Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, July 31, 2008

Daulah Islamiyyah & Daulah al-Muslimin
Problem cita-cita kebangsaan sebenarnya merupakan tuntutan yang melekat dalam perjalanan sejarah, termasuk sejarah kebangsaan Indonesia. Tiap-tiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri-sendiri dengan karakteristiknya yang berbeda-beda. Oleh karena itu betapapun ada badan dunia seperti PBB atau badan regional seperti Asean, Uni Eropa, atau badan “ideologis” seperti Organisasi Konperensi Islam (OKI), tetap saja setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya. Idealisme daulah Islamiyyah misalnya, selalu terkalahkan oleh kepentingan nasional tiap-tiap negeri Islam dengan berbagai problemanya. Di Indonesia misalnya, ada aspirasi yang ingin tegas-tegas menyebut negara Islam dengan alasan mayoritas penduduknya muslim, tetapi aspirasi lain yang juga datang dari kelompok besar muslim,yakni NU menyatakan bahwa Republik Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk maksimal dari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Jika kita menengok realita dunia Islam dewasa ini, maka negeri-negeri dimana kaum muslimin tinggal, seluruhnya adalah negeri nasional, ada yang berbentuk Republik, kerajaan, atau kerajaan konstitusional. Hanya Iran yang secara tegas menyebut Republik Islam Iran. Arab Saudi bahkan lebih kental lagi menyebut identitas keluarga dalam nama Kerajaan Saudi Arabia, kerajaan¬nya keluarga Ibn Saud.

Al Qur’an dan hadis memang tidak menentukan secara definitif bentuk negara seperti apa bagi kaum muslimin. Yang disebut adalah peran kekhalifahan yang harus juga dipikul oleh negara. Dengan kata lain, Al Qur’an memberi kebebasan kepada ummat Islam untuk berekpressi dalam politik, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, sepanjang berada dalam koridor yang bisa diterima oleh nilai-nilai Islam. Dari itu maka sangat menarik pola perubahan ekpressi politik kaum muslimin sepanjang sejarahnya.

Ketika Rasul wafat, kaum muslimin mengalami kebingungan dahsyat dalam mencari bentuk Pemerintahan. Setelah mengalami perdebatan yang nyaris terjadi konflik etnik, ditemukan solusinya, yaitu Abu Bakar Siddik secara aklamasi dipilih sebagai pengganti Rasul, khalifatur Rasul dan Amirul mu’minin (Panglimanya orang mukmin). Berikutnya, Umar bin Khottob menerima suksesi sebagai pengganti dari pengganti Rasul,disebut Khalifatu khalifatir Rasul melalui dekrit atau wasiat dari Abu Bakar. Berikutnya, Usman bin Affan menerima suksesi sebagai khalifah ke III melalui permusyawaratan perwakilan, yakni oleh enam orang tokoh besar yang ditunjuk oleh Umar bin Khottob sebelum wafatnya. Berikutnya, Ali bin Abi Thalib menduduki kursi khalifah ke IV melalui ba’iat penduduk yang kurang kompak, karena situasi konflik sedang melanda masyarakat muslim ketika itu.

Setelah periode empat khalifah yang disebut Khulafa Rasyidin, ekpressi politik kaum muslimin berubah polanya, yakni kuatnya pengaruh budaya melebihi komitmennya kepada ajaran Islam. Sejak itu maka bentuk Pemerintahan kaum muslimin berubah menjadi dinasti, meski Sang Raja tetap diberi gelar sebagai Amirul mukminin, dimulai dari dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus dengan pengaruh budaya Rumawi, berusia hampir satu abad, kemudian dinasti Abbasiah yang berpusat di Baghdad dengan pengaruh budaya Persia, berusia hampir lima abad, tetapi yang efektip sekitar satu abad. Selama dua abad pertama, meski dalam bentuk dinasti, tetapi pemerintahan itu efektif berjalan, memayungi seluruh dunia Islam yang wilayahnya sangat luas. Terlepas dari kekurangannya, periode itu dikenal sebagai berlang¬sungnya daulah Islamiyyah, atau Pemerintahan Islam. Periode berikutnya, muncul kerajaan-kerajaan kecil yang efektip berdiri sendiri-sendiri, meski nuansa daulah Islamiyyah tetap menjadi agenda. Turki Usmani pernah pula efektip memimpin daulah Islamiyyah. Runtuhnya Turki Usmani sebagai pemerintahan model khilafah merupakan babak awal berdirinya negeri-negeri Islam nasional atau daulatul muslimin. Dalam daulah Islamiyyah, kaum muslimin hanya mengenal identitas keislaman, sedangkan dalam daulatul muslimin, kaum muslimin disamping mengenalkan identitas keislaman, juga identitas kebangsaan. Kini pada era modern, negeri-negeri Islam memiliki berbagai model dalam menampilkan identitas keislamannya dalam negara kebangsaannya. Saudi Arabia berbentuk dinasti kerajaan yang menempatkan diri sebagai pelayan dua tempat suci kaum muslimin, Khadimul haramain.

Malaysia berbentuk kerajaan konstitusional yang menempatkan Islam sebagai agama negara, Pakistan, satu-satunya bangsa yang lahir karena identitas Islam (padahal mereka bangsa India) pernah membentuk Republik Islam Pakistan, tetapi identitas ke Islamannya kurang konsepsional, berbeda dengan Republik Islam Iran yang tegas dibangun berdasar konsep imamah wilayat al faqih dari faham Syi’ah Itsna ‘asyariah. Sudan dan Nigeria sedang dalam proses memunculkan jati diri ke Islaman dan kebangsaanya, dan negeri-negeri lain ada yang bahkan lebih nampak corak sekulernya.

Republik Indonesia merupakan wujud daulatul muslimin, yakni sistem pemerintahan kaum muslimin Indonesia. Secara konsepsional, UUD 45 merupakan kompromi antara aspirasi Islam yang menghendaki identitas Islam dimunculkan dalam perundangan yang mewajibkan kaum muslimin menjalankan syari’ah Islam (Piagam Jakarta), dengan aspirasi kelompok nasionalis yang notabene juga banyak memeluk Islam yang merasa keberatan jika keberagamaannya dicampuri oleh negara. Kompromi itu tertuang dalam bunyi dekrit 5 Juli yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Dari itu maka, semangat Piagam Jakarta tidak bisa dihalangi untuk muncul dalam bentuk perundangan, seperti lahirnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf dan UU apa lagi yang dibutuhkan. Sebenarnyalah bahwa bentuk negara Pancasila sebagai daulatul muslimin cukup akomodatip untuk menampung identitas ke Islaman, sepanjang para aspirannya mampu mengegolkannya secara konstitusional. Sementara gerakan politis yang mengumandangkan semangat Piagam Jakarta mungkin justeru kontraproduktip karena memundurkan bangsa pada suasana pra kompromi. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, July 28, 2008

Hikmah Bagai Mutiara Yang Tercecer
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia melalui berbagai saluran. Pertama dan tertinggi adalah wahyu, dalam hal ini bagi orang Islam adalah Al Qur’an dan kemudian dijelaskan oleh hadis Nabi. Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang percaya (Q/2:97), petunjuk bagi orang yang patuh dan takwa, hudan lil muttaqin (Q/2;2).

Bagi orang yang tidak percaya, al Qur’an tak berfungsi apa-apa (Q/2;6). Petunjuk Tuhan juga disampaikan melalui sunnatullah (hukum alam) pada alam semesta dan pada sejarah manusia, karena sunnatullah itu konsisten bagaikan hukum besi yang tak bisa ditawar dan diganti. (Q/35:43). Oleh karena itu orang yang pandai menangkap fenomena alam dan sejarah, yang mau belajar kepada alam dan sejarah manusia, ia bisa menjadi cerdas, bukan saja bisa menerangkan makna kejadian, tetapi juga mampu memprediksinya.

Dalam perspektif inilah maka sepanjang sejarah kemanusiaan selalu saja muncul orang bijak dengan kata-kata mutiaranya, muncul hukama dengan kata-kata hikmahnya. Hikmah itu sendiri kata Nabi bagaikan mutiara yang tercecer, yang bisa ditemukan entah oleh siapa saja (al hikmatu dlallat al mu’min anna wajadaha), oleh karena itu kapanpun orang menemukannya, hendaknya cepat pungut, meski mutiara itu berada di lumpur. (khuz al hikmat walau min ayyi wi‘a’in kharajat).

dan barang siapa beruntung dapat memungut hikmah, maka kata al Qur’an, sungguh ia bagaikan menemukan “durian runtuh” yang tak ternilai harganya (waman yu’ta al hikmata faqad utiya khairan katsiran (Q/2:269). Ali bin Abi Thalib pernah berkata; Perhatikan apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang berbicara (undzur ma qala wala tandzur man qala).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, July 22, 2008

NURANI dalam BERPOLITIK
Pemilu 2009 nanti akan diramaikan dengan kehadiran partai baru yang mengusung nurani, yaitu partai HANURA, Partai Hati Nurani Rakyat. Pak Wiranto sebagai pendiri dan Ketua umumnya juga sudah pasang iklan politik yang mengusung nurani.Bahkan doa politikpun diiklankan. Benarkah ada nurani dalam politik ?

Nurani berasal dari bahasa Arab Nur, yang artinya cahaya, nuraniyyun, sesuatu yang bersifat cahaya. cahaya apa ? Menurut perspektip Psikologi Islam, perangkat kejiwaan manusia itu terdiri dari akal, hati,nurani, syahwat dan hawa nafsu. Akal merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir, hati merupakan alat untuk memahami realita, nurani merupakan pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Syahwat merupakan penggerak tingkah laku atau motif dan hawa nafsu merupakan kekuatan destruktip yang menguji kemampuan jiwa. Sebagai system, kelima subsistem tersebut dipimpin oleh hati, oleh karena itu jika orang hatinya baik maka perilakunya juga baik,jika hatinya busuk maka perilakunya juga busuk.

Teori Pancaran
Konsep nurani berasal dari teori isyraqy atau teori pancaran yang menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya (Allohu nur assamawati wa alardh). Seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya, ia meninggalkan jejak cahayanya di bumi berupa kehidupan, kehangatan atau panas dan terang. Di malam hari, panas dan cahaya matahari itu berusaha kembali ke cahaya asal meninggalkan bumi dalam keadaan gelap dan dingin. Nah Tuhan memancarkan cahaya Nya, dan diantara jejak cahaya Tuhan adalah manusia, oleh karena itu didalam diri manusia ada cahaya ketuhanan, disebut bashirah (pandangan batin) atau nurani (sesuatu yang bersifat cahaya). Dan nurani memiliki kerinduan untuk selalu kembali kepada Tuhan sebagai cahaya asalnya. Berbeda dengan hati yang wataknya tidak konsisten; terkadang benci dilain waktu cinta, terkadang sadar dilain waktu lupa, terkadang tenang dilain waktu bergejolak, nurani yang merupakan cahaya ketuhanan bersifat konsisten, tidak mau kompromi dengan kebohongan dan kejahatan.

Dengan menyuap , orang bisa menang di pengadilan , tetapi nuraninya tetap jujur mengatakan bahwa ia lah yang bersalah. Nurani tetap konsisten dengan kejujuran. Hanya saja sebagaimana cahaya terkadang buram dan gelap, nurani manusia juga terkadang buram,gelap atau bahkan mati, yakni ketika ia tertutup. Jika nurani mati maka orangnya seperti berada di tempat gelap (dzulm) sehingga perilakunya juga seperti perilaku orang dalam kegelapan, salah tempat,salah ambil, salah persepsi, salah naroh dan salah langkah. Dari kata dzulm itu maka orang yang nuraninya tertutup atau mati disebut orang dzalim, yakni orang yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Cahaya nurani tertutup oleh dua hal ; keserakahan/ambisi dan perbuatan dosa. Orang yang serakah pasti nuraninya tak berfungsi, sudah jabatannya tertinggi,gajinya paling banyak,jatah orang miskin pun masih disikat juga.. Demikian juga orang yang ambisius, segala macam cara ditempuh untuk menggapai ambisinya, tak peduli benar atau salah, tak peduli merugikan Negara dan bangsa..

Karakter Politik
Jika politik difahami sebagai kekuasaan,maka watak politik adalah korup. Korupsi adalah memanipulasi angka dan fakta untuk kepentingan sendiri. Jika dihubungkan dengan typologi kejiwaan, maka politisi yang lebih dipengaruhi oleh akalnya cenderung rasionil meski terkadang kering, politisi yang lebih dipengaruhi oleh hati maka cenderung hati-hati, politisi yang lebih dipengaruhi oleh syahwat cenderung mudah terdorong ke ambisi, politisi yang lebih dipengaruhi oleh hawa nafsu cenderung destruktip dan jahat,nah orang berpolitik karena panggilan nurani cenderung kepada keinginan memberi dibanding keinginan menerima. Politik adalah power, maka mengendalikan politik sama seperti mengendalikan kuda. Kuda adalah power yang jika bisa dikendalikan,maka ia akan mengantar pengendalinya pada satu tujuan. Salah mengendalikan bisa terperosok ke jurang bersama kereta yang ditarik. Makanya orang betawi menyebut pengendali kuda dengan nama sais, yaknibentuk isim fa`il dari kata Arab siyasah yang artinya politik.

Syahwat Politik
Syahwat adalah kecenderungan kepada apa-apa yang diingini. Syahwat politik adalah kecenderungan orang untuk menguasai orang lain, fikirannya , seleranya bahkan kemauannya,sehingga syahwat politik mendorong orang untuk bisa menjadi orang nomor satu; ketua, direktur, lurah bahkan presiden,agar ia dapat menguasai dan mengatur orang lain. Sesungguhnya syahwat itu manusiawi, netral dan tidak mesti jelek. Jika orang menggapai syahwat dengan mengikuti prosedur dan mematuhi hokum (hokum Tuhan,hokum Negara dan hokum etika) serta jujur maka aktualisasi syahwat itu sah dan bahkan bisa bernilai ibadah. Akan tetapi karena politik itu cenderung korup maka syahwat politik pada umumnya mendorong kepada ambisi, sementara ambisi menutup nurani .

Oleh karena itu mengusung nurani dalam gerakan atau manuver politik cenderung kepada manipulasi , tidak jujur dalam menilai, tidak jujur dalam mengkritik, dan lupa introspeksi. Ketika seorang ketua partai oposisi dalam persaingan politik menyebut Presiden yang sedang berkunjung ke daerah sebagai tebar pesona, pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat p;olitik. Karena syahwat maka tak disadari ia lupa kritiknya lalu melakukan hal yang sama, tebar pesona juga . Bergitupun ketika masa kepresidenan baru setengah jalan tetapi sudah banyak orang yang mendeklarasikan dirinya untuk menjadi presiden mendatang,pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat politik, karena karakter syahwat memang tidak sabaran.

Adakah Pemimpin Yang Bernurani ?
Sudah barang tentu ada. Ciri pemimpin yang digerakkan oleh nurani politik adalah tampil karena panggilan,bukan karena berhitung. Dalam suasana yang tak berpengharapan, maju kena mundur kena, bangsa berada ditubir kehancuran, pemimpin konvensional sibuk berhitung posisi berebut kamar padahal “kapal” nyaris tenggelam, nah… dalam keadaan seperti itu biasanya muncul seorang pemimpin yang terpanggil nuraninya untuk menyelamatkan keadaan. Ia siap memberikan apapun yang dimiliki tanpa berhitung untung rugi. Fikiran dan hatinya bersih suci dari kepentingan-kepentingan subyektip. Ia tampil bukan karena ingin berkuasa tetapi ingin menyumbangkan potensi dirinya bagi keselamatan bangsa, dan ia bahkan dengan senang hati siap menyerahkan kepemimpinannya itu kepada orang lain yang dinilai lebih tepat. Pemimpin plitik yang bernurani, ditengah malam ketika orang lain terlelap tidur , ia bangun berdoa kepada Tuhan agar bangsanya diselamatkan dari berbagai bencana. Dalam berduaan dengan Tuhan ia benar-benar jujur, karena memang tak mungkin berbohong kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Mengiklankan doa politik di surat kabar seperti yang dilakukan oleh pakWiranto pastilah bukan bersumber dari hati nurani, tapi dari syahwat politik.. Jika benda-benda konsumtip diiklankan berulang-ulang akan menarik perhatian konsumen meski benda itu sesungguhnya tidak terlalu bermutu, mengiklankan nurani yang bermutu secara berulang-ulang dalam waktu lama justeru membuat nurani itu terasa hambar di telinga konsumen.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, July 20, 2008

Bagaimana caranya menghidupkan nurani?
secara umum jawabannya adalah menjauhi perbuatan dosa, baik dosa kepada Tuhan maupun dosa kepada manusia, karena perbuatan dosa merupakan daki yang mengotori cermin hati. Secara lebih spesifik, sebagai terapi, berdoa di tempat suci , —di Multazam misalnya— juga dapat menjadi shock therapy terhadap hati nurani. Mengapa di Ka‘bah banyak orang bisa menangis tersedu-sedu, karena disana ia tidak bisa tidak kecuali harus jujur kepada Tuhan.

Di sana terbayang semua kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sedikitpun bisa mencari-cari alasan pembenar. Jika psikologi schok therapy ini berhasil dipertahan¬kan lama, maka selanjutnya nuraninya akan hidup, dan itulah yang disebut haji mabrur. Berakrab-akrab dengan problem kemanusiaan juga bisa menajamkan nurani. Orang yang selalu bergelut langsung mem¬bantu kesulitan orang kecil, rakyat kebanyakan, maka nuraninya sedikit demi sedikit akan bercahaya. Hatinya menjadi lembut, rasa syukurnya meningkat. Ia akan memiliki kepekaan yang kuat terhadap hal-hal yang berdampak buruk kepada kehidupan riil manusia. Apa hubungannya dengan menghidupkan nurani? Sudah barang tentu ada hubungannya, karena orang kecil relatif jujur, maka menyayangi orang kecil ber¬makna menggosok-gosok kejujuran, dan hal itu mendatang¬kan rahmat Tuhan. Sayangilah yang di bumi, niscaya kalian akan disayang Tuhan, irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Demikian firman Allah dalam hadis qudsiy.

Adapun orang yang menunjukkan kepedulian kepada orang kecil tetapi dimaksud untuk publikasi politik, maka hal itu termasuk bentuk kebohongan, bohong kepada manusia dan bohong kepada Tuhan, apalagi jika menjadikan kesulitan orang kecil sebagai proyek mencari keuntungan sendiri. Dalam keadaan seperti itu seberapapun banyaknya kontribusi yang diberikan, tidak akan membuat nuraninya bercahaya. Wallohu a‘lam bis sawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Mengapa hati nurani bisa mati ?
Al Qur’an mengingatkan bahwa Allah telah menye¬diakan hukuman neraka Jahannam bagi manusia dan jin, yakni mereka yang mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (kebenaran), mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (kebenaran) dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka tak ubahnya binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai (Q/7;179).

Imam Gazali memisalkan hati nurani dengan kaca cermin. Bagi orang yang bersih dari dosa, maka nura¬ni¬nya bagaikan cermin yang bening, sekecil apapun noda di wajah, segera akan nampak di cerminnya. Adapun orang yang suka melakukan dosa kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu.

Ia bisa menggambarkan wajah, tetapi noda-noda kecil tidak nampak. Sedangkan orang yang biasa melakukan dosa besar, maka nuraninya gelap, seperti cermin yang tersiram cat hitam. Hanya sebagian kecil dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin, oleh karena itu pelaku dosa besar tidak pernah merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya tidak bisa menampakkan apa-apa. Selanjut¬nya Al Ghazali me¬misalkan nurani orang yang mencampuraduk perbuatan baik dan perbuatan dosa dengan cermin yang retak. Cermin yang retak tidak bisa menggam¬barkan wajah secara benar, hidung bisa nampak dua, mata menjadi empat, mulut menjadi menceng dan se¬ba¬gainya, sehingga orang yang seperti itu selalu kacau dalam memandang kebenar¬an dan kesalahan, tidak bisa obyektif dan biasanya me¬miliki kepri¬badian yang pecah (split personality)

Read More
posted by : Mubarok institute
Matinya Nurani
Nurani berasal dari bahasa Arab nur, artinya cahaya, kemudian menjadi nuraniyyun yang artinya bersifat cahaya. Dalam bahasa Indonesia, nurani digunakan untuk menyebut lubuk hati yang terdalam, disebut juga kata hati atau hati nurani. Jika seorang pencuri membunuh petugas ronda atau hansip yang memergokinya, disebut penjahat, maka pencuri yang memperkosa wanita didepan anaknya dan suaminya yang tak berdaya setelah dilukainya seperti yang baru-baru ini terjadi di Manggarai, pen¬curi tersebut bukan hanya penjahat, tetapi lebih dari itu disebut telah tidak lagi memiliki nurani. Orang yang berbohong, kemudian tersipu-sipu ketika ter¬bongkar kebohongannya, maka dia adalah pembohong biasa. Tetapi seorang tokoh yang berbohong dan kebohongannya sudah terbongkar di depan publik secara luas, kemudian ia masih bisa tampil dengan percaya diri, maka ia bukan saja pembohong, tetapi pembohong yang sudah tak bernurani.

Nurani merupakan subsistem kejiwaan manusia. Menurut Al Qur’an, manusia dianugerahi akal untuk berfikir dan memecahkan masalah, dianugerahi hati untuk memahami realitas (Q/22:46), dianugerahi syahwat untuk menggerakkan tingkahlaku (Q/3:14), dan dianugerahi nurani untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan untuk intro¬speksi terhadap apa yang ada dalam jiwanya (Q/75:14-15). Jika hati manusia masih bisa diajak kompromi, membantah, mengingkari, mencabut pernyataan dan mencari-cari alasan pembenar, hal itu memang sesuai dengan tabiat hati tersebut.

Dalam Al Qur’an, hati disebut dengan nama qalb yang mempunyai arti bolak-balik. Ungkapan bahasa Arab berbunyi; summiyat al qalbu qalban litaqallubihi artinya hati dinamakan qalbu adalah karena tabiatnya yang bolak balik. Jadi hati (qalb) memang memiliki tabiat tidak konsisten, suka berdalih dan mencari-cari alasan pembenar. Nurani bagaikan kotak hitam (black box) di dalam hati, sebagai sub sistem yang bekerja secara konsisten ter¬hadap kebenaran dan kejujuran. Hati boleh mencari-cari dalih pembenar, akal boleh membuat rumusan yang logis membenarkan dirinya, tetapi nurani tetap konsisten membisikkan bahwa yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Dalam Al Qur’an, nurani disebut dengan nama bashirah, (Q/75;14-15) yang mengandung arti pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Bagi orang yang nuraninya sehat, pandangan mata hatinya lebih tajam menembus dimensi ruang dan waktu, berbeda dengan mata kepala yang sangat terbatas jangkauan pan¬dangannya. Bagi orang yang mata hatinya buta, maka ketajaman penglihatan mata kepala tidak banyak membantu menemukan kebenaran (Q/22:46).

Menurut seorang ulama klasik, Ibn al Qayyim al Jauzi, bashirah atau nurani adalah cahaya yang ditem¬patkan oleh Allah di dalam hati setiap manusia; nurun yaqdzi¬fuhullah fi al qalbi. Oleh karena itu nurani bisa menjadi hotline manu¬sia dengan Tuhannya. Cahaya ini pula yang menyebabkan manusia rindu kepada Tuhan, yang menyebabkan manusia bisa menangis ketika berdoa, yang menyebabkan manusia tak ter¬kecoh oleh godaan rendah harta duniawi dan seba¬liknya bisa melihat dengan jelas tingginya nilai keutamaan kebajikan yang bersifat ukhrawi. Jiwa manusia merupakan kesatuan sistem, oleh karena itu berfungsinya nurani juga bisa disebut sebagai sehat¬nya hati (qalbun salim) atau seperti yang dikatakan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsir al Kabir, sebagai akal yang prima (al ‘aql as salim).

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, July 16, 2008

Menegakkan Kedaulatan Moral
Al-Qur’an mengabadikan dalam banyak ayat-ayatnya sejumlah nama tokoh/pemimpin masyarakat dari ummat-ummat terdahulu, bukan saja pemimpin-pemimpin pahlawan perjuangan kebenaran dan keadilan seperti para nabi dan rasul, tetapi juga diabadikan nama tokoh-tokoh pemimpin kezaliman (ketidakbenaran dan ketidakadilan) seperti Fir‘aun, Haman, Qorun, Namruz dan lain sebagainya. Kita semua ummat zaman akhir ini diajak berfikir dan mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu itu, di antaranya betapa perilaku yang berubah dalam diri para pemimpin (dari komitmen idealisme ke penyelewengan) berujung pada merajalelanya kezaliman dan penindasan (ketidakbenaran dan ketidakadilan).

dan akhirnya menyeret mereka bersama-sama dengan ummatnya ke dalam suatu perubahan total dimana rakyat ditelan oleh krisis, yang disadari atau tidak mereka para pemimpin telah menjadi faktor penyebabnya. Al-Qur’an kemudian menjelaskan bahwa hal yang demikian yakni kehidupan jaya yang mereka nikmati berubah menjadi derita terjadi disebabkan perubahan yang mereka lakukan atas sikap hidup dan perilakunya yang berujung pada kezaliman dan penindasan (Dzalika bi anna Allah lam yaku mughayyiran ni‘matan ’an‘amaha ‘ala qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim, al-Anfal ayat 53).

Dengan merujuk petunjuk Al-Qur’an tersebut di atas, dapat kita lihat betapa faktor peran pemuka masyarakat men¬jadi penting dalam suatu perubahan yang terjadi atas sesuatu masyarakat dari suatu kondisi positif beralih ke kondisi negatif. Oleh karena itu, upaya penanggulangan krisis moral yang disadari menjadi pangkal krisis-krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara kita dewasa ini, haruslah bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Upaya ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin-pemimpin masyarakat/pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat (ulama dan umara).

Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, pola hidup BERSIH, SEDERHANA, dan MENGABDI. Yang lebih penting lagi bagi ulama dan umara adalah upaya menjadikan dirinya (kehidupan pribadinya) suatu keteladanan dan pencerminan yang meyakinkan bahwa penerapan pola kehidupan yang Bersih, Sederhana dan Mengabdi yang merupakan wujud nyata dari moralitas luhur (Akhlak Mulia) itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, maka masyarakat akan percaya kepada pemuka atau pemimpinnya.

Pola hidup BSM (Bersih, Sederhana dan Mengabdi) itu yang perlu dimasyarakatkan dengan kepeloporan para ulama dan umara hingga menjadi moral ekonomi, moral politik dan moral hukum, dan terus diupayakan pengembangannnya di sektor-sektor kehidupan lainnya sehingga pada saatnya menjadi Akhlak Bangsa dan Moral Nasional sebagai landasan Pembangunan Nasional. Umara (Para Pemuka Pemerintahan dan Pemuka-Pemuka lainnya) perlu berupaya menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi pemasyarakatan dan penyebarluasan pesan-pesan moral (yang terutama ditangani para ulama). Juga dipandang perlu, ulama dan umara secara bersama-sama menyatakan perang terhadap kejahatan dalam suatu kampanye antikejahatan, yang membina terus-menerus upaya menegakkan kedaulatan moral menjadi bagian dari kedaulatan rakyat. Insya Allah taufiq dan ma‘unah-Nya akan senantiasa menyertai bangsa Indonesia.

Read More
posted by : Mubarok institute
Solidaritas Sosial Kita Dipertanyakan
Kontroversi nampaknya terjadi dimana-mana. Di dunia, citra Indonesia sangat buruk. Korup¬si, anarki, pelanggaran HAM, kemiskinan, salah urus, fundamentalisme, terorisme dan banyak lagi stempel buruk, banyak dialamatkan kepada bangsa Indonesia. Benarkah semua berita itu? atau ha¬nya rekayasa media Barat yang memang mempunyai agenda tersendiri ?

Terlepas dari benar tidaknya citra itu, memang banyak dijumpai kontroversi pada masyarakat kita. Disebutkan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan krisis hebat, dan sudah berada di ambang kebang¬krutan, tetapi jemaah haji Indonesia ternyata mencapai angka duaratus ribu, atau terbesar di dunia, dan banyak diantara mereka yang pergi haji untuk yang kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya... Meningkatnya jumlah jemaah haji semestinya merupakan indikator peningkatan ekonomi rakyat, karena hanya yang memiliki istitha‘ah-lah yang bisa pergi haji. Di Makah dan Madinah, kesan Indonesia sedang berada dalam krisis berat justeru tidak nampak, karena jemaah haji Indonesia termasuk pembelanja berat. Para pedagang di dua kota suci itu sangat senang kepada jemaah haji Indonesia karena kegemaran belanjanya itu.

Kontroversi juga nampak di dalam negeri. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mobil mewah yang berharga diatas satu milyard rupiah berseliweran. Mobil built up yang berharga di atas duaratus juta tidak lagi dianggap mewah. Resto¬ran mewah di pusat hiburan dengan menu diatas Rp. 400.000,-/per porsi (setara dengan 80 bungkus nasi padang) juga dipenuhi de¬ngan pengunjung. Pada hari libur, hotel dan villa di Puncak misalnya, juga penuh terisi, bukan oleh turis asing, tetapi oleh turis domestik. Pesta pernikahan di kota besar lebih lagi tidak men¬cerminkan krisis eko¬nomi. Makanan lezat, pakaian mewah dan jumlah tamu undangan yang mencapai ribuan mengindikasikan kemakmuran.

Di sisi lain, angka pengangguran sangat tinggi, pengemis, pengamen, pedagang asongan kecil, pak ogah dan “polisi” cepe “menghiasi” pemandangan di setiap keramaian. Gagal panen dan gagal memasar¬kan produksi pertanian juga sudah tidak lagi menjadi berita, tetapi kenaikan harga-harga, termasuk harga BBM, tarip listrik dan telpon secara sistematis terus berlanjut, menyebabkan menurunnya secara drastis daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat luas ini membawa imbas pada terhambatnya pendi¬dikan generasi muda karena ketidakmampuan orang tua membayar biaya pendidikan yang bermutu. Keadaan ini diperparah dengan bencana alam yang datang secara beruntun, tanah longsor dan banjir, ditambah problem daerah konflik Aceh, Ambon, Kalimantan, Maluku Utara dan Poso yang belum selesai kemudian menempatkan banyak masyarakat dalam posisi economic need. Boro-boro mikir masa depan anak, makan hari ini dan tempat berteduhpun masih menjadi problem.

Hujan dan banjir meluas dan berkepanjangan sedikit banyak menumbuhkan gerakan solidaritas sosial dari pelbagai pihak. Tetapi lagi-lagi, aksi solidaritas sosial kita belum menyentuh pemecahan masalah. Pasca musibah, problem masyarakat kecil sangat mendasar, baik menyangkut dasar-dasar ekonomi mereka maupun pendidikan bagi anak-anak dan generasi mudanya, sementara nilai aksi solidaritas sosial masyarakat yang hanya bersifat konsumtif tak ubahnya sekedar terapi Reumason, sebentar memberi rasa kehangatan, tetapi sebenarnya belum menyentuh permasalahan. Proposionalkah orang menjalankan ibadah haji ke tiga, ke empat, ke lima dan seterusnya? Sementara di tanah air, ratusan ribu saudara-saudara¬nya membutuhkan bantuan strategis. Proposional ¬kah orang makan di restoran yang sekali makan saja biayanya setara dengan kebutuhan 80 perut orang miskin, dan ketika bencana terjadi ia hanya sekedar mengirimkan sekian truk Indomie ke daerah bencana? Proposionalkah orang yang menikmati “keberkahan” negeri ini secara melimpah ruah, tetapi ia tak ber¬fikir nasib masa depan orang lain yang jauh berada di bawah garis kemiskinan ? Tidakkah sudah waktunya memikirkan bagaimana sistem sosial kita agar kesen¬jangan sosial tidak terlalu lebar ? Moralitas al Qur’an berbunyi; bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak bagi orang yang meminta dan yang tidak sempat meminta, wafi amwalihim haqqun lissa ili wal mahrum (Q/51:19), bahwa orang miskin memiliki saham pada harta si kaya. Menjadi tugas para negarawan yang juga khalifah Allah untuk mengetrapkan nilai moralitas ini dalam sistem sosial.

Dari segi agama, adalah juga sangat ironis, sese¬orang berderma dengan uang sisa dan pakaian bekas, tetapi ia berdoa untuk dimasukkan ke sorga. Ia membayar dengan sesuatu yang tak bernilai, tetapi mohon kepada Tuhan sesuatu yang tak ternilai. Siapakah kita sebenarnya ?

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, July 13, 2008

Berkah Alloh SWT
Pernyataan konstitusional kemerdekaan Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 berbunyi sebagai berikut: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong¬kan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyata¬kan dengan ini kemerdekaannya.”

Bunyi konstitusi tersebut memberitahukan kepada kita bahwa para pendiri negara kita meyakini sepenuhnya terhadap berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa yang telah mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Keyakinan ini membawa implikasi keyakinan bahwa kejayaan negeri ini sangat bergantung kepada manajemen berkah. Tekad itu nampak pada ayat 1 pasal 29 Bab XI UUD 45 yang menyebutkan bahwa: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akidah konstitusional ini membawa konsekuensi bahwa jika syarat-syarat manajemen keberkahan tidak terpenuhi maka keberkahan tidak akan terwujud di negeri kita. Negeri yang berkah artinya negeri yang di dalamnya terkumpul kebaikan ilahiyah, terkumpul potensi rizki yang halalan thoyyiban. Akan tetapi berkah tidak datang dengan gratis. Surat al ‘A`raf 96 berbunyi : walau anna ahla al-qura a manu wat taqau lafatahna `alaihim barakatin minas sama wa al ardh wala kin kazzabu fa akhadzna hum bima kanu yaksibun. Artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi, tetapi (sayang) mereka mendustakan (ayat-ayat Ku) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.

Krisis multi dimensi yang sedang melanda bangsa kita merupakan wujud hilangnya keberkahan dari negeri yang penuh dengan potensi keberkahan. Sumberdaya alam yang melimpah tak berfungsi mensejahterakan warga bangsa. Mengapa? karena manajemen keberkahan tidak dilakukan. Perilaku kita tidak mencerminkan perilaku orang yang beriman dan bertakwa. Sifat amanah yang menjadi ciri orang beriman hilang dari mereka yang mestinya berpegang teguh. Jika kita ingin mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang penuh berkah maka kita harus bertaubat dan memperbaiki diri (ishlâh).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, July 08, 2008

Leadership & Anarki
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Arti Masyarakat itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab musyarakah adalah saling bersekutu. Jadi masyarakat adalah wujud dari kese¬pakatan umum bagaimana setiap warganya dijamin peluangnya untuk memenuhi kebutuhan¬nya. Dalam sistem masyarakat, diatur yang kecil tidak dizalimi oleh yang besar, yang lemah dijamin memperoleh keadilan, yang memiliki kelebihan dijamin penghargaannya. Masyarakat juga sepakat untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak azazi manusia, fisiknya, hartanya, fikirannya, jiwanya dan keyakinannya. Untuk itulah maka masyarakat mem¬bangun tradisi, membangun kebudayaan, membangun institusi seperti negara dan bahkan membangun badan dunia seperti Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
Cita-cita bangsa Indonesia dengan mendirikan negara Republik Indonesia misalnya, seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 adalah untuk: (1) melindungi segenap warga negara, (2) hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya, (3) menghargai kedaulatan rakyat, dan (4) berketu¬hanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Manusia secara pribadi adalah makhluk yang di satu sisi berfikir positif dan menyukai kebaikan, tetapi di sisi lain terkadang berfikir negatif dan kemudian melakukan perbuatan yang bukan saja merusak diri¬nya tetapi juga merusak atau mengganggu orang lain. Perilaku manusia juga ada yang bersifat individual dan terkadang bersifat sosial. Ada orang yang secara pribadi adalah pendiam, penakut dan cenderung patuh, tetapi ketika ia menjadi bagian dari perilaku sosial yang bringas maka ia bisa berubah menjadi pemberani, nekad dan agresif, satu perilaku yang sangat berbeda dengan perilaku individualnya.

Untuk menjamin terlaksananya kesepakatan sosial, maka masyarakat mengenal struktur pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin diberi kewenangan oleh orang banyak untuk mengorganisir dan mengatur strategi pencapaian tujuan, dan orang banyak harus membantu dan mentaati pemimpin yang telah di¬sepakati. Manusia mengenal sistem kepemimpinan (leadership) pada setiap lapisan. Setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya (kullukum ra‘in). Kemudian suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, lurah adalah pemimpin satu desa dan sete¬rusnya Presiden adalah pemimpin dari satu negara. Tipologi pemimpin itu bermacam-macam, tetapi kontrak pemimpin dan yang dipimpin bersifat “universal”.

Kepe¬mimpinan akan efektif jika rakyat yang dipimpin merasa mem¬peroleh sesuatu dari pe¬mimpinnya; memperoleh rasa keadilan, rasa aman, dan bimbingan menuju masa depan yang menjanjikan. Oleh karena itu seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki banyak kelebihan dibanding yang dipimpin, karena seorang pemimpin harus bisa memberi. Jika tiga hal itu tidak bisa diberikan oleh seorang pemimpin, maka kepe¬mimpinannya tidak akan efektif. Jika kepemimpinan tidak efektif maka kesepakatan umum bermasyarakat akan rusak, tatanan kehidupan menjadi tidak tertib, dan masya¬rakat manusia yang semestinya berbudaya tinggi akan berubah menjadi kerumunan binatang yang saling menyerang, apa yang sekarang disebut sebagai anarki.

Read More
posted by : Mubarok institute
Ujian atau Azab?
Indonesia kini masih dirundung oleh krisis multi dimensi yang tak kunjung usai, padahal negara-negara lain seperti Korea, Thailand dan Malaysia yang terlanda krisis ekonomi bersama Indonesia, mereka telah bisa keluar dari krisis itu. Banyak orang mengatakan bahwa Indonesia sedang diuji kemampuannya mengelola kehidupan berbangsa. Yang lain mengatakan bahwa bangsa Indonesia sedang menerima azab yang setimpal dengan kesalahannya.

Apa Bedanya
Baik ujian maupun azab, keduanya berwujud kesulitan. Ujian adalah satu proses seleksi untuk naik kelas. Kesulitan yang dihadapi oleh orang adalah kesulitan yang memang diprogram untuk mengukur tingkat kemampuannya mengatasi masalah dalam dunia realitas. Boleh jadi kesulitan dalam ujian lebih berat dibanding realitasnya. Jika ini yang kita yakini maka sebagai orang beragama kita membayangkan bahwa Alloh SWT melalui sunnatullah Nya sengaja memberikan kesulitan kepada bangsa Indonesia ini agar kita terlatih menghadapi kesulitan yang lebih besar di waktu mendatang, liyabluwakum fi ma ata kum (Q/6:165).

Jika kita menyadari sedang diuji maka bangsa ini seyogyanya secara serius menghindari faktor-faktor penghambat dan mempersiapkan secara teliti faktor-faktor pendukung. Betapapun sulitnya ujian, tapi mengerjakannya, dengan semangat dan optimis karena terbayang masa depan yang lebih baik pasca ujian.

Adapun azab adalah kesulitan sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan. Dalam perspektif sunnatullah, keadilan akan mengantar pada kesejahteraan, siapapun yang melakukan. Jika bangsa Indonesia, terutama negara, menegakkan prinsip keadilan, maka kesejahteraan rakyat pasti tercapai. Menurut perspektif sunnatullah juga, jika kezaliman merajalela, siapapun yang mengerjakan, apalagi jika dilakukan oleh negara, maka betapapun besarnya sumberdaya alam yang dimiliki, pada akhirnya krisis akan menimpa bangsa itu, dan krisis tersebut merupakan azab yang disebabkan oleh kejahatan.

Jika orang menghadapi kesulitan dalam ujian dengan penuh semangat berkorban, maka rakyat menghadapi kesulitan azab dengan penuh rasa kemarahan. Secara psikologis, orang yang yang sedang marah biasanya tidak dapat berfikir jernih. Inilah yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia, perilakunya anarkis seperti perilaku orang marah, sehingga bukan solusi problem yang ditawarkan tetapi semuanya berlomba-lomba memberi kontribusi berupa problem baru.

Menurut al Qur’an, sekiranya penduduk suatu negeri perilakunya mencerminkan iman dan takwa (bermoral) niscaya sumberdaya alam akan berfungsi sebagai keberkahan Tuhan, sayang penduduk negeri itu mendustakan prinsip-prinsip kebenaran, maka Tuhan menurunkan (dari sumberdaya alam itu) azab sesuai dengan kejahatan mereka (Q/7:92).

Analisa yang sudah sering kita dengar menyebutkan bahwa kerusakan yang menimpa bangsa ini sungguh sangat mendasar, bukan hanya alamnya yang rusak, tetapi juga moralnya. Hujan yang mestinya merupakan berkah dari Tuhan berubah menjadi banjir. Sumber tambang seperti yang ada di Irian Barat (Freeport) yang semestinya menjadi kekayaan bangsa, berubah, keuntungannya dinikmati orang luar (AS), limbahnya kita yang harus menanggung.

Lalu harus bagaimana?, jika azab ini bersumber dari perilaku yang salah, maka solusinya adalah mengubah perilaku. Bangsa, dengan dipelopori oleh negara harus memiliki kemauan kuat dan kemauan bersama untuk mengubah perilaku. KKN yang bukan saja merupakan wujud ketidak adilan, tetapi sudah menjadi kezaliman harus dihapus secara sungguh-sungguh. Jika telah sungguh – sungguh melakukan komitmen itu, maka yakinlah kepada sunnatullah bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, fa inna ma‘al ‘usri yusra (Q/94:5-6), bahwa habis gelap pasti terbit terang. Insya Allah. Wallahu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, July 07, 2008

Kebohongan Publik: Proses Demoralisasi Bangsa
Bangsa Indonesia dikenal memiliki sifat paternalis, yakni mudah mengikuti perilaku pe¬mimpinnya. Jika pemimpinnya memerankan ketela¬danan yang tinggi, maka masyarakat luas segera menyiapkan dirinya untuk diatur ke arah tatanan yang ber¬martabat. Tetapi jika pemimpinnya membe¬rikan contoh perilaku yang tidak terpuji, maka dalam waktu pendek perilaku tidak terpuji itu akan tersosia¬lisasi ke segenap lapisan masya¬rakat. Sebenarnyalah bahwa paternalisme bu¬kanlah monopoli bangsa Indonesia. Ungkapan bahasa Arab berbunyi, ar ra‘iyyatu ‘ala dini mulukihim, artinya rakyat itu akan mengikuti agama dari raja-raja mereka. Prinsip inilah yang menyebabkan penduduk Indonesia menjadi muslim setelah raja-raja¬nya masuk Islam. Begitu pula yang terjadi di Persia dan Afrika. Dalam perspektif ini maka peranan pemimpin dalam mengantar bangsa ini sangat besar. Pemimpin itu bagaikan sopir bus yang sangat besar peranannya dalam mengantar penumpang (rakyat) sampai ke tujuan.

Kebohongan publik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kredibilitas pemimpin dalam ber¬komunikasi dengan masyarakat. Jika ada seorang sopir taksi berbohong, maka ia tidak akan disebut melakukan kebohongan publik, karena implikasinya hanya pada sebagian kecil penumpang taksi. Tetapi jika seorang presiden atau Ketua Parlemen melakukan kebohongan di depan parlemen atau di depan pers, hal itu disebut kebohongan publik, karena implikasinya sangat luas.

Implikasi dari kebohongan publik yang dilakukan oleh pemimpin bisa pada rusaknya sistem administrasi negara karena pernyataan seorang pemimpin akan ditindak lanjuti oleh aparat di bawahnya. Tetapi, bahaya yang lebih besar dari kebohongan publik yang ke¬mudian terbongkar dan tidak ada sanksi, adalah demoralisasi bangsa, dimulai dengan hilang¬nya apre¬siasi masyarakat luas kepada pemimpin, dan selanjut¬nya sang pemimpin akan hilang kewibawaannya. Jika rakyat tidak lagi menghormati pemimpinnya, maka setiap orang akan menjadikan diri sendiri sebagai pemimpin, dan akibatnya timbul anarki. Menurut ungkapan bahasa Arab, suatu bangsa tidak akan eksis jika anarki mewabah di masyarakat, dan anarki terjadi ketika perbuatan bodoh dilakukan para pemimpinnya (la yashluh al qaumu faudla la surata lahum, wala surata idza juhhaluhum sadu).

Tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah besar sebagaimana besarnya tanggung jawab orang ‘alim. Dalam kitab Zubad disebutkan; fa‘alimun bi‘lmihi lam ya‘malan # mu‘addzabun min qabli ‘ubbadi al watsan. Artinya; orang ‘alim yang tidak mengamalkan ilmu¬nya kelak akan disiksa duluan sebelum penyembah berhala. Demikian juga ancaman bagi pemimpin yang melakukan kebohongan publik. Hadis Rasul menya¬takan bahwa ada tiga kelompok yang kelak di akhirat akan diacuhkan oleh Allah, yaitu (1) kakek-kakek yang berzina, (2) Penguasa yang banyak berbohong dan (3) orang miskin yang sombong. Na‘udzu billah min dzalik.

Read More
posted by : Mubarok institute
Pemimpin : Pilar Budaya Masyarakat Bermartabat
Oleh : Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA

Saya pernah mengantar seorang guru spiritual dari Siprus,yaitu Syeh Nazim `Adil al Qubrusy menemui Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan-bulan terakhir masa kepresidenannya. Banyak sekali joke yang disampaikan oleh Gus Dur, panggilan akrab Presiden- di depan tokoh spiritual itu. Sesekali Syekh Nazim memang terkekeh mendengar joke itu, tetapi nampak sekali sorot mata keprihatinan beliau dalam bercanda dengan Presiden Gus Dur itu.

Ketika keluar dari istana, rombongan kami berpapasan dengan demo mahasiswa dalam jumlah yang cukup besar. Dalam demo itu mahasiswa menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menuntut Gus Dur munduuuur untuk cukup menjadi gubernuuuur di Jawa Timuuuur. Yaahh mahasiswa melagukan kalimat itu dengan penuh cemooh. Seperti kita ketahui Jawa Timur memang basis dukungan fanatic kepada Presiden Gus Dur hingga Gus Fawaaid dari Pesantren Asembagus Situbondo ke Jakarta memimpin sendiri demo dukungan untuk Presiden Gus Dur. Syekh Nazim bertanya apa arti lagu-lagu yang diteriakkan oleh demontran mahasiswa. Tapi yang sangat beliau perhatikan adalah ketika demonstran mengerek patung kertas Presiden Gus Dur dan kemudian membakarnya. Secara spontan Syekh Nazim berkata dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Bangsa yang menurunkan pemimpinnya secara tidak terhormat dijamin pemimpin yang menggantikannya tidak akan lebih baik dibanding pemimpin yang diganti. Ketika itu kami mendengarkan tetapi sekedar mendengar tanpa sempat merenungkan kedalaman maknanya..

Belakangan ketika carut marut negeri tak kunjung berakhir barulah kata-kata guru spiritrual itu seperti terngiang-ngiang di telinga. Benar juga, kita semua sudah tahu kualitas pengganti Presiden Gus Dur. Bukan hanya itu, yang sangat memprihatinkan adalah pelecehan kepada pemimpin di semua tingkatan terus berlangsung hingga hari ini,bukan hanya dilakukan oleh demonstran mahasiswa, tetapi juga oleh orang-orang yang sesungguhnya sudah masuk dalam deretan pemimpin nasional. Mereka tidak sadar bahwa seorang pemimpin politik yang melecehkan pemimpin negara, pada gilirannya nanti sang pemimpin politik menjadi pemimpin negara juga akan dilecehkan oleh lawan-lawan politiknya. Mahasiswa yang suka melecehkan pemimpin pun nanti ketika menjadi ketua BEM akan dilecehkan oleh sesama mahasiswa.

Melakukan pelecehan kepada pemimpin negara yang sedang menjabat, bukanlah perbuatan orang terhormat apalagi jika pemimpin negara itu produk dari sistem konstitusi yang sah, Kehormatan seorang pemimpin melekat pada dirinya, baik ketika ia sedang menjabat (karena terpilih),maupun ketika menjadi oposisi (karena tidak terpilih). Memang tidak semua pemimpin yang kita hormati adalah orang terhormat. Sebaliknya seorang pemimpin yang terhormat, ia tetap terhormat meskipun tidak dihormati.

Jika kita tengok sejarah pemimpin puncak negeri kita, hati menjadi masygul ketika melihat nasib semua Presiden kita setelah tidak menjabat. Ketika bencana tsunami melanda Aceh, Amerika yang sering dituduh sebagai masyarakat sekuler mengirim dua mantan Presidennya,Clinton dan Carter ke Aceh sebagai wakil resmi dari negara dan bangsa Amerika. Sungguh satu apresiasi yang sangat bermartabat dari bangsa Amerika kepada pemimpinnya, meski sudah tidak menjabat. Bangsa Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang beragama ternyata tidak bisa mengapresiasi pempimpin bangsanya secara bermartabat.

Lihat saja,Bung Karno diturunkan secara emosional oleh MPR, Pak Harto yang ketika naik dielu-elukan juga disikapi secara emosional oleh MPR yang mengangkatnya, hingga jatuh. Baik Bung Karno maupun Suharto,keduanya setelah tidak menjabat sebagai presiden tidak lagi menerima penghormatan. Mereka berdua ”dikurung” secara politik dan sosial hingga akhir hayatnya. Pak Habibi pun diturunkan secara emosional oleh MPR, dan setelah tidak menjabat,beliau membutuhkan beberapa tahun untuk ”bersembunyi” di Jerman. Hanya Presiden Gus Dur yang meski juga diturunkan secara emosional oleh MPR yang mengankatnya, ia tetap tidak berubah,baik ketika menjadi Presiden maupun setelah menjadi mantan, karena beliau selalu mensikapi dengan kalimat cuek; Gitu aja kok repot.

Ketika SBY terpilih menjadi presiden ke VI menggantikan bu Megawati, nampak sekali SBY ingin mengakhiri kebiasaan tidak menghormati mantan Presiden. Beliau menunggu ucapan selamat dari Bu Mega agar bangsa ini tercerahkan oleh sikap legowo pemimpin yang kalah dalam pemilihan, tapi Bu Mega tidak hadir, bahkan hingga hari ini beliau tak pernah berkenan menghadiri upacara 17 Agustus di istana. Pak Hamzah Haz, mantan wakil presidennya Bu Mega yang diingatkan oleh wartawan untuk mengucapkan selamat kepada Presiden terpilihpun lebih memilih solidaritas kepada bu Mega daripada memulai dengan sikap elegan. Pak Hamzah Haz malah menjawab, kan tidak ada aturannya yang kalah harus mengucapkan selamat kepada yang menang.

Ketika TV setiap hari menayangkan berita pelecehan kepada pemimpin,baik di daerah maupun di pusat,bahkan mahasiswa yang dalam demonya selalu mengusung issue kepentingan rakyat kecil juga melakukan tindak anarkis dan melecehkan pemimpin termasuk membakar foto Presiden dan Wakil Presiden (SBY-JK) pilihan rakyat langsung dan masih menjabat. Bagaimana jadinya nanti setelah tidak menjabat ? Keprihatinan ini kembali mengingatkan saya kepada Syekh Nazim, guru spiritual dari Siprus.

Malam hari setelah kunjungan ke Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau beristtirahat setelah mengikuti zikir khataman Khawajagan jamaah Tarikat Naqsyabandi Haqqani di Jl. Brawijaya, di depan kami-kami yang duduk disekelilingnya,beliau berkata; Pilar budaya masyarakat bermartabat itu ada tiga, menghormati orang tua, menghormati guru dan menghormati pemimpin. Jika yang satu dilecehkan, maka ketiganya akan terlecehkan. Ternyata kata-kata Syeh Nazim benar. Kini ketika semua pemimpin dilecehkan, gurupun sudah tidak bisa dipercaya untuk mengawasi Ujian Nasional murid-muridnya sehingga harus dikawal polisi. Betapa sedihnya kita semua, ketika nanti tiba giliran orang tuapun sudah tidak didengar nasehatnya oleh anak-anaknya, apalagi oleh cucunya.

Sungguh sangat menarik apa yang sedang berlangsung sekarang di Amerika, Hillary Clinton dan Barack Obama bersaing dengan amat sangat sengit, terkadang tak terhindar keluarnya kata-kata yang saling merendahkan. Tetapi begitu sampai finish bahwa Barack Obamalah yang menang sebagai kandidat,langsung Hillary berteriak mendukung Obama, menyatu untuk tujuan bersama yang lebih besar. Nah.... pemimpin2 kita....?, selama lima tahun masa kepresidenan , yang kalah tak pernah memberi dukungan kepada presiden terpilih demi untuk tujuan yang lebih besar yaitu tujuan nasional. Sepanjang lima tahun para pemimpin yang kalah tetap konsisten melecehkan yang menang, seperti persaingan abadi, dan tak mengingat tujuan bersama hidup berbangsa dan bernegara. Sungguh.... perlu segera ada gagasan terobosan untuk mengembalikan martabat bangsa ini dengan menempatkan orang tua, guru dan pemimpin pada tempat yang dijamin terhormat dan dihormati dalam sistem hidup berbangsa dan bernegara. (Penulis, Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA, Guru Besar Psikologi Islam, Wakil Ketua umum DPP Partai Demokrat).

Read More
posted by : Mubarok institute
Katakan Yang Benar Meskipun Pahit
Sebenarnyalah bahwa jiwa manusia didesain untuk berbuat jujur. Dalam al Qur’an disebutkan; laha ma kasabat wa ‘alaiha ma iktasabat; (Q/2:286) artinya, bahwa manusia akan memperoleh pahala atas perbuatan baik yang dikerjakan, dan memperoleh hukuman dari perbuatan buruk yang dilakukan. Kalimat kasabat mengandung arti mudah mengerjakan, sedang kalimat iktasabat mengandung arti sulit mengerjakan.

Jadi maknanya, manusia jika bertindak jujur, mengerjakan perbuatan kebaikan, maka secara psikologis ia akan melakukannya dengan nyaman, karena tidak disertai oleh konflik batin. Tetapi untuk tidak jujur, untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan bisikan hati nuraninya, maka manusia harus bersusah payah “berjuang” melawan nurani¬nya sendiri yang tidak mau diajak kompromi. Seseorang, ketika pertamakali melakukan kebohongan, maka ia berdebar-debar, bingung bahkan susah tidur karena terganggu oleh pikiran dan perasaan bagaimana harus meluruskan kebohongan yang sudah terlanjur dilakukan. Untuk kebohongan kedua, gangguan itu semakin terasa berkurang, dan jika ia sudah menjadi pembohong “profesional “ maka baginya berbohong atau jujur tak ubahnya pekerjaan memasang kaset, dan dalam keadaan demikian, ia akan sulit melakukan introspeksi karena nuraninya bagaikan cermin yang retak-retak.

Kejujuran dan kebohongan bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan keadaan sebelumnya dan membawa implikasi pada sesudah¬nya. Kebohongan dilakukan seseorang untuk berbagai tujuan; misalnya untuk memperoleh keuntungan materi secara tidak fair, untuk membuat kesal atau mencelakakan orang lain, dan adakalanya untuk menutupi kebohongan yang lain. Implikasi dari kebohongan juga berbeda-beda. Jika kebohongan itu pada hal yang bersifat informasi, implikasinya bisa menyesatkan atau mencelakakan orang lain. Jika kebohongannya pada janji, maka implikasinya pada mengecewakan atau merugikan orang lain. Jika kebohongannya pada sumpah maka implikasinya pada merugikan dan mencelakakan orang lain.

Nabi bersabda; Sesunggguhnya kebohongan adalah satu diantara beberapa pintu kemunafikan, innal kizba babun min abwab an nifaq. Jadi orang yang melakukan kebohongan berarti sedang berada dalam proses menjadi seorang munafik. Kata Nabi, tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; (1) jika berkata, ia berdusta, (2) jika berjanji, ia ingkar dan (3) jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.

Seseorang jika sudah sering berbohong, apalagi jika sudah menjadi pembohong profesional, maka berkata benar merupakan pekerjaan yang sangat berat bagaikan meminum obat yang pahit. Oleh karena itu Nabi bersabda; Katakanlah yang benar meskipun pahit, Qul al haqqa walau kana murran. Hadis ini sering disalah artikan, yakni dijadikan dasar untuk berani membongkar kesalahan pejabat di depan umum, padahal hadis ini juga ditujukan kepada setiap orang agar ia berani mengakui kesalahannya secara terbuka, meski berat. Membuka kesalahan orang lain, apalagi jika orang itu public figur, adalah pekerjaan yang menarik syahwat, kebalikan dari mengakui kesalahan sendiri secara terbuka.

Jika kebohongan merupakan pintu kemunafikan, maka kejujuran merupakan pintu amanah. Sebagai contoh, Nabi memiliki sifat siddiq (benar dan jujur), maka sifat lain yang menyertainya adalah amanah(tanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (menyam¬paikan secara terbuka apa yang mesti di¬sampaikan). Kebalikannya, dusta (kizib) akan diiringi oleh sifat curang (khiyanah), bodoh, yakni melakukan perbuatan bodoh (jahil) dan menyembunyikan apa yang semestinya disampaikan secara terbuka (kitman).

Manajemen Kejujuran
Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak akan secara otomatis menjadi pembohong atau jujur. Seorang yang jujur, lama kelamaan bisa menjadi pembohong jika peluangnya terbuka, sebaliknya pembohong bisa di¬batasi ruang geraknya oleh sistem pengawasan. Untuk membangun masyarakat dan bangsa yang beradab dan bermartabat, dibutuhkan sistem yang memberi reward kepada orang jujur dan manajemen transparansi yang mempersempit ruang kebohongan. Jika sistem ini berlangsung lama, maka kebohongan akan dipandang aneh oleh masyarakat. Penulis pernah menjumpai di Washington, koran dijual tanpa penunggu. Setiap orang yang mau beli, cukup menaroh uang $1, di kotak dan mengambil satu koran, dan nampaknya tidak ada orang yang berfikir untuk mengambil lebih dari yang dibayar. Juga ada pintu tol yang tidak dijaga dimana setiap pengendara cukup memasukkan uang ke kotak yang disediakan. Sistem ini pasti belum bisa diterapkan di Jakarta, karena masih banyak orang berfikir, jika bisa tidak membayar kenapa mesti bayar?

Membangun budaya jujur dan membatasi ruang gerak kebohongan memang tidak mudah, tetapi sinergi antara sistem pendidikan, penegakan hukum, transpa¬ransi administrasi publik, sudah barang tentu keteladanan para pemimpin, pasti akan sangat efektif. Insya Allah.

Read More
posted by : Mubarok institute
Solidaritas Buta, Apa Gunanya?
Sungguh bahwa Allah telah menempatkan manusia secara keseluruhan sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, walaqad karramna bani Adam (Q/17:70). Manusia diciptakan Tuhan dengan identitas yang berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat antara yang satu dengan yang lain (Q/49:13). Tiap-tiap ummat diberi aturan dan jalan (yang berbeda), padahal sean¬dainya Tuhan mau, seluruh manusia bisa disatukan dalam kesatuan ummat. Tuhan menciptakan perbe¬daan itu untuk memberi peluang berkompetisi secara sehat dalam menggapai kebajikan, fastabiqul khairat (Q/5;48). Oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh Rasul, agar seluruh manusia itu menjadi saudara antara yang satu dengan yang lain, wakunu ‘ibadallahi ikhwana. (Hadis Bukhari).

Dalam bahasa Arab, ada kalimat ukhuwwah (per¬saudaraan), ikhwah (saudara seketurunan) dan ikhwan (saudara tidak seketurunan). Dalam al Qur’an kata akhu (saudara) digunakan untuk menyebut saudara kandung atau seketurunan (Q/4:23), saudara sebangsa (Q/7:65), saudara semasyarakat walau berselisih faham (Q/38;23) dan saudara seiman (Q/49;10). Al Qur’an bukan hanya menyebut persaudaraan kema¬nusiaan (ukhuwwah insaniyyah), tetapi bahkan me¬nyebut binatang dan burung sebagai ummat seperti ummat manusia (Q/6;38) sebagai saudara semakhluk (ukhuwwah makhluqiyyah). Istilah ukhuwwah Islamiyyah bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang Islam, tetapi persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat Islami. Oleh karena cakupan ukhuwwah Islamiyyah bukan hanya menyangkut sesama orang Islam tetapi juga menyangkut persaudaraan dengan non muslim, bahkan dengan makhluk yang lain. Seorang pemilik kuda misalnya, tidak boleh membebani kudanya dengan beban yang melampaui batas kewajaran. Ajaran ini termasuk dalam ajaran ukhuwwah Islamiyyah bagaimana seorang muslim bergaul dengan hewan kuda yang dimilikinya.

Dari ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an (dan Hadis) sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwwah; yaitu;

1. Ukhuwwah ‘ubudiyyah; persaudaraan karena sama-sama makhluk yang tunduk kepada Allah.

2. Ukhuwwah insaniyyah atau basyariyyah, persau¬daraan karena sama-sama sebagai manusia secara keseluruhan.

3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an nasab. Persaudaraan karena keterikatan keturunan dan kebangsaan.

4. Ukhuwwah diniyyah, persaudaraan karena seagama.
Bagaimana ukhuwwah berlangsung, tak lepas dari faktor penunjang. Faktor penunjang yang signifi¬kan membentuk persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaannya, baik persamaan rasa maupun persamaan cita-cita maka semakin kokoh ukhuwwahnya. Ukhuwwah biasanya melahirkan aksi solidaritas. Contohnya, di antara kelompok masyarakat yang sedang berselisih, segera terjalin persaudaraan ketika semuanya menjadi korban banjir, karena banjir menyatukan perasaan, yakni sama-sama merasa menderita.Kesamaan perasaan itu kemudian memunculkan kesadaran untuk saling membantu.

Petunjuk Al Qur’an Tentang Ukhuwwah
1. Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam mela¬kukan kebajikan, meski mereka berbeda-beda agama, ideologi, status; fastabiqul khairat (Q/5;48). Jangan berfikir menjadikan manusia dalam keseragaman, memaksa orang lain untuk ber¬pendirian seperti kita misalnya, karena Tuhan menciptakan perbedaan itu sebagai rahmat, untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang mmberikan kontribusi terbesar dalam kebajikan.

2. Memelihara amanah ( tanggung jawab) sebagai khalifah Allah di bumi, di mana manusia dibebani keharusan menegakkan kebenaran dan keadilan (Q/38;26), serta memelihara keseimbangan ling¬kungan alam (Q/30:41).

3. Kuat pendirian tetapi menghargai pendirian orang lain. Lakum dinukum waliya din (Q/112;4), tidak perlu bertengkar dengan asumsi bahwa kebenaran akan terbuka nanti di hadapan Tuhan (Q/42:15).

4. Meski berbeda ideologi dan pandangan, tetapi harus berusaha mencari titik temu, kalimatin sawa, tidak bermusuhan, seraya mengakui eksistensi masing-masing (Q;3;64).

5. Tidak mengapa bekerjasama dengan pihak yang berbeda pendirian, dalam hal kemaslahatan umum, atas dasar saling menghargai eksistensi, berkeadilan dan tidak saling menimbulkan kerugian (Q/60;8). Dalam hal kebutuhan pokok, (mengatasi kelaparan, bencana alam, wabah penyakit dsb) solidaritas sosial dilaksanakan tanpa memandang agama, etnik atau identitas lainya (Q/2:272).

6. Tidak memandang rendah (mengolok-olok) kelompok lain, tidak pula meledek atau membenci mereka (Q/49:11).

7. Jika ada perselisihan diantara kaum beriman, maka islahnya haruslah merujuk kepada petunjuk Al Qur’an dan Sunnah Nabi (Q/4;59)
Al Qur’an menyebut bahwa sanya pada hakekat¬nya orang mu’min itu bersaudara (seperti saudara sekandung), innamal mu’minuna ikhwah (Q/49;10). Hadis Nabi bahkan memisalkan hubungan antara mukmin itu bagaikan hubungan anggauta badan dalam satu tubuh dimana jika ada satu anggauta badan menderita sakit, maka seluruh anggauta badan lainnya solider ikut merasakan sakitnya dengan gejala demam dan tidak bisa tidur. Nabi juga mengingatkan bahwa hendaknya diantara sesama manusia tidak mengem¬bangkan fikiran negatif (buruk sangka), tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak saling mendengki, tidak saling membenci, tidak saling membelakangi, tetapi kembangkanlah persaudaraan. (H R Abu Hurairah)

Meski demikian, persaudaraan dan solidaritasnya harus berpijak kepada kebenaran, bukan mentang-mentang saudara lalu buta terhadap masalah. Al Qur’an mengingatkan kepada orang mu’min; agar tidak tergoda untuk melakukan perbuatan melampaui batas ketika orang lain melakukan hal yang sama kepada mereka. Sesama mukmin diperintakan untuk bekerjasama dalam hal kebajikan dan taqwa dan dilarang bekerjasama dalam membela perbuatan dosa dan permusuhan, Ta‘awanu ‘alal birri wat taqwa wala ta‘awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. (Q/5;2).

Read More
posted by : Mubarok institute
Konseling Perkawinan Jendela dari Keruwetan Dalam Hidup Keluarga
Oleh ; Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA Disampaikan dalam Seminar dan Workshop Pemerkayaan Keluarga, dilaksanakan oleh GNKS, Jakarta, 4 Juli 2008

Pendahuluan
Sudah menjadi fitrah kehidupan, setiap manusia membutuhkan kehidupan berkeluarga,mempunyai pasangan,anak-cucu dan keluarga besar. Orang yang sukses dalam kehidupan berkeluarganya, ia dipandang sukses meski boleh jadi gagal dalam karir sosialnya. Sebaliknya orang yang sukses dalam karir sosialnya tetapi gagal dalam kehidupan keluarga, ia tetap dipandang sebagai orang gagal, dan merasa gagal.

Perkawinan bukan sekedar menyatukan dua orang lelaki dan perempuan, tetapi mempersatukan dua keunikan, karena setiap orang adalah dirinya. Kesetaraan status social, kesetaraan rupa, kesetaraan pendidikan tidak menjamin kekokohan ikatan perkawinan. Yang bisa mengokohkan ikatan perkawinan adalah kesesuaian watak,kesesuaian cara pandang dan perasaan cinta. Cinta bisa mengatasi ketidak sesuaian watak dan ketidak sesuaian cara pandang. Selagi cinta membara maka ketidak sesuaian itu bisa diatasi, tetapi jika cinta meredup,maka ketidaksesuaian itu akan menjadi hambatan serius.

Psikologi orang yang cinta adalah
(a) penuh perhatian kepada yang dicintai,
(b) inginnya memberi kepada yang dicintai,
(c) memaklumi kekurangan,dan
(d) memaafkan kesalahan orang yang dicintai.

Cinta juga mengubah ukuran:,
(a) yang berat menjadi ringan,
(b) yang lama menjadi sebentar,
(c) yang sebentar menjadi lama,
(d) yang sedikit menjadi banyak,
(e) yang banyak menjadi sedikit.

• Ciri orang cinta, banyak mengingat dan banyak menyebut yang dicintai..
• Orang yang sedang mabuk cinta juga bisa diperbudak oleh cintanya.

Ikatan perkawinan menjadi kokoh jika

1. diikat oleh dua jenis cinta; mawaddah dan rahmah. Mawaddah adalah jenis cinta yang ”nggemesi”, maunya monopoli, ingin selalu bersama tak mau berpisah. Sedangkan cinta rahmah adalah jenis cinta yang siap berkorban demi kekasih, siap menderita demi kebahagiaan kekasih, siap berpisah lebih dahulu demi kekekalan di belakang hari.
2. Masing-masing pasangan menempatkan diri sebagai pakaian bagi yang lain. Fungsi pakaian ada tiga(a) penutup aurat, (B) pelindung dari panas dan dingin, (c) perhiasan
3. Komunikasi dan interaksi pasangan didasarkan pada nilai-nilai kepatutan, tidak mesti rational.

Keruwetan hidup berkeluarga terjadi jika

(a) ada kejenuhan rutinitas
(b) frekwensi pertemuan yang terlalu jarang
(c) ada orang ketiga (PIL dan WIL)
(d) memudarnya perasaan cinta
(e) Munculnya watak ”asli”
(f) Adanya ”hal-hal” vital yang tidak berfungsi secara baik

Keruwetan terlalu lama dalam hidup berkeluarga bisa memunculkan perilaku menyimpang dalam berbagai hal, (a) KDRT, (b) perilaku seks menyimpang, (c) perselingkuhan,(e) melakukan hal2 yang mubazir dan tak logis.

Terkadang keruwetan itu lebih bersifat psikologis, yakni sesungguhnya tidak ada problem yang mendesak untuk diselesaikan, tetapi beban psikologis membuat seakan suasana darurat, merasa sempit dalam kelonggaran, merasa sedih ditengah fasilitas hiburan, tak bernafsu makan didepan melimpahnya hidangan, merasa kesepian dtengah keramaian.

Jendela keruwetan rumah tangga bisa dibuka melalui :

Bagi perempuan;
1. perbanyak kegiatan sosial keluarga (di seputar rumah)
2. membuat pusat perhatian khusus di bidang sosial,misalnya menyantuni anak yatim
3. Jangan membuat pelarian ke dalam dunia hiburan, dan petualangan.
4. Curhat kepada sahabat sejati atau konsultasi dengan konselor keluarga

Bagi laki

1.Perbanyak kegiatan sosial dan olah raga (di luar rumah)
2.Menaklukkan tantangan alam dan petualangan
3. Jangan melakukan pelarian ke dunia hiburan
4. Curhat kepada sahabat sejati atau konsultasi dengan konselor keluarga

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, July 02, 2008

Kenapa Anarkisme Masih Terjadi?
Anda pasti sudah mendengar atau membaca berita tentang;demo anarkis yang terjadi di depan Gedung DPR RI, dan kampus Atmajaya pada Selasa (24/6) kemarin. Pasalnya, selain merusak aset-aset negara, demo berakhir brutal.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada masyarakat kita sehingga mereka berbuat seakan tidak ada hukum yang mengatur. Di mana keberadaan polisi, ulama, cendekiawan, dan pemerintah? mengapa keberadaan mereka sama dengan tiadanya? (wujuduhu ka‘adamihi), apa yang ada dalam fikiran para pelaku? terpaksa, main-main atau menikmati?

Sebenarnyalah bahwa anarki yang berkepanjangan menggambarkan tentang keberadaan masyarakat yang sedang sakit. Manusia ada yang menderita sakit kepala, sakit perut, sakit kanker dan ada yang hanya sakit kulit atau bisulan. Suatu bangsa terkadang hanya menderita sakit luarnya, terkadang perutnya (kemiskinan), terkadang kepalanya (krisis kepe¬mimpinan) dan terkadang justru kanker (moral bangsa). Ketepatan diagnosa akan mempermudah terapi, kekeliruan diagnosa akan mengakibatkan salah terapi.

Sebab Mendasar Perilaku Anarki
Secara psikologis, perilaku anarki pada dasarnya adalah jalan keluar dari sebuah kebuntuan komunikasi. Pelaku anarkis secara samar-samar merasa sedang memperjuangkan sebuah kepentingan, baik kepen¬tingan politik, ekonomi, sosial atau kepentingan lainnya. Perilaku anarkis yang berupa kekerasan dan pemaksaan kehendak adalah jalan keluar terakhir yang ditempuh ketika dialog tidak lagi mampu mewadahi perbedaan. Dialog akan mengalami jalan buntu jika masyarakat saling mencurigai satu sama lain dan tidak memiliki rasa percaya (trust) kepada aparat hukum (pengelola negara). Ketidak percayaan kepada aparat hukum (pengelola negara) terjadi karena pengalaman yang dialami masyarakat di mana hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara benar oleh aparat. Perilaku anarki biasanya marak ketika kekuasaan negara tidak berjalan efektif.

Dasar-dasar kepercayaan (trust)
Kepercayaan (trust) merupakan modal sosial yang mengikat antar anggota masyarakat untuk bekerja sama membangun sebuah masyarakat yang unggul yang dicita-citakan bersama. Kepercayaan atau rasa percaya kepada pihak lain memungkinkan orang untuk mengorganisasikan diri mereka ke dalam sebuah institusi yang dinamis. Dengan kepercayaan, institusi yang dibangun masyarakat akan menjadi efektif. Tanpa adanya kepercayaan, maka semua institusi yang dibangun (keluarga, hukum, polisi dan bahkan negara) tidak akan berjalan efektif.

Kepercayaan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) dan ketidak percayaan (distrust) adalah sesuatu yang menyiksa (punishment). Betapa tersiksanya suami atau istri jika mereka tidak saling mempercayai satu dengan yang lain. Demikian juga ketidak percayaan antara rakyat dan pemerintah, antara masyarakat dengan polisi, antara pencari keadilan dengan lembaga peradilan, antara masyarakat dengan public service akan melahirkan perasaan tidak aman pada kedua belah pihak. Perasaan tidak aman itu jika tidak diwadahi akan sangat mudah meledak menjadi perilaku anarkis.

Read More
posted by : Mubarok institute
Membangun Kepercayaan
Kepercayaan (trust) akan terbangun jika komunikasi antara masyarakat terjalin secara baik, komunikasi antara Pemerintah dengan rakyat terbuka dan komu¬nikasi akan terbangun jika ada dialog. Dialog akan lancar jika ada kepercayaan satu sama lain. Untuk membangun suasana saling percaya maka harus dibangun infrastruktur sosialnya, antara lain:

1. Tidak adanya penindasan, atau masyarakat terbebas dari penindasan. Penindasan biasanya dilakukan oleh penguasa kepada rakyatnya, oleh pemilik modal besar kepada masyarakat yang tidak me¬miliki modal, oleh negara kuat kepada negara lemah, dan oleh orang pandai kepada orang bodoh. Selama ada yang merasa tertindas maka keper¬cayaan tidak bisa terbangun.

2. Tidak ada rasa takut, takut diculik, takut dihukum, takut dibunuh, hanya karena berbeda pendapat. Biasanya yang suka menteror dan menakut-nakuti orang lain adalah pihak yang merasa kuat, yang merasa besar, bisa penguasa, preman, pengusaha atau kelompok besar. Orang yang dilanda rasa takut tak mungkin percaya kepada pihak yang ditakuti.

3. Tidak ada diskriminasi, hanya karena berbeda etnik, partai, aspirasi atau agama. Semua orang harus memperoleh peluang yang sama sesuai dengan kapasitasnya. Dalam hal ini negara mempunyai peran yang sangat besar untuk menghilangkan diskriminasi atau untuk memantapkannya.

4. Adanya keterbukaan (tranparansi) dalam proses berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini masyarakat berhak mengetahui kegiatan Pemerintah, pe¬nganggaran, pelaksanaan hukum, termasuk mengetahui kesalahan pejabat negara. Transparansi akan mempersempit ruang penyelewengan dan kesalahpahaman.

5. Adanya kemitraan antara pemerintah dengan rakyatnya. Pemerintah tidak mengedepankan kekuasaanya, sebaliknya justru partisipasi masyarakat digalakkan dalam berbagai sektor kehidupan. Peluang yang terbuka untuk berperan serta membuat masyarakat merasa percaya kepada sistem.

6. Adanya kepedulian yang bersistem, peduli kepada kemanusiaan, kepada lingkungan, kepada norma etika, kepada masa depan. Infrastruktur sosial tersebut diatas biasanya tersedia pada masyarakat yang demokratis, atau pada apa yang disebut sebagai masyarakat madani atau civil society.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger