaslah jika Allah menganugerahinya kebahagiaan yang sempurna kepadanya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, March 25, 2007

Penyembuh Sufi (2)
Al-Qur’an sebagai Penyembuh (syifâ)
Penyebutan al-Qur’an sebagai syifa dapat dipahami dengan beberapa cara pandang. Secara ilmiah, al-Qur’an adalah obat, yakni ajaran-ajaran yang benar yang jika diikuti terapinya secara benar niscaya seseorang, sekelompok orang atau umat manusia akan selamat berbahagia di dunia dan di akhirat. Seberapa tingkat kesehatan diperoleh tergantung seberapa besar komitmen manusia terhadap terapi al-Qur’an. Jika dipahami secara sufistik, maka al-Qur’an bukan hanya maknanya, tetapi seluruh elemen dari al-Qur’an itu, kalimatnya, bunyinya, maknanya, bahkan masing-masing hurufnya mengandung kekuatan ruhaniah dengan karakter yang unik, mempunyai relefansi dengan ruang, waktu dan benda tertentu.

Pemahaman ini (penyembuhan sufistik) susah diikuti oleh cara berpikir konvensional, tetapi sangat masuk akal jika dilihat dengan cara merasa tasawuf. Sebagaimana diketahui tasawuf itu bekerja mempertajam rasa berketuhanan, bukan ketajaman logika. Penggunaan al-Qur’an sebagai obat tidak diukur tepat tidaknya argumen, tetapi pada seberapa besar rasa berhubungan manusia dengan Tuhan, dan seberapa tebal baik sangka manusia kepada Tuhan, karena Tuhan bisa memberi seberapa pun banyaknya sesuai dengan ukuran yang diharap oleh manusia.

Bagi seorang “sufi” nampaknya tidak ada daftar resep baku sehingga untuk kasus yang sama pada orang yang berbeda atau pada waktu yang berbeda terapinya tidak selalu sama, karena penyembuhannya bukan terletak pada ayat atau teks doa tetapi pada intensitas hubungan dengan Dia Sang Penyembuh. Bagi Tuhan apa saja bisa menjadi wasilah penyembuhan. Seorang murid ketika berguru kepada seorang mursyid diberi ijazah ayat Kursy, tetapi oleh mursyid yang lain diberi surat al-Kahfi, dan oleh yang lain lagi diberi yang lain lagi. Di dunia mereka tidak ada daftar obat, yang ada jadwal konsultasi.

Alam nafs
Kajian tentang manusia, baik fisik, psikis, dan spiritualitasnya tak pernah akan selesai, karena manusia sebagai objek merupakan tajalli dari kebesaran Tuhan, sementara manusia sebagai subjek memiliki banyak keterbatasan. Jika alam fisik saja belum selesai kajiannya, apalagi alam ruhaniahnya. Manusia telah berhasil menjalin hubungan sesamanya melalui gelombang-gelombang yang dulu dianggap sebagai spiritual, padahal ternyata bukan (telpon, internet dsb). Sebenarnyalah bahwa semakin banyak yang telah diketahui, semakin sadarlah manusia bahwa dimensi yang belum diketahui justru lebih banyak lagi. Di antara medan yang masih belum banyak terjamah adalah medan nafs, alam spiritual.

Sebagian orang ada yang merasa telah menjelajahi alam spiritual, tetapi sebenarnya ia baru sedikit memasukinya, yaitu alam spiritualisme faham Animisme. Alam spiritual yang tak terbatas luasnya adalah alam nafs, alam ruhani dimana jarak dunia dan akhirat menjadi sangat pendek. Dalam pengembaraan ruhaniah yang bersifat sufistik, tirai terbuka sehingga alam terbuka (kasyaf) dimana dimensi ruang dan waktu menjadi satu atau hilang. Dalam perspektif ini manusia bukan hanya bisa berkomunikasi dengan orang lain di tempat yang jauh, tetapi bahkan bisa berkomunikasi dengan lintas alam, lintas makhluk dan lintas zaman menembus seluruh sekat. Ketika itu yang namanya manusia bukanlah yang nampak dengan mata, tetapi nafs-nya, qalb-nya yang bersifat ruhaniah.

Bagi orang yang pernah mengembara ke sana, apa yang dianggap khayalan itu adalah justru yang kongkrit, sementara alam fisik yang sering disebut kongkrit justru dianggap sebagai fana, sebagai maya, sebagai bukan yang sebenarnya. Percayakah Anda?[*]

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 20, 2007

Penyembuh Sufi (1)
Pendahuluan
Berbicara tentang penyembuhan, pasti berhubungan dengan konsep sehat. Dalam bahasa agama (Islam) disamping kata sehat (shihhat) juga digunakan kata `afiat, yang dalam bahasa Indonesia kemudian disambung menjadi sehat wal-afiat. Jika kata shihhat (sehat) berhubungan dengan fungsi, maka kata ‘afiat berhubungan dengan maksud penciptaan. Mata yang sehat adalah mata yang bisa digunakan untuk melihat/membaca tanpa memerlukan alat bantu (fungsional), sedangkan mata yang afiat sesuai dengan maksud penciptaannya adalah mata yang mudah digunakan untuk melihat sesuatu yang halal tetapi tidak mau digunakan untuk melihat sesuatu yang diharamkan (nilai). Telinga yang sehat adalah yang fungsi pendengarannya berjalan, sedang telinga yang afiat adalah yang selalu terbuka terhadap kata-kata kebenaran tetapi tuli terhadap bisikan yang menyesatkan. Demikianlah makna sehat dan afiat bagi hidung, tangan, kaki hingga kepada organ yang paling vital. Jika bidang kesehatan merupakan urusan dunia kedokteran, maka bidang keafiatan merupakan urusan dunia nilai, dunia spiritual, dunia tasawuf.

Kesehatan Jiwa
Jiwa bisa dilihat sebagai organ psikologis dimana azas dan hukumnya bisa dipelajari seperti yang dilakukan oleh Ilmu Jiwa. Dari sini pula kemudian dikenal ada orang sakit jiwa dan ada yang hanya terkena gangguan kejiwaan. Penanganan orang sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa, sedangkan penanganan gangguan kejiwaan cukup dibawa ke psikiater atau konselor kejiwaan.

Dalam bahasa agama, jiwa (nafs) bukan hanya organ psikologis, tetapi juga organ spiritual (aspek ruhaniah). Dalam hal ini nafs juga bisa dibedah anatomi spiritualnya, dan di sana terdapat bagian-bagian; qalb (hati), `aql (akal), bashirah (hati nurani), ruh (nyawa), syahwat dan hawa (keinginan). Kualitas kejiwaan dalam perspektif ini disebut al-Qur’an secara bertingkat; nafs zakîyah (jiwa yang suci fitri), nafs lawwâmah (jiwa yang sedang mencari jati diri), nafs ‘ammârah (jiwa yang tidak sehat) dan nafs muthma’innah (jiwa yang tenang).

Untuk mencapai tingkat ketenangan jiwa, bisa dilakukan sendiri dengan muhâsabah dan mujâhadah (kalkulasi diri dan melatih diri), dan bagi yang tidak mampu ia bisa dibantu oleh pembimbing spiritual (mursyid), dan dalam sistemnya disebut melalui tarekat (tharîqat). Sesuai dengan konfigurasi para Nabi yang tergambar pula pada konfigurasi para sahabat Nabi Muhammad, maka peta jalan menuju jiwa yang tenang juga sangat konfiguratif, sehingga dikenal banyak tarekat, banyak mursyid, banyak metode, tetapi pada tangga terujungnya dapat bertemu pada medan spiritual yang sangat luas, yaitu rida, ma’rifat dan cinta, dan dari situ satu langkah lagi seorang sufi dapat bersatu dengan Dia Yang Esa.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 15, 2007

Kecerdasan Emosi: Potensi Unik & Panggilan Jiwa (3)
Manusia : makhluk yang berfikir dan merasa
Jika kajian filsafat menekankan kepada berfikir. maka kajian tasauf lebih menekankan pada merasa. Hubungan dengan Tuhan juga lebih ditekankan pada rasa, rasa berketuhanan. Tasauf mengajarkan tentang stasiun-stasiun perjalanan manusia mendekat kepada Tuhan, dari taubat, zuhud, faqr terus hingga ridla, makrifat dan cinta. Selanjutnya rasa itu bisa berlanjut ke tingkat tertinggi yaitu wahdatul wujud atau manunggaling kawula lan Gusti, bersatu dengan Tuhan. Jiwa manusia juga mengalami peningkatan dari nafs zakiyyah (jiwa yang suci secara alami) kemudian meningkat ke nafs lawwamah (jiwa yang sedang mencari jati diri) terus jika berhasil meningkat menjadi nafs mutma’innah (jiwa yang tenang) atau terjerembab menjadi nafs ammarah (jiwa yang banyak menyuruh berbauat kejahatan).

Dalam al Qur’an, fungsi-fungsi psikologis disebut dengan istilah nafs (jiwa), qalb (hati) `aql (akal), ruh (nyawa) dan bashirah (hati nurani), fitrah (desain awal), syahwat (keinginan) hawa (dorongan negatip syahwat). Nafs merupakan ruangan luas di dalam diri setiap manusia sebagai sistem nafsaniyah dengan subsistem akal sebagai alat berfikir, qalb sebagai alat memahami yang sering tidak konsisten, bashirah sebagai mata batin yang konsisten, fitrah sebagai desain awal yang menetapkan fungsi, syahwat sebagai motif penggerak, hawa nafsu sebagai motif menyimpang, dan ruh sebagai spirit yang menyebabkan semuanya berfungsi.

Perkembangan kajian psikologi mutakhir bersentuhan dengan nuansa tasauf, yakni dengan ditemukannya potensi lain selain potensi intelektuil, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Jika sebelumnya emosi dianggap sebagai penghambat, kajian mutakhir justeru menempatkan emosi sebagai potensi yang lebih menentukan dibanding kecerdasan intelektuil. Emosi yang dikelola (bukan ditekan) merupakan kekuatan merasa yang menyebabkan seseorang mampu memahami keadaan, mampu berimprofisasi saat sulit, mampu mentertawakan diri sendiri ketika merasa bersalah, mampu bercanda di ujung maut.

Emosi dapat diasah kualitasnya melalui pengalaman hidup, muhasabah (kalkulasi diri), mujahadah (latihan spirituil). Safar (perjalanan), zikr, kontemplasi (perenungan), puasa, zuhud (menanggalkan urusan dunia) dan jihad, kesemuanya dapat menajamkan kekuatan emosi. Semangat hidup orang yang memiliki kecerdasan emosi itu lebih kontruktip dibanding semangat hidup rationil.Jika seseorang sudah terlatih dalam mengelola emosinya, maka ia dapat meningkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan spirituil. Orang yang sudah memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok , dapat berada di tempat lain dalam waktu yang sama, dapat bertandang ke alam lain mengunjungi orang yang sudah lama mati dan sebagainya.

Yang masih diperdebatkan ialah apakah tiga kecerdasan, Intelektual, Emosional dan Spiritual merupakan kecerdasan yang berstruktur atau berdampingan. Jika berstruktur, mana yang awal dan mana yang terakhir. Sebagian orang berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan buah dari kecerdasan spiritual, yang lain berpendapat sebaliknya. Menurut pendapat saya, rahasia tiga kecerdasan itu merupakan sebagian dari rahasia manusia yang ajaib. Artinya, di belakang hari nanti akan ditemukan lagi rahasia lain yang sekarang masih tersembunyi di balik makhluk Tuhan yang bernama insan ini. Dalam perspektip teologi, manusia adalah tajalli atau perwujudan dari kebesaran Tuhan Sang Pencipta, oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh Alexis Careel, pertanyaan tentang manusia pada hakekatnya hinggi kini (dan hingga nanti) tetap tak terjawabkan secara lengkap.

Hanya iman (kecerdasan emosional dan spiritual) yang dapat menghayatinya, meski belum tentu bisa mengungkapkannya, karena tiap individu, di depan Tuhan adalah unik. Al Qur’an mengingatkan bahwa Allah melahirkan anak manusia (melalui proses persalinan) dalam keadaan tidak tahu apa-apa , Wallohu akhrojakum min buthuni ummahatikum la ta`lamuna syaia (Q/16:78). Sebagian ada yang mati muda, sebagian lagi ada yang sangat dipanjangkan umurnya hingga pikun, kembali tidak mengerti apa-apa seperti ketika baru lahir, Wa minkum man yuroddu ila ardzali al `umuri likaila ya`lama ba`da `ilmin syai’a (/16:70 dan Q/22:5).)

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 13, 2007

Kecerdasan Emosi: Potensi & Panggilan Hidup (2)
Tidak semua orang bisa mengenali dirinya, bahkan banyak orang yang tidak akrab dengan diri sendiri. Setiap saat ia meratapi diri sendiri, menyesalkan kehadiran dirinya di pentas kehidupan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan. Yang ada hanya menyesal, sedih, putus asa atau marah. Sementara itu orang yang sudah mengenali dirinya, ia tahu persis dimana ia harus menempatkan diri, tahu persis apa yang semestinya dan sepantasnya dikerjakan. Ia benar-benar menjadi orang yang merdeka atas dirinya. Banyak analisis tentang anatomi “siapa” hakikat manusia dan bagaimana klassifikasinya., baik dari sudut Psikologi, filsafat maupun etika.

Sebuah hadis Nabi menyebutkan ada tiga klassifikasi manusia,
ada orang yang secara fisik manusia, tetapi hakikatnya ia masih hewan, yaitu mereka yang berhati tetapi hatinya tak berfungsi untuk memahami, mempunyai mata, tetapi matanya tak berfungsi untuk membedakan, punya telinga tetapi telinganya tak berfungsi untuk membedakan mana yang harus didengar dan mana yang tidak.
manusia yang jiwanya masuk kategori jiwa syaitan, yaitu mereka yang tak berperikemanusiaan dan tak berperikehewanan.
manusia pilihan (yang berkualitas manusia).

Kajian Ilmu Jiwa, tidak berbicara tentang jiwa tetapi tentang tingkahlaku manusia sebagai gejala jiwa. Ada empat teori psikologi sekurang-kurangnya yang berbicara tentang konsepsi manusia, yaitu teori Psikoanalisa, teori Behaviourisme, teori Kognitip dan teori Humanisme. Yang pertama menyebut manusia sebagai Homo Volent, manusia yang dikendalikan oleh keinginan bawah sadar. Yang kedua menyebut homo mechanicus, yang menyebut manusia bagaikan mesin, tak punya keinginan apa-apa, tetapi sepenuhnya tunduk kepada lingkungan. Yang ketiga menyebut homo sapient, makhluk yang berfikir, yang tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan tetapi mampu mendistorsinya. Dan keempat Homo Ludent, manusia yang menyadari makna hidup.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 08, 2007

Kecerdasan Emosi: Potensi Unik & Panggilan Jiwa (1)
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekali gus. Kajian tentang manusia oleh manusia terus berlanjut sepanjang masa. Pertanyaan abadi tentang manusia ada tiga, yaitu dari mana asal manusia, akan kemana nantinya, dan untuk apa manusia hadir dalam kehidupan. Pertanyaan pertama dan kedua relatip sudah terjawab meski jawabannya berbeda-beda, tetapi pertanyaan ketiga sering menggelitik kita, terutama ketika kita berhadapan dengan situasi yang tidak kita inginkan.

Ketika seorang tokoh “terhormat” tiba-tiba menjadi penghuni penjara, ketika kejahatan yang selama ini disembunyikan rapi tiba-tiba terbongkar, ketika kita tersadar oleh perbuatan bodoh yang telah kita lakukan, ketika itu kita bertanya : siapa sebenarnya saya ? dan untuk apa aku hidup, jika begini ?. Pertanyaan yang muncul dalam keadaan terpepet itu menunjukkan bahwa orang itu selama ini tidak mengenal dirinya, atau tidak tahu diri.

Sedangkan orang yang tahu diri maka ia mengenal dirinya dalam segala keadaan, diwaktu suka dan diwaktu duka, ketika di “atas angin” dan ketika di”bawah angin”.Karena tahu diri maka ketika di “atas” ia bersyukur dan ketika di “bawah” ia bersabar, sedangkan orang yang tidak tahu diri, ketika di “atas” lupa daratan, ketika di “bawah” ia lupa ingatan. Begitu tingginya makna tahu diri sampai muncul ungkapan universal bahwa barang siapa yang mengenal siapa dirinya maka ia pasti mengenal siapa Tuhannya (man `arafa nafsahu `arafa robbahu).

Meski permenungan tentang manusia telah berlanggsung sepanjang sejarah manusia, tetapi pembicaraan tentang manusia hingga kini (dan masa mendatang) tetap menarik.. Daya tarik pembicaraan tentang manusia antara lain seperti yang dikatakan oleh Dr. Alexis Careel dalam bukunya Man The Unknown, adalah karena pengetahuan tentang makhluk hidup dan terutama tentang manusia belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Pertanyaan tentang manusia, kata Careel, pada hakikatnya hinga kini masih tetap tanpa jawaban.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, March 07, 2007

Membangun Kepribadian Muslim (4)
3. Membangun Tokoh Idola
Pada masa anak dan remaja , motif imitasi dan identifikasi sedang dalam pertumbuhan dan mencapai puncaknya. Ketika masa kanak-kanak, ayah adalah tokoh identifikasinya. Bagi kanak-kanak figur ayah adalah tokoh yang terhebat dalam alam psikologinya. Seorang ayah yang bisa memenuhi motif identifikasi anaknya hingga anak itu meningkat remaja, maka ia akan tetap menjadi tokoh idola anaknya. Di mata anak, ayah tetaplah besar meski secara sosial mungkin tidak. Sebaliknya seorang ayah yang gagal menjadi tokoh idola anaknya ketika masih anak-anak dan remajanya, maka di mata anak, ayah tetap tidak besar meskipun boleh jadi secara sosial ia adalah tokoh besar.

Seorang anak membutuhkan ayah sebagai ayahnya sendiri, bukan ayahnya orang banyak. Dalam perspektip ini maka seseorang yang tidak mengenal siapa ayahnya (atau siapa ibunya) mengalami krisis identitas, karena ia kehilangan tokoh idola. Untuk bisa menjadi idola anaknya, seorang ayah juga harus mempunyai konsep tentang anak, apa yang diinginkannya tentang anaknya, mau dibentuk menjadi apa dan siapa. Tanpa konsep itu maka seorang ayah tidak bisa mendesain kapasitas dan corak moralitas anaknya. Pada usia sekolah kedudukan orang tua disaingi oleh guru.

Ketika seseorang meningkat menjadi remaja, tokoh identifikasinya berubah kepada tokoh-tokoh “selebritis” terkenal, Ketika seseorang dalam usia mahasiswa, ketika mereka sudah bisa berfikir logis, bisa membandingkan berbagai aliran pemikiran dari literatur yang dibaca, tokoh idola yang dipilih pada umumnya adalah tokoh yang memiliki gagasan yang kuat , khas, menonjol, melawan arus atau yang telah membuktikan mampu melahirkan karya-karya besar, apakah orang itu masih hidup atau sudah menjadi catatan sejarah. Bagi orang dewasa seusia mahasiswa, tokoh idola sangat berperan dalam membangun cita-cita masa depan. Pemikiran besar dari orang besar itu mengilhami orang muda untuk berfikir besar. Orang besar adalah orang yang ruang lingkup pemikirannya luas melampaui ruang sosial, ruang geografi serta ruang zaman dimana orang besar itu hidup. Tokoh-tokoh besar dunia yang banyak dijadikan idola pemuda antara lain, Hitler, Napoleon, Jamal Abdul Nasser, Sukarno, Imam Khumaini, Gaddafi dan lain-lain.

Pengenalan kepada orang besar itu bisa dilakukan dengan membaca biografinya atau mengunjungi jejak sejarah dari tokoh tersebut. Orang besar adalah orang yang bisa “bermimpi” tentang suatu hal yang mustahil tapi kemudian bisa mewujudkan impiannya dalam kenyataan. Semua karya besar pada mulanya secara sinis dipandang orang sebagai impian kosong.

4. Pembiasaan Kepada Pola Tingkah Laku Konstruktip.
Jika transfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pengajaran maka pembentukan pola tingkahlaku merupakan tujuan dari pendidikan. Pendidikan adalah transfer budaya, sementara kebudayaan masyarakat manapun mengandung unsur-unsur (a) akhlak atau etik, (b) estetika, (c) ilmu pengetahuan dan (d) teknologi. Tingkahlaku manusia tidak selamanya logis, sebaliknya sebagian besar perilaku manusia justeru terbangun melalui pembiasaan. Orang yang sudah biasa bangun pagi tetap saja bangun pagi meski tidurnya terlambat. Enaknya masakan pedas bagi seseorang misalnya adalah bukan masalah logis tidak logis, tetapi lebih pada pembiasaan rasa. Demikian juga rasa bersih, rasa tertib, rasa disiplin juga tertanam melalui proses pembiasaan. Orang yang telah memahami logika kejujuran tidak otomatis menjadi orang jujur, sebaliknya boleh jadi pengetahuan itu justeru digunakan untuk mengelabui orang-orang lain yang berfikir jujur. Demikian juga sopan santun adalah sesuatu yang tidak mesti logis, tetapi ia terbentuk melalui pembiasaan.

Dalam pembentukan karakter seseorang, hal-hal yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah (a) sopan santun atau etiket, (b) kebersihan dan kerapihan/ketertiban (c) kejujuran, (d) disiplin.

Kepribadian, disamping digunakan untuk menyebut sifat indifidu, juga dapat digunakan untuk menyebut sifat kelompok dan bangsa, sehingga kita bisa menyebut kepribadian bangsa Indonesia atau kepribadian Indonesia.. Dewasa ini kerpibadian bangsa Indonesia benar-benar nampak buruknya, dan hal ini bukan terjadi mendadak karena reformasi, tetapi sebagai buah dari kesalahan bangsa ini mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara selama limapuluh tahun. Membangun kepribadian bangsa hari ini baru akan diketahui hasilnya satu generasi mendatang, Wallohu a`lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
Membangun Kepribadian Muslim (3)
Obsessi membentuk manusia (sebagai indifidu) yang berkepribadian bisa dimiliki oleh orang tua terhadap anaknya, guru terhadap anak didiknya atau oleh seseorang yang memiliki perhatian khusus kepada orang-orang/anak-anak tertentu. Membangun kepribadian bukanlah pekerjaan yang sederhana. Ia membutuhkan situasi psikologis dan sugesti yang kondusip bagi internalisasi nilai. Infrastrtuktur yang harus disediakan bagi pembentukan insan yang berkepribadian antara lain :

Pengetahuan tentang nilai.
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh aspek-aspek kognitip, afektip dan psikomotorik. Jika seseorang memiliki kapasitas yang seimbang dari ketiga aspek tersebut maka secara teori ia dapat hidup harmoni dengan lingkungan dan dengan dirinya karena ia mampu mengamati dan merespond permasalahan secara benar dan proporsional. Jadi pengetahuan tentang nilai akhlak itu sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian terutama bagi anak yang memiliki fitrah bawaan yang baik.

Pengetahuan tentang nilai-nilai akhlak bisa disampaikan (a) oleh orang tua di rumah, sejak dini, melalui dongeng sebelum tidur, kemudian melalui nasehat rutin, nasehat khusus sehubungan dengan event-event penting, misalnya ketika akan berangkat merantau, ketika dalam proses memilih jodoh, ketika memulai hidup rumah tangga, ketika menduduki suatu jabatan dan sebagainya. (b) oleh guru di sekolah, berupa pelajaran ilmu akhlak atau budi pekerti, meski pada umumnya lebih pada aspek kognitip, sedikit aspek afektip, tetapi disiplin sekolah, cukup besar pengaruhnya dalam diri si murid, sekurang-kurangnya masuk ke dalam alam bawah sadar. (c) oleh ulama atau orang bijak setiap usai salat atau dalam pengajian, atau dalam pertemuan khusus, (d) oleh cendekiawan melalui forum diskusi, (e) melalui literatur yang terprogram., dan (f) bisa juga diperoleh dari peristiwa yang mengesankan hatinya yang kemudian dijadikan pelajaran.

Menciptakan Lingkungan Yang Kondusip
Menurut suatu penelitian yang dikutip oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, disebutkan bahwa perilaku manusia 83 % dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya oleh gabungan dari berbagai stimulus. Dalam perspektip ini maka pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kepribadian orang sangat besar, di dalam rumah dan di luar rumah.

Tamsil perumpamaan kekuatan lingkungan disebutkan dalam hadis Nabi yang mengatakan bahwa bergaul dengan orang baik itu seperti orang yang berdekatan dengan penjual minyak wangi, meskipun tidak membeli tetapi dirinya ikut berbau wangi karena watak penjual minyak wangi itu selalu menempelkan minyak wangi yang dijajakannya itu kepada setiap orang yang datang mendekat (sebagai promosi), sementara bergaul dengan orang jahat itu ibarat berakrab-akrab dengan tukang pandai besi (yang sedang bekerja), kalau tidak terpercik apinya, hampir pasti abunya akan mengotori pakaiannya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 06, 2007

Membangun Kepribadian Muslim (2)
Keyakinan Agama dalam Struktur Kepribadian
Dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, `aql dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian, disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari pengalaman masuk dalam struktur kepribadian seseorang. Seorang muslim dengan kepribadian muslimnya yang prima, tidak bisa merasakan enaknya daging babi, meskipun ia dimasak dengan standar seleranya. Seseorang dengan kepribadian muslimnya yang prima juga tidak bisa menikmati keindahan aurat yang terbuka.. Demikian juga ia selalu terjaga dari tidurnya yang nyenyak jika ia belum menjalankan salat Isya.

Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap orang berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi di kala yang lain bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di luar keyakinan agamanya. Konseling agama misalnya adalah dimaksud untuk menghidupkan getaran batin iman dari orang yang sedang terganggu kejiwaannya hingga kepribadiaanya tidak utuh, agar dengan getaran batin iman itu sistem nafsaninya bekerja kembali membentuk sinergi yang melahirkan perilaku positip. Dalam keadaan tertentu motivasi agama merupakan kekuatan yang sangat besar dalam menggerakkan perilaku, sama halnya juga dalam keadaan tertentu, motivasi biologis (lapar misalnya) sangat besar pengaruhnya dalam tingkah laku manusia.

Secara sufistik, puasa, qiyamullail, dawam al wudlu, pembacaan wirid yang konsisten sangat efektip dalam membangun kepribadian seseorang.

Membangun Kepribadian Muslim
Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Membangun Kepribadian Muslim (1)
Pendahuluan
Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga “siapa dia” yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang isteri yang sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetapi tetap belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia perkawinannya yang ke 20 ia dibuat kaget setelah mengenal “siapa” sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syahshiyyah, atau personality. Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam membentuk kepribadiannya.

Kepribadian
Kepribadian seseorang terbangun oleh temperamen dan karakter yang dimilikinya. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk diubah dan bersifat netral terhadap penilaian baik buruk. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu ia dapat berubah. Jika temperamen tidak mengandung implikasi etis, maka karakter justeru selalu menjadi obyek penilaian etis. Terkadang orang memiliki temperamen yang berbeda dengan karakternya.. Ada orang yang temperamennya buruk, padahal karakternya baik. Jika temperamennya sedang bekerja maka pada umumnya bertingkah laku negatip, tetapi setelah reda nanti ia menyesali dan malu atas apa yang dilakukannya, meskipun nanti juga akan terulang kembali. Sedangkan orang yang karakternya buruk tetapi temperamennya baik, ia dapat menyembunyikan keburukannya dihadapan orang. Yang paling merepotkan adalah orang jahat yang temperamennya buruk.

Karakter yang sudah menetap akan membentuk sebuah kepribadian. Menurut Freud, kepribadian manusia berdiri diatas tiga pilar, Id, Ego dan Super Ego, unsur hewani, akali dan moral. Perilaku menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut. Tetapi kesimpulan Freud manusia adalah Homo Volens, yakni makhluk berkeinginan yang tingkah lakunya dikendalikan oleh keinginan-keinginan yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya, satu kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 01, 2007

Orang Ketiga
Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/isteri harus saling mem­percayai, tetapi harus waspada terhadap kemung­kinan masuknya virus orang ketiga.

“Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya).”

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari Ibn Umar)

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger